Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 202918 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Purba, Victor
"Undang-undang No. 5 Tahun 1999, yang baru diberlakukan disambut baik oleh kalangan dunia usaha. Hal ini dianggap baik karena di waktu yang lalu, seolah-olah kesempatan berusaha telah dimonopoli oleh kelompok tertentu. Namin demikian, hal itu tidak terlalu tepat. Untuk sebagian kecil mungkin terjadi, apalagi untuk usaha pemerintah (BUMN) telah melakukan monopoli. Ditinaju dari segi eknomi, monopoli dilakukan oleh 1 (satu) perusahaan dan sangat sulit perusahaan lain untuk masuk ke dalam pasar. Secara keseluruhan kalau dilihat keadaan pasar di Indonesia, tidak tepat telah terjadi monopoli, kecuali untuk kepentingan negara dan masyarakat. Mengenai monopoli ini, UU No. 5 tahun 1999 mengaturnya dalam pasal (17) dan disinyalir kurang mencerminkan rasa keadilan dan kepastian hukum masyarakat. Uraian berikut dapat menjadi pertimbangan untuk perubahannya."
Hukum dan Pembangunan, 2001
HUPE-31-1-Mar2001-112
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Fauzan Andika Azmi
"ABSTRACT
Skripsi ini membahas pengaturan mengenai industri komoditas pangan beras di Indonesia dikaitkan dengan dugaan praktek persaingan usaha tidak sehat, dugaan pelanggaran pasal 19 Huruf C Undang-Undang No 5 Tahun 1999 tentang Membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa yang diduga dilakukan oleh PT Indo Beras Unggul ditinjau dari Teori Hukum Persaingan Usaha dan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehatdan Bagaimana regulasi dan struktur pasar industri komoditas beras di Indonesia dibandingkan dengan negara Vietnam. Sulitnya pengawasan, keterbatasan dana subsidi pemerintah serta lambatnya peningkatan teknologi pertanian menyebabkan implementasi kebijakan produksi beras nasional belum berjalan secara efisien dan efektif. PT Indo Beras Unggul tidak terbukti melakukan pelanggaran Pasal 19 Huruf C Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat. Karena dugaan pelanggaran Pasal 19 huruf C yang dilakukan oleh PT IBU tidak memenuhi tiga dari total 5 unsur pasal yang harus dipenuhi. Kebijakan-kebijakan perberasan Vietnam yang lebih berfokus kepada petani membuat kualitas dan kuantitas produk beras Vietnam menjadi tinggi dan layak dicontoh oleh Pemerintah Indonesia.

ABSTRACT
AbstractThis bachelor thesis discusses about the Allegation of Violation of Chapter 19 Letter DUU No. 5 Tahun 1999 about limiting sales ad or distribution by PT Indo Beras Unggul In Indonesian Rice Industryanalized by the antitrust theory and Undang Undang No. 5 Tahun 1999about the Prohibition of The Monopoly and Anti Competitive Practices. This study is normative juridicial research using primary and secondary data. The result of the research shows that the practice thas was done by PT Indo Beras Unggul is a common and provitable business strategy and theindication to alleged a presence of limiting sales and or distribution practice in rice commodity industry are based on the weak evidence of the many huller rsquo s loss that said was caused by the limiting sales and or distribution of other business entity by PT Indo Beras Unggul.in the end, this allegation is not substantial enough to be a basis of alleged a presence of limiting sales ad or distribution practices based on Chapter 19 Letter DUU No. 5 Tahun 1999.Keyword Allegation Analysis, Rice, Vietnam"
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Retno Wiranti
"Monopoli merupakan suatu hal yang tidak melanggar hukum karena dapat terbentuk dari efisiensi pelaku usaha dalam menjalankan proses produksinya. Namun penyalahgunaan Posisi Monopoli atau yang disebut sebagai Praktik Monopoli dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, sebaliknya merupakan suatu hal dilarang secara tegas melalui Pasal 17. Dampak negatif yang ditimbulkan oleh penyalahgunaan Posisi Monopoli tidak hanya berdampak langsung kepada konsumen, melainkan juga berdampak negatif kepada kesejahteraan pasar secara keseluruhan. Tesis ini membahas interpretasi eksploitasi konsumen dalam substansi Pasal 17 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menurut perspektif Hukum Persaingan Usaha. Tesis ini juga membahas mengenai interpretasi eksploitasi konsumen tersebut dalam Putusan KPPU tentang Praktik Monopoli, yaitu pada Putusan Nomor 07/KPPU-L/2007 tentang Dugaan Pelanggaran oleh Kelompok Usaha Temasek, Putusan Nomor 11/KPPU-L/2008 tentang Pengelolaan Air Bersih di Pulau Batam, dan Putusan Nomor 20/KPPU-I/2009 tentang Jasa Pelayanan Taksi di Bandara Internasional Juanda Surabaya. Penelitian Tesis ini menggunakan metode deskriptif-analisis. Dimana hasil penelitian menyimpulkan bahwa penilaian eksploitasi konsumen dalam substansi Pasal 17 menurut perspektif Hukum Persaingan Usaha dapat dilakukan melalui penilaian terhadap 2 (dua) unsur, yaitu; eksploitasi konsumen dengan membatasi pilihan konsumen atas barang dan jasa melalui Hambatan Masuk (Barriers to Entry) dan eksploitasi konsumen melalui penetapan harga jual yang tinggi. Sementara interpretasi eksploitasi konsumen dalam Putusan KPPU tentang Praktik Monopoli juga menerapkan penilaian terhadap 2 (dua) unsur tersebut, yaitu pada Putusan Nomor 07/KPPU-L/2007 tentang Dugaan Pelanggaran oleh Kelompok Usaha Temasek, Putusan Nomor 11/KPPU-L/2008 tentang Pengelolaan Air Bersih di Pulau Batam, dan Putusan Nomor 20/KPPU-I/2009 tentang Jasa Pelayanan Taksi di Bandara Internasional Juanda Surabaya.

Monopoly was not seen as a law violation, because it could be formed from the efficiency in production process. Meanwhile, the abuse of Monopoly Position or what we know as Monopoly Practices in the Law Number 5 Year 1999 is harmful and legally restricted through Article 17. The negative effects of Monopoly Practices will impact directly to consumer and overall market poverty. This study discussed about the interpretation of consumer exploitation in Article 17 Law Number 5 Year 1999 under Competition Law?s Perspective and about the interpretation of consumer exploitation in KPPU?s Decision on Monopoly Practice, which are the Decision Number 07/KPPU-L/2007 about Violation Allegation by Temasek, Decision Number 11/KPPU-L/2008 about Clean Waters Management in Batam, Decision Number 20/KPPU-I/2009 about Taxi Service in Juanda International Airport, Surabaya. All of those, studied by using the descriptive-analysis method. The result of this study concluded that the assessment of consumer exploitation in the substance of Article 17 under the Competition Law?s Perspective, could be evaluated through 2 (two) conducts, which are; consumer exploitation by limiting their choice of goods and services through the creation of Barriers to Entry, and consumer exploitation by excessive pricing. Meanwhile, the interpretation of consumer exploitation in KPPU?s Decision on Monopoly Practice also assessed those 2 (two) conducts in the Decision Number 07/KPPU-L/2007 about Violation Allegation by Temasek, Decision Number 11/KPPU-L/2008 about Clean Waters Management in Batam, Decision Number 20/KPPU-I/2009 about Taxi Service in Juanda International Airport, Surabaya.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T42200
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Flaurencia Aninta
"[ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai pengaturan hukum persaingan usaha mengenai penetapan tarif angkutan kontainer dan posisi asosiasi usaha dalam hukum persaingan usaha. Hasil dari penelitian menemukan bahwa Organda dinyatakan sebagai pelaku usaha, sementara Organda tidak melakukan kegiatan ekonomi sehingga tidak memenuhi pasal 1 ayat (5) UU No.5 Tahun 1999. Selain itu, penelitian menemukan bahwa tarif angkutan kontainer di Pelabuhan,Belawan ditetapkan berdasarkan negosiasi antara perusahaan pengguna jasa dan penyedia jasa. Perjanjian penetapan harga dijadikan sebagai batas atas saat negosiasi. Hal ini melanggar pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

ABSTRACT
The purpose of this thesis is about establishment tariff container and position trade association, in the point of view in Indonesia’s antitrust regulation. The result from this analysis found that Organda is defined as business man, although Organda doesn’t do economic activity, so it doesn’t violate Article 1 point 5 Law No.5 Year 1999. Another result found that tariff transportation of container in Belawan Port is established based by negotiation between service user and service provider. Price fixing agreement is used as tariff maximum in negotiation. The price fixing agreement must be violating Article 5, Law No.5 Year 1999 about Anti-monopoly and Prohibition of Unfair Competition.;The purpose of this thesis is about establishment tariff container and position trade association, in the point of view in Indonesia’s antitrust regulation. The result from this analysis found that Organda is defined as business man, although Organda doesn’t do economic activity, so it doesn’t violate Article 1 point 5 Law No.5 Year 1999. Another result found that tariff transportation of container in Belawan Port is established based by negotiation between service user and service provider. Price fixing agreement is used as tariff maximum in negotiation. The price fixing agreement must be violating Article 5, Law No.5 Year 1999 about Anti-monopoly and Prohibition of Unfair Competition., The purpose of this thesis is about establishment tariff container and position trade association, in the point of view in Indonesia’s antitrust regulation. The result from this analysis found that Organda is defined as business man, although Organda doesn’t do economic activity, so it doesn’t violate Article 1 point 5 Law No.5 Year 1999. Another result found that tariff transportation of container in Belawan Port is established based by negotiation between service user and service provider. Price fixing agreement is used as tariff maximum in negotiation. The price fixing agreement must be violating Article 5, Law No.5 Year 1999 about Anti-monopoly and Prohibition of Unfair Competition.]"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S58588
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nangoy, Sandra
"Penerapan ketentuan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (?UU Arbitrase?) telah menimbulkan kontroversi akibat ketentuan tersebut tidak konsisten dan tidak ada aturan yang tegas. Penelitian ini bermaksud untuk mencari korelasi yang tepat terhadap penerapan Pasal 70 dihubungkan dengan penjelasan pasal itu sendiri dan penjelasan pada bagian umum UU Arbitrase sehingga dapat menjamin tercapainya kepastian hukum keadilan bagi para pihak bersengketa. Permasalahan mendasar adalah apakah alasan untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase bersifat limitatif atau non-limitatif, dan bagaimana pembuktian alasan-alasan tersebut apakah diperlukan keputusan Pengadilan terlebih dahulu atau tidak. Bagaimana sikap Mahkamah Agung terhadap pembatalan putusan arbitrase ini, apakah telah memenuhi asas kepastian hukum dan keadilan bagi para pihak. Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian yuridis normatif. Penulis menemukan bahwa ternyata ketentuan Pasal 70 dan putusan Mahkamah Agung tentang permohonan pembatalan putusan arbitrase ini sangat beragam dan tidak konsisten sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan keadilan. Dilain pihak, aturan tentang upaya hukum untuk pembatalan putusan arbitrase juga tidak bisa dihapuskan sama sekali karena bisa terjadi putusan arbitrase diambil dalam keadaan yang salah sehingga dapat menimbulkan ketidakadilan apabila putusan tersebut tetap dipertahankan. Oleh karenanya perlu dilakukan perbaikan atas aturan arbitrase yang mengatur tentang upaya hukum pembatalan putusan sehingga dapat tercapainya kepastian hukum dan memenuhi rasa keadilan masyarakat.

The application of the provisions of Article 70 of Law No. 30 Year 1999 Regarding Arbitration and Alternative Dispute Resolution (?Arbitration Act?) has caused controvercy due to such article are inconsistent and there is no strict rule. This research intends to find out the correlation of the application of Article 70 associated with its elucidation and the general description of the Arbitration Act, to ensure the achievement of legal certainty and justice for disputing parties. The fundamental issues in respect of the annulment of arbitral award is whether the reasons of annulment is qualified limitative or non-limitative and whether is required prior final court decision or not. What is the opinion of the Supreme Court on such annulment of the arbitral award which has fulfilled the principle of legal certainty and justice for disputing parties. This research was conducted with juridical normative research methods. Authors found that the Article 70 and Supreme Court?s decision regarding the annulment of the arbitral award has caused legal uncertainty and injustice due to being indistinct and inconsistent. On the other hand, the rule of law remedy for the annulment of the arbitral award could not be eliminated completely because there are still any conditions where the arbitral award was taken in the wrong circumstances that can lead to uncertainty and injustice when the award is retained. Therefore, it is necessary to improve the arbitration rules which regulates legal remedy of application of the annulment of the award to ensure the legal certainty and justice in society.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T42611
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amanda Yoesani
"Electronic auction has been exercised by PTI Garuda indonesia in various cases and specially in procurement on advertising agency services. The author opinion here is that the auction 's approach which has been conducted by the company had resulted also budget's efficiency beside another fair steps. The steps are initiated by online registration and many provisionals requested before. Afterward the auction itself ran in bidding toward procurement of good and service justly. transparently and efficiently with also comply under the Law number 5 year 1999 particularly to article 3 the law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
HUPE-36-1-(Jan-Mar)2006-107
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Saritua, Goklas
"UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat merupakan dasar hukum dalam penanganan perkara pelanggaran terhadap hukum persaingan usaha di Indonesia yang telah mulai berlaku efektif sejak tanggeal 5 Maret tahun 2000. UU tersebut dimaksudkan untuk menegakan aturan hukum dan memberikan perlindungan yang sama bagi setiap pelaku usaha dan konsumen dalam kaitannya dengan kepentingan persaingan usaha itu sendiri sehingga memberikan jaminan kepastian hokum untuk lebih mendorong percepatan pembangunan ekonomi dalam upaya meningkatkan kesejahteraan umum.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UU No. 5 Tahun 1999 dapat dilihat bahwa UU tersebut tidak hanya mengatur mengenai hukum materil saja, tetapi juga mengatur mengenai hukum acara atau hukum formil yang berlaku dalam penegakan hukum persaingan usaha di Indonesia. Adanya pengaturan hukum materil dan hukum formil dalam satu UU tersebut terjadi karma dalam ketentuan yang khusus itu terdapat hal-hal barn yang tidak diatur dalam ketentuan sebelumnya, yaitu misalnya seperti mengenai hukum acaranya yang berkaitan dengan substansi maupun kelembagaannya. Beberapa ketentuan baru yang berkaitan dengan hukum acara yang ada dalam UU No. 5 Tahun 1999 tersebut antara lain adalah mengenai batas waktu penyelesaian perkara, peranan KPPU sebagai penyelidik, dan adanya upaya hukum keberatan atas putusan KPPU.
Dalam praktiknya temyata penegakan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menghadapi suatu tantangan yang berkaitan dengan ketentuan beracara yang ada selama ini yang diakibatkan oleh adanya perbedaan penafsiran dan pemahaman terhadap ketentuan-ketentuan yang kurang jelas dalam UU No. 5 Tabun 1999 diantara pihak-pihak yang berkaitan dengan penegakan UU tersebut, yaitu misalnya antara KPPU, kepolisian, hakim dan pengacara. Sebagai suatu UU yang masih relatif baru, UU No. 5 Tabun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat masih belum teruji benar pelaksanaannya karena sampai saat ,ini belum mempunyai test case yang sempurna sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam UU No. 5 Tabun 1999 itu sendiri. Berkaitan dengan hal tersebut, kasus Tender Penjualan Saham PT. IMSI merupakan ujian awal, karma dalam kasus tersebut telah dilakukan keberatan atas putusan KPPU ke tiga PN yang berbeda dan juga telah dilakukan kasasi atas putusan ketiga PN tersebut ke MA. Dalam kasus tersebut terdapat perbedaan penafsiran dan pemahaman antara KPPU dengan PN dan perbedaan penafsiran dan pemahaman diantara PN itu sendiri. Perbedaan pemahaman antara KPPU dengan PN adalah yang berkaitan dengan kewenangan atau kompetensi dari KPPU dalam memeriksa dan memutus kasus tersebut, sedangkan perbedaan penafsiran atau pemahaman diantara PN itu sendiri adalah yang berkaitan dengan pemahaman terhadap proses pemeriksaan dalam keberatan serta pengertian dari keberatan itu sendiri.
Adanya perbedaan penafsiran terhadap ketentuan-ketentuan yang ada dalam UU No. 5 Tahun 1999 dalam kaitannya dengan hukum acara tersebut pada akhirnya akan menyebabkan UU tersebut tidak efektif dan tidak memberikan jaminan kepastian hukum. Oleh karena itu untuk jangka panjang UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat hams direvisi atau diamandernen, terutama yang berkaitan dengan hokum acaranya, sehingga UU tersebut dapat berlaku efektif dalam penegakan hokum persaingan usaha di Indonesia. Sedangkan untuk jangka pendek MA dapat mengeluarkan suatu Peraturan (PERMA) atau Surat Edaran (SEMA) yang mengatur mengenai penegakan UU No. 5 Tahun 1999. Selain itu dalam hal ini jugs diperlukan kesamaan persepsi atau pemahaman diantara pihak-pihak yang berwenang dalam penegakan UU No. 5 Tahun 1999 sesuai dengan ketentuan yang ada dalam UU tersebut, yaitu KPPU, Kepolisian, Kejaksaan dan PN, dalam penyelesaian perkara persaingan usaha tidak sehat sehingga dapat menghindari dualisme penyidikan atau pemeriksaan yang hasilnya dapat saling bertentangan satu sama lain."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003
T16395
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khristine Agustina
"ABSTRACT
Sejak disahkan, masih banyak ketentuan dalam UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) yang diabaikan oleh pelaku usaha. Salah satunya adalah pencantuman klausula baku dalam karcis parkir. Apabila terjadi kehilangan kendaraan yang diparkir, selama ini konsumen menjadi pihak yang selalu dirugikan, karena pelaku usaha penyedia jasa layanan parkir menolak untuk memberikan ganti rugi dengan alasan bahwa hal tersebut merupakan tanggung jawab konsumen sebagaimana klausula yang tercantum dalam karcis parkir. Untuk itulah dilakukan penelitian mengenai perlindungan bagi konsumen pengguna jasa layanan parkir terhadap pengunaan klausula baku dalam karcis parkir berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) di wilayah kota Jakarta untuk menjawab beberapa permasalahan yaitu, bagaimana perlindungan hukum bagi konsumen pengguna jasa layanan parkir terhadap penggunaan klausula baku dalam karcis parkir berdasarkan UU No. 8 Tahun 1999 di Jakarta, jasa layanan parkir yang ada saat ini termasuk dalam perjanjian sewa menyewa atau penitipan, dan apakah Perda No.5 Tahun 1999 tentang Perparkiran bertentangan dengan UUPK. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari penelitian lapangan dengan alat wawancara dan kuesioner, sedangkan data sekunder diperoleh melalui penelitian kepustakaan. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa konsumen pengguna jasa layanan parkir kendaraan bermotor seringkali merasa dirugikan dengan penggunaan klausula baku dalam karcir parkir, karena jika terjadi kehilangan kendaraan yang diparkir, konsumen akan menemui kesulitan untuk menuntut ganti rugi, karena pelaku usaha selalu berdalih bahwa kehilangan kendaraan yang diparkir adalah tanggung jawab konsumen sendiri, sesuai ketentuan dalam karcis parkir, sehingga di sini tidak ada perlindungan hukum bagi konsumen pengguna jasa layanan parkir. Hubungan hukum yang terjadi dalam jasa layanan parkir adalah perjanjian sewa menyewa, karena didalam sewa menyewa terdapat proses pembayaran yang dilakukan oleh konsumen kepada pelaku usaha atas jasa sewa lahan parkir tersebut. Perda DKI Jakarta saat ini masih bertentangan dengan UUPK, dalam hal mengesahkan klausula baku. Kondisi ini perlu dibenahi misalnya dengan mencantumkan hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha dalam karcis parkir, disamping perlunya secara selektif dan efisien dilakukan sosialisasi UUPK di kalangan masyarakat konsumen dan pelaku usaha.

ABSTRACT
Act No. 8/1999 on Consumer Protection (ACP) still contains some provisions disregarded by business people since it was legalized in 1999. One of the disobedient actions is the standard clause inclusion on the parking ticket. So far, if the vehicle parked is missing, consumer becomes the disadvantaged party, because the parking service provider refuses to disburse compensation by the reason that the consumer is also responsible for the safety of his or her vehicle, according to the clause attached on the parking ticket. Considering the background, a research on legal protection for the parking service users against the use of standard clause added on the parking ticket according to the Act No. 8/1999 on Consumer Protection (ACP) in Jakarta City was carried out, to response few questions, how legal protection for the parking service users against standard clause added on the parking ticket according to Act No.8/1999 in Jakarta, the parking service in Jakarta is included in leasing contract or deposited contract, and does jurisdiction laws of Jakarta No.5/ 1999 contradictory with consumer protection. Data in use are primary and secondary data. Primary data are obtained from field research using interview and questionnaire instrument, while secondary data are taken through literature study. The result of the research indicates that consumer as the user of the parking service sometimes to feel a loss with the uses of the standard clause added on the parking ticket, because if the vehicle parked is missing, the consumer will have difficulty to disburse compensation, because the parking service provider always prevaricate that the loss of parked vehicle is become the consumer?s responsibility itself, according to the clause attached on the parking ticket, so there is no legal protection for the consumer as the user of the parking service. The parking service in Jakarta is included in leasing contract, because there is a payment process which done by consumer to the parking service provider. Jurisdiction laws of Jakarta at this time still contradictory with the consumer protection that which in ratification on standard clause. This condition needs to be fixed, such as with inserting the consumer and the parking service provider?s rights and compulsory, beside that it is necessary to socialization the Act Consumer Protection (ACP) in consumer and provider?s society with selective and efficient.
"
2010
T26649
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Teuku Yuzad Fiddian
"Sumber daya alam hayati Indonesia dan ekosistemnya mempunyai kedudukan serta peranan penting bagi kehidupan dan pembangunan nasional. Oleh karena itu, harus dikelola dan dimanfaatkan secara lestari, selaras, serasi dan seimbang bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia pada khususnya dan umat manusia pada umumnya, baik sekarang maupun masa yang akan datang.
Unsur-unsur sumber daya alam hayati dan ekosistemnya pada dasarnya saling tergantung dan saling mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya, sehingga kerusakan dan kepunahan salah satu unsur akan berakibat terganggunya ekosistem. Untuk itu, diperlukan langkah-langkah konservasi sehingga sumber daya alam hayati dan ekosistemnya selalu terpelihara dan mampu mewujudkan keseimbangan serta melekat dengan pembangunan itu sendiri. Mengingat pentingnya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia, maka Pemerintah dan masyarakat mempunyai kewajiban dan tanggung jawab dalam kegiatan konservasi.
Pada tahun 1982 disahkan dan diundangkan UU No. 4 Tabun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UULH), yang berfungsi sebagai payung bagi penyusunan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan Lingkungan Hidup dan bagi penyesuaian peraturan perundang-undangan yang telah ada. Lebih lanjut UULH ini menyatakan Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya perlu ditetapkan dengan undang-undang, yang kegiatannya mencakup 3 aspek :
1. perlindungan sistem penyangga kehidupan;
2. pengawetan dan pemeliharaan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya pada matra darat, air dan udara;
3. pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
(Pasal 12 & Penjelasannya)
Dalam rangka mengawetkan jenis, maka ditetapkan jenis-jenis biota perairan yang dilindungi, agar tidak mengalami kepunahan (Keputusan Menteri Pertanian No. 327/Kpts/Um/7/1972, No. 35/Kpts/Um/1/1975, No. 327/Kpts/Um/5/1978, No. 716/Kpts/Um/10/1980, dan Keputusan Menteri Kehutanan No. 12/Kpts-II/1987).
Namun, beberapa jenis satwa yang dilindungi menurut beberapa Keputusan Menteri Pertanian dan Menteri Kehutanan di atas, oleh UU No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan (UUP) dinyatakan dapat dimanfaatkan secara komersial (Pasal 1 Angka 2 & Penjelasannya).
Kemudian pada tahun 1990 diberlakukan UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UUKH) yang merupakan realisasi amanat Pasal 12 UULH tersebut di atas. UUKH ini menyatakan konservasi sumber daya alam hayati merupakan pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya.
Selanjutnya, dalam Pasal 20 UUKH ditetapkan, untuk melindungi spesies perlu ditetapkan jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi baik karena dalam bahaya kepunahan maupun karena populasinya jarang. Sehubungan dengan ketentuan di atas, Menteri Kehutanan mengeluarkan 2 Surat Keputusan, yakni Keputusan Menteri Kehutanan No. 301/Kpts-1I/1991 dan Keputusan Menteri Kehutanan No. 882/Kpts-II/92.
Sebagai konsekuensi dari ketentuan itu, setiap orang tidak boleh melakukan penangkapan atau tindak perbuatan lain yang ditentukan secara limitatif dalam Pasal 21 ayat (2) UUKH. Apabila ada orang yang melakukan tindak perbuatan dimaksud, maka orang tersebut dapat dipidana (Pasal 40 ayat (2) & ayat (4) UUKH), dan tumbuhan & satwa tersebut dirampas oleh negara untuk dikembalikan ke habitatnya atau diserahkan kepada lembaga-lembaga yang bergerak di bidang konservasi tumbuhan dan satwa, kecuali apabila keadaannya sudah tidak memungkinkan untuk dimanfaatkan sehingga dinilai lebih baik dimusnahkan (Pasal 24 UUKH).
Pengecualian terhadap hal di atas dapat dilakukan untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, penyelamatannya, dan atau membahayakan kehidupan manusia (Pasal 22 UUKH).
Sesuai dengan sifat penelitian ini deskriptif-preskriptif, maka penelitian ini bertujuan untuk menyelesaikan dan mencari jawab atas masalah-masalah yang ada tersebut. Dengan demikian diperoleh saran-tindak dalam menghadapi permasalahan itu, agar tercapainya kesejahteraan manusia dan makhluk hidup lainnya. Sehubungan dengan hal di atas, pengamatan dan pembahasannya memakai metode ilmiah analitis-struktural, dengan menerapkan tata pendekatan dan metode kajian berdasarkan aspek wadah dan aspek isi yang terkandung di dalamnya serta aspek tata laku yang merupakan perpaduan antara kedua aspek terdahulu, untuk makin mendekati hakekat kenyataan, agar dapat memperoleh cara penyelesaian masalah dengan berlandaskan pengertian (comprehension) dan tidak hanya sekedar.pengetahuan.
Hasil penelitian menunjukkan, bahwa para aparatur hukum yang memproses perundang-undangan yang menjadi obyek penelitian ini, kurang memahami UULH sebagai Umbrella Act yang merupakan makro sistem di dalam pengelolaan lingkungan.
Kondisi ini menunjukkan lemahnya tingkat kesadaran hukum di Indonesia, karena :
- kurangnya kepastian yang diberikan oleh hukum yang berlaku; dan
- lemahnya komitmen dari pihak penguasa dalam pembangunan hukum itu.
Apabila keadaan ini dihubungkan dengan asas-asas legalitas dari Fuller, maka dapat dinyatakan bahwa situasi perundangundangan sedemikian itu tidak memenuhi :
- asas suatu sistem tidak boleh mengandung peraturanperaturan yang bertentangan satu sama lain;
- asas harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya sehari-hari.
Berdasarkan hal ini dapat dikemukakan, sistem hukum lingkungan di Indonesia belum tercipta secara baik.
Menghadapi permasalahan ini teori ilmu hukum mengharapkan para aparatur hukum untuk melakukan interpretasi teleologis atau interpretasi sistematis berdasarkan konsep, asas, norma, lembaga dan sistematika UULH demi kepentingan masyarakat hukum dan lingkungan yang menuntut penilaian yang sama secara harmoni. Hal ini sesuai dengan asas kepastian hukum, asas kemanfaatan dan asas keadilan di dalam pembangunan hukum.
Untuk menjamin terlaksananya nilai-nilai dasar hukum itu, perlu dipacu operasionalisasi Sistem Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum secara nasional sebagai unsur pendukung fungsi hukum, sehingga semua aparatur hukum dapat mengumpulkan data dan informasi hukum yang selengkap-lengkapnya secara cepat, mudah dan akurat. dengan demikian terhindarkan, tidak teramatinya peraturan-peraturan hukum yang berkaitan satu sama lain dalam tata hukum Indonesia dan ketidaktaatan terhadap tertib hukum Indonesia, agar terciptanya budaya hukum nasional yang kondusif bagi kehidupan hukum pada khususnya dan pembangunan nasional pada umumnya.
Di samping itu, Pemerintah sudah saatnya untuk merealisasi amanat Pasal 3 TAP MPR No. V/MPR/1973 yang antara lain menyatakan perlu dilakukan penyempurnaan terhadap TAP MPRS No. XX/MPRS/1966. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin kepastian hukum bagi Keppres yang dibentuk oleh Presiden dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsi pemerintahan menurut Pasal 4 ayat (1) DUD 1945 dan Konvensi Ketatanegaraan, Amanat Presiden RI kepada Ketua DPR No. 2826/Hk/60 dalam sumber Tertib Hukum Indonesia.
Daftar Kepustakaan : 50 (1971-1994)

The Different Regulated Provision In The Field Of Environmental Law In Indonesia (Case Study Act No. 9 Of 1985 And Act No. 5 Of 1990)Biological natural resources of Indonesia and it's ecosystem have an important role and status in the livelihood of national development. Therefore, it has to be managed and exploited in a harmonious and balanced manner for the sake of the Indonesian community's welfare in particular and mankind in general, both today as well as the coming years to come.
The elements of biological natural resources and it's ecosystem, in essence, are inter-dependent and influencing one another, so that damage and extermination of any one of the element will result in ecosystem disturbance. Thus, conservatory steps are needed so that the biological natural resources' and it's ecosystem are always maintained and able to realize the balance and stuck with development itself. Considering the importance of biological natural resources and it's ecosystem for the promotion of community welfare and quality of man's livelihood, hence the government and it's society the duty and responsibility in conservation activities.
In 1982 was done and promulgated the Act No. 4 of 1982 on Basic Provisions for The Management of The Living Environment (EMA), which functions as an umbrella for the formulation of others Acts and Regulations related to the living environment and for the adaptation of the already existing laws and regulations. In addition, this EMA stated that conservation of biological natural resources and it's ecosystem need to be stipulated with an Act, the activities of which encompass 3 aspects:
1. protection of life support system;
2. conservation and maintenance of the varieties of plant and animal species and their ecosystem, in the sphere of earth, water and air;
3. sustained utilization of organic natural resources and their ecosystems.
(Article 12 & it's Elucidation)
In the framework of species conservation, the protected waters biota species are determined, in order to prevent them from extinction (The Letter of Decision of the Minister for Agriculture No. 327/Kpts/Um/7/1972, No. 35/Kpts/Um/1/1975, No. 327/Kpts/Um/5/1978, No 716/Kpts/Um/10/1980, and Letter of Decision of Minister for Forestry No. 12/Kpts-II/1978). Nevertheless, some animal species, protected in accordance with some Decision of the Minister for Agriculture and the Minister for Forestry mentioned above, are permitted to be commercially utilized base on Act No. 9 of 1985 on Fishery (UUP, Article 1 Number 2 & it's Elucidation).
Then, in 1990, Act No. 5 of 1990 on the Conservation of Biological Natural Resources and it's Ecosystem (UUKH) is promulgated, which is the realization of the massage in Article 12 EMA mentioned above. This UUKH stated that the Conservation of Biological Natural Environment constitute Conservation of Biological Natural Resources, the exploitation of which is carried out wisely to guarantee the sustainable reserves by consistently maintaining and promoting biodiversity quality and their values.
In addition, in Article 20 UUKH it was stated that, to protect the species, the kinds of plants and animals that are protected both because of in danger of extinction as well as due to their rare population need be stipulated. Related to the above stipulations, the Minister of Forestry issued 2 decrees, namely The Minister of Forestry Decree No. 301/Kpts-II/1991 and the Decree No. 882/Kpts-1I/92.
As a consequence of those stipulations, every person may not capture or other measures which has been stipulated limitatively in Article 12 paragraph (2) UUKH. Should there be a person who carried out that action as meant, then the person in question can be punished (Article 40 paragraph (2) and paragraph (4) UUKH), and plants and animals in question are confiscated by the State to be returned to their respective habitats or entrusted to those institutions that operate in the field of conservation of plants and animals, except when the condition is such that it is impossible to be of use, so that it is considered better to be destroyed (Article 24 UUKH).
Exception to the above can be undertaken for purposes of research, science, survival and or endangering human life (Article 22 UUKH).
In accordance with in this study, which is descriptive﷓prescriptive, hence this study has as objectives to finalize and search for answers of issued that are present. In doing so, recommendations for actions in facing the issue for the sake of achieving human and other living creatures welfare can be obtained. In connection with the above statement, observations and it's discussion are carried out by using the structural-analytical scientific method, by applying the approach and study method based on content and container aspects inherent in it's as well as behavioral aspects which constitute the integration of the previous two aspects, to approach closer the essence of reality, so that problem solving method is obtained based on comprehension and not merely knowledge only.
The results of the study showed that the legal apparatus that processed the laws that became the study object, lack comprehension of EMA as an Umbrella Act, which constitutes the macro system in environmental management.
This condition showed the weakness of the legal awareness level in Indonesia, due to:
- uncertainty that is provided by the valid law; and
- commitment weakness shown by the authorities in the legal development.
When this situation is related to the legal principles of Fuller, thence, it can be stated that the legal situation as such does not comply with:
- the principle that a system must not contain regulations that is contradicting one another;
- the principle that there must be harmony between regulations enacted with the daily implementation.
Based on those, then, it can be stated that, the environmental legal system in Indonesia is not yet realized properly.
Facing this issue, the legal science theory hoped that the legal apparatus carried out teleological interpretation or systematic interpretation based on concept, principles, norms, institutional and EMA systematic for the sake of the legal community interests and the environment that demand similar evaluation harmoniously. This is in accordance with the legal certainty principle, benefit principle and justness principle within the legal development.
To guarantee the realization of those legal principles values, the operationalization of the Documentation Network System and Legal Information need be stimulated nationally as a legal function support element, so that all legal apparatus can collect legal data and information as completely as possible rapidly, easily and accurately.
Hence, it could be avoided, the unobserved legal regulations that are related one to another in the Indonesian Legal System and the non-adherence towards Indonesian Legal Order, so that the National Legal Culture is realized which is conducive for the legal life in particular and national development in general.
In addition, it is time for the government to realize the message of Article 3 TAP MPR No. V/MPR/1973 which, among others, stated the need to carry out the finalization of TAP MPRS No. XX/MPRS/1966. This is meant to guarantee the legal certainty of KEPPRES which is issued by the President within the framework of carrying out the task and function of governance in accordance with Article 4 paragraph (1) UUD 1945 and matters pertaining to form of government convention, the Republic of Indonesia Presidential Message to the Chairman of DPR No. 2826/Hk/60 in the Indonesian Legal Order Source.
Number of References: 50 (1911-1994)
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1996
T1809
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>