Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 23 dokumen yang sesuai dengan query
cover
St. Sunardi
Jakarta : Lembaga Kajian Islam dan Studi (LKiS), 2012
100 SUN n
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Sautet, Marc
New York: Writer's Digest Books, 1990
193 SAU n
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Robinson, Dave
"Buku ini mengenai seorang filsuf Frederich Nietzche dan pandangannya mengenai postmodernisme"
Cambridge, UK: Icon Books, 1999
193.21 ROB n
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
A. Setyo Wibowo
Yogyakarta: Kanisius, 2017
100 SET g
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Chairul Arifin
Jakarta: ISTN, 1996
128 CHA f
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Chairul Arifin
"Skripsi ini berusaha memaparkan salah satu dari pada tema pokok dari pada ajaran Friedrich Nietzsche yang disebut dengan kehendak untuk kuasa, khususnya mengenai paham kekuasaannya, berdasarkan bacaan beberapa karyanya yang terpenting, dengan dibantu ulasan berbagai pengarang atas karya Friedrich Nietzsche. Secara garis besar, teori paham kekuasaan yang diajukan oleh Friedrich Nietzsche menunjukkan kepada kita bahwa segala sesuatu dalam tingkah laku manusia, satu-satunya faktor yang menentukan ialah daya pendorong hidup atau hawa nafsu. Setiap pengenalan manusia merupakan alat bagi kehendak untuk kuasa..."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1980
S16009
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Freud, Mark Nietzsche
Englewood Cliffs: Prentice-Hall, 1968
438.642 FRE m
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Bhayu Mahendra Hendrobaskoro
"Nama Friedrich Nietzsche memang cukup sering didengar orang. Baik orang awam yang sekedar `pernah dengar' sampai mereka yang memang bergelut habis dengan pemikirannya. Sayangnya, nama ini sering didengar sebagai seorang yang penuh rasa anti: anti sistem, anti metode, anti agama, hingga anti Tuhan! Semua stigma itu telah berurat-berakar dalam benak banyak orang hingga menjadi semacam common sense. Padahal, common sense itu bermula dari cara pembacaan terhadap teks-teks Nietzsche yang disertai penafsiran tertentu. Jadi, semua itu semata masalah penafsiran. Hampir dua abad setelah Nietzsche, seorang filsuf yang juga berasal dari Jerman menyatakan, sebuah teks pada dasarnya adalah netral. Pembaca sekaligus penafsir teks itulah yang memberikannya makna. Sebuah teks yang dibaca pembaca sedapat mungkin diberikan `jembatan' dengan teks yang ditulis oleh pembuatnya. `Jembatan' itu disebut dengan hermeneutika, yaitu ilmu untuk menafsirkan teks. Dan filsuf itu bernama Hans-Georg Gadamer, Dengan metode hermeneutika filosofis yang disediakan olehnya, skripsi ini mencoba memurnikan stigmatisasi terhadap Nietzsche dan teks-teksnya sebagai ateis. Lebih jauh, skripsi ini bergerak untuk memberikan suatu horizon penafsiran baru terhadap pemikiran sang filsuf: teisme Nietzsche."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2003
S16162
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Owen, David
London: Routledge , 1994
190 OWE m
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Embun Kenyowati Ekosiwi
"Tesis ini, dengan mendapat inspirasi dan acuan utama dari buku Andrew Bowie, Aesthetics and Subjectivity (1990) bermaksud mencari pengetahuan dari agar mendapatkan pemahaman tentang konsep Subyektivitas dalam Seni pada pemikiran Immanuel Kant, Hegel dan Nietzsche, yang termasuk dalam masa Idealisme Jerman dan awal Romantisisme. Subyektivitas yang dimaksud adalah Subyektivitas metafisis maupun Epistemologis. Yang dimaksud subyektivitas metafisis adalah manusia, melalui kesadarannya, yang mengalami seni (pencipta maupun penikmat). Yang dimaksud subyektivitas epistemologis adalah manusia melalui putusannya, sebagai ukuran kebenaran dalam seni. (Adorno 1984).
Subyektivitas pada pemikiran Kant adalah permasalahan keberadaan manusia sebagai keberadaan yang otonom (Otonomous Being) dalam berhadapan dengan dunia di luarnya (alam). Bagaimana status kesadaran (self-consciousness) dalam berhadapan dengan dunia luar. Status kesadaran ini menentukan bentuk-bentuk cara mengetahui (forms of cognition). Bagaimana subyektivitas dapat menjadi landasan bagi keberadaannya sendiri, bagaimana subyektivitas dapat membentuk obyektivitas yang dapat dipertahankan tanpa mendasarkan pada asumsi akan adanya obyektivitas yang mendahului. (Bowie 1990: 15).
Pada Kant, subyektivitas dalam seni adalah subyektivitas universal (intersubyektif universal), ketika seseorang menyukai sesuatu obyek (alam dan karya seni) tanpa pamrih (disinteresred). Sikap tanpa pamrih pada Kant berarti rasa suka yang menimbulkan kesenangan (pleasure), tidak terkait pada eksistensi obyek.
Subyektivitas pada pemikiran Hegel adalah permasalahan identitas subyek dan obyek yang sama dalam Rah absolut. Ini dikarenakan bahwa proses berpikir dan proses realitas (dunia) adalah identik. Proses ini menampakan dirt pada seni (Bowie : 1990, 116). Proses ini ditampilkan melalui refleksi, Kesadaran suatu subyek, tanpa kehadiran kesadaran lain akan tetap berada dalam keadaan tidak ada refleksi dan tidak akan mencapai refleksi sadar. (Bowie 1990 : 118). Kesadaran Aku sangat tergantung pada obyektifikasi Aku.
Subyektivitas dalam pemikiran Nietsche adalah permasalahan kesadaran sebagai pertahanan diri (self preservation). (Bowie: 1990, 208). Subyek, si Alat, adalah konstruksi pikiran, tidak berbeda statusnya dengan 'materi', 'benda', 'angka', maka adalah suatu fiksi regulatif Sintesa menjadi subyek ini dan efek sintesa dari luar sebagai obyek merupakan manifestasi 'kehendak untuk berkuasa' yang terjadi terhadap satu sama lain. (Bowie 1990: 247). Subyektivitas tidak dapat menjadi landasan kebenaran, meskipun keberadaan subyek serdiri tak dapat ditolak.
Subyektivitas dalam seni pada Immanuel Kant yang terdapat dalam teorinya tentang selera, adalah subyektivitas universal ketika seorang menyukai obyek tanpa pamrih. Sikap tanpa pamrih berarti rasa suka yang menimbulkan kesenangan tidak terkait dengan eksistentensi obyek. Dengan demikian bersifat a priori. Obyek yang disukai dengan cara demikian disebut indah. Dan yang indah adalah yang tanpa konsep disukai secara universal.
Pada Hegel subyektivitas dalam Seni adalah proses perwujudan 'The Ideal dalam bentuk materi yang tercerap secara inderawi (sensuous material) melalui refleksi. Karena pada Hegel proses obyektivikasi Subyek (kesadaran) adalah melalui negasi dan terjadi secara terus menerus.
Pada Nietzsche subyektivitas dalam Seni menampakkan diri dalam perwujudan fisiologis pada subyek individual, dan memuncak pada kehendak untuk berkuasa.
Perbandingan di antara ketiganya adalah sebagai berikut :
1. Subyek pada Kant adalah subyek transendental. yaitu kesadaran yang memiliki kategeri-kategori yang ikut membentuk realitas.
2. Subyek pada Hegel adalah keberadaan yang asali yang selalu berada dalam keadaan bergerak menuju obyek.
3. Subyek pada Nietzsche adalah merupakan fiksi yang dibentuk oleh pikiran, namun memiliki manifestasi yang nyata pada tubuh yang merupakan perwujudan dari kehendak untuk berkuasa
Subyektivitas dalam seni pada Kant adalah persoalan keabsahan putusan (judgment) terhadap yang indah, Putusan yang indah hanya menyangkut subyek yang membuat putusan dan bersifat subyektif , menyangkut perasaan. Subyektivitas dalam seni pada Hegel adalah seni sebagai perwujudan yang Ideal yang berada pada jiwa subyektif. Sedangkan subyektivitas dalam seni Dada Nietzsche adalah .merupakan kehendak yang memanifestasi dalam ketubuhan kits sebagai usaha untuk mempertahankan diri dalam keberadaan sebagai manusia.
Tanggapan terhadap subyektivitas, muncul melalui argumentasi Bowie, mengacu Habermas, bahwa pokok persoalan modernitas dilihat oleh postmodemisme sebagai permasalahan subyektivitas.Persoalan estetika modern juga bukan masalah keindahan lagi meiainkan masalah subyektivitas.
Subyektivitas dalam seni pada Kant mendapat pembelaan dari Gadamer, bahwa putusan tentang seni juga menyangkut pengetahuan yang berbeda dengan pengetahuan kognitif dan pengetahuan moral, namun tetap :nenyampaikan pengetahuan sebagai transmisi kebenaran. Namun Adorno mengkritik bahwa subyektivitas yang mengklaim validitas universal dan tanpa konsep adalah tidak rnungkin. Validitas universal demikian, mengandaikan adanya konsep.
Subyektivitas dalam seni pada Hegel, seolah berusaha mengatasi subyektivitas dalam seni pada Kant, tetapi sesungguhnya kembali ke dalam subyektivitas karena Idealisme mengklaim bahwa apa yang subyektif adalah obyektif, menurut Heidegger, Subyektivitas dalam seni pada Nietzsche, sesungguhnya bukan merupakan persoalan estetika, tetapi lebih persoalan metafisika, karena seni dikembalikan pada kehendak sebagai dorongan mendasar yang ada pada manusia.
Tanggapan penulis mengenai masalah subyektivitas adalah bahwa subyektivitas merupakan persoalan yang dapat dipertahankan sejauh dapat dikompromikan dengan pandangan-pandangan lain, baik pandangan yang mendukung maupun yang menolak. Maka subyektivitas adalah titik tolak ,yang mencukupi dan sah bagi dunia seni. Salah satu argumentasi lagi adalah bahwa ilmu pengetahuan yang memperoleh landasan dari positivisme pun pada akhirnya mempertanyakan obyektivitasnya sendiri, terutama pada ilmu-ilmu manusia dan budaya, karena faktor subyektivitaslah yang sesungguhnya dapat memunculkan obyektivitas."
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T1626
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>