Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 198581 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ali Abdullah Wibisono
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
S8223
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Denny Dharma Setiawan
"Tesis ini menggunakan perspektif realis untuk mengkaji fenomena kebijakan Amerika Serikat dalam Konflik Israel-Palestina di masa Pemerintahan Clinton II (periode 1996-2000). AS menyadari bahwa dunia semakin multipolar dan interdependen, tak ada satu negara mana pun yang mampu sendirian menentukan segala sesuatunya. Mengingat AS selama ini aktif dalam perumusan terms of peace di Timur Tengah sampai pada tingkat tertentu yang dapat diterima oleh negara-negara Arab, dukungan yang aktif terhadap Israel dan disisi lain AS juga menginginkan dukungan dan kerjasama negara-negara sekutu terhadap kepentingan strategis akan kebutuhan minyak di Timur Tengah.
AS mencoba menerapkan empat skenario strategi untuk mengamankan "kepentingan politis" tersebut, yaitu: Pertama, membangun pengaturan bersama di kawasan Teluk. Kedua, memperkuat usaha-usaha untuk mengendalikan proliferasi berbagai senjata pemusnah massal (weapon mass-destruction). Ketiga, meningkatkan pembangunan ekonomi. Keempat, memanfaatkan berbagai kesempatan baru dalam usahanya mencapai situasi damai dan aman dalam proses perdamaian dan keamanan Arab-Israel.
Sebagai negara dengan kekuatan terbesar di dunia dan pemimpin di dalam masyarakat internasional, maka Clinton ingin menciptakan, mendukung dan memimpin persekutuan bangsa-bangsa dan lembaga-lembaga yang memajukan kepentingan nasional AS dan kepentingan bersama para mitra internasional AS.
Akhir dari Perang Dingin menampilkan Clinton kepada adanya suatu peluang bersejarah untuk memperbarui dan meluaskan persekutuan AS dengan membangun Eropa yang damai, tak terpecah-belah, dan demokratis. Yakni, dengan membentuk suatu masyarakat bangsa-bangsa Asia dan Timur Tengah yang lebih stabil, lebih terbuka dan demokratis, seperti yang dilakukan di Eropa. Ditegaskan pula oleh Clinton, bahwa dalam mewujudkan tujuannya lebih di tekankan kepada demokrasi daripada penggunaan kekuatan militer, namun, selalu siap menggunakan kekuatan militer jika diperlukan untuk mempertahankan kepentingan nasional AS.
Namun, sesuatu hal yang tak akan pernah berubah, AS akan terus mempertahankan, bahkan dengan segala cara, hegemoninya di berbagai kawasan, khususnya di kawasan Timur Tengah. Hal ini disebabkan karena adanya faktor-faktor; Pertama, minyak, seperti diketahui 25% suplai minyak dunia berasal dari Timur Tengah dan kawasan ini menyimpan 2/3 cadangan minyak dunia. Jika suplai minyak Timur Tengah berhenti, maka tidak hanya memperburuk ekonomi AS sendiri, melainkan dapat mengulang resesi ekonomi dunia di tahun 1930-an. Kedua, faktor geostrategis kawasan Teluk antara Asia Barat, Timur Tengah, Asia Tengah, Afrika Utara dan Asia Selatan Dimana AS memandang kepentingannya di wilayah ini sudah cukup dalam dan lama, sehingga AS tidak akan dengan mudah mundur dan menyerahkan begitu saja kepada negara lain yang ikut berkepentingan di wilayah tersebut.
Dalam tujuan nasionalnya, AS mempunyai minat serius dalam menyelesaikan perdamaian yang adil, menyeluruh dan kekal dalam konflik Timur Tengah, dalam hal ini memastikan kesejahteraan/kesehatan dan keamanan Israel, membantu negara-negara Arab yang menjadi sekutu AS, dan menjaga kestabilan harga minyak pada harga yang pantas. Strategi AS mencerminkan tujuan yang akan dicapai dan mengadaptasi karakteristik wilayah di Timur Tengah dalam pencapaian tujuan perdamaian dan stabilitas kawasan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14025
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Siddiq
"Konflik antara umat manusia bisa terjadi karena masalah dan ideologi apa saja, seperti, kepentingan ekonomi, perebutan batas wilayah, faktor etnis, bahkan perebutan wanita atau harta. Bahkan, banyak konflik yang melibatkan faktor agama dan umat beragama, tidaklah murni menunjukkan semata-mata faktor perbedaan konsepsi agama itu sendiri sebagai penyebab konflik. Konflik antara Palestina dan Israel yang terjadi hingga saat ini berpangkal dari dicetuskannya Gerakan Zionisme International oleh seorang tokoh Bangsa Yahudi bernama Theodor Herzl pada tahun 1894. Gerakan politik dengan berlandaskan scmangat keagamaan ini bertujuan untuk kembali mempersatukan bangsa Yahudi yang hidup berpencar dalam diaspora ke dalam suatu tanah air nasional di Palestina, namun hal tersebut berdampak pada munculnya konflik antara bangsa Yahudi dengan bangsa Palestina yang sebelumnya telah menempati tanah tersebut. Tidak hanya sampai di situ, efek yang muncul juga terasa hingga ke negara-negara lain khususnya negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif yang mengedepankan perspektif emik, serta melalui wawancara mendalam, dan penggunaan data-data sekunder berupa artikel, biografi, dan pernyataan-pernyataan informan di media massa, penelitian ini membahas tentang Sikap Opinion Leader Cendekiawan Kristen dan Islam terhadap konflik Israel-Palestina dan pemikiran mereka berkaitan dengan 'konflik tersebut. Cendekiawan tersebut ialah pertama, Abdurrahman Wahid, kedua, Hidayat Nur Wahid, opinion leader ketiga, Andreas Anangguru Yewangoe, keempat, adalah Benny Susetyo. Umumnya, responden memandang bahwa persoalan konflik Israel-Palestina bukanlah persoalan agama semata, melainkan konflik politik, meskipun di daiamnya terdapat nuansa keagamaan. Pada responden dari kalangan cendekiawan Islam, meskipun sedikit terlihat sentirnen keagamaannya, namun mereka tetap melihat bahwa konflik tersebut merupakan konflik "universal yang memiliki dimensi kemanusiaan yang juga bersifat "universal". Responden dari kalangan cendekiawan Kristen simpatik terhadap perjuangan bangsa Palestina, semata-mata bukan karena faktor agamanya, melainkan faktor kemanusiaannya yang lebih menonjol. Dalam pandangan mereka bangsa Palestina di situ jelas menjadi objek tertindas.

Conflict among humans can caused by ideology differences or anything, such as, economic needs, ethnical factors territorial factors, even women or treasure. Therefore, many conflicts involve religion factor, but it is not fair enough to show to point out only the differences in the religion conceptual itself as the reason of the conflict. Conflicts between Palestine and Israel that happened until this day was caused by the declaration of International Zionism movement by a Jewish figure named Theodore Herzl in the year of 1894. The politic movement that based on the religious spirit is aiming to re-unite the Jewish Nations that lived separately in Diaspora into a nation in Palestine, even tough it has an impact on the conflict that rise between Jewish with Palestinian and has settled that ground before. Not only till there, the effect that shown up also felt to other countries especially in the nation that have Moslem majority as the citizen. With using qualitative approach that put forward epic perspective, this research discussed about the Christians and Moslem intellectual opinion Leader attitude in the Israel-Palestine conflict and their background opinion, which related to the conflict. Those intellectual are Abdurrahman Wahid then Hidayat Nur Wahid, and from the Christians Andreas Anangguru Yewangoe and Benny Susetyo. Commonly, the respondents point of view obviously visible that the conflict between Israel and Palestine is not a matter of religion, the respondents point of view focus on that the Israel and Palestine conflict is a political conflict, even if the religion sentimental often attached on the respondents point of view, especially among the Moslem. But even thought, because the conflict is an "universal" conflict and have an humanity dimension so that the reason why the Christian side got sympathy to the effort of the Palestinian, not because the religion factor, but the humanity factor that must be supported, the respondents obviously viewed that Palestine is becoming the object of harassment and etc."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T15144
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ajeng Rizqi Rahmanillah
"Skripsi ini membahas pengaruh pemerintahan konservatif Likud di Israel terhadap konflik yang terjadi antara Israel-Palestina dalam kurun waktu tahun 1996 sampai tahun 2003. Kerangka teori yang akan digunakan sebagai analizing tools dalam skripsi ini adalah teori konflik, konsep konservatif, dan teori zionisme. Penelitian dalam skripsi ini merupakan penelitian kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Konservatif Likud di Israel memegang teguh prinsip zionisme yaitu menciptakan Eretz Yisrael atau Tanah Israel di Palestina. Untuk mewujudkan citacitanya tersebut, Pemerintahan konservatif Likud membangun pemukiman Yahudi di wilayah pendudukan. Selain itu, Pemerintahan Likud tidak mau berkompromi masalah Jerusalem. Bagi Likud, Yerusalem merupakan ibu kota Israel yang tidak terbagi. Konservatisme Likud telah membawa pengaruh terhadap proses perdamaian Israel-Palestina. Pemerintahan Likud mengubah landasan perdamaian land for peace menjadi land for security. Perubahan landasan ini telah meminimalisasikan jalur perundingan sebagai upaya perdamaian sehingga tidak tercapai sebuah kesepakatan antara Israel dan Palestina. Selain itu, landasan land for security telah meningkatkan tingkat eskalasi konflik dengan penggunaan instrumen kekerasan dan bom bunuh diri dalam konflik Israel-Palestina.

The focus of this graduation project is the impact of the Likud conservative government in Israel against the conflict betwen Israel and Palestine that accured in the 1996 to 2003. Theoretical framework that would be used as analizing tools this research are theory of conflict, conservative concepts, and theory of Zionism. The Research is a qualitative with descriptive analyzing. The conservative Likud in Israel took for granted the Zionism that is to establish Eretz Yisrael or the Land of Israel in Palestine. To reveal thus goal, Likud goverment built the Jewish settlements in the occupied territories even. In addition, the Likud Government would not compromise for the Jerusalem status. For Likud, Yerusalem is such not undivided and absolutly belong to Israel. Likud conservatism has brought theinfluence of the Israel-Palestinian peace process. Likud Government has changed the base line of peace process from "Land for Peace" into "Land for Security". This alteration has minimized the negotiation path as a way to create peace. Hence the agreement is unreachable. In addition to Land for Security has increased theconflict escalation within coercion instrument."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2009
S13193
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dionnisius Elvan Swasono
"Israel pada masa pemerintahan Yitzhak Rabin yang kedua (1992-1995) cukup menarik untuk diamati karena selama tiga tahun masa pemerintahan tersebut Israel banyak mengeluarkan kebijakan yang cukup kondusif bagi perdamaian di Timur Tengah. Salah satu kebijakan Israel tersebut adalah kesediaannya mengadakan perundingan damai secara Iangsung dengan PLO, organisasi yang selama ini dipandangnya sebagai organisasi teroris. Perundingan ini menghasilkan Declaration of Principles (DoP) yang ditandatangani di Washington DC, AS pada ianggal 13 September 1993, Masyarakat dunia berharap DoP dapat menjadi latigkah awal bagi peayelesatan konflik Israel-Palestina secara menyeluruh. Poin penting dari DoP adalah kesediaan Israel memberi otonomi kepada Otoritas Palestina di Jalur Gaza dan kota Jericho. Otonomi ini juga akan diberlakukan di wilayah-wilayah Tepi Barat lainnya. Berdasarkan pada teori kebijakan luar negeri yang mengatakan bahwa faktor pemimpin sangat berperan dalam proses pembuatan kebijakan luar negeri (foreign policy decision making), maka permasalahan utama yang penulis angkat dalam penelitian ini adalah faktor-faktor infernal dan ekstemal apa saja yang telah mendorong Yitzhak Rabin sehingga pada masa pemerintahannya yang kedua dia banyak mengeluarkan kebijakan yang cukup kondusif bagi perdamaian di Timur Tengah khususnya dalam konteks penyelesaian konflik Israel-Palestina. Penelitian dalam tesis ini adalah penelitian kualitatif dengan jenis case studies. Paradigma penelitian ini adalah konstruktivisme. Data-data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data-data primer dan sekunder yang diperoleh melalui studi dokumentasi. Data-data tersebut kemudian dianalisa dengan metode hermeneutic interpretative. Dalam penelitian studi hubungan intemasional dikenal tiga tingkatan analisa yaitu reduksionis, korelasionis, dan induksionis. Dalam penelitian ini, tingkat analisa yang dipakai adalah tingkat analisa reduksionis. Dan data-data yang ada, dapat diketahui bahwa terdapat empat faktor penting yang mendorong Yitzhak Rabin memberikan konsesi otonomi kepada pihak Palestina yang merupakan bagian dari kebijakan pro perdamaiannya, yaitu: faktor prinsip tanah untuk perdamaian (land for peace); faktor adanya keiiiginan untuk menjaga kernumian Israel sebagai negara Yahudi yang demokratis; faktor keamanan; dan dukungan publik Israel."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T15042
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Puri Yuanita
"Skripsi ini mengkaji wacana berita konflik Israel-Palestina dalam surat kabar Kompas dan Media Indonesia dengan menggunakan pendekatan analisis wacana kritis untuk mengetahui sekaligus membandingkan pandangan, keberpihakan, dan strategi wacana kedua surat kabar (Kompas dan Media Indonesia). Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif, berupa metode analisis wacana kritis yang diterapkan oleh Norman Fairclough, yang menitikberatkan analisis pada analisis teks, analisis praktik wacana, dan analisis praktik sosial budaya. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa terdapat perbedaan keberpihakan dan strategi wacana antara Kompas dan Media Indonesia yang termanifestasi ke dalam bentuk-bentuk kebahasaan di dalam teks berita.

This research is about the critical discourse analysis of news discourse (about conflict Israel-Palestine) in the national newspapers, Kompas and Media Indonesia. The purpose of this study is to understand the worldview of Kompas and Media Indonesia about conflict Israel-Palestine or crisis in Gaza, and to compare the discourse strategy that they use to indicate implicitly their view in the text. This research uses qualitative method, that is the critical discourse analysis method proposed by Norman Fairclough. The result indicates that there is difference view and discourse strategy between Kompas and Media Indonesia."
Depok: Universitas Indonesia, 2009
S11023
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Muta`ali
"ABSTRAK
Penelitian ini dilatarbelakangi selarasnya desain linguistik pada teks agama dengan solusi diplomasi terhadap konflik Israel-Palestina. Sejak konflik kedua bangsa ini tahun 1947 sampai hari ini, secara konteks geopolitik bahwa solusi hadirnya perdamaian di kedua wilayah ini yaitu dengan mempersamakan persepsi internasional terhadap konflik ini sebagai pihak mediator. Pasalnya, adanya keselarasan dengan desain linguistik pada teks ayat Al-Qur'an yang selalu 'menggunakan bentuk plural. Menariknya, jumlah masyarakat Yahudi di dunia 15 juta jiwa, dibandingkan dengan Indonesia 250 juta jiwa, tapi Al-Qur'an tidak pernah menggunakan pronomina bagi Yahudi sebagai kelompok minoritas bahkan selalu disebutkan mayoritas seperti. Sumber data yang digunakan adalah Al-Qur'an dan hadits nabi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah menganalisis data-data kepustakaan dengan pendekatan content analysis. Hipotesis dari penelitian ini menduga bahwa adanya perbedaan teks dan konteks yang dilakukan dalam upaya penyelesaian konflik Israel-Palestina serta solusi perdamaian dua negara."
ICSGS Internasional Proceeding,
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Farah Nabila
"This study discusses the jurisdiction of International Criminal Court, as the permanent criminal court whose jurisdiction covers international criminal acts, with regard to the conflict between Palestine and Israel in Gaza Strip. Palestine and Israel are often involved in a conflict in Gaza Strip, most notably in 2009 and 2012. The aftermath of the two conflicts suggested several indications of internatioanl criminal acts conducted by two States, however no measures have been taken thus far in response to such indications. On 1 April 2015, Palestine has officialy become the State Party of International Criminal Court. This raises the question of the possibility of International Criminal Court?s jurisdict ion over the two notable conflicts in Gaza Strip. The author concluded that International Criminal Court does not have jurisdiction over the conflict between Palestine and Israel in Gaza Strip.

Skripsi ini membahas mengenai yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional, sebagai pengadilan pidana permanen yang memiliki yurisdiksi terhadap tindak pidana internasional, atas konflik antara Palestina dan Israel di Jalur Gaza. Palestina dan Israel kerap terlibat dalam konflik bersenjata dalam wilayah Jalur Gaza, diantaranya pada tahun 2009 serta 2012. Dalam kedua periode konflik tersebut terdapat beberapa indikasi adanya tindak pidana internasional yang dilakukan oleh kedua negara, namun belum terdapat proses pengadilan apaun terkait dengan indikasi tersebut. Pada 1 April 2015, Palestina secara resmi telah menjadi negara anggota dari Mahkamah Pidana Internasional. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan mengenai yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional terkait dengan konflik di Jalur Gaza yang melibatkan salah satu negara anggotanya tersebut. Penulis menyimpulkan bahwa hingga saat ini, Mahkamah Pidana Internasional belum memiliki yurisdiksi atas konflik antara Palestina dan Israel di Jalur Gaza."
Depok: Universitas Indonesia, 2015
S60570
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lalu Suryade
"Kunjungan Ariel Sharon ke Masjid Al Aqsa di Yerusalem pada 28 September 2000 menimbulkan gelombang kekerasan Israel-Palestina. Peristiwa tersebut mendorong munculnya gerakan perlawanan Intifadah II yang lebih dikenal dengan sebutan "Intifadah Al-Aqsa". Meskipun terjadi gelombang kekerasan dan memunculkan gerakan Intifadah Al Aqsa, Sharon justru mencapai puncak karirnya dengan menjadi perdana menteri setelah memenangkan pemilu 6 Pebruari 2001.
Selama masa pemerintahannya, Sharon tidak melanjutkan proses perundingan damai dengan Palestina, sebagaimana yang pernah diupayakan perdana menteri sebelumnya, sejak Yitzhak Rabin hingga Ehud Barak. Kebijakan politik luar negerinya dalam menghadapi Palestina bersifat unilateral dan menggunakan kekerasan militer (use of force). Tetapi, dalam pemilu yang dipercepat pada 28 Januari 2003, Sharon kembali mengalahkan kandidat Partai Buruh dalam perebutan jabatan perdana menteri.
Kebijakan unilateral dan penggunaan kekerasan militer yang dilakukan PM Ariel Sharon didukung setidaknya oleh lima faktor, yaitu: pertama, ideologi Zionisme yang mematok target mendapatkan "Eretz Yisrael" dengan Yerusalem sebagai ibukota abadi dan tak terbagi. Kedua, adanya tekanan politik domestik dengan kecendrungan menguatnya kelompok kanan dan bangkitnya fundamentalisme Zionis Yahudi yang tidak menghendaki pemberian konsesi apapun bagi Palestina, termasuk tanah yang diduduki pada perang 1967. Ketiga, adalah efek kampanye "Global War against Terrorism". Kampanye yang dikumandangkan oleh Presiden AS, George W. Bush menjadi legitimasi dan pembenaran yang lebih kuat bagi Israel untuk melakukan tindakan unilateral dan "use of force". Keempat, merupakan faktor politik strategis Israel untuk meningkatkan bargaining politik, dan melemahkan posisi politik Palestina. Dan, faktor kelima adalah adanya hambatan psikologis antara Ariel Sharon dengan Yasser Arafat yang sejak lama terlibat dalam permusuhan politik."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T11838
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>