Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 115460 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Siti Aziza Suryo
"ABSTRAK
Kekuasaan wilayah Hong Kong akan beralih dari Kerajaan lnggris ke Republik Rakyat Cina mulai tanggal 1 Juli 1997. Jika segalanya berjalan dengan lancar, tanggal yang bersejarah ini akan mengakhiri suatu era bendera Inggris akan turun, dan bendera. Cina akan berkibar lagi. Diharapkan Hong Kong tetap menjalankan sistem kapitalisnya dan menjadi Special Administrative Region, sementara RRC tetap menjalankan sistemnya yang sosialistis. Hal ini merupakan suatu kerjasama politik yang unik di dalam suatu era modern, yaitu satu negara dengan dua sistem. Hambatan dan rintangan dalam peralihan ini banyak sekali ditemui, hingga diperlukan suatu kerjasama melalui berbagai proses untuk mencapai titik temu. Semua ini tergantung oleh serbagai macam faktor yang dialami oleh pengalaman sejarah, tentunya yang penuh dengan ketidakpastian ini. Sementara itu Inggris, Hong Kong dan RRC hanya dapat menggantungkan harapannya pada Perjanjian bersama sehingga dalam menghadapi masa transisi ini, segala usaha dan tenaga telah dicurahkan agar perjanjian ini dapat merupakan suatu pegangan bagi semua pihak, yang tentunya juga diharapkan dapat menguntungkan masing-masing. Keberhasilan dalam menjalankan dua sistem dalam satu negara ini pada akhirnya tergantung oleh keberhasilan bersama dalam memegang Perjanjian Bersama itu."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Melisa Sandrianti
"Skripsi ini merupakan penelitian mengenai pemahaman public relations pada PT. Helu Trans, dimana penekanannya adalah bag imana pemahaman tersebut menyebabkan hambatan-hambatan dalam pelaksanaan public rela~ions dalam manajemen. Penelitian ·ini menggunakan met0de penelitia kualitatif yang bersifat deskriptif Sementara metode analisa yang digunakan adalah analisa..studi kasus, dengan
unit analisisnya adalah pimpinan, direksi, manajer, karyawan, dan klien P elu Trans.
Data diperoleh melalm pengumpulan dokumen, observasi langsung dan wawancara sistematik.
Peneliti juga berusaha menyeimbangkan pero ehan data dari para karyawan dengan menca · informasi kepada mantan k ryawan perusahaan yang keluar karena adanya ketidakcocokan dengan arakteristi!C pimpinan. Hal ini· · dilakii an dengan maksud memperoleh keterangan yang sesungguhnya karena terindikasi · bahwa karyawan yang masih Beketja di Helu Trans tidak bisa memberikan informasi yang jujur
mengenai kekurangan-kekurangan aalam manajemen perusahaan.
Helu Trans memiliki karakterisitik perusahaan yaNg oleh Rhenald Kasali digolongkan dalam jenis perusahaan muda, yakni perusahaan yang mumi dikuasai oleh satu orang yang pemilik sekatigus pimpinan dan sulit untuk menerima masuhn dari pihak lain. Dengan karakteristik yan dimih ri, Helu Trans sebenamya sangat membutuhkan keberadaan PR, namun temyata titlak memilikinya sampai sekarang.
Bahkan perusahaan ini tidak pemah menggunakan jasa konsultan PR.
Penelitian ini dilakukan untuk mencari faktor-faktor apa yang mempengaruhi keputusan top management Helu Trans untuk tidak memiliki divisi PR. Dengan melakukan analisa berdasarkan wawancara dan dokumen perusahaan, ditemukan ada empat faktor yaitu: pertama, kesalahpahaman mengenai definisi dan fungsi PR~ kedua,
anggapan bahwa PR bisa dilakukan oleh siapa saja dalam perusahaan; ketiga, tidak adanya pengalaman kerja dengan PR lain; dan keempat, faktor kepemilikan. Terbukti bahwa kesalahpahaman mengenai definisi dan fungsi PR membuat banyaknya hambatan-hambatan dalam pelaksanaan fungsi PR dalam manajemen perusahaan.
Selanjutnya dengan tidak adanya PR Internal tersebut, didapati bahwa
pelaksanaan fungsi-fungsi PR dalam sesungguhnya betjalan secara kurang maksimal
dan bahkan mengalami kekurangan. Apabila kekurangan tersebut dianalisa dari segi
kerangka pernikiran penelitian maka dapat pula diprediksi keadaaan fungsi PR Helu
Trans jika prak.-tisi PR tidak ada dalam perusahaan.
Masalah pada hubungan dengan karyawan sekaligus bagaimana bentuk
komunikasi dua arah bisa berjalan dalam perusahaan adalah hambatan yang paling besar
dihadapi perusahaan . Kedua hal ini temyata banyak menimbulkan permasalahan namun
belum disadari oleh pimpinan. Masalah sebagian besar disebabkan oleh ciri-ciri
pimpinan yang one man show, tidak bisa menepati janji kesejahteraan kepada pegawai,
dorninasi dalam penerimaan pegawai baru, dan tidak diperlengkapinya Helu Trans
dengan sarana komunikasi dua arah yang baik.
Padahal dengan karaki:er pimpinan ·yang sulit untuk menerima masukan maka
adanya sarana akan mempermudah komunikasi dua arah tersebut. Akibatnya banyak
pegawai bermutu Helu Trans yaiig-·feluar karena inenemukan bahwa lingkungan kerja
di Helu Trans kurang sehat karena masalah komunikasi terse but.
Kalaupun ada masalah pada kaq,awan, tidak berani dikemukan kepada
pimpinan. Hal ini dibuki:ikan dari perbedaan jawaban antara respond en yang merupakan
karyaw·an dan responden yang merupakan mantan karyawan. Berarti bagi karyawan
yang bermasalah namun tidak mernililh pilihan lain selain tetap bekerja, akan terjadi
konflik batin yang pas · berpengaruh dengan produk-tifitas pegawai tersebut.
Pada akhimya dengan serangkaian jawaban atas permasalahan yang ada maka
peneliti hendak mep1berikan saran kepada PT. Helu Trans secara khusus dan secara
umum kepada Rerusahaan muda lainnya bahw·a keberadaan PR Internal sangat penting
dalam perus aan. PR juga yang akan membantu pelaksa aan komu il(asi lainnya
dalam perusahaan yang setelah diteliti temyata kurang maksi al.
Temyata sangat terbuk-ti bahwa jika suatu perusahaan merniliki divisi R ,maka
yang perlu diberikan hanyalah kesempatan untuk bisa melaksanakan fungsinya
semaksimal mungkin. Kesempatan akan sangat ljerarti karena ruang lingkup gerak PR
dalam setiap kegia ya akan sangat dipengaJ i oleh dukungan dari pihak eksekutif
atas, dan bila dibatasi maka tidak akan berfUI1gsi sebagaimana mesti.ny,"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
S4062
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Detty Soemilasari
"Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) mempunyai sasaran dan tujuan demi terbentuknya suatu unifikasi hukum perkawinan yang berlaku bagi seluruh warga negara. Cita-cita ini mengalami hambatan dengan kenyataan yang hidup dalam masyarakat yang menyebabkan ketentuan perundangan perlu disempurnakan dan/atau diantara para pejabat yang berwenang melakukan koordinasi diantara mereka atau meneliti lebih dalam data yang diterima.
Untuk melihat praktek termaksud, penulis melakukan penelitian terhadap perkawinan dua orang warga negara Indonesia berbeda agama yang dilangsungkan di luar negeri, dimana realita menunjukkan telah dilakukan dua kali perkawinan, yaitu berdasarkan UUP pasal 56 ayat 1, dan pasal 2 ayat 1, dimana kedua perkawinan tersebut sah, dan dilakukan pencatatannya di Indonesia, sesuai UUP. Suami menggugat cerai istri ke Pengadilan Negeri, dan dikabulkan, namun pada tingkat banding dan tingkat kasasi, ditolak. Karena mereka memiliki dua surat nikah, maka meskipun permohonan cerai ditolak Mahkamah Agung, suami berupaya menggunakan surat nikah secara Islam untuk gugatan cerainya di Pengadilan Agama, yang ternyata dikabulkan sampai terbit Akta Cerai. Dengan adanya alternatif untuk memilih penggunaan surat nikah bagi perceraian, terlihat ada celah yang dapat digunakan oleh seseorang dalam upaya menceraikan pasangannya apabila mengalami jalan buntu.
Dualisme perkawinan seperti ini kiranya bukan merupakan sasaran dan tujuan UUP, terlebih lagi belum menjamin kepastian hukum dalam masyarakat .Sebagai pelengkap, suami mengajukan gugat cerai ulang ke Pengadilan Negeri, dan dikabulkan. Pengajuan cerai kedua kalinya (nebis in idem?) telah mengundang keingintahuan pula akan alasan PN mengabulkan gugatan yang pernah diajukan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002
T36343
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andreas Purnawan
"Menghadapi persaingan dan perubahan lingkungan bisnis yang cepat diperlukan organisasi yang peka, tanggap dan cepat beradaptasi. Sifat-sifat organisasi ini terbentuk oleh budaya perusahaan yang berkembang dari perjalanan sejarahnya, yang tumbuh secara alamiah atau pun yang dikembangkan dari hasil rekayasa. Budaya perusahaan merupakan suatu _penjabaran nilai-nilai yang diberlakukan dalam suatu perusahaan (core value) yang diturunkan dari visi dan misi yang ditetapkan oleh manajemen. Budaya perusahaan pada perusahaan-perusahaan unggul sengaja dikembangkan dan diperlihara selama bertahun-tahun, bahkan tidak jarang banyak perusahaan mengadakan perombakan dan menggantinya menggantinya dengan budaya baru, sehingga selaras dengan tantangan dan perubahan lingkungan yang dihadapi.
Berbagai cara diberlakukan oleh manajemen perusahaan untuk menumbuhkan budaya perusahaan, antara lain melalui pelatihan yang terprogram dan terstruktur, di mana dalam program tersebut disusun berbagai materi yang terkait dengan budaya perusahaan yang akan akan dintemalisasikan. Salah satu perusahaan di Indonesia yang telah menerapkan pelatihan untuk mengembangkan budaya perusahaannya adalah PT Telkomsel, melalui pelatihan Basic Telkomsel. Seluruh karyawan berkesempatan mengikuti pelatihan tersebut dan di dalamnya ditanamkan nilai-nilai perilaku Tiga Pilar Budaya Telkomsel, yang terdiri dari Customer Intimacy, Profesionalisme dan Teamwork. Masing-masing pilar budaya tersebut dijabarkan menjadi perilaku spesifik yang menjadi kompetensi dasar bagi karyawan Telkomsel dalam bekerja. Pasca pelatihan, karyawan Telkomsel diharapkan mampu menjiwai dan mengaplikasikan nilainilai budaya perusahannya.
Melalui penelitian ini ingin diketahui, apakah pelatihan mampu menjadi sarana membangun budaya organisasi perusahaan secara efektif di PT Telkomsel dan alternatif-alternatif apa saja yang dapat mendukung terbentuknya budaya perusahaan. Penelitian dilakukan dengan menggunakan tinjauan pustaka dan penarikan data melalui kuesioner, observasi dan wawancara. Data tersebut diolah dan dianalisis menggunakan perhitungan statistik inferensial berupa perhitungan frekuensi, prosentase, mean, t-test dan korelasi.
Hasil yang didapat dari penelitian ini menunjukkan bahwa seluruh perilaku yang tercakup dalam kompetensi-kompetensi Tiga Pilar Budaya Telkomsel telah ditampilkan oleh sebagian besar karyawan dalam frekuensi yang cukup tinggi. Karyawan Telkomsel juga menganggap bahwa pelatihan berperan paling penting dalam pembentukan perilaku nilai budaya Telkomsel. Sedangkan hal-hal yang dipandang potensial menjadi kendala untuk mempertahankan perilaku nilai budaya Telkomsel secara urut dari yang paling dianggap menghambat adalah sikap dan perilaku atasan, sikap dan perilaku rekan kerja, kebijakan manajemen yang kurang mendukung, kurangnya sarana dan prasarana dan pelatihan yang dianggap masih kurang memadai bagi sebagian karyawan.
Mengacu pada tingkatan evaluasi pelatihan dari Kirkpatrick (behavior level), kemunculan serta dipertahankannya perilaku hasil belajar merupakan indikasi keberhasilan sebuah pelati.han yang telah dijalankan. Dengan kata lain, terbentuknya serta ditampilkannya perilaku nilai budaya Telkomsel merupakan indikasi keberhasilan pelatihan Basic Telkomsel yang telah dijalankan selama ini. Manajemen Telkomsel dan khususnya Departemen Pengenibangan Sumber Daya Manusia menyadari bahwa masih ada kendala-kendala dan berupaya menekan sekecil hambatan yang mungkin timbul dalam pembentukan budaya perusahaan.
Telkomsel perlu secara senus menangani hal-hal yang menghambat pengembangan perilaku nilai budaya Telkomsel terutama yang berpotensi menjadi besar dan mengganggu proses pertumbuhan budaya perusahaan yang sudah baik. Proses seleksi masuk karyawan sedapat mungkin menghasilkan kandidat yang memiliki sikap dan perilaku sesuai dengan perilaku nilai budaya Telkomsel. Proses promosi dan suksesi perlu diperketat, agar diperoleh calon manajer yang kapasitas dan kapabilitasnya teruji.
Manjemen Telkomsel juga perlu untuk mempertimbangkan kelanjutan dan pengembangan program Basic Telkomsel. Materi program, metode pelatihan, metode evaluasi, tindak lanjut pelatihan dan monitoring, perlu dikaji secara berkesinambungan agar modifikasi program yang dilakukan tidak membuat pelatihan Basic Telkomsel mengarah pada hal-hal yang kontra produktif. Misalnya saja, membebani pelatihan Basic Telkomsel dengan muatan yang terlalu luas, ataupun ingin menjadikan pelatihan Basic Telkomsel sebagai "obat segala penyakit".
Bagi mereka yang tertarik untuk melakukan penelitian lanjutan, perlu dilakukan penelitian lebih mendalam tentang hubungan antara harapan karyawan terhadap nilai perilaku budaya Telkomsel yang ditampilkan para atasannya (Supervisor dan Manajer). Penelitian serupa juga dapat dilakukan pada kantor-kantor regional Telkomsel untuk mendapatkan gambaran dan perbandingan mengenai hal yang sama atau berbeda agar didapat gambaran yang lebih luas mengenai budaya perusahaan Telkomsel, dan dapat dilihat pula bagaimana pengaruh nilai-nilai budaya perusahaan tersebut terhadap jalannya organisasi selama ini. Perbaikan alat penelitian, baik dengan cara menambah item maupun membuat alat sendiri yang lebih menggambarkan perilaku nilai budaya Telkomsel, juga masih dimungkinkan."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2004
T11619
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rifai Nur
"ABSTRAK
Pasca Perang Kemerdekaan Indonesia terjadi suatu perubahan pemerintahan
daerah yang diberi hak otonom. Pada masa Perang Kemerdekaan dengan pemerintahan
NIT otonomi daerah di Sulawesi Selatan dilaksanakan dalam konteks negara federasi,
sedangkan pasca revolusi otonomi daerah dilaksanakan dalam konteks negara kesatuan.
Studi otonomi daerah difokuskan pada hambatan-hambatan yang menyebabkan
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang otonom terkendala. Suasana kebebasan
daerah disatu sisi dan kontrol serta pengendalian pusat di sisi lain, begitupula dengan
struktur sosial berhadapan dengan struktur pemerintah. Kemudian, kelompok unitaris
pada satu sisi dan di sisi lain kelompok federalis, saling berinterasi bekerjasama dan
terkadang pula bersaing dengan wadah kepentingan, etnik dan idiologi.
Metodologi penelitian yang digunakan adalah kualitatif, dengan pendekatan
strukturis. Tipe eksplanatif dengan konteks penelitian transisi. Pengumpulan data
menggunakan dokumen arsip, dokumen media cetak dan wawancara.
Temuan-temuan yang diperoleh dari studi ini diuraikan berikut. Pertama, pemerintah Sulawesi Selaian dan daerah-daerah di Sulawesi Selatan memiliki
kebebasan yang terbalas dalam berkreasi, merencanakan, mengambil keputusan,
melaksanakan keputusan itu. Kebebasan yang terbatas itu dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan.
Kedua, pemerintah Sulawesi Selatan memperoleh 7 urusan sebagai hak
otonominya disamping hak dasar yang telah dimiliki. Otonomi diletakkan pada 3 level,
yaitu Sulawesi Selatan, Swatantra/Swapraja dan desa. Pada level ketiga hanya bersifat
uji coba, kemudian setelah berlangsung beberapa tahun lalu dicabut dan dihentikan.
Ketiga, Pemerintahan daerah pada level swapraja dijalankan berdasarkan tradisi
yang mengandung azas demokrasi. Swapraja mewarisi tradisi pemerintahan dalam
konteks federasi faliti dan monarki kostitusi. Undang-Undang sebagai dasar
penyelenggaraan negara disusun berdasarkan perjanjian antara raja dan wakil-wakil dari paliti (negara bagian). Di dalamnya diatur masalah hak-kewajiban yang didasarkan
pada perpaduan antara konsep to manurung dan ajaran Islam.
Keempat, kendala-kendala yang menghambat penyelenggaraan administrasi
pemerintahan dan pembangunan saling berkait satu sama lain. Kendala-kendala itu
adalah belum adanya persepsi yang sama diantara penyelenggara negara, swapraja dan
ajjoareng sebagai pusat kekuasaan dan panutan pengaruhnya tak tergantikan, dominasi
pemerintahan militer atas sipil, sentralisasi pengelolaan perdagangan kopra, sentralisasi
pengelolaan pajak, dan eskalasi politik yang tinggi.
Seeara teoritis, Studi ini menunjukkan relevansi terhadap beberapa
teori yang digunakan dan mengkonstruksi teori baru tentang demokrasi di daerah
masyarakat Sulawesi Selatan. Hak, kewajiban dan kebebasan individu, kelompok,
swasta dan pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri, mempunyai relevansi dengan teori yang dikemukakan oleh Arthur Mass,
Sarundajang dan Ndraha. Teori yang dikemukakan oleh Huntington, Mohtar Mas?oed
dan Maswadi Rauf tentang keampuhan gagasan tentang kemajuan (the idea of
progress). Kemajuan yang diyakini akan mendorong munculnya demokrasi.
Syaratnya adalah pengembangan kekuatan masyarakat, terutama melalui
pembentukan sistem kepartaian yang bertanggung jawab kepada rakyat. Kemudian
kebebasan individu dan kelompok serta daerah untuk mengembangkan kemajuan
dalam rangka kemandirian rnenunjukkan relevansinya. Parsons dan Geertz
kebudayaan sebagai sistem simbol-simbol. Dengan sistem itu, manusia memberi
makna pada pengalamannya sendiri. Pada taraf tertentu, hal ini sesungguhnya
menyangkut semua negara baru, yang ccnderung menjadi tumpukau tradisi-tradisi
yang bersaing yang kebetulan terkumpul menjadi kerangka-kerangka kerja politis
yang lebih direka daripada secara organis memeperkembangkan peradaban-
peradaban, teori nilai budaya ini relevan dengan nilai budaya darah putih dan
darah merah masyarakat Sulawesi Selatan. Kemudian hubungan patronase masyarakat
Bugis Makassar dalam ajjoareng-joa sangat relevan untuk memahami pola hubungan
masyarakat Bugis-Makassar. Keempat, Teori hubungan patronase .T.C. Scott.
Suntherland dan Darmawan Rahman Mas?0d dalam pendekatan sejarah conflict and
accomodation dalam memahami konflik dan integrasi kelompok-kelompok kepentingan, budaya, sosial dan politik yang saling berhadapan tetapi juga saling
bersama-sama relevan. Juga konstruksi teori demokrasi melihat bagaiman tradisi-
tradisi berisi azas demokrasi. Orang-orang Bugis Makassar menjalankan demokrasi
sebagai tradisi di dalam pemerintahan dan sosial dapat dilihat dalam: (1) sistem
perwakilan dan pemuusyawaratan dalam pengambilan keputusan (2) keputusan yang
tertinggal berada di tangan rakyat. Keputusan Raja dapat dibatalkan oleh
dewan adat, keputusan dewan adat dapat dibatalkan oleh lembaga yang lebih rendah
yakni anang/tokoh-tokoh masyarakat, dan keputusan tokoh-tokoh masyarakat dapat
dibatalkan oleh rakyat. Kedua, Di dalam tradisi pemerintahan dan sosial orang Bugis-
Makassar kelompok lemah selalu diberi perlindungan bahkan di Luwu diberi kursi di
dalam parlemen. Ketiga, orang-orang Bugis-makassar harus bersifat jujur, benar, adil
dan berani di dalam memimpin dan kehidupan keseharian. Keempat, orang-orang
Bugis-Makassar harus saling siporanmu, merasa saling membutuhkan dan saling
memberi manfaat meskipun yang bersangkutan memiliki sejumlah keterbatasan. Jadi
orang Bugis-makassar selalu menghargai orang lain."
2007
D1657
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rifai Nur
"ABSTRAK
Pasca Perang Kemerdekaan Indonesia terjadi suatu perubahan pemerintahan
daerah yang diberi hak otonom. Pada masa Perang Kemerdekaan dengan pemerintahan
NIT otonomi daerah di Sulawesi Selatan dilaksanakan dalam konteks negara federasi,
sedangkan pasca revolusi otonomi daerah dilaksanakan dalam konteks negara kesatuan.
Studi otonomi daerah difokuskan pada hambatan-hambatan yang menyebabkan
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang otonom terkendala. Suasana kebebasan
daerah disatu sisi dan kontrol serta pengendalian pusat di sisi lain, begitupula dengan
struktur sosial berhadapan dengan struktur pemerintah. Kemudian, kelompok unitaris
pada satu sisi dan di sisi lain kelompok federalis, saling berinterasi bekerjasama dan
terkadang pula bersaing dengan wadah kepentingan, etnik dan idiologi.
Metodologi penelitian yang digunakan adalah kualitatif, dengan pendekatan
strukturis. Tipe eksplanatif dengan konteks penelitian transisi. Pengumpulan data
menggunakan dokumen arsip, dokumen media cetak dan wawancara.
Temuan-temuan yang diperoleh dari studi ini diuraikan berikut. Pertama, pemerintah Sulawesi Selaian dan daerah-daerah di Sulawesi Selatan memiliki
kebebasan yang terbalas dalam berkreasi, merencanakan, mengambil keputusan,
melaksanakan keputusan itu. Kebebasan yang terbatas itu dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan.
Kedua, pemerintah Sulawesi Selatan memperoleh 7 urusan sebagai hak
otonominya disamping hak dasar yang telah dimiliki. Otonomi diletakkan pada 3 level,
yaitu Sulawesi Selatan, Swatantra/Swapraja dan desa. Pada level ketiga hanya bersifat
uji coba, kemudian setelah berlangsung beberapa tahun lalu dicabut dan dihentikan.
Ketiga, Pemerintahan daerah pada level swapraja dijalankan berdasarkan tradisi
yang mengandung azas demokrasi. Swapraja mewarisi tradisi pemerintahan dalam
konteks federasi faliti dan monarki kostitusi. Undang-Undang sebagai dasar
penyelenggaraan negara disusun berdasarkan perjanjian antara raja dan wakil-wakil dari paliti (negara bagian). Di dalamnya diatur masalah hak-kewajiban yang didasarkan
pada perpaduan antara konsep to manurung dan ajaran Islam.
Keempat, kendala-kendala yang menghambat penyelenggaraan administrasi
pemerintahan dan pembangunan saling berkait satu sama lain. Kendala-kendala itu
adalah belum adanya persepsi yang sama diantara penyelenggara negara, swapraja dan
ajjoareng sebagai pusat kekuasaan dan panutan pengaruhnya tak tergantikan, dominasi
pemerintahan militer atas sipil, sentralisasi pengelolaan perdagangan kopra, sentralisasi
pengelolaan pajak, dan eskalasi politik yang tinggi.
Seeara teoritis, Studi ini menunjukkan relevansi terhadap beberapa
teori yang digunakan dan mengkonstruksi teori baru tentang demokrasi di daerah
masyarakat Sulawesi Selatan. Hak, kewajiban dan kebebasan individu, kelompok,
swasta dan pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri, mempunyai relevansi dengan teori yang dikemukakan oleh Arthur Mass,
Sarundajang dan Ndraha. Teori yang dikemukakan oleh Huntington, Mohtar Mas?oed
dan Maswadi Rauf tentang keampuhan gagasan tentang kemajuan (the idea of
progress). Kemajuan yang diyakini akan mendorong munculnya demokrasi.
Syaratnya adalah pengembangan kekuatan masyarakat, terutama melalui
pembentukan sistem kepartaian yang bertanggung jawab kepada rakyat. Kemudian
kebebasan individu dan kelompok serta daerah untuk mengembangkan kemajuan
dalam rangka kemandirian rnenunjukkan relevansinya. Parsons dan Geertz
kebudayaan sebagai sistem simbol-simbol. Dengan sistem itu, manusia memberi
makna pada pengalamannya sendiri. Pada taraf tertentu, hal ini sesungguhnya
menyangkut semua negara baru, yang ccnderung menjadi tumpukau tradisi-tradisi
yang bersaing yang kebetulan terkumpul menjadi kerangka-kerangka kerja politis
yang lebih direka daripada secara organis memeperkembangkan peradaban-
peradaban, teori nilai budaya ini relevan dengan nilai budaya darah putih dan
darah merah masyarakat Sulawesi Selatan. Kemudian hubungan patronase masyarakat
Bugis Makassar dalam ajjoareng-joa sangat relevan untuk memahami pola hubungan
masyarakat Bugis-Makassar. Keempat, Teori hubungan patronase .T.C. Scott.
Suntherland dan Darmawan Rahman Mas?0d dalam pendekatan sejarah conflict and
accomodation dalam memahami konflik dan integrasi kelompok-kelompok kepentingan, budaya, sosial dan politik yang saling berhadapan tetapi juga saling
bersama-sama relevan. Juga konstruksi teori demokrasi melihat bagaiman tradisi-
tradisi berisi azas demokrasi. Orang-orang Bugis Makassar menjalankan demokrasi
sebagai tradisi di dalam pemerintahan dan sosial dapat dilihat dalam: (1) sistem
perwakilan dan pemuusyawaratan dalam pengambilan keputusan (2) keputusan yang
tertinggal berada di tangan rakyat. Keputusan Raja dapat dibatalkan oleh
dewan adat, keputusan dewan adat dapat dibatalkan oleh lembaga yang lebih rendah
yakni anang/tokoh-tokoh masyarakat, dan keputusan tokoh-tokoh masyarakat dapat
dibatalkan oleh rakyat. Kedua, Di dalam tradisi pemerintahan dan sosial orang Bugis-
Makassar kelompok lemah selalu diberi perlindungan bahkan di Luwu diberi kursi di
dalam parlemen. Ketiga, orang-orang Bugis-makassar harus bersifat jujur, benar, adil
dan berani di dalam memimpin dan kehidupan keseharian. Keempat, orang-orang
Bugis-Makassar harus saling siporanmu, merasa saling membutuhkan dan saling
memberi manfaat meskipun yang bersangkutan memiliki sejumlah keterbatasan. Jadi
orang Bugis-makassar selalu menghargai orang lain."
2007
D839
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nazaruddin Sjamsuddin
Jakarta: Gramedia, 1989
324.4 NAZ i
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Sondang Regina I.
"Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan telah menciptakan unifikasi dibidang hukum perkawinan di Indonesia, yang diberlakukan bagi seluruh masyarakat Indonesia yang berbeda-beda suku, agama, dan ras. Akan tetapi, dalam hal perkawinan yang dilakukan antara mereka yang berbeda agama, Undang-Undang Perkawinan hanya memberikan pengaturan yang berupa penyerahan sepenuhnya kepada hukum agama yang berlaku.
Sehubungan dengan hal tersebut, dewasa ini sering terjadi pengakuan dan pencatatan atas perkawinan antara mereka yang berbeda agama, yang mana sesungguhnya perkawinan tersebut tidak memenuhi ketentuan perundang-undangan mengenai yang berlaku. Sehubungan dengan hal tersebut, maka penulis membuat penulisan mengenai permasalahan hukum dalam pencatatan perkawinan antara mereka yang berbeda agama dengan meninjau Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1400/K/Pdt/1986 mengenai perkawinan antara mereka yang berbeda agama.
Dalam penulisan ini dibahas permasalahan mengenai syarat syarat sahnya perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan, dan mengenai sah/tidaknya pertimbangan Mahkamah Agung dalam memberikan putusan No. 1400/K/Pdt/1986 menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam melakukan penulisan ini, penulis menggunakan metode pendekatan dengan menggunakan metode kepustakaan yang bersifat yuridis normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan-bahan pustaka atau yang disebut data sekunder berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mengenai permasalahan yang dibahas, maka penulis berpendapat dan menyimpulkan bahwa perkawinan sah secara hukum apabila telah memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu, serta dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sehubungan dengan Putusan MA-RI No.1400/K/Pdt/1986, adalah tidak dapat dibenarkan karena perkawinan tersebut bertentangan dengan agama. Oleh karena itu, penulis menyarankan agar lebih ditingkatkan lagi kesadaran hukum terhadap agama, dan peranan Kantor Catatan Sipil dalam menjalankan tugasnya."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T16463
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>