Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 188494 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
S7277
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nofri Wandi
"Nofri Wandi. Kebijakan Sultan Qabus Dalam Bidang Pendidikan Oman (2000-2004). (Di bawah bimbingan Suranta, M.Hum) Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2008). Perbaikan pendidikan merupakan langkah Sultan Qabus untuk mempersiapkan warga Oman bersaing dengan pendatang asing. Para pendatang tersebut umumnya berasal dari Inggris, India, dan Pakistan. Kedatangan awal pendatang telah dimulai pada abad ke XVII untuk melakukan perdagangan. Inggris pernah mcnjajah Oman dan kemudian memberikan kemerdekaan pada tahun 1951 saat Sultan Said (ayah Sultan Qabus) herkuasa dan sampai saat ini hubungan kedua negara sangat erat. Keberadaan mereka masih dibutuhkan dalam pembangunan, sehingga banyak ditemukan pendatang axing yang menduduki posisi penting di Oman. Penulisan skripsi ini berusaha mcngungkapkan kebijakan Sultan Qabus dalam melakukan perbaikan bidang pendidikan. Dengan menggunakan metode sejarah, data diperoleh dari perpustakaan pdsat Universitas Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaye Fakultas llmu Sosial Ilmu Politik. dan Perpustakaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Laporan tahunan pemerintah Oman menjadi sumber rujukan utama. Setelah pencarian data, sumber diolah dan apakah sumber tersebut menghasilkan fakta. 'I'ulisan ini disampaikan dalam bentuk deskriptif analitis."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2008
S13336
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dimas Suryo Sudibyo
"Skripsi ini membahas tentang kebijakan Jepang dalam bidang pendidikan terhadap orang Indonesia pada tahun 1930-1945. Pemerintah Jepang berupaya untuk menarik perhatian negara-negara Asia melalui propagandanya. Negara yang menjadi salah satu tujuannya Indonesia. Melalui propagana Jepang di bidang pendidikan diharapkan negara-negara di Asia dapat bersimpati dengan Jepang. Misalnya, melalui pencitraan diri yang baik dan berita tentang pendidikan di Jepang melalui koran. Pemerintah Jepang semakin mengontrol penuh kebijakan di bidang pendidikan saat pada tahun 1942. Namun, Jepang menyerah terhadap Sekutu pada tahun 1945. Menyerahnya Jepang terhadap Sekutu maka berakhirlah kebijakan Jepang di Indonesia.

This thesis discusses about Japan's educational policies to the Indonesian from 1930-1945. The Japanese government tried to attract Asian countries through propagandas. One of the target was Indonesia. Through the Japanese propaganda in the education sector, expected to countries in Asia can sympathize with the Japanese. For example by promoting good image and spreading news about Japanese educational system in newspaper. The Japanese government was fully control in during 1942. However, Japan surrendered to the Ally in 1945,. THis event ended educational policy in Indonesia."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2009
S12169
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Ediana Yusuf
"ABSTRAK. Kedatangan comodor Ferry ke Jepang pada tahun 1858 pada mulanya hanya ingin mengadakan hubungan perdagangan dengan Jepang, tetapi kemudian juga mempunyai tujuan untuk membuka Jepang supaya mau berhubungan dengan negara lain. Kedatangan yang pertama ini tidak membuahkan hasil dan baru pada kedatangannya yang kedua yaitu tahun 1854, Amerika dapat memaksa Jepang untuk perjanjian persahabatan yang kemudian disusul dengan perjanjian perdagangan. Pada masa pemerintah Meiji, Jepang mulai sadar bahwa perjanjian yang dibuat dengan Amerika sangat merugikannya. Oleh karena itu pemerintah mengirim utusannya ke Amerika dan Eropa untuk merevisi perjanjian. Sementara itu, mereka banyak mengamati kebudayaan Barat dan apa yang mereka lihat nantinya mempunyai pengaruh besar terhadap kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dijalankan oleh pemerintah Jepang. Pemerintah kemudian memusatkan perhatiannya akan modernisasi untuk memelihara ke1angsungan posisi internasional. Maka penting sekali untuk memordenisasikan atau mewesternisasikan negaranya untuk pelaksanaannya. Ada tiga langkah yang dilaksanakan dan harus di perhatikan yaitu: Landeform, meluaskan militer dan pendidikan. Untuk memperkuat penghasilan nasional, Jepang perlu membenahi dan memperkuat sistem pajaknya. Langkah selanjutnya dengan memperluas kekuatan militer, dimana fasilitas untuk pabrik-pabrik senjata yang digunakan untuk perang. Perluasan dari fasilitas militer ini akhirnya mendorong perkembangan industri yang akhirnya dapat mendorong kemajuan ekonomi nasional. Langkah yang ketiga ialah pendidikan dengan diambilnya tindakan positif oleh pemerintah mengenai sistim pendidikan untuk masyarakat. Untuk tercapainya tujuan memodernisasikan negaranya, Jepang kemudian mengirim pelajar -pelajarnya untuk belajar di luar negeri. Pelajar -pelajar yang mempelajari barat ini sekembalinya ke negerinya, memberikan sumbangnya pada masyarakat Jepang. Mereka menganjurkan supaya jepang meninggalkan cara berpikir dan cara bertindak mereka yang masih tradisional dan menggantinya dengan cara_ modern. Hal ini dapat dipahami karena Jepang terisolasi dari dari dunia luar selama 250 tahun, tetapi dari segi lain hal ini dapat membuat Jepang membentuk kepribadian nasionalnya dengan kuat. Sarjana-sarjana Jepang yang bertujuan ingin memajukan bangsanya lni banyak yang terhimpun dalam gerakan pencerahan, salah satu diantaranya adalah Mori Arinori. Mori terkenal sebagai penganjur modernisasi. la yang belajar di Inggris, mengamati kehidupan masyarakat dan sosial di sana. Setelah ia bersekolah di Inggris, ia juga mendapat kesempatan untuk mengunjungi Amerika sehubungan dengan tugasnya sebagai perwakilan diplomatik Jepang. ia juga banyak mengamati kehidupan di Amerika, salah satu bukunya mengenai Amerika yaitu Life and Resources in Amerika, merupakan buku yang terlengkap yang menceritakan tentang Amerika di Jepang dan yang ditulis oleh orang Jepang. Dalam banyak tulisannya di media masa, Mori merupakan seorang penganjur yang memperkenalkan kebudayaan dan permikiran barat kepada rakyat. Dalam tulisan-tulisannya itu, Mori cukup berani untuk mengkritik pemerintah yang dianggapnya belum dapat menghilangkan sisa-sisa feodalnya, baik itu di dalam menjalankan sistim pemerintahannya maupun dalam pelayanan masyarakat. Tindakan Mori yang seperti ini dianggap sebagai tindakan yang berani, karena pada mass itu mengkritik pemerintah masih merupakan hal yang tabu. Mori juga dikatakan sebagai Orang barat yang lahir di Jepang atau Tokoh yang kebarat-baratan. Gelar ini diberikan oleh sahabat Mori yaitu Ito Hirobumi. Memang dalam menjalankan kebijaksanan-kebijaksanannya, Mori terkadang terlalu Barat dalam memandang sesuatu. Misalnya pada waktu Mori mengusulkan dihapuskannya pemakaian bahasa Jepang dan menggantinya dengan bahasa Inggris (Kokugo Haishi Ego Saivoron), sebenarnya hal ini merupakan tindakan yang tergesa-gesa dari Mori tetapi ini semua berangkat dari keinginannya untuk secara cepat dapat memajukan bangsanya."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1987
S13901
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abunawas
"Penelitian ini bertujuan untuk melakukan kajian investasi di DKI Jakarta dalam kaitannya dengan dikeluarkannya Kebijakan Pakto 93. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk (1) Memberikan penjelasan mengenai Kebijakan Ekonomi Pakto 93. (2) Memberikan penjelasan mengenai proses perijinan investasi di DKI Jakarta serta, (3) Analisis kebijakan Deregulasi Pakto 93 Bidang investasi di DKI Jakarta terhadap pengusaha yang telah memperoleh persetujuan investasi. Minat penanaman modal PMDN dan PMA di DKI Jakarta pada tahun 1993/1994 relatif rendah yaitu sekitar Rp. 11.670 milyar untuk PMDN dari target investasi Rp. 12.300 milyar, dan USS 2.229 juta untuk PMA dari target investasi USS 4.500 juta. Sementara itu minat investasi ditingkat nasional pada tahun 1993x'1994 adalah Rp. 50.525 milyar untuk PMDN dan USS 8.027 juta untuk PMA. Rendahnya minat investasi di DKI Jakarta ini memberi tanda kemungkinan adanya hambatan kegiatan investasi.
Proses perijinan penanaman modal khususnya di DKI Jakarta sebelum dikeluarkan Pakto 93 yang mengacu kepada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 1984 dan Keputusan Gubernur KDKI Jakarta Nomor 17.30 Tahun 1985. Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tabun 1984 tersebut disebutkan bahwa proses perijinan penanaman modal dilakukan dengan sistim pelayanan tunggal (One Stop Service). yaitu dikoordinir oleh BKPMD yang bekerjasama dengan instansi terkait baik di Tingkat I maupun di Tingkat II. Adapun inti dari Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tabun 1984 tersebut meliputi 3 hal yaitu :
Ijin Pencadangan Tanah/Surat Pencadangan Tanah diberikan kepada pemohon/calon Investor yang telah memperoleh Surat Persetujuan Sementara (SPS) dari BKPM Pusat dengan melampirkan bukti pemilikan Tanah dan Keterangan Rencana Umum dari Sudin Tata Kota wilayah.
Ijin Lokasi dan Ijin Pembebasan Hak atas Pembelian Tanah diberikan kepada pemohon/penanaman modal yang telah memperoleh Surat Persetujuan Tetap (SPT) atau Surat Pemberitahuan Persetujuan Presiden (SP3) dengan melampirkan bukti pemilikan tanah/bukti-bukti pembebasan tanah, keterangan rencana kota, dan rekomendasi Analisis Dampak Lingkungan.
Untuk Ijin Bangunan akan diberikan kepada pemohon/penanam modal setelah BKPMD terlebih dahulu mengadakan konsultasi teknis dan kelengkapan administrasi dengan Dinas Pengawas Peinbangunan Kota (DP2K) dan telah melunasi biaya retribusi yang telah ditentukan.
Sedang untuk Ijin Undang-Undang Gangguan baru akan diberikan kepada penanam modal setelah permohonan tersebut oleh Biro Ketertiban c.q. Bagian Undang-Undang Gangguan meneliti dan memeriksa keberadaannya di lapangan. Secara keseluruhan proses perijinan dan pemberian pelayanan ini dibutuhkan waktu selama 221 hari.
Setelah keluarnya Pakto 93. maka terjadi pemangkasan birokrasi, dimana beberapa perijinan penanaman modal PMA dan PMDN kewenanganya diserahkan kepada Pemerintah Daerah Tingkat II, yaitu. meliputi (1) Ijin lokasi sesuai dengan Rencana Tata Ruang, dikeluarkan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya. (2) Hak Guna Bangunan. Hak Guna Usaha dan Hak Pengelolaan dikeluarkan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya. (3) Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) dikeluarkan oleh Kepala Dinas Pekerjaan Umum Dati II/Satuan Kerja Teknis atas nama Bupati/Walikotamadya yang bersangkutan atau Kepala Dinas P2K (bagi DKI Jakarta) atas nama Gubernur KDKI Jakarta. (4) Ijin Undang-undang Gangguan (HO) dikeluarkan oleh Sekretaris Wilayah Daerah Tingkat II atas nama Bupati/Walikotamadya yang bersangkutan atau Kepala Biro Ketertiban atas nama Gubernur KDKI Jakarta.
Dengan berlakunya Pakto 93 berdasarkan perhitungan dan hasil studi lapangan menunjukkan adanya keterlambatan dalam pengurusan perizinan khususnya dalam pemberian Ijin Lokasi dan Pembebasan Hak Atas Pembelian Tanah serta Pemberian Hak Atas Tanah sebagai akibat dan hambatan internal (instansi pemberi pelayanan) maupun sebagai akibat hambatan eksternal (pengurusan untuk penyelesaian pemrosesan perijinan). Rata-rata lama proses perijinan investasi baik PMA/PMDN adalah 515 Mari, sedangkan khusus untuk PMA lama keterlambatan proses perijinan adalah 599 hari, serta untuk PMDN 423 hari.
Realisasi investasi nasional baik PMA maupun PMDN, realisasinva masih rendah. Untuk PMA realisasi investasi dari tahun 1993 - 1994 sebesar 40,7 persen dan terus menurun dimana pada tahun 1996 - 1997 hanya sebesar 27,3 persen. Sedangkan untuk PMDN pada tahun 1997 sebesar 58,6 persen. dimana pada tahun 1995/1996 sebesar 60,4 persen dan pada tahun 1996/1997 mengalami penurunan sehingga menjadi 54,5 persen. Untuk menarik minat investasi. tindak lanjut dari berbagai kebijaksanaan untuk mengurangi hambatan investasi sebaiknva dilakukan usaha untuk mempercepat lamanya waktu pemrosesan perijinan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saraswati Rupini
Depok: Universitas Indonesia, 1995
S22811
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Baedhowi
"ABSTRAK
Pemerintah Indonesia telah melaksanakan kebijakan desentralisasi pemerintahan untuk mewujudkan otonomi daerah. Dengan otonomi daerah ini diharapkan masyarakat mendapatkan Iayanan publik yang lebih baik, lebih cepat, dan lebih bertanggungjawab dalam urusan pemerintahan. Salah satu bidang pemerintahan yang didesentralisasikan adalah bidang pendidikan.
Pelaksanaan otonomi daerah bidang pendidikan di Indonesia masih menghadapi sejumlah masalah baik bersifat koliseptual maupun masalah faktual. Jika permasalahan tersebut tidak segera ditangani maka dikhawatirkan bahwa desentralisasi pengelolaan pendidikan akan membawa dampak negatif yang lebih kompleks seperti masalah disintearasi bangsa. Itulah sebabnya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasiunal (Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003 memberikan dukungan yang tegas dan jelas dalam penyelenggaraan otonorni daerah bidang pendidikan dengan tetap berpegang pada satu sistem pendidikan nasional dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji lebih mendalam tentang "implementasi kebijakan otonomi daerah bidang pendidikan di kabupaten/kota". Cakupan penelitlan ini meliputi faktor Translation ability para pelaku kebijakan, termasuk kapasitas sumberdaya manusia dan pemahamannya terhadap kebijakan otonomi daerah bidang pendidikan, manajemen dan organisasi, pembiayaan pendidikan, sarana dan prasarana pendidikan, yang diadopsi dari Teori Gerston (2002). Penelitian ini juga bertujuan untuk mengkaji prospek implementasi kebijakan otonomi daerah bidang pendidikan di tingkat kabupaten/kota. Sedangkan wilayah penelitian ini adalah kabupaten Kendai dan kota Surakarta, Sawa Tengah.
Berdasarkan karakteristik tujuan penelitian yang ingin dicapai maka pendekatan penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif/naturalistik karena peneliti menghendaki kejadian-kejadian yang berkaitan dengan fokus yang alamiah. Dengan mengguilakan metode kualitatif maka informasi yang didapat lebih lengkap, mendalam, dan dapat dipercaya. Dengan metode kualitatif, dapat pula ditemukan informasi yang bersifat perasaan, norma, nilai, keyakinan, kebiasaan, sikap mental, dan budaya yang dianut dari seseorang maupun kelompok orang.
Penelitian ini menghasilkan beberapa temuan. Pe.rtama, dilihat dari perspektif policy initiation, proses pengambilan keputusan tidak ditentukan secara obyektif oleh analisis kebutuhan (need analysis) dalam pemecahan masalah publik tetapi lebih ditentukan oleh itemst para aktor penentu kebijakan daerah yang jangkauannya lebih berjangka pendek. Proses pengambilan keputusan yang berlaku sampai saat ini cenderung berakibat pada kurang relevannya kebijakan pendidikan dengan kebutuhan masyarakat. Dalam praktik, aktor utama Bupati/Walikota dan Komisi E DPRD, jauh lebih dominan dan saling mempengaruhi dalam penetapan kebijakan, dibanding aktor pelaksana kebijakan yaitu Dinas Pendidikan. Dalam penetapan dan implementasi kebijakan, publik belum dilibatkan dan diberdayakan, serta belum dimobilisasi secara signifikan.
Kedua, Kemampuan aparatur pemerintah kabupaten/kota dipandang dari konsep "translation ability' belum cukup efektif dalam pengelolaan pelayanan pendidikan di daerah masing-masing. Para pegawai Dinas Pendidikan memiliki rata-rata latar belakang pendidikan yang cukup tinggi dan latar belakang pekerjaan yang cukup relevan namun posisi tawar (bargaining position) dari Dinas Pendidikan jauh lebih rendah dibandingkan dengan aktor lainnya, yaitu Bupati/Walikota dan DPRD. Sebaliknya, aktor utama (Bupati/Walikota dan DPRD) yang memiliki posisi tawar lebih tinggi cenderung memiliki latar belakang pendidikan yang lebih rendah dan latar belakang pekerjaan yang kurang relevan. Latar belakang pendidikan dan pekerjaan yang tidak seimbang ini mengakibatkan adanya imbalance structure dalam proses interaksi antar-aktor dalam implementasi kebijakan pendidikan. Akibatnya, keputusan yang diambil dalam penentuan maupun dalam implementasi kebijakan cenderung kurang berkualitas, dan yang paling dirugikan adalah masyarakat sebagai pengguna kebijakan di bidang pendidikan.
Ketiga, Organisasi dan manajemen sebagai support system belum dapat memberikan fasilitas terhadap berjalannya implementasi kebijakan pendidikan kepada masyarakat. Aparatur Dinas Pendidikan sebagai pelaksana kebijakan cenderung lebih berfungsi sebagai sub-ordinasi dari aktor-aktor penentu kebijakan daripada sebagai mitra sejajar yang tugasnya melaksanakan berbagai inovasi dalam pelayanan pendidikan agar semakin berkualitas. Dalam melaksanakan fungsinya sebagai penyelenggara kebijakan publik, aparatur pendidikan cenderung kurang berorientasi pada kebutuhan masyarakat (demand driven) tetapi lebih berorientasi secara politis pada kepentingan kepala pemerintahan. Perbedaan nomenklatur nama Dinas dan struktur organisasi menimbulkan kesulitan dalam koordinasi antar kabupaten/kota, dengan pemerintah propinsi, serta pemerintah pusat, terutama dalam pelaksanaan program pengembangan kapasitas institusi.
Keempat, Penyediaan anggaran untuk implementasi kebijakan pendidikan dan jenis-jenis programnya bervariasi antara kedua daerah otonom tersebut. Pemerintah Kendal mengalokasikan anggaran pendidikan yang lebih besar dibanding anggaran yang dialokasikan oleh pemerintah Surakarta. Jika dilihat pemanfaatannya, masih cenderung mengalokasikan anggaran pendidikan untuk program-program fisik. Temuan sejalan dengan temuan Paqueo dan Lammert yang mengkaji pengalaman beberapa negara dalam mengimplementasikan kebijakan otonomi daerah. Kajian Paqueo dan Lammert menemukan indikator yang menunjukkan adanya kecenderungan para politisi lokal (penentu kebijakan) menggunakan dana untuk membiayai kegiatan - kegiatan fisik, dan program yang cepat dapat dilihat hasilnya dalam jangka pendek.
Kelima, ketersediaan sarana dan prasarana pendukung bagi implementasi kebijakan pendidikan baik di kabupaten Kendal maupun kota Surakarta secara minimal terpenuhi tetapi tidak didukung dengan biaya perawatan yang memadai. Penelitian ini juga mengindikasikan adanya kecenderungan yang konsisten dan menarik di kedua daerah tersebut, bahwa pengajuan anggaran pengadaan sarana dan prasarana baru lebih murah daripada pengajuan anggaran untuk perawatan dan perbaikan sarana dan prasarana yarg sudah ada.
Keenam, Indonesia sebagai negara yang memiliki cakupan wilayah yang luas, menerapkan kebijakan otonomi daerah. Salah satu pertimbangan mendasar adalah bahwa tidak mungkin pemerintah mengurus pemerintahan sendiri tanpa membagi kewenangan, dan sekaligus tanggung jawab dengan pemerintah daerah, juga dengan masyarakat sebagai pengguna kebijakan.
Hasil penelitian juga memberikan beberapa saran cebagai berikut:
Bagi Pemerintah; Pertama untuk menghindari kekeliruan dalam penafsiran kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, perlu dilakukan peninjauan dan penyempurnaan undang-undang dan peraturan yang berkaitan dengan otonomi daerah; Kedua, untuk mengurangi "beban" pemerintah kabupaten/kota dalam mengimplementasikan otonomi daerah bidang pendidikan, perlu dilakukan peninjauan kembali kewenangan dan tanggung jawab bidang pendidikan yang diberikan kepada kabupaten/ kota, sesuai dengan translation ability dan kapasitas yang dimiliki oleh pemerintah kabupaten/kota. Salah satu kewenangan kabupaten/kota yang perlu dipertimbangkan kembali adalah kewenangan yang terkait dengan rekrutmen guru.
Bagi Pemerintah kabupaten/kota. Pertama agar implementasi kebijakan otonomi daerah lebih efektif, pemerintah daerah diharapkan dapat lebih banyak melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan; Kedua, agar implementasi kebijakan otonomi daerah, pemerintah daerah perlu memperhatikan latar belakang pendidikan dan pengalaman yang relevan dengan bidang pendidikan, dalam pengangkatan atau pengisian jabatan masing-masing aktor kebijakan di daerah; Ketiga, untuk mempercepat implementasi kebijakan otonomi daerah bidang pendidikan pemerintah daerah perlu memiliki program-program aksi, antara lain: peningkatan kapasitas sumberdaya manusia, peningkatan translation ability, penataan struktur organisasi dan manajemen, dan peningkatan anggaran pendidikan.
Bagi peneliti. Peneliti perlu melakukan kajian dan uji cobs lebih lanjut dengan menggunakan alternatif pendekatan implementasi kebijakan otonomi daerah bidang pendidikan. Berdasarkan hasil penelitian ini, diusulkan untuk memperhatikan beberapa faktor yang berpotensi mempengaruhi implementasi otonomi daerah bidang pendidikan di kabupaten/kota, yaitu: (1) politik, (2) translation ability, (3) Komitmen, (4) Kompetensi dan kapasitas sumberdaya manusia, (5) organisasi dan manajemen, (6) dana penunjang, (7) sarana dan prasarana, (8) Budaya dan karakterstik masyarakat, dan (9) kepastian hukum dan undang-undang yang menjadi dasar implementasi. Temuan penelitian ini mendukung pendapat Gerston mengenai faktor - faktor yang berpengaruh terhadap implementasi kebijakan publik. Namun, ada beberapa faktor potensial lainnya yang direkomendasikan penelitian ini untuk dipertimbangkan dalam implementasi kebijakan otonomi daerah bidang pendidikan.

ABSTRACT
The Indonesian Government has adopted the decentralization and local autonomy policy to provide community with better, prompt, and accountable services in public sectors, including education. The implementation of the local autonomy policy in Indonesia still faces a number of conceptual and factual problems. If the problems are not resolved promptly, it may possibly lead to negative impacts such as disintegration of the nation. Therefore, the government, through the Law No. 20/2003 about the National Education System, dearly and explicitly supports the policy of local autonomy in education subject to the relevance to the system of national education within the framework of the Indonesian Government.
This research dims at investigating thoroughly the implementation of autonomy policy in education at the district/city. It encompasses the translation ability of the policy actors that includes the capacity of human resources and their understanding towards local autonomy policy in education, management and organization, financial support for education, and educational access and facilities, as adopted and modified from Gerston's theory (2002). This research is also aimed at investigating the future prospect of the implementation of the local autonomy policy in education at the district/city level. At this point, the district of Kendal and the city of Surakarta, Central Java, were selected to be places for eliciting the data of this research.
According to the characteristics of the research purposes, this research applied the qualitative/naturalistic approach as the researcher focused on the intended phenomena and events that occurred naturally. Using this qualitative approach, the data elicited are more sufficient, detail, and reliable. In addition, using this approach enabled the researcher to obtain required information dealing with the feelings, norms, values, beliefs, habits, mental attitudes, and culture of an individual as well as a group of certain community.
This research results a number of points. First, from the point of view of policy implementation, the process of decision making to resolve public - related problems was not carried out objectively based on the need analysis, but decided based more on the political interest of the policy actors with short - term considerations. Such a decision making process resulted irrelevant educational policy with the actual needs of the public. Moreover, such a decision making process tended to create problem during the implementation. In the decision making process, public as the policy targets or users, have not been empowered and mobilised significantly.
Second, from the translation ability point of view, the capacity of the local government officials at the district/city in managing education services has not been effective. Despite the fact that most officials of the District Office of Education have highly sufficient formal education background and relevant previous working experience, their bargaining position was lower compared to the one possessed by the other policy actors i.e., Bupati/Walikota and Commission in charge of education (Komisi E) of the Local House of Representative. On the other hand, Bupati/Walikota, the main actor that has higher political bargaining position tended to have lower formal education background and irrelevant previous working experience. This condition leads to an imbalanced structure of interaction among the policy actors in the implementation of education policy. Consequently, the decisions taken and the implementation results of the decisions were likely to be unqualified. In such a condition, public as the policy target/users would have not be able to take any advantage from the policy that have been decided.
Third, the organization and management has not been able to provide facilities that support the implementation of the education policy. The officials of the District Office of Education (Dinas pendidikan) as the policy implementers tended to function as sub-ordinates of the other policy makers rather than to put into an equal position as the companion of the other policy actors in carrying out necessary innovation and improving the quality of education services. In doing their function as the policy implementers, the officials of the District Office of Education were likely not to focus on the public needs (demand driven) but to the political interest of the Bupati/Walikota. The nomenclature and organizational structure differences caused some difficulties in handling coordination among districts/cities, between local government and provincial government, and between local government and the central government, especially in the development of the institutional capacity.
Fourth, the allocations of funding to support the education policy implementation and the types or educational programs are varied from the district of Kendal to the city of Surakarta. The district government of Kendal allocated more: ending than the city government of Surakarta. Seeing from the utilization, both local governments utilized the allocated funding ter supporting physical programs. This in line with the results of the research conducted by Paqueo and Lammert who investigated the experience of several countries in implementing the local autonomy policy.
Fifth, the availability of the educational access and facilities in both in Kendal and Surakarta may be said to be minimally sufficient, but no financial support provided fog maintenance. The results of the research also indicated that proposing financial budget for providing/buying new access and facilities was easier than proposing budget for the maintenance of the existing facilities.
Sixth, Indonesia as a big country needs to implement the local autonomy policy. One of most prominent reasons is that it is impossible for the central government to manage all governance matters without sharing/delegating authority and responsibility with the local governments and community.
This research also recommends a number of things as follows:
For the central government First, to avoid of being interpreted incorrectly, the Laws and Regulations related to the decentralization and local autonomy policy should be periodically revised and improved. Second, to reduce the "burden" of the local government in implementing the local autonomy policy in education, the central government needs to revise and reconsider the authority and responsibility dealing with education delegated to the local government based on the translation ability and capacity of the local government. One of the local government authorities that need to be reconsidered is teacher recruitment.
For Local Government. First, to make the implementation of the local autonomy policy more effective, the local government needs to empower and provide an opportunity to the public to take part in the decision making process. Second, to make the implementation of the focal autonomy policy more efficient, the local government needs to consider the education background and previous working experience in recruiting and promoting the policy actors/makers. Third, to accelerate the implementation of the local autonomy policy in education, the local government needs to design action programs, such as improving human resource capacity, improving the translation ability of the policy makers, reforming the organizational structure and management, and improving budget allocated for education.
For researchers, Researchers and those whose work related to the implementation of the local autonomy policy in education need to carry out further research and try - out on the implementation of the local autonomy in education using alternative approaches appropriate to the local characteristics and condition. This research recommends a dumber factors that may potentially influence the implementation of the local autonomy policy in education, i.e., (1) politics, (2) translation ability, (3) commitment, (4) competency and capacity of human resources, (5) organization and management, (6) supporting budget, (7) access and facilities, (8) culture and characteristics of the community, and (9) reliable Laws and Regulations used as a basis of the implementation. The results of this research support Gerston's theory of factors in the public policy implementation. However, this research also recommends some factors which are not exist in Gerston's theory to be taken into consideration.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
D588
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fita Rizki Utami
"Studi Keluarga dan Anak-anak Rawan HIV dan AIDS tahun 2007 yang dilakukan di tujuh provinsi di Indonesia menunjukkan bahwa kehadiran sekolah, pencapaian pendidikan, serta persepsi untuk melanjutkan sekolah anak pada rumahtangga dengan ODHA lebih rendah dibandingkan dengan anak pada rumahtangga tanpa ODHA. Oleh karena itu penelitian ini akan mengkaji lebih jauh mengenai dampak keberadaan ODHA dalam rumahtangga terhadap partisipasi pendidikan anak. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain cross sectional yang menggunakan data Studi Keluarga dan Anak-anak Rawan HIV dan AIDS tahun 2007. Khususnya sampel rumahtangga dengan anak yang berusia 7 hingga 18 tahun yang berjumlah 509 rumahtangga ODHA dan 552 rumahtangga tanpa ODHA.
Penelitian ini menggunakan analisis multivariat dengan regresi logistik multinomial. Penelitian ini menunjukkan bahwa anak yang tinggal pada rumahtangga ODHA berpeluang dua kali untuk tidak berpartisipasi dalam pendidikan dibandingkan anak yang tinggal pada rumahtangga tanpa ODHA. Hal ini terutama dikarenakan masalah ekonomi yang dihadapi rumahtangga ODHA sebagai akibat meningkatnya kebutuhan perawatan ODHA ataupun akibat kematian ODHA. Upaya mengatasi kesulitan ekonomi dilakukan rumahtangga antara lain; menjual berbagai aset rumahtangga, menyuruh anak bekerja, dan mengurangi biaya sekolah. Anak terpaksa harus menjaga ODHA atau anggota rumahtangga yang lebih kecil. Mahalnya biaya pendidikan juga menjadi penghalang begitu juga pendidikan orangtua/pengasuh.
Penelitian ini menunjukkan bahwa bantuan pendidikan masih minim. Depdiknas belum mengeluarkan kebijakan khusus terkait dengan pendidikan anak pada rumahtangga ODHA. KPAN juga belum menjadikan program mitigasi di seluruh provinsi. Penelitian ini mengajukan beberapa saran yakni; subsidi biaya-biaya yang terkait dengan sekolah dan pemberian beasiswa, skema pekerjaan yang sesuai untuk anak, respon berbasis keluarga dan komunitas, serta konseling oleh guru."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sugiyanto
"ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah ingin mempelaiari pengaruh faktor rumah tangga dalam pemilian jenis pendidikan di SMTA dan kondisi pendidikan SMTA kaitannya dengan aspek ketenagakerjaan.
Data yang digunakan adalah data hasil Susenas 1992 untuk daerah pulau Jawa kecuali DKI Jakarta.
Variabel tak bebas dalam penelitian ini adalah pemilihan jenis pendidikan di SMTA, sedangkan variabel bebasnya adalah faktor-faktor rumah tangga.
Metode analisis yang digunakan adalah statistik deskriptif berupa analisa tabel silang dua atau tiga dimensi dan analisis statistik inferensial berupa statistik regresi logistic berganda.
Hasil penelitian ini menunjukkan : 1) terdapat perbedaan dalam pemilihan jenis pendidikan di SMTA berdasarkan kelompok tanggungan rumah tangga, pendapatan rumah tangga, pendidikan kepala rumah tangga, jenis pekerjaan kepala rumah tangga, daerah tempat tinggal dan jenis kelamin anak, 2) jumlah SMU lebih besar (dua kali lipat) daripada SMK, namun dari rasio siswa per sekolah, SMK relatif lebih padat daripada siswa SMU. Dilihat dari aspek ketenagakerjaan, yaitu dari lapangan kerja, jenis pekerjaan dan status pekerjaan, pekerja lulusan SMK menunjukkan "indikasi produktivitas yang lebih baik" dibandingkan pekerja lulusan SMU. Penganggur lulusan SMU lebih besar daripada lulusan SMK."
1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asih Setiarini
"Kualitas pelayanan KB mencakup dua dimensi, dimensi klien (peserta) dan dimensi provider (petugas pemberi pelayanan). Salah satu ukuran kualitas dengan melihat kejadian komplikasi dan kegagalan. Kejadian komplikasi dapat menunjukkan tingkat pendeteksian, konseling, pemberian informasi mengenai potensi efek samping yang dapat menolong klien memilih metode yang paling sesuai dengan kondisinya, kesehatannya, gaya hidup serta pilihannya. Kejadian kegagalan dapat mencerminkan tidak hanya rendahnya efektifitas metode yang dipilih, tetapi juga berhubungan dengan ada atau tidaknya kontak dengan petugas kesehatan. Dengan memanfaatkan laporan publikasi yang dikeluarkan oleh Biro Pelaporan dan Statistik BKKBN setiap bulannya, maka dikembangkan cara penghitungan kejadian komplikasi dan kegagalan. Studi ini merupakan analisa data sekunder, dari 2 publikasi yaitu laporan umpan batik klinik dan laporan pembinaan keluarga sejahtera dan bulan April 1994 sampai Maret 1997. Janis data yang dimanfaatkan adalah peserta baru, peserta aktif, komplikasi dan kegagalan KB. Analisa data dengan mengelompokkan berdasarkan pembagian wilayah Jawa-Bali, Luar Jawa-Bali I, dan Luar Jawa-Bali-II serta per propinsi dan per tahun. Angka persentase komplikasi dihitung dengan 2 cara, yaitu membagi kejadian komplikasi dengan denominator peserta baru dan peserta aktif. Sedangkan angka persentase kegagalan hanya dengan denominator peserta aktif. Angka hasil perhitungan semakin kecil menunjukkan semakin rendah kejadiaannya yang berarti semakin baik kualitas pelayanan. Terlihat kecenderungan yang terus menurun kejadian komplikasi dan kegagalan selama kurun waktu 3 tahun untuk semua metode kontrasepsi. Klien yang menggunakan IUD paling banyak mengalami kejadian komplikasi (7,22%, 1996/97) dan kejadian kegagalan (0,16%, 1996/97). Sedangkan klien metode Suntik yang paling rendah mengalami komplikasi (1,34%, 1996/97) dan kegagalan (0,04%, 1996/97). Wilayah yang paling baik kualitas pelayanannya berada di wilayah Luar Jawa-Bali I untuk kejadian komplikasi, sedangkan wilayah Jawa-Bali untuk kejadian kegagalannya. Penghitungan angka persentase komplikasi dengan peserta aktif (penyebut yang lebih besar), angka komplikasinya menjadi sangat kecil. Akibatnya tidak tertangkap perhatian manajer program sebagai masalah mutu pelayanan yang panting untuk diprioritaskan."
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 1999
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>