Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10268 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
S8140
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fatimatul Ula
"Tesis ini membahas strategi yang digunakan Cina dalam mempertahankan kepentingannya di Myanmar. Dan bagaimana strategi tersebut jika dibandingkan dengan strategi yang digunakan ASEAN. Dengan menggunakan soft power sebagai kerangka teorinya, tesis ini mencoba menjawab pertanyaan tersebut dilihat dari aspek ekonomi, politik, dan militer. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua strategi yang digunakan Cina lebih efektif bila dibandingkan dengan strategi yang digunakan ASEAN. Hal ini dikarenakan semua strategi yang digunakan Cina dapat memenuhi kebutuhan politik, militer, dan ekonomi Myanmar. Strategi yang digunakan Cina adalah strategi politik non-intervention, strategi ekonomi dengan kerjasama bilateral dan pemberian bantuan dan pinjaman, strategi militer dengan kerjasama persenjataan, dan juga strategi kontekstual HAM Cina.

This study is focuced on the strategy used by Cina in keeping his national interest in Myanmar. Moreover, this study also compares the strategy used by Cina and ASEAN. Soft power is used as the theory framework to get the answer of thi study. The result of this study shows that all the strategy that Cina used are more efective that the ASEAN's. It is because those strategy fulfill what Myanmar need. Those strategoes are non-intervention, bilateral cooperation, aids, and loans; arms trade cooperation, and also contextual Cina's human rights."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2011
T28925
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Lukman Oesman
"Skripsi ini membahas tentang pengaruh dari penandatanganan Piagam ASEAN pada tahun 2007 terhadap dinamika politik di Myanmar. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan menjelaskan perilaku aktor-aktor politik pada proses penandatanganan dan berlakunya Piagam ASEAN dalam konteks dinamika politik di Myanmar. Piagam ASEAN yang ditandatangani pada tahun 2007 mencantumkan nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia sebagai identitas dan tanggung jawab setiap negara anggota, sedangkan di sisi lain tidak keseluruhan negara anggota, terutama Myanmar, memiliki pandangan yang seragam mengenai kedua nilai tersebut. Penelitian ini berhasil menemukan bahwa Piagam ASEAN telah memberi ruang yang terbatas dalam mendesak pemerintahan junta militer Myanmar dalam melakukan liberalisasi politik. Lewat Piagam ASEAN, legitimasi internasional dan stabilitas dari proses liberalisasi politik di Myanmar dapat terlaksana secara terbatas.

This thesis discusses the influence of the ASEAN Charter signing in 2007, the political dynamics in Myanmar. This study used qualitative methods to explain the behavior of political actors in the process of signing and entry into force of the ASEAN Charter in the context of the political dynamics in Myanmar. ASEAN Charter signed in 2007 include the values of democracy and human rights as the identity and responsibility of each member state, while on the other hand not all member countries, particularly Myanmar, has a unified view of the two values. This study has found that the Charter has given the limited space in urging Myanmar's military junta government in conducting political liberalization. Through the ASEAN Charter, international legitimacy and stability of the process of political liberalization in Myanmar can be implemented on a limited basis."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
S47394
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vedi Kurnia Buana
"Sampai dengan awal tahun 1990, tidak pernah terbayangkan bahwa sebuah negara yang masih menganut ideologi sosialis-komunis seperti Vietnam dapat menjadi anggota ASEAN. Diterimanya Vietnam sebagai anggota ke-7 ASEAN tentunya tidak terjadi begitu saja, melainkan melalui serangkaian proses yang panjang. Proses ini melibatkan kedua belah pihak, yaitu Vietnam sendiri dan organisasi regional ASEAN.
Tesis ini akan berusaha menjawab permasalahan utama yang menjadi dasar penulisan ini, yaitu seberapa jauh perubahan kebijakan luar negeri Vietnam yang ditujukan ke ASEAN dan bagaimana ASEAN sendiri merespon perubahan tersebut sehingga akhirnya Vietnam diterima sebagai anggota ASEAN ke-7.
Sebagai alat bantu dalam analisa, digunakan beberapa teori yang pada pokoknya adalah melihat bagaimana melihat perubahan politik luar negeri Vietnam dapat terjadi. Perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan eksternal maupun internal ternyata membawa pengaruh yang besar terhadap kebijakan politik luar negeri suatu negara,, atau dengan kata lain, perubahan yang terjadi tersebut akan mempengaruhi setiap perumusan politik luar negeri. Perubahan-perubahan yang terjadi tersebut membawa implikasi pada strategi/gaya suatu negara terhadap negara lainnya.
Fenomena politik luar negeri juga dapat dilihat sebagai suatu tingkah laku yang adaptif. Politik Luar Negeri suatu negara dikatakan adaptif, apabila politik luar negeri itu mampu menghadapi/menstimulasi perubahan-perubahan pada lingkungan eksternal dari suatu mayarakat yang memberi kontribusi terhadap upaya-upaya untuk mempertahankan struktur esensial dari suatu society di dalam batas-batas yang dapat diterima.
Dari analisa berbagai fakta yang ada, dapat dirumuskan suatu kesimpulan bahwa perubahan struktur sistem internasional seiring meredanya Perang Dingin membawa beberapa konsekuensi bagi para pemimpin Vietnam untuk mengkaji ulang kebijakan politik luar negerinya. Secara umum perubahan perilaku Vietnam ini memberikan konsekuensi pada lebih adaptifnya pola hubungan luar negeri Vietnam, terutama dengan negara-negara tetangga terdekat yang tergabung dalam ASEAN. Runtuhnya Uni Soviet di tahun 1991 semakin memacu Vietnam untuk membuka diri dan adaptif di lingkungan konsentrisnya yang selama ini selalu bercirikan konfrontasi.
Format baru kebijakan luar negeri Vietnam yang adaptif terhadap lingkungan terdekatnya ditandai dengan serangkaian tindakan dan kebijakan yang mendorong negara-negara tetangga yang tergabung dalam ASEAN tidak lagi memandang Vietnam sebagai ancaman. Rangkaian tindakan dan kebijakan tersebut didorong oleh hasrat Vietnam untuk menjadi anggota ASEAN, guna mendapatkan keuntungan di bidang ekonomi dan politik. Vietnam menyadari bahwa ASEAN yang baru adalah mengejar tujuan-tujuan ekonomi, dan pencapaian tujuan tersebut secara tradisional dirujukkan oleh ASEAN dengan terlebih dahulu menciptakan stabilitas, bukan tuntutan semacam demokratisasi atau turut campur dalam aspek-aspek kehidupan negara lainnya. Pertimbangan ASEAN yang utama dalam menerima Vietnam sebagai anggota adalah untuk menghindarkan konflik baru, mengadakan kerjasama ekonomi yang sating menguntungkan, dan mengajak untuk mengembangkan stabilitas kawasan yang selama ini sulit diwujudkan karena penentangan Hanoi. Selain itu, keanggotaan Vietnam di ASEAN juga diacukan sebagai strategi dalam mewujudkan cita-cita ASEAN selama ini untuk membentuk ASEAN-10, yaitu ASEAN yang beranggotakan seluruh negara anggota kawasan Asia Tenggara."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T926
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1975
S5440
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"
"
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
S8099
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wildan
"Penelitian ini berusaha untuk memahami dan menjelaskan berbagai faktor atau alasan apa yang membuat Cina berupaya meningkatkan hubungan kerjasama ekonomi dengan ASEAN dan bagaimana hubungan kerjasama itu berlangsung antara tahun 1998 hingga 2003. Untuk mengamati hal ini, penulis menggunakan pendekatan neo-realis dengan didasarkan pada landasan teoritik tentang kepentingan nasional dan konsep saling ketergantungan.
Hipotesis dalam penelitian ini adaiah bahwa peningkatan kerjasama ekonomi yang dilakukan Cina dengan ASEAN merupakan bagian tidak terpisahan dari upaya Cina dalam mewujudkan kepentingan nasionalnya, terutama dalam hal penguasaan pasar intemasional dan untuk mcmpermudah mendapatkan akses bahan mentah. Untuk mewujudkan itulah Cina bemsaha menggandeng ASEAN, bahkan kedua pihak memperkuat hubungan ilu dalam bentuk kelembagaan dengan mendesainnya kedalam China-ASEAN Free Trade Area (CAFTA), yaitu suatu kerjasama ekonomi yang menciptakan wilayah perdagangan bebas antara kedua pihak.
Hasil peneiitian yang ditemukan menunjukkan bahwa ternyata Cina meningkatkan hubungan kerjasama ekonomi dengan ASEAN dengan berbagai dorongan tertentu, yang juga merupakan bagian tidak terpisahkan dari kepentingan nasionalnya, yaitu (1) adanya keinginan Cina untuk meneruskan kebijakan reformasi ekonominya (2) karena kebijakan Cina yang memang menempatkan ASEAN sebagai bagian dari negara tetangga yang baik (3) karena kedekatan geografis dan sejarah antara Cina dengan ASEAN (4) karena keterbatasan bahan mentah yang Cina (5) karena pada saal yang sama ASEAN juga ternyata memiliki kehendak yang kuat untuk menjalin hubungan ekonomi yang lebih erat dengan Cina (6) karena Cina mempunyai keinginan yang kuat untuk menggantikan posisi hegemoni ekonomi Jepang di ASEAN.
Perlu disampaikan juga bahwa hubungan kerjasama ekonomi yang dilakukan Cina dengan ASEAN dalam periode 1998 hingga 2003 temyala terbukti perdagangan intemasional dan aktivitas penanaman modal asing yang dilakukan oleh kedua belah pihak. Dalam konteks ini terlihat bahwa dari tahun ke tahun terdapat kenaikan volume perdagangan yang disertai dengan adanya keuntungan timbal balik antara kedua belah pihak dalam melakukan hubungan ekonomi tersebut."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T 22154
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Razaq Z. Cangara
"[ABSTRAK
Sebagai negara maju dan anggota OECD, Australia merupakan negara yang
sangat aktif berkontribusi dalam pembangunan internasional dan pemberantasan
kemiskinan melalui pemberian ODA (Official Development Assistance). Dalam
rangka mengakselerasi tujuan ODA tersebut, Australia mengadopsi dan
mengintegrasikan kebijakan Aid for Trade (AfT) yang secara internasional
diluncurkan pada WTO Hongkong Declaration 2005 kedalam kebijakan bantuan
luar negerinya pada tahun 2006. Kebijakan ini diambil dengan prinsip bahwa
negara maju dapat membantu negara berkembang keluar dari kemiskinan dengan
meningkatkan kapasitasnya dalam perdagangan internasional. Berbasis hal ini,
sejak 2006, Australia mengimplementasikan kebijakan AfT dengan fokus regional
di negara-negara ASEAN melalui bantuan infrastruktur, teknis, dan peningkatan
kapasitas dengan inisiatif Greater Mekong Subregion Trade and Transport
Facilitation (GMS TTF), ASEAN Australia Development Cooperation
Partnership Phase II (AADCP II), dan ASEAN-Australia-New Zealand Free
Trade Agreement Economic Cooperation Support Program (AAZNFTA ECSP).
Berdasarkan hal ini, bila kebijakan AfT Australia ditujukan untuk membantu
negara berkembang keluar dari kemiskinan, fokus regional Australia dalam
kebijakannya tersebut dinilai timpang dengan kenyataan problematika kemiskinan
yang lebih besar terjadi di kawasan lain seperti Afrika. Lebih daripada itu, jika
dinilai dari aspek perdagangan internasional, tidak semua negara ASEAN
merupakan mitra utama perdagangan dua arahnya. Hal ini menimbulkan
pertanyaan mengapa ASEAN menjadi fokus dalam kebijakan AfT Australia ini.
Penelitian ini ditujukan untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan menilai
aspek kepentingan Australia dalam kebijakan luar negerinya terhadap ASEAN
dengan kerangka konsep geoekonomi. Dalam pembahasannya, metode kualitatif
akan digunakan untuk menjelaskan kepentingan geoekonomi Australia dalam
kebijakan AfT-nya di ASEAN (periode 2006-2014). Analisis kepentingan
geoekonomi Australia ini kemudian didasarkan pada tiga hal, yakni: 1)
konektivitas perdagangan internasional Australia lintas kawasan, dimana akan
membahas kepentingan Australia atas jalur perdagangan strategis di ASEAN yang
menghubungkannya kepada mitra dagang utamanya; 2) posisi Australia dalam
arsitektur ekonomi regional yang akan mengkaji keterlibatan Australia dalam
proses pembentukan dan pemanfaatan perjanjian perdagangan bebas baik bilateral
maupun regional, dimana kebijakan AfT Australia sebagai katalis dalam usaha
tersebut; dan 3) potensi ekonomi ASEAN bagi Australia di abad Asia dengan
penekanan pada potensi demografi ASEAN dan relasi investasi asing langsung
(Foreign Direct Investment/FDI) antara kedua pihak.

ABSTRACT
Australia, as developed country and member of OECD, is a country which
actively contributes to international development and poverty eradication efforts
via providing ODA (Official Development Assistance). In order to expedite the
goal of its ODA, Australia adopts and integrates the Aid for Trade (AfT) policy
which was internationally lauched at the WTO Hongkong Declaration 2005 to its
aid policy in 2006. This policy was adopted with the principle of which developed
countries could assist developing countries to leave poverty by increasing their
capacity in international trade. Based on this, since 2006, Australia has been
implementing AfT policy with regional focus towards ASEAN countries through
infrastructure and technical assistance, as well as capacity building with the
initiatives of Greater Mekong Subregion Trade and Transport Facilitation (GMS
TTF), ASEAN Australia Development Cooperation Partnership Phase II (AADCP
II), and ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Agreement Economic
Cooperation Support Program (AAZNFTA ECSP). In regards of this policy, if
Australia’s AfT policy is directed to assist developing country to leave out
poverty, the regional focus of Australia is considered to be inappropriate
pertaining to the fact that the problem of poverty is bigger in another region, such
as in Africa. Moreover, if it is considered from international trade aspect, it is not
all of ASEAN countries which is the main two-way trading partner of Australia.
This matter then rises question why ASEAN become the focus in Australia’s AfT
policy.
This research is adressed to answer that question by considering the aspect
of Australia’s interest in its foreign policy towards ASEAN with the conceptual
framework of geoeconomics. Inside of explanation, the qualitative methode would
be used to explain Australia’s geoeconomic interest in AfT policy in ASEAN
(period of 2006-2014). The analysis of geoeconomic interest would then be
established upon three things, which are: 1) the connectivity of Australia’s
international trade across the region, which would explain Australia’s interest
upon strategic trade pathways in ASEAN which connect Australia to its main
trade partner; 2) Australia’s position in the regional economic architecture, which
would further analyze Australia’s engagement in the process of establishing and
utilizing free trade agreement bilaterally an regionally by which the AfT policy
plays a role as catalyst towards those efforts; and 3) the ASEAN economic
potential for Australia in the Asian century with the emphasis on demographic
potential of ASEAN as well as foreign direct investment (FDI) relation on both
parties., Australia, as developed country and member of OECD, is a country which
actively contributes to international development and poverty eradication efforts
via providing ODA (Official Development Assistance). In order to expedite the
goal of its ODA, Australia adopts and integrates the Aid for Trade (AfT) policy
which was internationally lauched at the WTO Hongkong Declaration 2005 to its
aid policy in 2006. This policy was adopted with the principle of which developed
countries could assist developing countries to leave poverty by increasing their
capacity in international trade. Based on this, since 2006, Australia has been
implementing AfT policy with regional focus towards ASEAN countries through
infrastructure and technical assistance, as well as capacity building with the
initiatives of Greater Mekong Subregion Trade and Transport Facilitation (GMS
TTF), ASEAN Australia Development Cooperation Partnership Phase II (AADCP
II), and ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Agreement Economic
Cooperation Support Program (AAZNFTA ECSP). In regards of this policy, if
Australia’s AfT policy is directed to assist developing country to leave out
poverty, the regional focus of Australia is considered to be inappropriate
pertaining to the fact that the problem of poverty is bigger in another region, such
as in Africa. Moreover, if it is considered from international trade aspect, it is not
all of ASEAN countries which is the main two-way trading partner of Australia.
This matter then rises question why ASEAN become the focus in Australia’s AfT
policy.
This research is adressed to answer that question by considering the aspect
of Australia’s interest in its foreign policy towards ASEAN with the conceptual
framework of geoeconomics. Inside of explanation, the qualitative methode would
be used to explain Australia’s geoeconomic interest in AfT policy in ASEAN
(period of 2006-2014). The analysis of geoeconomic interest would then be
established upon three things, which are: 1) the connectivity of Australia’s
international trade across the region, which would explain Australia’s interest
upon strategic trade pathways in ASEAN which connect Australia to its main
trade partner; 2) Australia’s position in the regional economic architecture, which
would further analyze Australia’s engagement in the process of establishing and
utilizing free trade agreement bilaterally an regionally by which the AfT policy
plays a role as catalyst towards those efforts; and 3) the ASEAN economic
potential for Australia in the Asian century with the emphasis on demographic
potential of ASEAN as well as foreign direct investment (FDI) relation on both
parties.]"
2015
T44548
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Chitra Likita
"ABSTRAK
Berkembangnya hukum internasional telah merubah prinsip kedaulatan, ia tidak dapat dijadikan alasan bagi suatu pemerintah negara untuk tidak memberikan perlindungan hak asasi manusia kepada penduduknya. Doktrin intervensi humaniter yang ada, masih menimbulkan keresahan di kalangan komunitas masyarakat internasional. Berangkat dari hal tersebut timbulah gagasan doktrin Responsibiliy to Protect R2P untuk memberikan justifikasi baru terhadap intervensi kepada suatu negara yang telah nyata gagal untuk melindungi penduduknya dari 4 empat kejahatan, yakni: genosida, war crimes, crimes against humanity, dan ethnic cleansing. Penelitian ini lantas menganilis mengenai tindakan kejahatan berat yang terjadi pada etnis Rohingya di Myanmar serta kemungkinan ASEAN untuk menerapkan doktrin R2P tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah dimungkinkannya ASEAN untuk menerapkan R2P kepada pemerintah Myanmar, sebab pemerintah Myanmar telah terbukti melakukan dan memenuhi unsur ndash; unsur dari tindakan kejahatan berat genosida dan crimes against humanity yang diatur pada hukum internasional yang merupakan syarat ndash; syarat untuk diadakannya R2P. Pemerintah Myanmar juga dinilai tidak mampu memenuhi tanggung jawabnya untuk melindungi dan menjadi pelaku kejahatan itu sendiri, maka tanggung jawab tersebut dapat berpindah kepada komunitas internasional dalam hal ini ialah ASEAN.ABSTRACT
As the international law develops, sovereignty now cannot be deemed as granting impunity for the government to not protect their citizen s human rights. Humanitarian intervention doctrine is still lacks of support from the international community. Departing from that, the Responsibiliy to Protect R2P comes to serve a new justification for a State who is failed to protect its citizen from 4 four violations, such as genocide, war crimes, crimes against humanity, and ethnic cleansing. This study thus seeks to analyse gross violation that happen to ethnic Rohingya in Myanmar along with possibility of implementing R2P by ASEAN. The method used in this study is normative method study. This study then found the possibility of ASEAN to implement R2P for Myanmar s government, due to its action and fulfilment of the elements of gross violation genocide and crimes against humanity that stipulated in international law as the requirements of R2P implementation. Myanmar s government might be judged for has no capability to comply its responsibility to protect and becomes the perpetrator itself. Subsequently, the responsibility may devolve to international community especially ASEAN for this case."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
T50348
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anastasia Artantri Widyautami
"Kudeta militer Myanmar pada 1 Februari 2021 sebagai penggagalan hasil Pemilu 2020 Myanmar menjadi fenomena yang menggemparkan di Asia Tenggara hingga seluruh dunia. Berbagai aksi protes dan perlawanan dari masyarakat sipil, EAOs, dan PDF terhadap militer Myanmar (SAC) kian memperkeruh situasi keamanan dan kondisi kemanusiaan di Myanmar. ASEAN merespons krisis tersebut dengan menunjuk Utusan Khusus untuk Myanmar demi mengupayakan mediasi antara pihak-pihak berkonflik, sejalan dengan konsensus bersama yang tertuang dalam Five-Point Consensus (FPC). Akan tetapi, mediasi belum tercapai hingga akhir Keketuaan Indonesia di ASEAN pada tahun 2023. Menanggapi fenomena tersebut, skripsi ini mempertanyakan mengapa Utusan Khusus ASEAN untuk Myanmar belum berhasil memediasi pihak-pihak berkonflik dalam krisis Myanmar sejak 2021 setelah melewati tiga Keketuaan ASEAN. Dengan menggunakan kerangka analisis special envoy communication-based approach, penelitian ini menemukan bahwa faktor kemampuan Utusan Khusus ASEAN dalam menginisiasi diskusi dan negosiasi, serta struktur dan pendekatan trust-building ASEAN yang menentukan arah gerak dan capaian Utusan Khusus berpengaruh terhadap keberhasilan upaya memediasi pihak-pihak berkonflik di Myanmar. Lebih lanjut, disimpulkan bahwa mediasi tidak tercapai jika salah satu indikator saja dalam kerangka analisis tidak terpenuhi, seperti transparansi yang luput diperhatikan ketika menjelang Jakarta Informal Meeting November 2023.

The Myanmar military coup on February 1, 2021, following the 2020 Myanmar elections, was a shocking event in Southeast Asia and globally. Protests and resistance from civil society, EAOs, and PDF against the Myanmar military (SAC) have worsened the security situation and humanitarian conditions in Myanmar. In response to the crisis, ASEAN appointed a Special Envoy for Myanmar to mediate between the conflicting parties, as outlined in the Five-Point Consensus (FPC). Despite efforts spanning three ASEAN Chairmanships, including Indonesia's leadership until 2023, mediation efforts have not achieved the intended outcomes. This study aims to understand why the ASEAN Special Envoy for Myanmar has not been successful in mediating the Myanmar crisis after passing through three ASEAN Chairmanships. Using the special envoy communication-based approach as the analytical framework, this research found that the special envoy’s ability to initiate discussions and negotiations, as well as the influence of ASEAN's structure and trust-building approach, determines the success of efforts to mediate all parties concerned in Myanmar. Furthermore, this study concludes that successful mediation hinges on meeting each aspect of this framework; for instance, transparency, notably lacking when approaching the Jakarta Informal Meeting in November 2023."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>