Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 170825 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Siti Hartati
"Pada bulan Agustus 2011, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan Nomor 65/PUU-VIII/2010. Putusan ini memperluas cakupan makna saksi yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sehingga timbul pertanyaan: (1) bagaimana perluasan makna saksi menurut putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, (2) bagaimana pengaruh perluasan makna saksi terhadap para penegak hukum dalam proses peradilan pidana, (3) apakah perluasan makna saksi berpengaruh terhadap KUHAP yang akan datang. Untuk menjawab pertanyaan ini dilakukan penelitian dengan metode yuridis normatif. Data yang digunakan menitikberatkan pada data sekunder, dengan data primer yang diperoleh dari wawancara sebagai data pendukung. Datadata yang diperoleh dianalisis secara deskriptif-analitis dengan pendekatan kualitatif.
Hasil yang diperoleh bahwa, Mahkamah Konstitusi telah memperluas cakupan makna saksi, namun tidak memberikan batasan perluasan tersebut. Penilaian relevansi keterangan saksi tetap diserahkan kepada para penegak hukum. Putusan Mahkamah Konstitusi lebih menekankan pada tujuan agar semua saksi menguntungkan yang diajukan tersangka/terdakwa dipanggil dan diperiksa. Setelah keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi ini, para penegak hukum masih menggunakan dasar KUHAP dalam memeriksa saksi. Dalam prakteknya, terhadap saksi yang menguntungkan tersangka/terdakwa, para penegak hukum selalu memeriksanya.
Relevansi keterangan saksi tersebut terhadap perkara yang diperiksa diserahkan kepada hakim di persidangan. KUHAP yang akan datang tidak perlu mengikuti perluasan makna saksi sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi karena Rancangan KUHAP telah memberikan peluang untuk memeriksa saksi-saksi yang memberikan keterangan di luar batasan melihat sendiri, mengalami sendiri, mendengar sendiri, sebagaimana diatur dalam Penjelasan Pasal 17 ayat (1), tanpa mengubah pengertian saksi seperti yang tercantum dalam KUHAP. Disamping itu, sudah ada penambahan alat-alat bukti, sehingga dapat mempermudah pembuktian.

In August 2011, the Constitutional Court issued a ruling Number 65/PUUVIII/2010. This ruling expands the scope of the meaning of a witness contained in Law Number 8 of 1981 on Criminal Proceedings Act (Criminal Procedure Code), which raised the questions: (1) how the expansion of the meaning of a witness by the Constitutional Court ruling, (2) how the influence of expanding the meaning of a witness against law enforcement officials in the criminal justice process, (3) whether the expansion of the meaning of a witness influent the next Criminal Procedure Code. To answer this question, the research done by the method of juridical normative. The data used is focused on secondary data, with primary data obtained from interviews as supporting data. The data obtained were analyzed by descriptive-analitic with qualitative approach.
The results obtained that, the Constitutional Court has expanded the scope of the meaning of a witness, but did not give the limits of the expansion. Assessment of relevance of the statements of witnesses remains handed over to law enforcement. Ruling of the Constitutional Court emphasized the goal of keeping all the favorable witnesses presented by suspect / defendant are called and examined. After the release of this Constitutional Court ruling, the law enforcement agencies still use the Criminal Procedure Code in examining witnesses. In practice, a favorable witnessess presented by suspects / defendants, law enforcement is always examined.
The relevance of these witnesses to be examined cases submitted to the judge in the trial. Criminal Procedure Code which will come no need to follow the expansion of the meaning of a witness in the ruling of Constitutional Court because the draft of Criminal Code has provided an opportunity to examine witnesses who testify outside the limits that the witness must see, suffered, or hear themselves, as provided in the Explanation of Article 17 paragraph (1), without changing the sense of a witness as stated in the Criminal Procedure Code. In addition, there are additional evidences, so burden of proof more easily.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T30307
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Radinal
"Ketentuan mengenai saksi dalam hukum acara pidana di Indonesia yang selama ini diatur dalam Pasal 1 angka 26 dan 27, Pasal 65, Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4) serta Pasal 184 ayat (1) huruf a Undang-undang nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dinyatakan bertentangan dengan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum tetap melaui putusan Mahkamah Konstitusi nomor 65/PUU-VIII/2010. Dengan adanya putusan tersebut maka perlu dilihat bagaimana sifat dari putusan tersebut mempengaruhi baik kedudukan saksi dalam hukum acara pidana di Indonesia, maupun dalam hukum acara pidana pada umumnya, yang mana kedudukan saksi untuk dapat memberikan keterangan saksi dalam suatu perkara pidana dianggap cukup penting.

The provisions on witness in criminal procedure law in Indonesia provided in article 1 points 26 and 27, article 65, article 116 subsection (3) and subsection (4) and Article 184 subsection (1) letter a Law No. 8 of 1981 on the Law of Criminal Procedure (Indonesian Code of Criminal Procedure) is declared to be contrary to Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 and has no absolute legal force of law according to the Constitutional Court Award No. 65/PUU-VIII/2010. Following the ruling, the is necessity to see how the nature of the decision affects the position of witness both in criminal procedure law in Indonesia, as well as in the law of criminal procedure in general, considering the importance of the witness competence in giving testimony for the criminal trial."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S42816
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Akta Wijaya Pramasakti
"Upaya paksa yang dilakukan dalam rangka Penyidikan maupun PenuntutanTindak Pidana oleh lembaga yang berwenang dalam hal ini Polri atau Penuntut Umumdapat dikontrol melalui Lembaga Praperadilan. Tujuan lembaga ini dibentuk agar hakhaktersangka dapat dilindungi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada,tindakan yang dimaksud terutama dalam hal penangkapan maupun penahanan yang tidaksah serta adanya penghentian penyidikan maupun penuntutan. Walaupun lembagapraperadilan tersebut telah diatur dalam hukum positif yakni Undang-Undang Nomor 8Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana KUHAP, namun seiring perkembanganzaman dan perkembangan kehidupan bermasyarakat serta perkembangan hukumdimasyarakat, KUHAP dirasa belum mengakomodir perlindungan hukum terhadapmasyarakat. Hal ini sesuai dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor:21/PUU-XII/2014 tanggal 16 Maret 2015, bahwa Pasal 77 huruf a KUHAP bertentangandengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan.Permasalahan yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah bagaimanalembaga praperadilan pasca putusan Mahkamah Kontitusi Nomor: 21/PUU-XII/2014tanggal 16 Maret 2015 dan pengaruhnya terhadap fungsi, tugas dan wewenang Polrisebagai penyidik dalam terjadinya tindak pidana. Penelitian ini menggunakan metodependekatan yuridis normatif dengan meneliti data sekunder yang menitikberatkan padastudi kepustakaan, dengan cara mengumpulkan, mengkaji dan mengolah data secarasistematis, bahan-bahan kepustakaan atau studi dokumen yang berkaitan dengankebijakan formulasi lembaga praperadilan dan penerapannya secara analisis kualitatif,kemudian dibuat kesimpulan yang secara menyeluruh diharapkan dapat menggambarkanperanan dan fungsi lembaga praperadilan saat ini dan menjadikan lembaga praperadilanpada posisi yang sebenarnya sesuai dengan cita-cita pembentukan KUHAP.

Forceful measures undertaken in the framework of the Investigation and Prosecutionof Crime by competent authorities in this case the police or public prosecutor can be controlledthrough Pretrial Institution. The purpose of this institution was established so that the rights ofsuspects can be protected in accordance with the laws and regulations that exist, the action ismainly in terms of arrests and illegal detention as well as the termination of the investigationand prosecution. Although the pretrial institutions have been arranged in the positive law ofthe Law No. 8 of 1981 on Criminal Proceedings Criminal Procedure Code, but over the timesand the development of social life and the development of community law, the CriminalProcedure Code is felt not provide legal protection of the public. This is in accordance with theConstitutional Court Decision Number 21 PUU XII 2014 dated March 16, 2015, that Article77 letters a in the Criminal Procedure Code is on the contrary to the 1945 Constitution Of TheRepublic Of Indonesia to the extent not interpreted as including the designation of suspects,search and seizure.The problems that are the focus of this research is how the pretrial institution after thedecision of the Constitutional Court Number 21 PUU XII 2014 dated March 16, 2015 andits influence on the functions, duties and authority of the Police as investigators in the criminalact. This study uses normative juridical approach by examining secondary data which focuseson the study of literature, by collecting, reviewing and processing data systematically, materialslibrary or study documents relating to policy formulation institutions pretrial andimplementation qualitative analysis, then made overall conclusions are expected to describethe role and functions of the current pretrial agencies and make pretrial agencies on the actualposition in accordance with the ideals of the establishment of the Criminal Procedure Code
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Qorry Nisabella
"Indonesia merupakan negara civil law. Peraturan tertulis menjadi sumber hokum yang terutama dalam negara civil law. Dahulu sistem peradilan pidana di Indonesia bersumber pada HIR yang menganut prinsip inquisitor. Sejak tahun 1982, sistem peradilan pidana Indonesia bersumber pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana/KUHAP yang menganut prinsip akusator. Prinsip akusator menjamin pelaksanaan hak asasi manusia yang terlibat dalam suatu proses pidana. Namun pasal-pasal dalam KUHAP sendiri justru masih menganut prinsip inquisitor. Hal ini dapat dilihat dengan adanya ketentuan mengenai suatu dokumen yang disebut sebagai berita acara penyidikan/BAP. BAP saksi dalam KUHAP, selain menjadi pedoman bagi hakim dalam memeriksa perkara, dapat pula menjadi sebuah alat bukti bagi hakim. Tentu saja hal ini telah melanggar prinsip akusator. Bahkan dalam praktik sistem peradilan pidana di Indonesia, hakim kerap melakukan apa yang tidak ditentukan oleh KUHAP, dengan lebih mengutamakan keterangan dalam BAP saksi ketimbang dengan keterangan yang diberikan oleh seorang saksi di depan persidangan, sebagai alat bukti keterangan saksi yang sah.

Indonesia is a civil law country. In the civil law country, written rules become main sources of law. Indonesian Criminal Justice System was based on HIR which embraces an inquisitor principle. Since 1982, the Indonesian Criminal Justice System had been rooted in Law No. 8 of 1981 on the Law of Criminal Procedure / Criminal Procedure Code which adopts an akusator principle. Akusator principle ensures the implementation of human rights who involved in a criminal process. But the articles in the Criminal Procedure Code itself still adopts an inquisitor principle. It can be seen with the existence of a document named as the investigation report / BAP. This witness investigation minute, besides being a guide for judges in examining cases, it can also be an evidence for the judge?s consideration. Of course this condition has violated the principle of akusator. In fact, judges often do what is not determined by the Criminal Procedure Code, to prioritize the witness testimony written in BAP more than the testimony given by a witness before trial, as evidence of legitimate witness testimony."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S232
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dwinanto Agung Wibowo
"Peran pelaku kejahatan yang merupakan 'orang dalam' dianggap mempunyai potensi dalam membuka tabir kejahatan lebih signifikan. Terlebih lagi pada kejahatan yang melibatkan beberapa pelaku. Ia dapat menyediakan bukti yang penting mengenai siapa yang terlibat, apa peran masing-masing pelaku, bagaimana kejahatan itu dilakukan, dan dimana bukti lainnya bisa ditemukan. Agar 'orang dalam' ini mau bekerjasama dalam pengungkapan suatu perkara, para penuntut umum di berbagai negara menggunakan perangkat hukum yang ada di masing-masing negaranya itu.
Di sejumlah negara, seperti Amerika Serikat, Italia dan Belanda, pelaku kejahatan yang merupakan 'orang dalam' yang mau bekerja sama dengan menjadi saksi terhadap pelaku kejahatan lainnya ini diberikan perhargaan atas peranannya tersebut. Dengan memberikan penghargaan merupakan cerminan perlindungan terhadap saksi. United Nations Convention Against Corruption, memberikan 2 macam bentuk perlindungan, yaitu pengurangan hukuman, dan kekebalan dari penuntutan.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui konsep saksi mahkota di Indonesia dan perbandingannya dengan negara lain, mengetahui bagaimana saksi mahkota dalam praktik peradilan pidana di Indonesia dan mengetahui pengaturan mengenai saksi mahkota dalam hukum acara pidana di Indonesia yang akan datang. Metode yang dipergunakan dalam penelitian adalah yuridis normatif.
Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa konsep saksi mahkota di Indonesia adalah saksi yang diambil dari tersangka atau terdakwa dalam kejahatan yang dilakukan secara bersama-sama dan kesaksian yang diberikannya dipandang sebagai alat bukti dan atas kesaksiannya itu dapat diberikan pengurangan hukuman. Sedangkan saksi mahkota yang ada di Amerika Serikat, Italia dan Belanda, yaitu pelaku kejahatan yang mau bekerja sama dengan penegak hukum dengan memberikan informasi dan/atau menjadi saksi terhadap pelaku kejahatan lainnya dan atas kerjasamanya itu dimungkinkan untuk diberikan kekebalan dari penuntutan. Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Rancangan Undang-Undang Perubahan Atas Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban telah memasukkan ketentuan pemberian kekebalan dari penuntutan dan ketentuan perlindungan hukum lainnya kepada saksi mahkota yang telah turut serta berperan dalam upaya penanggulangan kejahatan.

A criminal's role who inner-cicle criminal is considered has a potency in revending crime more significant. More over in crime which involve a few doers. He can provide important evidence about who involved, what is role each does, how is crime is done, and where is another evidence can be found. In order that inner-cicle criminal wants to collaborate in revealing a case, prosecutor at various state utilize law's instrument which it's own in each state.
At amount state, such as United States, Italy and Dutch, a criminal that is innercicle criminal who want to cooperate as witness for other criminal can be gived reward for his role. With gives appreciation to constitute protection reflection to witness, United Nations Convention Against Corruption give 2 kind of protection which is mitigating punishment and immunity from prosecution.
The objective of this reseach to know crown witness concept at Indonesia and its compare with other state, know how crown witness in criminal justice praticaly at Indonesia. Method that is used in research is normatif's judicial formality.
Of research result can be know that crown witness concept at Indonesia is witness that takes from suspected or defendant in a crime was done by together and witness that be given viewed as evidence and witness up it that can give mitigating punishment. Meanwhile crown witness that is at United States of America, Italy and Dutch, which is criminal who wants to cooperate with law enforcement officer with give information or as witness to another criminal and up that its cooperation is enabled to be given immunity from prosecution. The draft of Criminal Code Procedure dan the draft of Witness Protection Law of 2006 revision have inserted immunity from prosecution rule and other witness protection rule that senteced crown witness who participate in effort tacling crime.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28577
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Raden Mas Bagus Trisardono Risandyo
"Tindakan upaya paksa yang dilakukan ketika tahap pemeriksaan perkara seringkali disertai dengan kesewenang-wenangan yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM. Saat ini upaya hukum yang dapat diajukan oleh pihak yang dirugikan adalah melalui lembaga Praperadilan yang dinilai tidak berjalan secara optimal. RKUHAP mengatur ketentuan terkait lembaga yang berwenang mengawasi jalannya acara pemeriksaan yang diserahkan kepada Hakim Komisaris. Luasnya wewenang yang dimiliki Hakim Komisaris dirasa akan lebih menjamin perlindungan HAM pada tersangka/terdakwa. Namun penggantian lembaga Praperadilan dengan Hakim Komisaris tidak semata akan berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Penelitian ini bermaksud menelaah tiga hal; pertama, pengaturan Hakim Komisaris pada RKUHAP; kedua, peran Hakim Komisaris pada RKUHAP khususnya terkait HAM tersangka/terdakwa; dan ketiga, kendala-kendala yang dapat terjadi dari penerapan Hakim Komisaris. Jenis penelitian ini ialah penelitian yuridis normatif dengan pendekatan konseptual dan perundang-undangan. Jenis data yang digunakan merupakan data sekunder yang didukung dengan data primer berupa wawancara yang diolah serta dianalisis secara deskriptif-kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa; pertama, Pengaturan Hakim Komisaris sudah ada dan diatur sejak sebelum Indonesia Merdeka dan kemudian dimasukan kembali pada RKUHAP 1974 hingga 2012; kedua, peran lembaga Hakim Komisaris khususnya terkait perlidungan HAM tersangka/terdakwa dianggap lebih ideal ketimbang Praperadilan karena Hakim Komisaris bersifat aktif dan memiliki wewenang yang lebih luas dan lengkap dalam tahap pra-ajudikasi sehingga berbeda dengan Praperadilan yang hanya bersifat pasif dan represif; dan ketiga, penerapan Hakim Komisaris akan mengalami beberapa kendala berupa kendala normatif (aturan-aturan), kendala kepentingan antar lembaga sistem peradilan pidana, serta kendala geografis yang dimiliki Indonesia.

Coercive measures taken during the case examination stage are often accompanied by arbitrariness which results in human rights violations. Currently, legal remedies that can be submitted by the aggrieved party are through pretrial institutions which are considered not running optimally. RKUHAP stipulates provisions related to the institution authorized to oversee the proceedings of the examination which is submitted to the Judge Commissioner. It is felt that the breadth of authority possessed by the Commissioner Judge will ensure the protection of human rights for the suspect/defendant. However, the replacement of the Pretrial Institution with the Commissioner Judge will not only run as expected. This research intends to examine three things; first, the setting of the Commissioner Judge in the RKUHAP; second, the role of the Commissioner Judge in the RKUHAP, especially regarding the human rights of the suspect/defendant; and third, the obstacles that can occur from the application of the Commissioner Judge. This type of research is a normative juridical research with a conceptual approach and legislation. The type of data used is secondary data which is supported by primary data in the form of interviews which are processed and analyzed descriptively-qualitatively. The results showed that; first, the arrangement of the Judge Commissioner has existed and was regulated since before Indonesia's independence and was then re-introduced in the 1974 to 2012 RKUHAP; secondly, the role of the Judicial Commissioner, especially regarding the protection of the human rights of suspects/defendants, is considered more ideal than pretrial because the commissioner judge is active and has broader and complete authority in the pre-adjudication stage so that it is different from pretrial which is only passive and repressive; and third, the application of the Judge Commissioner will experience several obstacles in the form of normative constraints (rules), inter-institutional interests of the criminal justice system, as well as geographical constraints that Indonesia has."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marco Hardianto
"Salah satu asas dasar dalam hukum pidana adalah asas transitoir, yakni asas yang mengatur mengenai pemberlakuan hukum dalam hal terjadi perubahan perundang-undangan setelah suatu tindak pidana dilakukan. Terkait frasa ‘perubahan perundang-undangan’ dapat dibedakan antara 3 paham: paham formil (Simons, 1910), paham materiil terbatas (Van Geuns, 1919), dan paham materiil tidak terbatas (Hoge Raad, 1921). Ketiga paham ini berkembang sebelum dikenalnya pengujian undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi. Implikasi logisnya: Perubahan perundang-undangan dalam asas transitoir tidak mencakup hasil pengujian undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi. Lantas bagaimana implementasi perubahan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam asas transitoir dalam kaitannya dengan Putusan Mahkamah Konstitusi? Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif terhadap putusan hakim pidana yang memaknai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013. Penelitian ini memperlihatkan bahwa penerapan asas transitoir terhadap perubahan perundang-undangan yang diakibatkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi dapat dilakukan. Adapun penerapan asas transitoir dalam kaitannya dengan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam putusan di Indonesia masih sangat kabur. Oleh karena itu, sangat disarankan bagi Mahkamah Agung untuk memberikan suatu pedoman mengenai bagaimana hakim-hakim dalam peradilan pidana harus memaknai perubahan perundang-undangan yang diakibatkan oleh Mahkamah Konstitusi

One of the basic principles in criminal law is the principle of transitoir, namely the principle that regulates the enforcement of the law in the event of an amendment in legislation after a criminal act is committed. Regarding to the phrase 'amandment in legislation', there are three running doctrine: formele leer (Simons, 1910), beperkte materiele leer (Van Geuns, 1919), and onbeperkte materiele leer (Hoge Raad, 1921). These three doctrine developed prior to the recognition of judicial review by the Constitutional Court. Logical implication: Amendment in legislation as referred to in the principle of transitoir does not include amandment as the result of judicial review by the Constitutional Court. Hence the question: how is the implementation of amandment in legislation as referred to in the principle of transitoir in relation to Constitutional Court Verdict? This research was conducted with a juridial-normative approach to the verdict of criminal law judges which interpret the Constitutional Court Verdict No. 85/PUU-XI/2013. This study shows that the application of the principle of transitoir in relation to amendment in legislation as a result of the Constitutional Court Verdict can be done. However, it has to be noted that the application of the principle of transitoir in relation to the Constitutional Court Verdict in Public Court Verdict regarding criminal law in Indonesia is still very vague. Therefore, it is highly recommended for the Supreme Court to provide a guideline regarding how the judges in the Public Court should interpret the amendments to these laws as a result of the Constitutional Court Verdict."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Fikri Rasyidi
"Skripsi ini membahas tentang beberapa permasalahan terkait dengan legalitas atau keabsahan penyidik sebagai saksi dalam pemeriksaan persidangan tindak pidana narkotika. Penelitian ini berfokus pada tiga pokok permasalahan, yaitu: tentang legalitas atau keabsahan penyidik sebagai saksi di persidangan berdasarkan KUHAP, kekuatan hukum pembuktian alat buksi saksi yang diberikan oleh penyidik di persidangan, dan keabsahan penyidik sebagai saksi dalam pemeriksaan persidangan tindak pidana narkotika berdasarkan Putusan Mahkamah Agung. Penelitian ini bermetodekan yuridis-normatif yang metode pengambilan data berfokus pada studi literatur hukum dan peraturan perundangundangan terkait. Hasil penelitian berkesimpulan bahwa penyidik tidak boleh bersaksi di persidangan atas perkara yang ia sidik sendiri dan menyarankan untuk dilakukannya fungsi kontrol terhadap penyidik dalam melakukan penyidikan agar kesaksiannya dapat di pertimbangkan hakim di proses pemeriksaan persidangan.

This thesis discusses some problems related to the legality of the investigator as a witness in a criminal trial drug. This study focuses on three main issues, namely: the legality of the investigator as a witness in a drug's criminal trial based on KUHAP, the strength of evidence given by the investigator in a drug?s criminal trial, and the legality of the investigator as a witness in a drug's criminal trial based on the Supreme Court Verdict. This study focus on juridical-normative study. The data retrieval methods focus on the study of literature and Indonesia's legislation. The results concluded that the investigator by some reasons is not allowed to be a witness in a drug's criminal trial and advise to add the controlling system for the investigator in conducting investigations in order to consider his testimony to the judge in the trial examination.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S46899
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Zahra Syafitri Enanie
"ABSTRAK
Tesis ini membahas mengenai bentuk pertanggungjawaban tenaga kesehatan khususnya profesi perawat. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif yaitu penelitian ini mengacu pada ketentuan normatif atau peraturan perundang-undangan mengenai tindak pidana yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang menjalankan praktik pelayanan kesehatan serta menggunakan dua pendekatan yaitu pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Pendekatan kasus meliputi pertanggungjawaban pidana tenaga kesehatan perawat melalui pengadilan sebanyak tiga putusan. Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa tugas dan wewenang tenaga kesehatan perawat dalam melakukan pelayanan kesehatan adalah praktik keperawatan professional meliputi seluruh aspek keperawatan yang diberikan kepada individu keluarga dan masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yakni Undang-Undang Tentang Keperawatan No.38 Tahun 2014, Undang-Undang Tentang Kesehatan No.36 Tahun 2009 dan peraturan yang terkait lainnya. Perawat dalam menjalankan praktik keperawatan harus memiliki batas-batas tertentu dalam melakukan kegiatan pelayanan kesehatan atau praktik keperawatan. Ruang lingkup dari malpraktik medis meliputi praktik yang buruk/ salah yang berkaitan dengan profesi dibidang medis atau kesehatan yaitu profesi dokter, bidan dan perawat. Untuk membuktikan terjadinya malpraktik, faktor-faktor yang sangat penting adalah, Duty kewajiban , Breach of Duty Penyimpangan dari kewajiban , Direct Causation Akibat langsung , Damage Kerugian . Perawat dalam memberikan asuhan/pelayanan keperawatan harus bertanggungjawab baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap masyarakat. Bentuk pertanggungjawaban di sini baik berupa tanggung jawab maupun tanggung gugat. Tanggung jawab perawat dalam pelayanan kesehatan dapat dibagi menjadi 3 tiga yaitu tanggung jawab perdata, tanggung jawab administratif, dan tanggung jawab pidana.

ABSTRACT
This thesis discusses about the form of responsibility of health workers especially nursing profession. The author use normative methode which is the methode refers to normative or regulation provisions concerning criminal acts committed by health workers who carry out health service practice and use two approaches namely approach of legislation and approach of case. The case approach involves the criminal responsibility of health workers Nurses through the court of three decisions. The data already got will be analyzed by qualitative means describe the data in the form of a sentence and then interpreted by binding to the legislation so that eventually will lead to a conclusion. The result is the authorities of health workers Nurses in performing health services is a professional nursing practice covering all aspects of nursing given to individual families and communities in accordance with applicable legislation in Indonesia UU about Nurses No.38 in 2014. UU about healthy No.36 in 2009, etc. Nurses in doing nursing practice must have certain limits on doing health services or nursing practice. The scope of medical malpractice includes bad or false practices related to the medical or health professions such a doctors, midwives and nurses. The Fact For proven the malpractice are Duty, Breach of duty, Direct Causation, and Damage. The nurse in providing nursing care must be responsible both to himself and to the community. This form of accountability is both responsibility and accountability. The responsibility of the nurse in the health service can be divided into three namely civil liability, administrative responsibility, and criminal responsibility."
2017
T48443
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yullya Andina
"Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan peran penyidik polisi yang ditinjau sebelum dan sesudah Putusan MK No. 49/PUU-X/2012 tanggal 28 Mei 2013, sehingga mendorong penulis untuk melakukan penelitian terhadap permasalahan (1) Bagaimana perbedaan peran penyidik Polri dalam penanganan tindak pidana oleh Notaris pasca Putusan MK No. 49/PUU-X/2012?; (2) Bagaimana perlindungan hukum terhadap notaris sesudah Putusan MK No. 49/PUU-X/2012? (3) Bagaimana konsep tentang peran penyidik Polri dalam penanganan tindak pidana oleh notaris yang dapat memberikan perlindungan terhadap notaris dalam menjalankan tugasnya?. Metode penelitian ini adalah yuridis normatif dengan pendekatan kasus notaris X (Notaris Jakarta Timur) yang melakukan tindak pidana pemalsuan surat (Pasal 263 ayat 1 KUHP).
Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan peran penyidik Subdit Harda Ditreskrimum Polda Metro Jaya dalam penanganan tindak pidana oleh notaris pasca Putusan MK No. 49/PUU-X/2012, yaitu meliputi pertama, pemanggilan terhadap notaris yang diduga melakukan tindak pidana, tidak perlu lagi mendapatkan ijin dan MPD melainkan ijin dari MKN. Kedua, tidak berlakunya lagi ketentuan dalam Pasal 14 ayat (1) Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No. M.03HT. 0310.TH 2007 yang mengatur tentang pengambilan minuta akta dan pemanggilan notaris. Ketiga, Hak Istimewa Notaris yaitu hak ingkar tetap dapat digunakan notaris dalam penyidikan atau dalam memberikan keterangan kepada polisi. Notaris dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya harus bersifat profesional. Untuk memberikan perlindungan terhadap notaris pemerintah segera menetapkan peraturan pelaksana dari ketentuan Pasal 66 ayat (1) UUJN. Diharapkan adanya kerjasama yang baik antara penyidik Subdit Harda dengan notaris agar proses penyidikan dapat berjalan dengan cepat, efektif dan efisien.

This research was based on the back ground that there were differences about the role of police investigator between UUJN 2004, UUJN 2014 and Constitutional Court No. 49//PUU-X/2012. The researcher focused on how the best of the concept about notary protection by police investigator who faced the law especially in criminal act viewed by Constitutional Court No. 49/PUU-X/2012 and UUJN 2004. Some problem that proposed in this research are (1) How differences of the police investigator role in criminal act by notary in dispute resolution after Constitutional Court No. 49//PUU-X/2012?; (2) What the impact of the police investigator role changing in handling of criminal act by notary against notary protection?; (3) How the concept about the role in handling the criminal act by notary which able to give a protection on notary in conducting the duty? Socio-legal approach was used in this research. So, there were two aspect in this research those are doctrinal aspect, i.e. UUJN and Constitutional Court No. 49//PUU-X/2012 and the practice of investigating in criminal act by notary.
This research was conducted in Metro Jaya Police District. The role of the investigator Subdit Harda Ditreskrimum City Police in the handling of criminal acts by the notary after the Constitutional Court No. 49//PUU-X/2012, which includes the first, calling to the notary who allegedly committed the crime, do not need to get permission from the MPD. Secondly, are no longer effective in the provision of Article 14 paragraph (1) of the Regulation of the Minister of Justice and Human Rights No. M.03HT.0310.TH 2007 regarding the same thing. Third, the abolition of privilege Notaries in providing information to the police, who feared future public as well as other law enforcement officer can easily "calling out" notary for cases that are not material and do not need to involve a notary as a witness. Cooperation between the investigator Subdit Harda Ditreskrimum City Police with INI and PPAT in order to increase as an preventive action to protect a notary by police in handling criminal act by notary. This procedure must be accorded with Article 66 (1) UUJN 2014.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T45004
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>