Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 141507 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
S7268
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kartika
"Maraknya perkawinan beda agama selalu menjadi kontroversi serta polemik di masyarakat, baik masyarakat organisasi keagamaan maupun agamawan hampir sepakat melarang dilakukannya perkawinan beda agama. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dengan menggunakan metode kepustakaan dan metode lapangan, terlihat bahwa pandangan masyarakat serta para agamawan tersebut semakin kuat sejak diberlakukannya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan khususnya pada pasal 2 ayat (1) dan (2) jo. Pasal 8 huruf (f), Kompilasi Hukum Islam yang disahkan dengan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 dan diperkuat lagi dengan dikeluarkannya Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tanggal 1 Juni 1980 yang mengharamkan pernikahan beda agama baik antara laki-laki muslim dengan perempuan non muslim ataupun sebaliknya. Terlepas dari ketentuan di atas, nyatanya perkawinan beda agama kian hari kian meningkat jumlahnya, bahkan belakangan ini telah terjadi perkawinan beda agama yang dilakukan oleh Yayasan Wakaf Paramadina, yang membolehkan perkawinan beda agama dengan berdasar pada Al Quran surat Al Maidah ayat 5 serta menegaskan bahwa tidak ada tafsir tunggal atas teks-teks Kitab suci. Yayasan tersebut juga mengeluarkan surat keterangan sahnya perkawinan yang hanya sah menurut Yayasan Wakaf Paramadina, tetapi tidak sah menurut hukum Negara karena Yayasan Wakaf Paramadina bukanlah instansi yang berwenang untuk melangsungkan maupun mencatat perkawinan. Perkawinan beda agama tersebut juga tidak luput dari permasalahan yang dapat timbul dikemudian hari antara lain terhadap status perkawinan itu sendiri yang dapat mengakibatkan batalnya perkawinan, Adanya kekhawatiran terjadi konversi agama atau “pemurtadan”, serta permasalahan mengenai pembagian warisan dari perkawinan tersebut yang hanya dapat diwariskan melalui wasiat karena adanya perbedaan agama."
[Fakultas Hukum Universitas Indonesia, ], 2005
S20472
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mukmin Amarullah
"Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tujuan perkawinan dapat tercapai bila perkawinannya sah yaitu apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Sebagai bukti bahwa sudah dilakukan perkawinan, maka setiap perkawinan harus dilakukan di hadapan Pegawai Pencatat Perkawinan dan dicatat pada kantor pencatatan perkawinan. Rumusan dan pengertian perkawinan tersebut di atas diatur dalam Undang-Undang Perkawinan yang walaupun sudah dibuat sesempurna mungkin tetapi masih dapat disalah gunakan karena adanya pasalpasal yang sumir sehingga terjadi penyelundupan hukum seperti misalnya terjadinya perkawinan beda agama baik yang dilakukan di Indonesia maupun di luar negeri yang seharusnya hal tersebut tidak boleh terjadi karena pada hekekatnya sesungguhnya tidak ada satu pun agama yang membolehkan umatnya menikah dengan pasangan kawinnya yang berbeda agama, karena setidaknya akan mendapat masalah pada keabsahan perkawinan dan keabsahan anak yang dilahirkan dari perkawinan beda agama. Maka melalui penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis-normatif dengan tipologi penelitian bersifat eksplanatoris dengan bentuk evaluatif, telah secara khusus meneliti mengenai keabsahan anak yang lahir dari perkawinan beda agama berdasarkan Undang-Undang Perkawinan. Beberapa pokok permasalahan yang ditemukan adalah apakah anak yang dilahirkan dari perkawinan beda agama dapat digolongkan sebagai anak yang sah, dan apakah anak yang dilahirkan dari perkawinan beda agama dapat digolongkan sebagai ahli waris yang sah dari kedua orang tua biologisnya. Sebagai kajian lebih mendalam kami bahas mengenai kasus perkawinan beda agama yang telah terjadi antara pasangan artis Indonesia. Dan kami berkesimpulan bahwa perkawinan beda agama adalah tidak sah sehingga anak yang dilahirkan dari perkawinan beda agama dapat disamakan sebagai anak luar kawin karenanya hanya mempunyai hubungan perdata terhadap ibu dan keluarga ibunya akibatnya anak tersebut tidak dapat mewaris dari ayah biologisnya."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
T37742
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diah Retno K. Aidi
"Perkawinan merupakan hak asasi manusia, yang harus mengikuti norma-norma perkawinan menurut hukum agama dan Hukum Negara. Ketika sepasang manusia yang ingin melaksanakan pernikahan tetapi mereka berlainan agama, maka Undang-undang No.1 Tahun 1974 tidak mengatur hal tersebut, dan dalam Kompilasi Hukum Islam juga melarang Perkawinan beda agama yaitu dalam pasal 40 dan 44 dalam kitab-kitab fiqih umumnya, dimungkinkan seorang lelaki muslim menikahi wanita ahli kitab. Tetapi sesungguhnya belum banyak orang yang mengetahui Hal apa yang akan terjadi akibat Perkawinan antara mereka yang berbeda agama dan Status hukum anak yang dilahirkan dari Perkawinan tersebut.
Penulisan dalam skripsi ini menggunakan metode penelitian kepustakaan (Library Research). Dimana, Status anak menurut UU no.1 th 1974 dan Hukum Islam dapat dilihat Dari sah atau tidaknya Perkawinan yang dilakukan oleh orang tuanya, jika tidak sah maka ia bernashab dan mempunyai hak asuh terhadap ibu atau kerabat ibunya saja. Dalam hak mewaris bagi orang muslim dan ia berbeda agama dengan pewarisnya maka ia bisa menerima harta dari dan oleh pewaris dalam bentuk wasiat wajibah dan dengan keluarnya SEMA no.2 th1990 memberikan pilihan hukum bagi orang yang menghendaki penyelesaian pembagian harta waris sesuai yang diinginkan.
Dalam hal perwalian menurut Hukum Perkawinan Islam, Wali merupakan Rukun nikah, jika walinya berbeda agama maka ia harus menggunakan wali hakim. Dalam UU No.1 Th 1974, tentang Perkawinan, bahwa kekuasaan orang tua adalah tunggal, yaitu dipegang oleh ayah dan ibu, walaupun mereka bercerai. Sehingga kekuasaan orang tuanya hanya akan berlanjut kepada Perwalian, yang akan muncul apabila orang tua tidak dapat menjalankan kekuasaan orang tuanya.
Menurut BW jika Perkawinan putus, lembaga kekuasaan orang tua yang ditunjuk akan menjadi wali. Perbedaan agama antara suami dan isteri akan selalu mengancam hubungan baik dan kebahagiaan rumah tangga karena kerukunan yang hakiki sangat sulit diwujudkan, kecuali bagi pasangan yang keyakinan agamanya kurang kuat yang memandang semua agama adalah sama.

Marriage is a human right, even though it must follow marriage norms according to religion and the state. When a couple of man and woman wishes to get marriage but they have different religions, the existing Law No. 1 Year 1974 did not regulate this issue. Even the Compilation banned marriage with different religions (KHI Article 40 and 44). While Islam as contained in its fiqih laws tolerates a Muslim male to marry female ahli kitab, many people has no idea about the consequences of marriage of a couple with different religions or the legal status of their children.
This thesis is prepared using library research method. Pursuant to Law No. 1 Year 1974 and Islamic Laws the legal status of a child is dependent on the legality of his/her parents’ marriage. If illegal, the child concerned will be counted as the family of his/her mother only including his/her caring rights. In respect of inheritance right, for Muslims, if the heir has different religion from the testator, the former will receive wealth from and by the testator in the form of wasiat wajibah. The issuance of SEMA No. 2 Year 1990 only regulated legal options for the parties who desired to share the inheritance according to their preferences.
With regard to guardianship in Islamic marriage, guardian is prerequisite in marriage. In case of guardians with different religions, wali hakim will be appointed. Meanwhile, Law No. 1 Year 1974 concerning Marriage prescribed that parents’ authority is single residing with father and mother, even though they get divorce. Thus, parents’ authority will continue to guardians who will emerge when the parents fail to perform their parental authority.
According to BW if the marriage is broken, the parental authority will directly be devolved to guardians. Different religions of husband and wife will jeopardize the sustainability and happiness of family and harmonious domestic life will be very difficult to realize. However, this may exert insignificant impact to the couples who relatively have weak religious belief since despite different religions; they normally consider that all religions are same.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
S19699
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Edwina Dian Rianti
"Salah satu sumber yang dapai mendatangkan masalah yang seringkali menjadi momok bagi pasangan beda agama adalah kehadiran seorang anak (Blood&Blood, 1978). Seperti yang diketahui, agama mempunyai peran penting dalam kehidupan anak. Agama yang diturunkan orangtua pada anak akan menentukan apa yang akan diseleksi oleh anak dari pengaruh lingkungan yang diterimanya, juga akan memberikan identitas diri yang dibutuhkan oleh anak (Barns, 1997). Dalam keluarga beda agama, pasangan tersebut harus memutuskan bagaimana mereka akan membesarkan anak tersebut, dengan aturan agama siapa anak akan dibesarkon, berpartisipasi, dan diidentifikasikan (Blood & Blood, 1978). Keputusan yang akan dibuat oleh pasangan beda agama ini bukanlah suatu hal yang mudah untuk dilakukan. Pada dasarnya, individu, baik pihak ayah maupun ibu, selalu ingin agar anaknya dibesarkan menurut agamanya masing-masing, karena bagaimanapun juga agama merupakan bagian yang sangat mendasar dalam identitas tiap pihak orangtua, dan sangatlah sulit untuk melepaskan identitas diri seseorang (Heins, 2001 dolom vvww.parentkidsright.com). Belum lagi bila keluarga besar dan tiap pasangan ikut campur dan memberi tekanan pada individu agar anaknya dibesarkan sesuai dengan agamanya masing-masing. Dengan melihat keadaan diatas, dapat dikatakan bahwa individu yang menikah beda agama dalam menentukan agama anaknya dapat mengalami konflik. Kontlik ini dapat menimbulkan stress, penderitaan hingga mengganggu aktivitas individu. Atas dasar itu peneliti tertarik untuk mengetahui gambaran konflik yang dialami individu dalam proses menentukan agama anak.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam dan observasi sebagai penunjang. Penelitian dilakukan terhadap tiga orang subyek, dan dianalisa berdasarkan data yang didapat dari hasil wawancara.
Hasil penelitian menunjukkan ketiga subyek mempunyai keinginan agar anak beragama sama dengan dirinya, Adapun tipe konflik yang dialami para subyek adalah konflik antara own need forces dengan Induced froces, dan konflik antara driving forces dengan restraining forces. Proses konflik yang dialami para subyek berbeda-beda, dan penyelesaian konflik dapat dilakukan dengan cara leaving the field, meruntuhkan induced forces dan menunggu induced forces melemah dengan sendirinya. Selain itu difemukan beberapa faktor yang turut mempengaruhi konflik ang dialami para subyek baik secara langsung maupun tidak, yaifu: faktor agama (penghayatan agama, pola asuh terutama disiplin dalam pendidikan agama yang diterapkan keluarga), faktor historis ada/tidaknya pasangan beda agama dalam keluarga, faktor penolakan keluarga terhadap perkawinan beda agama, dan faktor proses terjadinya kesepakatan (ada/tidaknya campur tangan orang lain, proses pembahasan, dan hasil kesepakatan).
Temuan lain adalah konflik tampaknya tidak terlalu terasa pada ketiga subyek pada saat kesepakatan dibuat. Konflik muncul kepermukaan pada saat kehadiran anak mulai dirasakan (saat kehamilan dan kelahlran). Konflik juga dapat menimbulkan kebimbangan, marah, stress hingga reaksi psikosomatis seperti sesak nafas."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
S2779
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anangia Annisa Putri Abdurahman
"Salah satu akibat hukum dari perkawinan adalah adanya harta bersama serta hubungan hukum antara orang tua dan anak, dimana orangtua bertanggung jawab untuk memelihara, menjaga, serta mencukupi kebutuhan hak – hak dari anak tersebut. Selain itu akibat hukum dari perkawinan akan menimbulkan status hukum dan hak perwalian terhadap seorang anak. Apabila anak tersebut lahir dari perkawinan beda agama, maka akan menimbulkan akibat yang sangat berpengaruh terhadap hak dan status hukum anak tersebut. Status anak yang dilahirkan dalam perkawinan beda agama kemudian dapat menimbulkan pertanyaan apakah kedudukannya sebagai anak luar kawin atau anak sah. Anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatatkan termasuk ke dalam golongan anak luar kawin dalam arti sempit mereka tidak memiliki status dan kedudukan yang sama dalam sebuah hubungan peristiwa hukum antara orang tua dengan anak. Kemudian, apakah hal tersebut juga diperlakukan terhadap keberadaan anak yang dilahirkan dari perkawinan beda agama masih menjadi sebuah pertanyaan. Oleh karena itu, Penulis menggunakan dua rumusan masalah, yaitu: 1) Bagaimana pengaturan mengenai perkawinan beda agama menurut peraturan hukum di Indonesia? 2) Bagaimana analisis pertimbangan hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Makassar Nomor 410/Pdt.G/2022/PN Mks. terhadap anak akibat perkawinan beda agama? Penulis menggunakan metode penelitian yuridis-normatif dengan pendekatan kualitatif yang datanya dikumpulkan dari studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkawinan beda agama dapat dilakukan apabila mengajukannya ke Pengadilan dan telah dicatatkannya oleh pegawai catatan sipil sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan. Kemudian, mengenai perkawinan beda agama, Undang- Undang Perkawinan dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak dijelaskan secara jelas dan terperinci. Berkaitan dengan anak yang dihasilkan dari perkawinan beda agama, maka dalam hal ini kedudukannya adalah dinyatakan sebagai anak sah dari perkawinan beda agama tersebut dikarenakan secara hukum ketika perkawinan telah dicatatkan dan didaftarkan sebagaimana ketentuan perundang-undangan yang berlaku maka akibat hukum perkawinan tersebut termasuk terhadap anak dinyatakan sah secara hukum.

One of the legal consequences of marriage is the existence of common property and the legal relationship between parents and children, in which parents are responsible, caring for, and satisfying the needs of the rights of the child. In addition, the legal consequences of marriage will result in the legal status and custody of a child. If the child is born from a marriage of different faiths, it will have a significant impact on the rights and legal status of the child. The status of a child born in a marriage of different religions can then raise the question of whether his status as an out-of-marriage or legal child. Children born from unregistered marriages are included in the group of children outside of marriage in the narrow sense they do not have the same status and position in a legal relationship between parents and children. Then, whether it is also treated against the existence of children born from different religious marriages is still a question. Therefore, the author uses two formulas of the problem, namely: 1) How is the arrangement concerning marriage of different religions according to the laws of Indonesia? 2) How to analyze the judge’s consideration in the Makassar State Court Decision No. 410/Pdt.G/2022/PN Mks. against children due to marriage of different religions? The authors use a juridic-normative research method with a qualitative approach whose data is collected from library studies. The results of the study show that a marriage of different religions can be entered into when it is applied to the Court and has been recorded by a civil register officer as described in the Occupation Administration Act. Then, concerning the marriage of different religions, the Marriage Act and the Book of the Perdata Law are not explained clearly and in detail. Related to children born from marriages of different religions, in this case the position is to be declared as a legal child of a marriage of different religion due to the law when the marriage has been recorded and registered as the provisions of the applicable laws, then as a result of the law such marriage includes against the child declared legal."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arifin Singawidjaja
"Keberlakuan hukum kanonik yang merupakan hukum positif bagi kaula katolik yang keberlakuannya dalam Undang-undang Perkawinan UU No.1/1974 diatur melalui pasal 2 ayat (1) dan ditegaskan lagi melalui pasal 6 ayat (6). Perkawinan campuran beda agama secara tegas memang tidak diatur dalam UU No.1/1974, akan tetapi berdasarkan penafsiran secara ekstensif pasal 2 ayat (1) yang mensyaratkan sahnya perkawinan apabila dilakukan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu menjadikan bahwa perkawinan campuran beda agama bisa saja dilakukan bilamana hukum agamanya tidak melarangnya. Dalam kenyataanya perkawinan campuran beda agama dalam masyarakat Indonesia yang pruralis tidak terhindaran. Pada kalangan yang beragama katolik perkawinan campuran dan agama dimungkinkan melalui dispensasi atas halangan perkawinan beda agama. Pada studi kasus perkawinan antara AAT dan NL yang dilakukan berdasarkan dispensasi atas halangan perkawinan beda agama, Keuskupan Agung mengeluaran pembatalan perkawinan campuran beda agama pada perkawinan AAT dan NL berupa keputusan Tribunal Gerejani. Pada prinsipnya menurut hukum kanonik perkawinan yang disempurnakan dengan persetubuhan tidak dapat diputus oleh kuasa manusia dan dengan alasan apapun juga, selain oleh kematian. Akan tetapi dalam perjalanan waktu, berdasarkan penafsiran ekstensif dan konstruksi a kontrario, terhadap putusnya perkawinan diadakan tingkatan gradasi dimana bagi perkawinan ratum et konsummatum mutlak tidak terputuskan, sedangkan untuk yang lainnya dimungkinkan adanya pemutusan perkawinan, sehingga putusnya perkawinan antara AAT dan NL dimungkinkan melalui permohonan pembatalan perkawinan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
S21151
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Fina Rosiana Nur
"Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sangat dalam dan kuat sebagai penghubung antara seorang pria dengan seorang wanita dalam membentuk suatu keluarga atau rumah tangga. Dalam membentuk suatu keluarga bukan hanya komitmen yang diperlukan tetapi keyakinan beragama pun diperlukan. Namun pada kenyataannya dalam kehidupan masyarakat masih sering kita jumpai perkawinan yang tidak didasari pada satu agama melainkan mereka hanya berdasarkan cinta. Fenomena perkawinan beda agama yang terjadi di kalangan masyarakat indonesia bisa menimbulkan berbagai macam permasalahan dari segi hukum hukum seperti keabsahan perkawinan itu sendiri menurut undang-undang perkawinan, karena berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No 1 tahun 1974 perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan, selain itu perkawinan beda agama juga menimbulkan suatu permasalahan yaitu masalah kewarisan terhadap anak yang lahir dari perkawinan beda agama. Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah mengenai keabsahan perkawinan beda agama menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 dan juga mengenai kewarisan terhadap anak yang dilahirkan dari perkawinan beda agama. Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif serta jenis data adalah data primer melalui wawancara dan data sekunder dengan studi dokumen dan studi literatur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkawinan beda agama menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 adalah perkawinan yang sah, karena berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan. Dari Pasal 2 ayat (1) dapat disimpulkan bahwa undang-undang perkawinan menyerahkan sahnya suatu perkawinan dari sudut agama, jika suatu agama memperbolehkan perkawinan beda agama maka perkawinan agama boleh dilakukan tetapi jika suatu agama melarang perkawinan beda agama maka melakukan tidak boleh melakukan perkawinan beda agama. dari hasil penelitian yang dilakukan bahwa setiap agama di Indonesia melarang untuk melakukan perkawinan beda agama. Oleh karena itu, perkawinan beda agama adalah perkawinan yang tidak sah menurut undang-undang perkawinan. Serta akibat terhadap anak yang dilahirkan dari perkawinan beda agama terkait masalah kewarisan yaitu tidak ada hak kewarisan dari orang yang beda agama sehingga anak yang lahir dari perkawinan beda agama hanya bisa mendapatkan kewarisan memalui wasiat wajibah yang besarnya tidak boleh lebih dari 1/3.

Marriage was a very deep and strong as a liaison between a man and a woman in the form of a family or household. In forming a family is not only necessary but a commitment that was required of religious belief. But in reality in people's lives are often encountered that marriage is not based on one religion, but they are only based on love. The phenomenon of interfaith marriages are prevalent in Indonesia could lead to a wide range of legal issues such as the validity of the marriage law itself by the laws of marriage, because according to Article 2 paragraph (1) of Law No 1 of 1974 legitimate marriage is a marriage performed according to religious laws and beliefs, other than that the marriage of different religions also raises an issue of the issue of inheritance of the children born of the marriage of different religions. Problems discussed in this thesis is about the validity of the marriage of different religions according to Law No. 1 of 1974 and also the inheritance of the children born of the marriage of different religions. The method used in this study is normative juridical and type of data is primary data through interviews and secondary data to study the document and literature studies. The results showed that inter-religious marriages under the Act No. 1 of 1974 is a valid marriage, because according to Article 2 paragraph (1) Marriage Law No. 1 of 1974 legitimate marriage is a marriage conducted according to the laws of each religion and confidence. Of Article 2 paragraph (1) it can be concluded that the law gave a legal marriage marriage from the point of religion, if a religion allows marriage then the marriage of different religions, but religion should be done if a religion forbids the marriage of different religions do not perform interfaith marriages . of the results of research conducted in Indonesia that every religion forbids to perform interfaith marriages. Therefore, marriage is a marriage of different religions that are not valid under the law of marriage. And due to the children born of the marriage of different religions inheritance related issues ie no inheritance rights of people of different religions so that children born of the marriage of different religions can only get the inheritance of wajibah that magnitude will not be more than 1/3."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S42529
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Diah Renaningtyasari
"Keberanekaragaman suku bangsa, adat, budaya dan agama yang terdapat di Indonesia tidak menghilangkan kebutuhan penduduk Indonesia untuk berinteraksi antara individu yang satu dengan yang lainnya. Akibat dari interaksi tersebut tidak menutup kemungkinan terjadinya perkawinan pasangan beda agama di Indonesia. Yang menjadi pokok permasalahan dalam hal ini adalah bagaimana pelangsungan perkawinan pasangan beda agama di Desa Sindangjaya Cianjur, apakah akibat hukum dari perkawinan pasangan beda agama tersebut dan apakah masyarakat Desa Sindangjaya Cianjur mempermasalahkan perbedaan agama dalam perkawinan yang dilaksanakan dalam masyarakat.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode kepustakaan yang bersifat yuridis sosiologis. Pelaksanaan perkawinan pasangan beda agama di Desa Sindangjaya dengan cara salah satu dari pasangan yang berbeda agama berpindah agama terlebih dahulu menyesuaikan dengan pasangan yang lain dan mereka melaksanakan perkawinan menurut ajaran agama yang telah mereka sepakati. Bila dalam perjalanan rumah tangga salah satu suami/istri berpindah ke agama semula maka sah atau tidaknya perkawinan mereka menurut negara, ditentukan oleh hukum agama yang dipakai pada saat pelangsungan perkawinan.
Masyarakat Desa Sindangjaya Cianjur tidak mempermasalahkan perbedaan agama yang terjadi bila dalam suatu perkawinan terdapat pasangan yang berbeda agamanya. Selain itu sudah saatnya diberi perumusan yang lebih luas pada Pasal 57 UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dimana tidak hanya mencakup ?dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia" saja tetapi juga mencakup "dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan agama."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16462
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Juwairiah Emart
"Pembentukan sebuah keluarga pada mulanya berawal dari kesepakatan antara seorang pria dan wanita untuk menjalani kehidupan bersama dalam suatu perkawinan. Untuk melangsungkan suatu perkawinan dalam rangka membangun keluarga harus memperhatikan ketentuan-ketentuan yang ada dalam UU No. 1 Tahun 1974. Permasalahan yang timbul dari apa yang diatur dalam undang-undang ini adalah tidak diaturnya mengenai perkawinan beda agama, timbullah pertanyaan mengenai kedudukan perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang berbeda agama, mengapa hal ini masih terus terjadi di dalam masyarakat Indonesia, sejauhmana pengaruh hak asasi manusia jika dihubungkan antara kebebasan dalam perkawinan dengan kemerdekaan memeluk agama, dan peranan kantor catatan sipil dalam menghadapi perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang berbeda agama tersebut. Untuk menjawab semua permasalahan di, atas penulis melakukan metode pengumpulan data dengan jalan melakukan penelitian di lapangan serta melakukan metode analisa data balk dari data sekunder maupun data primer. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang berbeda agama jelas-jelas bertentangan dengan UU No. 1 Tahun 1974 dalam hal ini Pasal 2 ayat 1, namun segelintir masyarakat di Indonesia yang menghendaki adanya pengaturan terhadap perkawinan beda agama dengan alasan untuk menegakkan hak asasi manusia yaitu hak untuk memilih jodoh dalam perkawinan dan juga hak untuk melaksanakan agama dan kepercayaan yang dianut kurang mendalami ajaran agamanya masing-masing yang jelas-jelas tidak menghendaki perkawinan terhadap mereka yang berbeda iman, dalam praktek perkawinan beda agama yang dilangsungkan tidak mempunyai dasar hukum tetapi dalam pencatatannya ternyata kantor catatan sipil tetap menerima dan mencatatkan perkawinan tersebut."
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T19825
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>