Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 125745 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Widiastyo
"ABSTRAK
Sektor Informal merupakan fenomena yan0 muncul di ba -
nyak kota di negara Dunia ke 3 Sektor mi beikembang, akibat
banyaknya migran yang tidak tertampung pada pekerjaan
di Sektor formal Sektor foimal yiitu pekerjaan bergaji dan
berpensiun dari sektor negara dan swasta* -
Skripsi ini mencoba melihat fenomena Pedagang naki Lima
dan Koperasi, sebagai salah satu pekeijaan di sektor Informal
di sekitar Pasar Jatinegara, dan kebijaksanaan pemerintahan
terhadap dua fenomena tersebut Kesemuanya itu dilihat
dalam kerangka interaksi sosial Peter L Berger untuk melihat
mstitusionalisasi koperasi Pedagang kaki lima Interak
si yang terjadi pada fenomena perdagangan kaki lima, bisa ju
ga dilihat sebagai fenomena pertukaran sosial dan ekonomi
Dalam kerangka Blau, usaha
perdagangan k iki lima dan usaha pembentukan koperasi, bisa
menurut kerangka Peter M Blau
dilihat sebagai usaha mstitusionalisasi untuk memenuhi kebutuhan yang tidak terpenuhi oleh institusi yang ]ama (dari
para migran) Hal mi berkaitan dengan Revolusi Hijau yang
terjadi, terutama di pedesaan P Jawa (Tirtosudarmo, 1985)ยป
sehingga terkait pada masalah pertanahan (Ever, 1982) dan
penjelasan tentang lokasi lingkaran atas dan lingkaran bawah
yang berpengaruh terhadap tingkat produksi dan konsumsi
(Santos 1975)
Penelitian ini mengambil sample survey 5% (90 Orang)
dari populasi (+. 1800 orang) untuk menjelaskan realitas obyektif
Pedagang Kaki Lima, 10% dan sample untuk menjelaskan
realitas subyektif Realitas subyektif pejabat pemerintah,
pengurus koperasi, juga dilihat
Penjelasan tentang "Lokasi11, ternyata cukup menggambar
kan fenomena di sekitar perdagangan kaki lima"
1986
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
S6918
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Susanna
"Menteri Kesehatan menetapkan bahwa makanan dan minuman tidak boleh mengandung bakteri Escherichia coli (E. coli). Namun, kebanyakan pemerintah daerah tidak menindaklanjutinya dengan menerapkan peraturan yang lebih teknis untuk mencegah penyakit-penyakit yang ditularkan lewat makanan. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur kontaminasi E. coli dalam makanan yang dijual oleh pedagang kaki lima (PKL). Seratus PKL di sepanjang Jalan Margonda Kota Depok, Jawa Barat, dipilih secara acak sebagai sampel. Sebanyak 100 PKL, E. coli pada sampel berbagai jenis makanan diukur dengan metode most probable number, sementara sanitasi PKL dan kehigienisan penjamah makanan diamati. Ditemukan secara umum bahwa air bersih yang digunakan untuk memasak, minum, dan mencuci peralatan makan, sarana pembuangan air limbah, peralatan makanan, dan makanan yang disajikan secara tertutup serta perilaku penyaji makanan tidak berhubungan dengan tingkat kontaminasi E. coli (p > 0,05). Sebaliknya, kebanyakan makanan yang disajikan tanpa tutup mengandung E. coli sangat tinggi, meskipun sarana sanitasi dan perilaku hidup bersih dan sehat penjamah makanan sudah cukup baik, kecuali sarana tempat sampah.

Ministry of Health regulates that all foods and beverages should not contain Escherichia coli. However, most local government does not implement this requirement by applying more technical local regulation to prevent food borne diseases. The objective of the present study was to quantify E. coli contamination in foods served by street vendors along the Jalan Margonda, City of Depok, West Java. A total of 100 street vendors were selected randomly, from which different types of foods were sampled for E. coli measurement using MPN method. Meanwhile, environmental sanitation of street vendors and personal hygiene of food handlers were observed. It was found that generally clean water for preparing foods and beverages and washing kitchen utensils, sewage system, table utensils, and covered foods as well as serving behavior were not statistically correlated with E. coli contamination (p > 0,05). On the contrary, most the uncovered foods were highly contaminated by E. coli, although sanitation facilities and personal hygiene were adequately good except solid waste disposal."
Depok: Universitas Indonesia, 2010
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Hana Yasmin
"Jalan dapat disebut sebagai ruang publik apabila disekitarnya manusia dapat melakukan berbagai macam kegiatan, seperti berjalan, menggunakan kendaraan bermotor, bersosialisasi maupun berkegiatan komersil. Pedagang kaki lima makanan adalah salah satu contoh dari masyarakat kota yang melakukan kegiatan komersil di jalan. Kehadiran mereka di jalan dan trotoar telah menjadi fasilitas pemenuh kebutuhan makan dan minum untuk para pengguna jalan. Pedagang kaki lima makanan juga berperan dalam menghidupkan suasana kawasan disekitar jalan. Namun pada kenyataannya, kehadiran pedagang kaki lima makanan justru menganggu fungsi utama jalan dan trotoar. Hal tersebut menyebabkan terhampasnya hak pengguna jalan lainnya. Oleh karena itu, penempatannya tidak semuanya berada di jalan dan trotoar tetapi juga ditempatkan di lokasi khusus, seperti lokasi penampungan pedagang kaki lima makanan. Dimana jika mereka diletakkan di trotoar, maka trotoar tersebut harus memiliki lebar minimal 4 meter atau 5 meter dan peletakkannya diletakkan di sudut- sudut trotoar tidak diseluruh bagian trotoar. Sehingga, keberadaan mereka tidak menganggu fungsi ruang publik.

Streets can be referred to as public space when people can perform various activities on its surrounding, such as walking, riding vehicles, interacting with others and doing commercial activities. Street food hawker is one example of people that perform commercial activities on the street. Street food hawker rsquo s existence on streets and sidewalks has become a facility of the streets as they provide amenities for streets users which are foods and drinks. They also play a role in making the streets and its surrounding more lively. However, in fact, the existence of street food hawkers actually disturb the main functions of streets and sidewalks. This causes the deprivation of other street users 39 rights. Therefore, street food hawkers should not be placed all on the streets or sidewalks, but also placed in specific place, such as food centers or markets. Street food hawkers only allowed to use the sidewalks with approximately 4 metre or 5 metre width and placed at the corner of sidewalks. Thus, their existence does not disturb the function of public space."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2007
S69465
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rurit Yekti Rahajeng
Depok: Universitas Indonesia, 2004
S33841
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Febry Arfandi
"Fenomena sosial budaya dalam masyarakat seperti hubungan antar pedagang dapat dibahas dalam berbagai konteks. Penelitian ini akan membahas interaksi dan hubungan sosial pedagang gulai tikungan. Pedagang gulai tikungan ini memiliki aturan-aturan main seperti seperti aturan piring, aturan pikulan, dan aturan-aturan lainya. Aturan main tersebut mempengaruhi berbagai hubungan sosial aktor gulai tikungan. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pengamatan terlibat dan wawancara mendalam. Secara garis besar, skripsi ini akan melihat mekanisme interaksi serta berbagai pola hubungan sosial yang dipengaruhi oleh kesepakatan aturan main telah menjadi kontrol internal aktor gulai tikungan.

Social and cultural phenomenon in society such as relation between sellers can be studied in various contexts. This research will discuss interaction and social relations gulai tikungan sellers. Gulai tikungan sellers has a set of rules such as piring rules, pikulan rules and others rules. Rules of game is affect various of social relation gulai tikungan actors. The method used in this research that participation observation and in-depth interviews. This paper will discuss the mechanism of interaction and various patterns of social relations that are affected by the rules of game that became internal control for all gulai tikungan actors."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
S62280
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Machsoen Ali
Surabaya: Lembaga Penelitian Universitas Airlangga , 1989
351.1 MAC k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Bahtiar
"Menjadi pedagang kaki lima memang dilematis, di satu sisi menjadi pedagang kaki lima merupakan usaha untuk menggantungkan kebutuhan hidup sehari-hari, di sisi lain sebagai aktifitas usaha yang menggunakan ruang publik, pedagang kaki lima berhadapan dengan peraturan daerah DKI Jakarta No.11 tahun 1988 tentang larangan berjualan di tempat-tempat yang seharusnya digunakan oleh masyarakat umum, seperti trotoar dan badan jalan. Sehingga penyitaan dalam operasi penertiban yang dilakukan oleh petugas merupakan sesuatu yang sangat ditakuti tapi tidak bisa dihindari oleh pedagang kaki lima.
Penelitian ini tentang bentuk-bentuk tindakan represif petugas tramtib terhadap pedagang kaki lima saat penyitaan dalam penertiban di Pasar Senen. Penelitian difokuskan pada beberapa kasus tindakan represif petugas tramtib terhadap pedagang kaki lima saat penyitaan dalam penertiban dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Penelitian yang penulis lakukan adalah bersifat kualitatif. Tehnik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam (depth interview) dan observasi lapangan. Wawancara dilakukan terhadap pedagang kaki lima dan petugas tramtib.
Dalam penelitian ini ada beberapa teori yang digunakan yaitu teori Ralf Dahrendor, Peter M. Blau, Richard Quinney dan William Chamblis. Dahrendor menggunakan pendekatan melalui Asosiasi terkodinir secara imperative (keharusan), bahwa kontrol sosial dalam suatu masyarakat tergantung kepada hubungan bertingkat-tingkat atau hirarkis digolongkan menurut asosiasi superordinal dan sub ordinat. Pembagian kewenangan secara tidak sama menimbulkan konflik, di mana kelompok-kelompok yang dominan memaksakan kehendak mereka dan kelompok-kelompok bawahan berusaha menentangnya. Kemudian Peter M. Blau mengungkapkan bahwa dalam pertukaran sosial seseorang akan melakukan upaya simpatik supaya mendapatkan penghargaan dari orang lain, padahal mungkin sifat itu dimunculkan supaya terlihat bersikap lebih ramah daripada bermusuhan dalam berhubungan. Richard Quinney mengemukakan bahwa realitas kejahatan yang dikonstruksi untuk seluruh anggota masyarakat oleh mereka dalam tampuk kekuasaan merupakan realitas di mana kita cenderung menerimanya sebagai bagian dari kita sendiri. Dengan melakukan hal itu, kita mengakui eksistensi mereka yang dalam tampuk otoritas untuk melaksanakan tindakan yang sebagian besar mempromosikan kepentingan mereka. Ini adalah realitas politik. Realitas sosial dari kejahatan dalam sebuah, masyarakat yang terorganisir secara politik terkonstruksi sebagai sebuah tindakan politik. William Chambliss menuturkan bahwa dalam negara, pembuatan hukum merupakan hasil dari kepentingan kelompok atau kelompok penguasa dan bukan kepentingan umum, kepentingan kelompok dengan kekuasaan dan kekayaan yang paling besar akan paling tercermin dalam hukum itu.
Dari hasil penelitian menunjukan bahwa tindakan reprsif oleh petugas tramtib terhadap pedagang kaki lima saat penyitaan dalam penertiban yaitu: mengintimidasi pedagang kaki lima, merusak barang dagangan, melaksanakan penyitaan pada waktu malam hari. Penyitaan dalam penertiban ini biasanya dilakukan setelah lebaran, dengan jumlah pedagang kaki lima yang cukup banyak dan untuk menghindari bentrokan dengan pedagang, ketika dilakukan penyitaan, pedagang kaki lima tidak ada di lokasi karena masih dalam suasana lebaran. Pelaksanaan penyitaan dalam operasi penertiban juga dilakukan pada saat pedagang kaki lima tidak ada di tempat. Faktor-faktor yang mendukung terjadinya tindakan represif petugas tramtib terhadap pedagang kaki lima saat penyitaan dalam penertiban yaitu: 1. Faktor petugas sebagai pemegang otoritas 2. Faktor pedagang kaki lima sebagai sub ordinat 3. Faktor pedefinisian kejahatan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14336
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eko Siswono
"Disertasi ini adalah mengenai hubungan-hubungan kekuasaan antara pemerintah kota dengan pelaku sektor informal. Lebih spesifik, disertasi ini mengenai kalangan pedagang kaki-lima (PKL) di Kota Depok, Jawa Barat dalam memahami, menginterpretasi dan menanggapi kenyataan yang mereka hadapi akibat pemberlakuan peraturan daerah (Perda). Kehidupan mereka teracam oleh tindakan operasi penertiban petugas Satpol PP sebagai salah satu aparat. Disertasi ini memusatkan perhatian pada strategis-strategis yang sengaja dikembangkan oleh PKL, Preman dan Aparat setempat untuk menguasi trotoar dengan melakukan negosiasi dan akomodasi.
Hubungan-hubungan kekuasaan dalam konteks penguasaan ruang publik tersebut, seolah menjadi perebutan antara pihak PKL dengan Preman dan Aparat yang ingin melaksanakan aktivitas sehari-hari serta tugasnya, dipandang sebagai sebuah perspektif, pengetahuan, dan kekuasaan yang bebas diinterpretasikan oleh seorang peneliti Antropologi. Sikap negosiasi dan akomodasi yang dilakukan para PKL yang terjadi di trotoar bekerja terkait satu sama lain dan saling membutuhkan, menyebabkan posisi mereka semakin menunjukkan penguasaannya. Para pelaku seperti preman dan aparat yang terlibat dalam melakukan strategi negosisasi dan akomodasi merupakan praktikpraktik sosial yang menandai bekerjanya kekuasaan, karena adanya hubungan antara struktur dan agensi (Giddens, 1979). Trotoar sebagai tempat aktivitas mereka sehari hari, juga sebagai objek tarik menarik antara PKL, Preman dengan Aparat setempat merupakan reproduksi aktivitas-aktivitas yang telah terorganisasi melalui kontekstualitas ruang dan waktu. Oleh karena itu, kontekstualitas merupakan interaksi yang disituasikan dalam ruang dan waktu (Giddens, 1984). Sikap resistensi yang ditunjukkan para PKL itu, meskipun terkadang tidak tampak ke permukaan merupakan sebuah aspek politik yang mengimplikasikan interpretasi yang berbeda beda (Foucault, 1978). Lebih jauh Foucault (1978) menyatakan, bahwa resistensi selalu hadir bersama kekuasaan, dan, "dimana ada kekuasaan, di sana ada resistensi", sehingga adanya kekuasaan selalu dihadapi dengan perlawanan. Hal ini oleh para antropolog seringkali dikaitkan dengan sifat hegemoni yang melekat pada kekuasaan tersebut (Gramsci dalam During, 2001). Di samping itu, Foucault (1978) menyatakan, bahwa kekuasaan selalu hadir di seluruh ruang sosial (social sphere) dimana pun dan memasuki ruang publik, sehingga kekuasaan bukanlah suatu kepemilikan monolitik suatu kelas atau kelompok tertentu.
Temuan penelitian, dapat dikemukan seperti sebagai berikut :
Pertama, bahwa trotoar dimaknai sebagai salah satu ruang publik yang peruntukannya diatur oleh pemerintah kota melalui peraturan daerah (Perda). Pemberlakukan Perda selama ini sejak 2006), sering mengundang kontroversi dari masing-masing pihak yang berkepentingan, terutama kalangan PKL. Para PKL yang sering melakukan perlawanan bertujuan untuk mengimbangi petugas Satpol PP. Akan tetapi pada saat yang lain PKL melakukan negosiasi, dan akomodasi untuk mempertahankan trotoar sebagai tempat berusaha mereka. Oleh karena itu, trotoar dalam konteks penggunaannya bukanlah sesuatu yang statis, tetapi konsep yang dinamis dan selanjutnya dijadikan objek perebutan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Proses "tarik menarik" antara berbagai kepentingan, proses makna-memaknai dan tafsir-menafsirkan merupakan proses yang menandai bekerjanya kekuasaan yang terus berkembang sesuai kepentingan masingmasing pihak yang terlibat.
Kedua, proses negosiasi, dan akomodasi yang dilakukan oleh masing-masing pihak tersebut demi melanggengkan kepentingannya untuk menguasai trotoar. Oleh karena itu untuk menguasai trotoar para PKL pada awalnya bersikap resistensi dalam menghadapi Aparat. Tetapi kemudian mereka melakukan negosiasi dan akomodasi karena dianggap lebih efektif. Tindakan negosiasi dan akomodasi yang dilakukan di antara pihak-pihak yang terlibat tersebut merupakan sikap yang berkembang selama ini, sehingga semakin memperkuat penguasaan ruang publik.
Ketiga, tindakan resistensi, negosiasi dan akomodasi yang berkembang dalam hubungan-hubungan kekuasaan antara PKL, Preman dan Aparat merupakan konstelasi yang tidak mudah untuk dihilangkan begitu saja, tetapi memerlukan tindakan-tindakan yang arif, sehingga tidak terjadi tindakan-tindakan yang selama ini cenderung adanya kekerasan.

This Doctoral Thesis is about relations of authority between central government and informal sector. More specific, this doctoral thesis about impact of community of traditional trader in City of Depok, West Java in term of understanding, interpretation and responding reality life of them on local government legality - (Perda). Traditional trader life in danger by action and operation of Government Police (Satpol PP) to curb as government institution. This doctoral thesis focused on strategies which is absolutely developed by Traditional Trader (PKL), civilian freeman and government institution in that area to get control of pedestrian way with negotiation and accommodation. Relations between authority in context domination on public area, as through become battle for power between Traditional Trader (PKL) with civilian freeman and Government Institution which is they are want to do daily duties, viewed as perspective, knowledge, and authority which is to interpretation by Anthropologists. Attitude of negotiation and accommodation which is traditional trader doing on pedestrian way relate each other and need each other, impacting position of them more refer to get power. Civilian freeman and Government Institution in term to do strategy of negotiation and accommodation that is social practices which is mark sense authority works, because as it is relationship between structure and agency (Giddens, 1979).
Pedestrian Way as place of daily activities of them, as well as object battle for power between traditional trader, civilian freeman and local government institution which is reproduction of activities of organized by mean of contextual area and time. On that cause, contextuality which is situationed interaction on area and time (Giddens, 1984). Attitude of resistantion to pointed from that traditional trader, although sometimes not really definitely explisit which is one of politic aspect to implicate different interpretations (Foucault, 1978). Farther Foucault (1978) suggest that resistantion always come up with authority, and "where as it is autority, there as it is resistantion", so it will always authority responded with oppotition. This thing by anthropologists many times related with hegemony which is stick to that authority (Gramsci on During, 2001). Otherwise, Foucault (1978) suggest that authority always come up on whole social area(social sphere) anywhere and entering public area, so it will authority not an monolitic ownership a class or certain group.
Research result has fouded as like as :
First, that pedestrian way has meaned as one of public sphere which is role of conduct from local government by mean local government legality (Perda). Authorized Perda since 2006, often exciting controversion from each be concerned side, especially traditional trader side. Traditional traders which is who often to opposite purpose for balancing Government Police (Satpol PP).However once a time other side traditional trader doing negotiation, and accomodation for maintain pedestrian way as place as work for them. On that cause, pedestrian in context its use not statical things, but conceptual which is dinamic and next as well as object to battle for authority by sides be concerned. Process "pull-pulling" between various interest, meaningful process and interpretatively which is process indicated development authority works relate with authority each sides.
Second, hopefully to have authority for authorizing pedestrian way. On that cause to authorized pedestrian way traditional traders at first time being resistantion when confront to the Government Institution. But then have a deal and negotiation and accomodation because they feel more effectively. Actions of negotiation and accomodation that does between sides which is who joined with that situation there is as long as development attitude. So it will strengthen domination public sphere.
Third, resistantion action, negotiation and accomodation which is developed in term relations authority between traditional traders, civilian freeman and government institution which is not easy constelation to removed, but must have wise actions, so it wont create rush actions."
Depok: Universitas Indonesia, 2009
D956
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Pramudita Darmabrata
"Studi yang membahas masalah pedagang kaki lima telah banyak dilakukan baih oleh negara-negara berkembang maupun oleh para ahli dari negara maju. Namun masih banyak juga kaki lima menjadi masalah sosial perkotaan di negara-negara berkembang, Indonesia termasuk diantaranya mengemban masalah ini.
Permasalahan sesungguhnya oleh para ahli dikemukakan karena kesalahan cara melihat PKL. Mereka dianggap sebagai masalah sosial yang perlu diberantas. Selain itu mereka juga dipisahkan dari sektor perekonomian modern dan di labelkan sebagai sektor ekonomi informal. Mereka adalah komunitas tersendiri yang masih menjalankan sistem perekonomian tradisional, yang mereka jalankan tanpa modal yang besar untuk memulainya. Ini berjalan bukan tanpa sebab. Modus ekonomi tradisional ini berjalan alas dasar latarbelakang kultur adat asal mereka masing-masing. Kedua adalah karena latar belakang ekonomi mereka yang rendah, hanya dapat menyediakan modal kecil, dan dapat mengandalkan sistem kekerabatan mereka yang erat untuk menjalankan usahanya.
Studi ini bertujuan mencari alternatif pemecahan masalah penataan kaki lima dengan perspektif pendekatan sosiologi perkotaan dan planologi perkotaan, dengan memilih lokasi penelitian di Pasar Baru Kota Bekasi. Yang dipelajari, sebagaimana seharusnya untuk tiap proses membuat kebijakan seharusnya diawali dengan assesment seperti berikut, adalah bagaimana karakteristik sosioekonomi PKL, untuk menganalisa apa yang menjadi kebutuhan, hambatan dan potensi mereka Kemudian meninjau, apa konsep yang dimiliki pemda kota, sebagai penyelenggara publik kota, dalam menangani PKL.
Bagaimana strategi, perencanaan tata ruang kota dan pelaksanaan kebijakan-kebijakannya dilapangan?.
Metade yang digunakan dalam penelitian ini adalah kombinasi metode kualitatif dan kuantitatif, dengan penekanan analisa secara kualitatif. Analisa kuantitatif digunakan sebagai dukungan data profil PKL yang nyata dalam menganalisa temuan-temuan penelitian. Profit PKL dan karakteristik sosioekonominya dalam penelitian ini hanya sebatas untuk menemukan kebutuhan, potensi dan pola kehidupan aktivitas mereka Sedangkan untuk analisa tingkat makro, yaitu. tinjauan perkotaannya, lebih efektif dianalisa dengan metode kualitatif Penelitian kuantitatif dilakukan dengan menggunakan kuesioner untuk 50 pedagang kaki di Pasar Baru Bekasi. Penelitian kualitatif adalah dengan melakukan indept interview dengan beberapa pejabat pemkot Bekasi terkait. Termasuk pula di tingkat camat dan kelurahan. Ditambah wawancara dengan beberapa konsumen pasar dan warga kota untuk mendapatkan opini dan aspirasi mereka.
Dari penelitian ditemukan bahwa karakter pedagang tradisional, termasuk PKL, berasal dari latarbelakang kultural rnereka masing-masing yang embedded dalam kehidupan mereka, bahkan dalam organisasi perniagaan mereka Sedangkan pedagang di Pasar Baru Bekasi berasal dari bermacam etnis. Ini menjadi hal yang unik sekaligus rumit yang menjadikan warna kemasyarakatan di pasar itu. Untuk pengelolaannya diperlukan konsep bottom up untuk efektivitas manajemennya di tingkat mikro maupun makro.
Pola berdagang ekonomi subsisten yang "menjemput" konsumen dengan berdagang di tempat-tempat strategis dan terbuka, mengakibatkan mereka memadati bahu jalan, bahkan sampai sebagian dari badan jalan, menghambat lalu lintas kota dan memperburuk pemandangan kota. Maka perlu strategi untuk dapat mengakomodasi keberadaan mereka disertai dengan regulasi-regulasi yang perlu disepakati stakeholder kota dalam masalah ini.
Hans Dieter Evers memberikan perspektif untuk jalan pemecahan masalah perkotaan dari segi sosiologi perkotaan, yang menjadi problem klasik negara-negara berkembang di Asia Tenggara. Evers memberikan teori Image of the City yang dikemukakan Kevin Lych untuk melihat kembali kepada pikiran mendasar sederhana, yaitu dengan mengurai analisa elemen-elemen dasar kota. Sedangkan di tingkat kebijakan perkotaan penulis merekomendasikan langkah-langkah yang di ajukan oleh John M Bryson untuk menyepakati kembali visi untuk dapat membuat perencanaan strategis untuk mengorganisasi PKL menjadi pedagang tradisional di pasar."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13819
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>