Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 67741 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Harlan Hakim
1986
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marthinus, Pierre
"Skripsi ini membahas aktivisme dan problematika yang muncul dalam dinamika pengungsi sebagai respon dan resistensi terhadap upaya eksklusi terhadap mereka. Dalam operasionalisasi, penelitian ini memfokuskan diri pada aktivisme yang dilakukan oleh para pengungsi Irak di Amerika Serikat melalui pendekatan Abject Cosmopolitanism. Penelitian memfokuskan diri pada kekuatankekuatan, praktik-praktik dan pembagian-pembagian yang menempatkan para pengungsi Irak pada posisi yang lebih lemah (zone of shame, disgrace and debasement). Pendekatan penelitian yang digunakan melihat kelas "abject", yakni para pengungsi, pencari suaka serta migran ilegal senantiasa turut menyuarakan aspirasi mereka melalui berbagai aktivisme, terlepas dari kenyataan bahwa mereka sudah/belum memiliki status sebagai warga negara (citizenship).

This thesis discuss the activism and problematic arising in the refugee dynamics as response and resistance towards the exclusion efforts done towards them. In its operationalization, this research focuses itself on activism done by Iraqi refugee in the United States through an Abject Cosmopolitanism approach. The research focuses on powers, practices and divisions placing Iraqi refugee on a weaker position (zone of shame, disgrace and debasement). The research approach utilized views that the "abject" class, consisting of refugees, asylum seeker and illegal migrants, is constantly voicing their aspirations through various activism, regardless of the fact that they have/haven?t obtained the status of citizenship."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Erwin Indradjaja
"Adanya pendapat yang menyatakan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) tidak berperan dalam proses pembuatan politik luar negeri, menjadi latar belakang dipilihnya topik ini. Pertanyaannya adalah apakah benar bahwa DPR RI tidak ada peran ? Kalau benar, mengapa demikian ? Kalau ada, bagaimana peran DPR RI tersebut ? Jawaban-jawaban atas pertanyaan itu merupakan hal-hal yang dikaji dalam tesis ini.
Sesuai dengan definisi politik luar negeri, yaitu tindakan-tindakan suata negara terhadap lingkungan luar dan kondisi-kondisi yang melingkupi pembuatan tindakan tersebut, make dipilihlah 2 (dua) kasus. Kasus itu adalah Normalisasi Hubungan Diplomatik Indonesia Republik Rakyat Cina dan kasus Penyelesaian Masalah Timor Timur di For a Intemasional Pasca Peristiwa Dili 1991.
Untuk memahami peran DPR RI tersebut, maka digunakan beberapa kerangka pemikiran. Partama, adalah tentang model hubungan legislatif dan eksekutif dalam suatu sistem politik dalam kaitan dengan pembuatan politik luar negeri, sebagaimana yang dikemukakan oleh Kenneth N, Waltz. Kedua, adalah konsep-konsep tentang fungsi dan hak-hak lembaga legislatif secara umum dan DPR RI secara khusus.
Hasil temuan tesis ini menunjukkan bahwa politik luar negeri (kasus Normalisasi Hubungan Diplomatik Indonesia Republik Rakyat Cina dan kasus Penyelesaian Masalah Timor Timur di For a Internasional Pasca Peristiwa Dili 1991) sebagai output bukanlah berbentuk peraturan setingkat Undang-Undang (W). Konsekuensi logisnya adalah fungsi pembuatan W yang dimiliki DPR RI tidak digunakan. Yang digunakan oleh DPR RI adalah fungsi kontrol saja. Fungsi kontrol inipun digunakan secara terbatas oleh DPR RI, yang ditunjukkan oleh digunakannya wewenang bertanya di dalam Komisi saja. Selain itu penggunaan fungsi kontrol ditunjukkan juga oleh adanya berbagai masukan dan saran yang diberikan Komisi I DPR RI kepada Menteri Luar Negeri Republik Indonesia.
Tesis ini juga menemukan kenyataan bahwa Menteri Luar Negeri Republik Indonesia adalah pelaksana politik luar negeri Indonesia). Demikian halnya dalam kasus Penyelesaian Masalah Timor Timm- pasca Peristiwa Dili 1991. Kebijakan Penyelesaian Masalah Timor Timur tersebut tidak pernah dibahas oleh pemerintah secara serius di dalam rapat-rapat dengan DPR RI (Komisi I). Hal tersebut di atas menunjukkan bahwa Presiden Republik Indonesia (Jenderal purnawirawan Suharto) adalah tokoh yang menentukan dan mendominasi pembuatan politik luar negeri Indonesia (dua kasus) tersebut. Salah satu sebab dominannya Presiden RI tersebut karena pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945 belum dijelaskan dalam peraturan perundangan yang lebih operasional. Ketiadaan perturan perundangan yang lebih opersional tersebut menyebabkan kedudukan DPR dalam pembuatan politik luar negeri RI menjadi tidak terlalu jelas. Akibatnya DPR RI tidak berdaya, ketika lembaga tersebut diabai.kan oleh eksekutif."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Randi Mohammad Ramdhani
"Saudi Arabia memiliki tempat yang sangat signifikan di dunia Arab dan Islam. Ini disebabkan statusnya sebagai negara terbesar di Semenanjung Jazirah Arab. Juga merupakan negara di dunia yang memiliki cadangan minyak terbesar sekitar 25% cadangan minyak dunia. Saudi Arabia berperan aktif dalam upayanya menyelesaikan konflik antara Palestina dan Israel, Peran Saudi Arabia dalam mewujudkan penyelesaian masalah Palestina merupakan tuntutan tugas dan misi politik luar negeri Saudi Arabia yang dirumuskan tahun 1943.
Saudi Arabia hingga kini tetap pada pendiriannya menganggap penyelesaian masalah Palestina merupakan togas dan misi politik luar negerinya yang dianggap perlu mendapat perhatian yang serius dan prioritas tinggi (urgent concern and top priority). Di antara upaya Saudi Arabia untuk menyelesaikan konflik, terdapat dua inisiatif perdamaian yang ditawarkan pada tahun 1982 dan 2002.
Inisiatif perdamaian ini menawarkan sebuah solusi perdamaian yang berlandaskan pads Resolusi PBB. Yang memberikan pengakuan kepada Israel untuk tetap eksis dan menawarkan normalisasi hubungan dengan negara-negara Arab dengan imbalan Israel menerima dan melaksanakan Resolusi Dewan Keamanan PBB No 242 dan 338 yang meminta untuk mengakliiri pendudukan pada garis batas 1967. Saudi meyakini bahwa usahanya membantu menyelesaikan masalah Palestina merupakan tugas dan tanggung jawab bangsa Arab dan umat Muslim.
Di sate sisi Saudi Arabia memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Amerika Serikat, dimana Israel merupakan anak emas Amerika Serikat di Timur Tengah. Isu Palestina telah menjadi duri dalam hubungan Saudi Arabia dan Amerika Serikat sejak Perang Dunia II. Selama ini Saudi Arabia berpandangan kedekatannya dengan Amerika Serikat dapat mempengaruhi sikap Amerika Serikat dalam menyelesaikan konflik Palestina-Israel untuk menjadi penengah yang lebih adil. Namun upaya mempengaruhi sikap Amerika Serikat dalam masalah Palestina tidak efektif, dikarenakan sikap politiknya yang selalu menguntungkan Israel.

Saudi Arabia has a significant place in the Arab's world and Islam. It's caused by status Arab as the biggest country in Arabic peninsula, and the biggest oil's resource, more about 25 % oil's resource in the world. Saudi Arabia has effectively role to finish conflict between Palestine and Israel.
Saudi Arabia's role in finishing conflict Palestine and Israel is his effort and his mission of foreign policy since 1943. Saudi Arabia said that until now the Palestine's problem is an urgent concern and top priority.
Two initiatively peaces offered a peace solving based on United Nations resolutions in 1982 and 2002. This resolution give legality to Israel to exist and offer normalization of relation with Arabic's countries by fee Israel accept that resolution number 242 and 338 which asked to end occupy in the limited line 1967.
Saudi Arabia sure that his effort can finish Palestine's problem as his responsibility of Arabic and all of Moslem. In the other side, Saudi Arabia has relation closely with United States which Israel as his close partner. The Palestine's problem has difficult to Arabs' Saudi and united state's relations since second's war of the world. Arab said that closely with America is as mediator between Palestine and Israel, but his attitude not effectively because always give lucky to Israel.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2007
T20771
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andaru Satnyoto
"Sejak runtuhnya koinunis di Eropa Timur dan Uni Soviet, masyarakat internasional mengalami eforia harapan akan terjadinya kerjasama yang erat antar negara untuk menghadapi masalah-masalah global seperti masalah pemanasan global.
Pada bulan Juni 1992, dalam KTT Bumi Rio De Janeiro masyarakat internasional menerima dan mengadopsi kesepakatan Kerangka Kerja Konvensi Perubahan Iklim atau United Nations Framework Convention On Climate Change (UNFCCC).
Walaupun masyarakat internasional telah mencapai konsensus atas pemanasan global dan sepakat bekerja sama untuk mengatasinya melalui Kerangka Kerja Konvensi Perubahan lklim, namun konvensi yang dihasilkan ini harus diimplementasikan dan masih perlu dirinci lebih lanjut hingga berlaku efektif. Upaya ini tidak mudah karena masih adanya berbagai perbedaan kepentingan antara negara-negara.
Tesis ini hendak menelaah faktor-faktor yang terkait dengan efektifitas kerjasama internasional dalam perubahan iklim. Efektifitas kerjasama internasional ini dapat dilihat dari hasil atau pencapaian tujuan yang ditetapkan oleh masyarakat internasional tersebut dan pencapaian pelembagaan pengaturan kerjasama atau realm internasional pengendalian pemanasan global.
Konsensus internasional atas perubahan iklim yang secara prinsip menerima keadaan bahwa manusia dalam berbagai aktifitas kehidupannya telah menyumbang timbulnya pemanasan global, mendorong diterimanya konvensi untuk mengatasi perubahan iklim/pemanasan secara global.
Pemanasan global terutama disebabkan meningkatnya jumlah gas-gas rumah kaca seperti karbon dioksida, gas methan, klorofluorkarbon dan uap air.
Kerjasama internasional dalam rangka pengendalian pemanasan global belum berjalan efektif sebagaimana terlihat laju pertambahan karbondioksida terus berlangsung dan pelembagaan kerjasama internasional melalui konvensi dan protokol belum mendapat dukungan implementasi dari negara-negara peserta secara kuat.
Kurang efektifnya kerjasama internasional tersebut terkait dengan luasnya cakupan pemanasan global, dan biaya besar yang harus dikeluarkan untuk mereduksi emisi gas-gas rumah kaca yang secara ideal seharusnya 60% di bawah emisi tahun 1990 atau sekurang-kurangnya 5,2% di bawah emisi tahun 1990 sesuai Protokol Kyoto.
Kurang efektifnya kerjasama Internasional juga tercermin dari relatif lemahnya pelembagaan kerjasama tersebut sehingga tidak mampu membentuk rezim pengendalian perubahan iklim yang kuat. Masyarakat Internasional baru mampu mencapai pembentukan Rezim perubahan iklim yang bersifat promosional dan belum mampu membentuk pola " Enforcement Regime "."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T7217
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alexandra
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1986
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Lembaga Research Kebudayaan Nasional - LIPI, 1981
327.1 LEM m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Nainggolan, Poltak Partogi, 1963-
Jakarta: P3DI Setjen DPR RI, 2013
327.1 NAI i
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Tutuhatunewa, Spica Alphanya
"Dalam kurun waktu 1998-1999 Australia menunjukkan perubahan sikap politik (terlihat dalam pelaksanaan politik luar negeri dan sikap aktor/elit politiknya) yang cukup drastis ke sisi negatif kepada Indonesia terkait dengan masalah Timor Timur sampai membuat hubungan kedua negara turun pada titik yang terendah untuk masa lebih dari sepuluh tahun terakhir. Perubahan dalam politik luar negeri Australia yang awalnya sangat bersahabat, dapat dikatakan dimulai ketika terjadi pergeseran dalam kebijakan luar negeri Australia yang lebih memprioritaskan hubungan dengan Amerika Serikat daripada negara-negara tetangganya di Asia termasuk Indonesia, seperti yang terlihat dari Buku Putih Kebijakan Luar Negeri dan Perdagangan Australia tahun 1997.
Ketika isu hak asasi manusia (HAM) mulai menjadi topik utama hubungan internasional bahkan pandangan integratif yaitu pandangan yang menyetujui keterkaitan HAM dengan berbagai bidang lainnya lebih mendominasi dunia, dibandingkan dengan pandangan fragmentatif, publik Australia sebagai bagian dari masyarakat dunia yang demokratis juga makin meningkat kepeduliannya terhadap isu HAM. Dengan letak geografis yang sangat berdekatan, Indonesia dan Timor Timur kemudian menjadi sorotan bagi kampanye HAM Australia.
Perubahan kebijakan luar negeri Australia sebagai suatu entitas terhadap Indonesia dapat dilihat dari perubahan politik luar negeri Australia baik dari kebijakannya (policy) sendiri maupun pernyataan politik aktor-aktornya. Aktor/elit politik yang paling menentukan adalah Perdana Menteri Australia. Secara pribadi, Perdana Menteri Australia John Howard mempunyai kepentingan untuk mengakomodir tuntutan domestik yang diwarnai isu HAM ini terkait dengan ambisinya menjadikan Australia sebagai deputi Amerika Serikat di Asia Pasifik. Alasan pribadi lainnya adalah untuk menaikkan popularitasnya agar dalam referendum Republik Australia (dilaksanakan tanggal 6 November 1999), pandangannya yang monarkis dapat lebih diperhatikan publik dan Australia tetap menjadi bagian dari Kerajaan Inggris."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bhatara Ibnu Reza
"Permasalahan Hak Asasi Manusia (HAM) pasca perang dingin menjadi kian merebak dan tidak lagi menjadi sekedar isu non konvensional yang tidak memiliki pengaruh dalam hubungan internasional. Masyarakat internasional mulai sadar untuk melakukan praktek penghormatan terhadap HAM serta melakukan penegakan hukum internasional sebagai sarana yang dapat mempengaruhi aktor negara-bangsa dalam melaksanakan hubungan internasional. Negara yang selama ini di gambarkan sebagai leviathan yang ganas dan kejam terhadap warga negaranya, kini tidak dapat lagi bebas melakukan pelanggaran HAM berat atau melakukan impunity terhadap pelaku karena akan menjadikan mereka sebagai pariah dalam masyarakat internasional. Peran negara sebagai aktor utama dalam hubungan internasional yang lebih memfokuskan diri pada masalah keamanan (security) dan kekuatan militer kini telah bergeser sangat significant dan saat ini mereka dituntut untuk turut serta menjunjung tinggi moralitas dan hukum sebagai main values dari hubungan internasional.
Keberadaan International Criminal Court (ICC) di tengah-tengah masyarakat internasional yang anarki, merupakan fenomena nyata yang terjadi dalam hubungan internasional. Sehingga peneliti melihat pembentukan ICC merupakan usaha masyarakat internasional untuk membentuk sebuah order. Peneliti menggunakan analisis order yang dikembangkan oleh Hedley Bull dalam bukunya The Anarchical Society: A Study of Order in World Politics. Bull menjelaskan masyarakat internasional yang terdiri dari negara berdaulat memerlukan order untuk mencapai tujuannya. Untuk itu diperlukan tiga hak yaitu common interest, rules dan institutions.
Pada peneltian ini pembentukan ICC dikaitkan dengan pembentukan international order terlihat pada common interest yaitu penghormatan HAM, penegakan hukum internasional dan pencegahan impunity terhadap pelanggaran HAM berat. Pada rules adalah diadopsinya Statuta ICC dan institutionsnya adalah negara dengan memilih hukum internasional sebagai bentuk institutions of international society.
Hukum internasional yang dipilih oleh masyarakat internasional sebagai sarana untuk mencapai tujuan dalam melakukan penghormatan terhadap HAM secara internasional. Fungsi hukum internasional dalam hal ini Statuta ICC selain sebagai guidence juga sebagai sumber tata cara dalam melaksanakan kerjasama (co-operation) antara anggota masyarakat internasional serta mencakup pula prinsip hidup berdampingan (coexistence) yang diartikan sebagai jaminan tetap dihormatinya kedaulatan negara. ICC sebagai international order memiliki pengaruh besar terhadap hukum nasional, kendati ICC memberlakukan yurisdiksi otomatis. Selain itu juga memiliki pengaruh terhadap negara non pihak (non state parties), terlihat mekanisme yang dimiliki DK PBB atau terlihat dari kebimbangan AS dalam keterlibatan militernya dalam pasukan peace keeping operations. Dan terakhir, ICC memiliki pengaruh sebagai pencegah (deterrent) praktek pelanggaran HAM berat yang seringkali dilakukan oleh aktor negara bangsa."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T11459
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>