Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 167447 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Supriyanto
Depok: Universitas Indonesia, 2006
S8150
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Antony S.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
S26159
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syifa Fauziah
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2010
S8235
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ratna Septianauli D.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
T25099
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Chery Sidharta
"Upaya panjang mencari penyelesaian damai konflik di Filipina Selatan melibatkan intervensi dua negara yang berbeda, Libya dan Indonesia, yang berperan sebagai mediator, dalam kerangka Organisasi Konferensi Islam. Namun dalam menjalankan perannya kedua negara tersebut memiliki keberhasilan yang berbeda. Hal ini menarik untuk ditelaah lebih jauh terutama memahami apa yang menjadi pembeda keberhasilan antara Indonesia dan Libya sebagai pihak ketiga dalam penyelesaian konflik antara Pemerintah Filipina dan MNLF di Filipina Selatan, dan bagaimana perbedaan itu dapat terjadi.
Dalam penelitian ini dipergunakan konsep Oran Young dan Marvin Ott bahwa keberhasilan mediasi dalam resolusi konflik antara lain tergantung pada kapabilitas mediator yaitu ketidakberpihakan, independensi dan leverage.
Konsep lain yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah konsep Brian Frederking, Andrea Pyatt dan Shaun Randol yaitu, peran jenis aktoraktor regional (Indonesia) dan ekstra-regional (Libya)-dalam upaya mediasi. Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan tujuan untuk memperoleh pemahaman mendalam mengenai mengenai keberhasilan peran pihak ketiga dalam resolusi konflik, dengan mengambil kasus mediasi Libya dan Indonesia dalam penyelesaian konflik di Filipina Selatan.
Jenis penelitian ini adalah deskriptif-analitis.
Unit analisis penelitian ini adalah negara.
Hasil penelitian mengindikasikan bahwa perbedaan kapabilitas antara Indonesia dan Libya memiliki hubungan terhadap resolusi konflik di Filipina Selatan, terutama faktor persepsi keberpihakan atau ketidakberpihakan, ketergantungan, penerimaan dan leverage kedua negara oleh aktor yang memiliki kemampuan menentukan dalam konflik, dalam kasus ini Pemerintah Filipina.
Lebih jauh ini mengindikasikan bahwa efektifitas peran pihak ketiga sebagai mediator dalam konflik ditentukan oleh sifat konflik (internalminoritas) dan distribusi kekuatan (power) antara pihak-pihak yang bertikai."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T7216
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Luh Kerti Maryasih
"Tesis ini menganalisa tentang intervensi yang dilakukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam proses penyelesaian konflik Kamboja periode tahun 1991-1993. Konflik yang terjadi di Kamboja memang sangat unik, dimana konflik yang tadinya bersifat lokal berkembang menjadi regional dan dengan terlibatnya negara-negara besar seperti, Amerika Serikat dan Uni Soviet yang mendukung fraksi-fraksi yang ada di Kamboja konfliknya berkembang menjadi berskala internasional.
Upaya-upaya kearah penyelesaian konflik tersebut telah lama dilakukan oleh organisasi regional ASEAN yang merasa khawatir akan meluasnya konflik sampai mengancam keamanan kawasan, namun usaha ASEAN tersebut tidak membuahkan hasil yang diharapkan. PBB juga telah turun tangan untuk mengatasi konflik yang semakin rumit, namun juga tidak membuahkan hasil yang memuaskan, bahkan keadaan semakin tidak terkendali dengan terlibatnya China dan Uni Soviet yang memberikan dukungan kepada masing-masing fraksi di Kamboja.
Melihat kegagalan dari upaya-upaya perdamaian tersebut, DK-PBB mulai tahun 1990 secara lebih serius menangani masalah Kamboja. MeIalui perjanjian Paris dihasilkan suatu kerangka kerja untuk PBB dan disepakati dibentuknya Supreme National Council (SNC). SNC merupakan lembaga tertinggi sebagai wakil Kamboja dalam organisasi-organisasi atau lembaga-lembaga yang keanggotaannya terdiri dari masing-masing fraksi. Masing-masing fraksi juga akhirnya menyetujui dibentuknya UNTAC (United Nation Transition Authority on Campuchea) sebagai wakil PBB di Kamboja untuk melaksanakan administrasi Kamboja sebelum terbentuknya pemerintahan yang sah hasil pemilu. Misi UNTAC ini merupakan misi PBB yang termahal dan terbesar selama perang dingin.
Penelitian dalam tesis ini bertujuan untuk menjelaskan keberhasilan intervensi PBB dalam menjalankan misi UNTAC sebagai operasi penjaga perdamaian (PKO) PBB di Kamboja dalam proses penyelesaian konflik.
Teori yang digunakan sebagai alat bantu analisa dalam tesis ini adalah conflict resolution. Conflict resolution merupakan suatu proses yang berkaitan dengan bagaimana menemukan jalan untuk mengakomodasi kepentingan eksplisit dari pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa. Dengan conflict resolution dalam PKO, dimaksudkan bahwa tindakan-tindakan yang dilakukan oleh UNTAC adalah untuk mengurangi eskalasi konflik. Peace keeping dalam hal ini telah memberikan kesempatan kepada para pihak yang berkonflik untuk mencapai persetujuan melalui perundingan, kemudian juga dilakukan tindakan coercion dalam kasus Kamboja melalui intervensi.
Teori intervensi yang mengacu pada pemikian realis dikemukakan oleh Nye, Joseph S.Jr. adalah mengacu pada tindakan eksternal yang mempengaruhi masalah-masalah domestik dari negara lain yang berdaulat. Intervensi yang mengacu pada pandangan realis menurut Joseph Jr. tersebut dapat dibenarkan ketika ia diperlukan untuk memperkuat balance of power dan terciptanya tatanan yang damai (order and peace). Dalam hal ini operasi perdamaian yang dilakukan oleh PBB di Kamboja adalah demi terciptanya perdamaian dan keamanan di wilayah Asia Tenggara sehingga intervensi diperbolehkan.
Operasi penjaga perdamaian PBB di Kamboja merupakan operasi penjaga perdamaian generasi kedua yang bersifat multidimensi. Dimana mandat-madat yang diembannya tidak hanya melibatkan tugas-tugas kemiliteran saja namun lebih luas lagi mencakup demobilisasi dan reintegrasi; perlucutan senjata; bantuan kemanusiaan; dan pemulangan pengungsi; bantuan Pemilu; penegakan HAM; menjaga kearnanan dan ketertiban masyarakat; serta menyapu ranjau darat.
Dari berbagai fakta yang dianalisa dapat ditarik kesimpulan bahwa intervensi PBB dalam proses penyelesaian konflik Kamboja termasuk sukses dengan terlaksananya pemilihan umum yang adil dan bebas sehingga terbentuk suatu pemerintahan yang sah di Kamboja.
"
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T4275
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zubaidah
"Penelitian ini mengangkat peran organisasi perempuan Aceh di tengah konflik Aceh yang didominasi oleh kelompok laki-laki. Peran mereka adalah pemberdayaan perempuan, advokasi dan investigasi perempuan korban konflik. Selain itu, dilakukan pemberdayaan ekonomi, advokasi kebijakan, dan penanganan perempuan di pengungsian. Penelitian ini menggunakan teori Ethics of care dengan pendekatan kualitatif yang menggunakan metode wawancara mendalam dan analisis data sekunder.
Narasumber penelitian sebanyak 15 organisasi yaitu Flower Aceh, KKTGA, YPW. MiSPI, RPuK, Daulat Remaja, Matahari, Balai Syura Inong Aceh, Data Lajuna. ORPAD, Srikandi Aceh, SpuRA, Lampuan Aceh, PIIA dan Perempuan Merdeka.
Temuan lapangan menunjukkan bahwa peran mereka yang lebih dominan adalah menangani dampak konflik. Implikasinya adalah tercipta koalisi perempuan yang kuat di tingkat pusat dan akar rumput; pelibatan perempuan dalam kehidupan sosial dan politik mulai menjadi wacana, munculnya data perempuan sebagai korban konflik; lahirnya revisi kebijakan yang berperspektif perempuan, dan menawarkan alternatif lain dalam penyelesaian konflik Aceh, yaitu pendekatan kepedulian yang tidak melahirkan kekerasan.

The Role Of Acehnese Women Organizations in Armed-Conflict Resolution in AcehThis research investigates the roles of non-governmental Acehnese women's organizations in handling the impacts of armed-conflicts in Aceh. Employing qualitative approach, data are gathered through in-depth interviews and secondary sources and are analyzed against Ethics of Care. Fifteen (I5) women's organizations are selected as subjects: Flower Aceh, KKTGA, YPW, MiSPI, RPuK, Daulat Remaja, Matahari, Balai Syura inong Aceh, Dara Lajuna, ORPAD, Srikandi Aceh, Spurs, Lampuan Aceh, PHIA, and Perempuan Merdeka.
The roles taken by these women's organizations among others are empowering women especially in terms of economics, investigating and advocating women victims of conflicts, taking parts in public policy making process, and tackling women's problems in refugee's (IDPs) camps. Study concludes that they are more intensely involved in addressing the various impacts of the armed-conflicts. This leads to a stronger coalition between women's organizations both in upper and grass root levels; emerging discourse on women's participation in social and political arena; availability of data of women as victims; more women's perspective policy-makings, and most important, the possibility of using Care approach instead of repressive and violent one to resolve the existing conflicts.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T11871
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tubagus Arie Rukmantara
"Setelah kemerdekaan dicapai oleh Indonesia, selain konsolidasi politik dalam negeri, reorientasi kebijakan luar negeri juga menjadi salah satu fokus utama. Hubungan awal Indonesia-Kamboja sudah terjadi sejak masa pra-Angkor saat Raja Jayawannan II tercatat pemah datang ke Jawa meskipun statusnya ketika datang ke Jawa masih menjadi debat diantara pars arkeolog dan sejarawan. Hubungan diplomatik dengan Kamboja jugs diresmikan pads saat pemerintahan Sukarno. Kebijakan Sukarno, baik yang berupa penjalinan hubungan dengan Kamboja maupun menjadi negara yang dominan di Asia Tenggara dilanjutkan oleh penerusnya, Presiden Suharto. Bukti dari berlanjutnya kebijakan Sukarno di era pemerintahan Presiden Suharto untuk tetap mendekatkan diri dengan Kamboja, ditunjukkan oleh Presiden Suharto dengan menjadikan Kamboja sebagai negara Asia Tenggara yang pertama dikunjunginya setelah dia menjabat sebagai Presiden. Maka dan itu, Indonesia menjadi sangat berkepentingan ketika terjadi pergantian kekuasaan dari Pangeran Sihanouk ke Jenderal Lon Nol lewat sebuah kudeta yang didominasi oleh militer di tahun 1970. Beberapa sarjana mempercayai bawwa kudeta ini diinspirasikan oleh peristiwa G 30 S di Indonesia yang dianggap kemenangan militer terhadap komunis. Indonesia tetap menjalin hubungan diplomatiknya dengan langsung mengakui pemerintahan Lon Nol dan tidak mengakui pemerintahan pengasingan Pangeran Sihanouk dengan alasan bahwa Indonesia hanya akan mengakui pemerintahan yang didirikan di ibukota negara yang bersangkutan dan tidak akan pernah mengakui pemerintahan pengasingan. Namun pengakuan terhadap pemerintahan Lon Nol dianggap tidak cukup untuk menjamin stabilitas dan perdamaian di Kamboja. Berdasarkan pemikiran tersebut, pemerintah Indonesia lewat Menlu Adam Malik mengadakan konferensi intemasional yang membahas penyelesaian masalah Kamboja di tahun 1970 yang dikenal dengan Konferensi Jakarta Saat terjadi lagi pergantian pemerintahan dari Lon Nol ke rezim Khmer Merah yang dipimpin oleh Polpot, Indonesia tetap melanjutkan hubungan diplomatiknya dengan pemerintahan di Pnom Penh. Menurut beberapa saijana kudeta yang dilakukan Khmer Merah juga diinspirasikan dari peristiwa G 30 S yang ditafsirkan oleh Pol Pot sebagai duduknya dominasi militer sebagai penguasa di Indonesia. Sejak awal, keinginan pemerintah Indonesia ialah terbentuknya Kamboja yang non-blok, netral, dan independen tanpa intervensi kekuatan luar manapun. Pandangan tersebutlah yang dijalankan oleh pengganti Adam Malik, Prof Dr. Mochtar Kusumaatmadja. Menlu Mochtar memberikan respon yang cepat lewat jalur ASEAN saat terjadinya perebutan kekuasaan dan Khmer Merah ke kelompok PRK (People's Republic of Kampuchea). Perebutan kekuasaan yang dibantu oleh Vietnam tersebut dipandang oleh ASEAN sebagai invasi Vietnam terhadap Kamboja. Negara-negara anggota ASEAN juga terpecah dalam pandangan berbeda tentang siapa pihak yang dianggap paling berbahaya dalam kemelut di Kamboja tersebut. Namun perbedaan pandangan tersebut tidak sampai memecah ASEAN secara organisasi. ASEAN bahkan tetap berjuang bersama di sidang-sidang PBB untuk membahas penyelesaian masalah Kamboja secepatnya dan meminta perhatian internasional terhadap masalah tersebut. Berkat perjuangan diplomatik terus-menerus dan pencarian dukungan kepada negara-negara anggota PBB lainnya, ASEAN berhasil mendorong dilahirkannya resolusi tentang pelaksanaan International Conference on Kampuchea yang dilaksanakan di New York pada tahun 1981. Usaha-usaha lewat ICK ternyata kurang membawa dampak pada sikap Vietnam, oleh karena itu ASEAN menempuh strategi diplomatik yang lain dengan mendukung pembentukan koalisi antara kelompok-kelompok anti PRK-Vietnam yang terdiri dari Funcinpec, KPNLF, dan Khmer Merah. Pembentukan Coalition Government of Democratic Kampuchea tersebut bahkan mengambil tempat di negara-negara ASEAN. Dukungan ASEAN berkembang menjadi dukungan internasional saat ASEAN berhasil memperjuangkan sebuah resolusi yang mengakui CGDK sebagai perwakilan dari Kamboja di PBB. Berdasarkan kekhawatiran bahwa Kamboja tetap akan dikuasai Vietnam, diplomat-diplomat ASEAN merumuskan kembali berbagai strategi diplomatik dalam bentuk beberapa proposal perdamaian. Malaysia menggjukan proposal Proximity Talks yang akan mempertemukan negara-negara Indocina dengan negara-negara ASEAN. Namun proposal ini ditolak karena ketidaksetujuan anggota ASEAN yang dekat dengan Cina, Thailand dan Singapura. Pada saat yang berdamaan, Indonesia menjalankan kebijakan dual track diplomacy yang berarti mendekatkan diri ke Vietnam dan sekaligus memperjuangkan proposal-proposal yang disetujui ASEAN. Di pertengahan dekade 1980-an, Menlu Mochtar melontarkan ide diselenggarakannya sebuah cocktail party untuk memudahkan semua pihak yang bertikai untuk membicarakan masa depan Kamboja secara informal tanpa label politik apapun. Sebagai kelanjutan dari perwujudan ide tersebut, Menlu Mochtar ditunjuk oleh ASEAN sebagai interlocutor dalam mengadakan negosiasi dengan Vietnam . Berbagai pertemuan dan pembicaraan dilakukan Menlu Mochtar dalam menjalankan fungsinya tersebut. Dalam kunjungannya ke Vietnam, Menlu Mochtar dan Menlu Nguyen CO Thach akhimya melahirkan kesepakatan yang disebut Ho Chi Minh City Understanding yang menjadi landasan dasar dari pelaksanaan cocktail party yang kemudian disebut JIM (Jakarta Informal Meeting). Bagi kepentingan nasional, keberhasilan peran Indonesia ini merupakan implementasi dari kebijakan bebas-aktif yang juga menegaskan bahwa sikap non-interference (tidak campur tangan) bukan berarti non-involvement (tidak turut serta). Keberhasilan Indonesia ini membawa Indonesia sebagai kekuatan yang dominan di Asia Tenggara sesuai dengan keinginan baik Sukarno maupun Suharto. Dominasi Indonesia di Asia Tenggara kemudian didukung dengan terciptanya stabilitas dan perdamaian di kawasan Asia Tenggara yang memperlancar proses pembangunan di tiap-tiap negara Asia Tenggara dan jauh dari campur tangan kekuatan asing di luar kawasan. Bagi ASEAN hal tersebut merupakan keberhasilan penerapan konsep ZOPFAN sekaligus memperlihatkan bahwa organisasi ini lebih mengutamakan kerukunan diatas perbedaan pendapat yang kemungkinan dapat memecah para anggotanya. Indonesia sebagai salah satu pendiri dan penggagas ASEAN merasakan dampak yang sangat positif dari keberhasilan diplomasi tersebut. Indonesia kembali berhasil menempatkan dirinya sebagai salah satu negara terpandang di dunia intemasional bukan dengan politik mercusuarnya dan keberpihakan terhadap blok tertentu, namun dengan upaya menyelesaikan masalah di kawasan oleh negara-negara di kawasan itu sendiri. Keberhasilan terbesar Indonesia ialah mengangkat masalah Kamboja menjadi agenda internasional yang harus dipecahkan oleh seluruh masyarakat dunia."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2004
S12596
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Juan Sebastiansyah
"Penelitian ini membahas mengenai penyebab utama dari terjadinya kembali konflik di Sudan Selatan antara SPLM/A yang merupakan etnis Dinka dan SPLM-IO yang didominasi oleh etnis Nuer pada tahun 2013. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan melakukan studi literatur secara online. Penelitian ini menggunakan Theory of Protracted Social Conflict oleh Edward Azar untuk menganalisis keberlanjutan konflik di Sudan Selatan pasca kemerdekaan pada tahun 2013 hingga tahun 2019. Lebih lanjut, penelitian ini menganalisis penyebab dan kondisi yang membuat suatu konflik menjadi berkepanjangan yang dibagi menjadi dua, yaitu Genesis; Communal Context/Communal Identity, Government and State Role, International Linkage yang menjadi penyebab dari konflik berkepanjangan dan Process Dynamics; Communal Actions and Strategies, State Actions and Strategies, dan Built in Mechanism of Conflict yang merupakan proses terjadinya dinamika dalam konflik yang berkepanjangan. Penelitian ini menemukan bahwa terjadinya kembali konflik di Sudan Selatan pada tahun 2013 disebabkan oleh faktor hubungan antara Dinka dan Nuer yang historis buruk, dominasi SPLM/A dalam pemerintahan Sudan Selatan, pemerintahan Kiir yang represif, dan otoriter, kekecewaan terhadap pemerintahan Kiir, dan negara lain yang mendorong terjadinya konflik karena adanya kepentingan di Sudan Selatan. Selain itu, dimulainya konflik disebabkan oleh penurunan wakil Presiden Riek Machar oleh Salva Kiir dan penyerangan terhadap etnis Nuer oleh Dinka.

This study discusses the main causes of the recurrence of conflict in South Sudan between the SPLM/A who are ethnic Dinka and SPLM-IO which are dominated by Nuer ethnicity in 2013. This study uses qualitative research methods by conducting a literature study online. This study uses the Theory of Protracted Social Conflict by Edward Azar to analyze the continuation of conflict in South Sudan after independence in 2013 to 2019. Furthermore, this study analyzes the causes and conditions that make a conflict become prolonged divided into two, namely Genesis; Communal Context/Communal Identity, Government and State Role, International Linkage that are the cause of prolonged conflict and Process Dynamics; Communal Actions and Strategies, State Actions and Strategies, and Built in Mechanism of Conflict which is the process of dynamics in a prolonged conflict. The study find that the recurrence of the conflict in South Sudan in 2013 was caused by the historically poor relationship between Dinka and Nuer, SPLM/A dominance in the South Sudan government, the repressive, and authoritarian Kiir government, disappointment to the Kiir government, and other countries which led to conflict because of interests in South Sudan. In addition, the start of the conflict was caused by the decline of Vice President Riek Machar by Salva Kiir and the attack on the Nuer ethnic group by Dinka."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dadang Supriadi
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1996
S7981
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>