Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 77212 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Intan Indria Rininta
"Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara, dalam konstitusi Indonesia secara tegas dinyatakan bahwa negara menjamin setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Tujuan dan kepentingan terbaik bagi anak harus didahulukan, sebagaimana ditegaskan dalam Konvensi Hak Anak, Deklarasi Persatuan Bangsa-Bangsa mengenai Hak-Hak Anak tahun 1959 dan dalam The Beijing Rules yang diratifikasi melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Konvensi Hak-Hak Anak. Anak yang melakukan tindak pidana tidak dipandang sebagai seorang penjahat, tetapi harus dilihat sebagai orang yang memerlukan bantuan, pengertian dan kasih sayang, serta pengenaan sanksi hukum pidana terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana hendaknya lebih mengutamakan pendekatan persuasif-edukatif dan pendekatan kejiwaan.
Sistem pemidanaan yang bersifat edukatif sebagai sistem pemidanaan yang bersifat mendidik telah jelas tersirat dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dengan tujuan agar dapat terwujud peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan kepentingan terbaik anak yang berhadapan dengan hukum sebagai penerus bangsa. Salah satu alternatif dalam menangani kasus anak dengan menggunakan konsep diversi dan restorative justice. Restorative justice adalah merupakan suatu proses dimana semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama memecahkan masalah dengan melibatkan anak sebagai pelaku tindak pidana, anak korban, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan menentramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan.
The Beijing Rules telah memberikan pedoman sebagai upaya untuk menghindari dampak negatif dari proses peradilan pidana terhadap anak tersebut, dengan memberikan kewenangan kepada aparat penegak hukum mengambil tindakan-tindakan kebijakan dalam menangani dan menyelesaikan masalah pelanggar anak dengan tidak mengambil jalan formal, antara lain dengan menghentikan proses pengadilan dan bentuk-bentuk kegiatan pelayanan sosial lainnya, tindakan-tindakan ini disebut diversi. Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) Handayani adalah Unit Pelaksana Teknis di lingkungan Departemen Sosial yang memberikan layanan rehabilitasi sosial terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Salah satu program Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) Handayani adalah menyelenggarakan pendidikan formal dan pelatihan kecakapan hidup yang bersifat non-formal yang mengarah pada kemandirian anak yang berhadapan dengan hukum.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian yang bersifat normatif dengan spesifikasi deskriptif analitis. Jenis data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh secara langsung di lapangan dan data sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan. Lokasi penelitian adalah Lembaga Pemasyarakatan Anak Pria Tangerang, Lembaga Pemasyarakatan Anak Wanita Tangerang dan Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) Handayani yang terletak di Jakarta Timur. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemidanaan edukatif terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dapat dilaksanakan secara efektif di PSMP Handayani Jakarta Timur.

Child is a part of which do not be locked out of man viability and continuity of one nation and state, in Indonesian constitution explicit being declared that country secures each child be entitled to viability, grow up and amends and be entitled to protection of violence and discrimination. The best interest of the child have precedence over, as affirmed in Convention on the Rights of the Child, Declaration of United Nation concerning on the Rights of the Child year 1959 and in The Beijing Rules ratified through Decision of President Number 36 Year 1990 About Authentication of Convention on the Rights of the Child. Thereby, hence child conducting an injustice do not be viewed as a criminal, but have to be seen as one who need aid, affection and congeniality and also imposition of criminal law sanction to child as perpetrator of doing an injustice shall be more major approach of psychological and persuasive-educative approach.
Penalization system having the character of edukative as educative penalization system have implicit clear in Code Number 3 Year 1997 about Justice Of Child, with aim to be able to materializes jurisdiction of protection of the best interest of the juvenile delinquence as router of nation, meant to protect the juvenile delinquence to be able to breast its future which still length and giving chance to child to be passing construction will be gotten their character to become self-supporting human being, holding responsible and good for ownself, family, society, nation and state. One of the alternative in handling child case by using diversion concept and restorative justice. Restorative justice is an approaching that emphasizes on recover loss that evoked by crime where all party in concerned in a certain doing an injustice together solve problem, creating an obligation to make everything become better by entangling child as perpetrator of doing an injustice, victim child, and society in searching solution to improve, reconciliation and liver which is do not pursuant to retaliation.
The Beijing Rules have given guidance as effort to avoid negative impact of criminal justice process to child, by giving authorities to government officer enforcer of law take policy actions in handling and finishing the problem of trespasser of child without taking formal form, for example discontinuing or discharge from litigation or return or deliver to forms and society activity of service of other social, this actions is referred as diversion. Social House of Marsudi Putra (PSMP) Handayani is Technical Unit Executor in Social Departmental. This House give service rehabilitate social to juvenile delinquence. One of the program of Social House of Marsudi Putra (PSMP) Handayani is to carry out formal education and training of efficiency of life having the character of non-formal which is flange at child independence which deal with law.
This research use research method of normatif with analytical descriptive specification. Data type the used is obtained primary data directly in data and field of sekunder obtained through bibliography study. Research location is Institute of Pemasyarakatan Child Man of Tangerang, Institute Pemasyarakatan Child Woman of Tangerang and Social House of Marsudi Putra (PSMP) Handayani which located in East Jakarta. Pursuant to result of research can be concluded that educative punishment to juvenile delinquence can be executed effectively in PSMP Handayani East Jakarta.
"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T30260
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Arya Perdana
"Indonesia merupakan negara kepulauan yg sangat besar. Keadaan ini kemudian membuka peluang tindak kejahatan terutama yg bersifat lintas negara atau transnasional. salah satu kejahatan yg mungkin timbula adalah penyelundupan manusia yaitu kejahatan mengatur atau mengupayakan dalam rangka mendapatkan, baik secara langsung keuntungan finansial atau keuntungan material lainnya dari masuknya seseorang secara ilegal ke sebuah negara dimana orang tersebut bukanlah warga negara atau orang memiliki izin tinggal tetap. Beberapa tahun terakhir ini dengan situasi politik dunia yg tdk menentu, terdapat beberapa negara yg mengalami konflik yg membuat masyarakatnya tdk merasa nyaman untk tinggal di negaranya sendiri.
Berangkat dari keadaan tersebut maka muncullah para perekrut yg bertujuan menyelundupkan orang-orang tersebut keluar dari negaranya dan masuk ke negara yg lebih baik dengan cara yg ilegal. Dengan keadaan yg memprihatinkan tersebut kejahatan yg muncul bukan saja hanya mengenai penyelundupan manusia saja, namun akan banyak kejahatan lain yg akan terjadi ketika orang asing yg tdk jelas keberadaanya di Indonesia tdk terdeteksi. Pada th 2000 Indonesia telah secara bersama-sama ikut menandatangani Konvensi Palermo dan protokol Menentang Penyelundupan Migran melalui Darat, Laut dan Udara dan pd th. 2009 telah meratifikasinya dlm bentuk undang-undang no. 15th. 2009 tentang pengesahan protokol tersebut.
Di th. yg sama IOM dan Universitas Indonesia telah juga membuat sebuah buku petunjuk bagi petugas kepolisian dan imigrasi dalam rangka menangani kejahatan penyelundupan manusia dengan menggunakan peraturan perundang-undangan yg terkait dengan kejahatan penyelundupan manusia, dengan harapan kejahatan ini dapat diproses secara pidana dan menimbulkan efek jera bagi para pelakunya. Namun hal tersebut masih di nilai belum cukup karena, kesamaan pandangan antara sesama penegak hukum dlm sistem peradilan pidana, tdk dpt sisatukan begitu saja apabila tdk ada aturan yg pasti dlm sebauah peraturan perundang-undangan yg mengatur masalah tersebut. dengan demikian maka peneliti melakukan studi komprehensif kejahatan penyelundupan manusia, dengan tujuan dpt memberikan sebuah bentuk draft alternatif undang-undang bagi kepastian hukum di sistem peradilan pidana Indonesia dlm penanganan kejahatan penyelundupan manusia yg ada di Indonesia.

Indonesia is an archipelago country,wich is very lagrge in this world.This situation then opened up the opportunities the crime,especially cross the border illegally or transnational crime. One of the crimes that may arise is the smuggling of human beings,namely the crime set or seek to obtain, either directtly or indirectly, financial or other mateial benefits from the illegal entry of a person to a country where the persen is not a citizen or person who has permission permanent residence. For the last few years, with uncertain world political situation, there are several countries that experienced conflicts that make people feel uncomfortable to live in their own country.
Based on this circumstances, there appears the recruiters who aim to smuggle people out of the country to enter another country to have a god life in illegal way. Whit this alarming circumstances,crimes that appear not only just about human smuggling, but another crime will occur when another stranger who does not clearly presence in Indonesia is not detected. In the year of 2000 Indonesia had jointly signed the Palermo convention and the Protocol against the smuggling of migrants by land sea and air have also been ratified in the Legislation number 15 year 2009 concerning the ratification of the protocol.
In the same year, the IOM and Indonesian University has also created a guide for police and immigration officers in order to deal with crimes of human smuggling by using laws and regulations related to the crimes of human smuggling, in the hope that this crime can be processed in the court and the deterrent effect for perpetrators. But it still considered not quite enough as overwhelming agreement among law enforcement agencies that could not simply put together without any definite rules within a statutory regulations governing the issue. Thus the researcher conducted a comprehensive study on crimes of human smuggling with the aim to provide an alternative form of draft legislation for legal certainty in the Indonesian criminal justice systemin handling the crime of human smuggling in Indonesia.
"
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2010
T43301
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Defid Tri Rizky
"Sistem pembalikan beban pembuktian sebagaimana yang diatur dalam undang-undang tindak pidana korupsi merupakan suatu penyimpangan tentang sistem pembebanan pembuktian sebagaimana yang telah diatur dalam KUHAP dan sistem pembalikan beban pembuktian ini belum dapat dilaksanakan secara optimal oleh penegak hukum.
Dalam penulisan tesis ini terdapat tiga permasalahan yang dikaji yaitu : bagaimana pengaturan tentang sistem pembalikan beban pembuktian tindak pidana korupsi menurut ketentuan yang berlaku di Indonesia dan apakah yang menjadi hambatan dan kendala dalam penerapan sistem pembalikan beban pembuktian pada tindak pidana korupsi serta bagaimana seharusnya pengaturan sistem pembalikan beban pembuktian dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi agar dapat diterapkan secara optimal.
Penelitian ini menggunakan metodologi penelitian yuridis normatif dan dalam pengolahan dan analisis data penelitian ini menggunakan metode yang bersifat kualitatif deskriptif dengan menguraikan persoalan dan fakta-fakta secara tertulis dari bahan kepustakaan dan akan dianalisa yang pada akhirnya akan ditarik sebuah kesimpulan dan didukung oleh penelitian lapangan sebagai penunjang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem pembalikan beban pembuktian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 12 B ayat (1) huruf a, Pasal 37 A dan Pasal 38 B Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi belum pernah diterapkan dalam penanganan tindak pidana korupsi dikarenakan terdapatnya kesalahan rumusan norma pembalikan beban pembuktian sebagaimana yang termuat dalam Pasal 12 B sehingga rumusan tersebut meniadakan norma pembalikan beban pembuktian. Kemudian masih terdapatnya perbedaan persepsi antara penegak hukum terkait dengan konsep pembalikan beban pembuktian dan makna terhadap harta benda terdakwa yang belum didakwakan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 38 B. Tidak adanya aturan yang jelas tentang proses beracara dalam penerapan sistem pembalikan beban pembuktian membuat penegak hukum raguragu untuk menerapkan sistem ini. Oleh karena itu disarankan agar pembentuk undang-undang tindak pidana korupsi segera merevisi norma pembalikan beban pembuktian sebagaimana yang termuat UU No. 20 tahun 2001 serta mengatur secara jelas mengenai petunjuk teknis/operasional dalam penerapan sistem pembalikan beban pembuktian tersebut.

The reversal of the burden of proof system as stipulated in Law No. 31 of 1999 Jo Act No. 20 of 2001 on corruption is a deviation of the loading system of proof as set out in the Code of Criminal Procedure (KUHAP) and the burden of proof reversal system has yet to be implemented optimally by law enforcement.
In writing this thesis there are three issues that were examined are: how to setup a reversal of the burden of proof on the system of corruption according to the provisions in force in Indonesia and what are the barriers and obstacles in the application of the reversal of the burden of proof in corruption cases as well as How should the reversal of burden of proof system arrangement within the Criminal law can be applied to Corruption optimally.
This research uses the juridical normative and research methodologies in the processing and analysis of data using a method that is both qualitative descriptive with outlines the issues and facts, in writing, from the material library and will be analyzed that will ultimately be drawn a conclusion with supported by research field as an ancillary.
The results showed that the reversal of the burden of proof system as set forth in of Article 12 B paragraph (1) letter a, Article 37 A and Article 38B of Law No. 20 of 2001 on amendment of Law No. 31 of 1999 on the Eradication of Corruption has never been applied in the handling of corruption due to the presence of error norm formulation as the reversal of the burden of proof as contained in Article 12 B so that the formulation of the norm eliminate the reversal of the burden of proof. Later still the presence of differences in perception between law enforcement related to the reversal of the burden of proof concept and meaning to the defendant's property that has not been charged as provided in Article 38 B. The absences of clear rules on proceedings in the application of the reversal of the burden of proof create hesitant for law enforcement agencies to implement this system. It is therefore recommended that the legislators of corruption revise the norms of reversal of the burden of proof which contained on Law No. 20 of 2001 and set a clear technical guidelines / operational in the application of the reversal of the burden of proof.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T30695
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Adami Chazawi
Surabaya: ITS Press, 2009
345.598 027 4 ADA t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Cahyaning Nuratih Widowati
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T 02370
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Joyo Supeno
"Secara universal pada dekade ini penghargaan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia semakin tinggi, namun pada ruang lingkup yang kecil (sistem peradilan pidana) masih terdapat pihak yang belum diperhatikan kedudukan dan peranannya, yaitu korban tindak pidana kejahatan. Korban tindak pidana kejahatan konvensional
pada hakekatnya mempunyai hak dan kewajiban dalam sistem peradilan pidana, sebagaimana yang dirumuskan secara
konstitusional dalam Pasal 27 Undang Undang Dasar 1945,
secara idiologis tercermin dalam nilai-nilai dari sila-sila Pancasila dan secara moral terumuskan dalam Declaration of Human Rights, Declaration o f Basic Principles o f J u s t i c e for Yictims o f Crime and Abuse o f Power dan I n t e r n a t i o n a l Covenant on Civil and Political Rights. Namun secara yuridis-formal kedudukan dan peranan korban tindak pidana kejahatan masih belum diperhatikan secara optimal, bahkan para ilmuwan Hukum Pidana dan Kriminologi secara
sinis mengatakan, bahwa korban tindak pidana kejahatan merupakan pihak yang terlupakan. Perundang-undangan pidana Indonesia (KUHP dan KUHAP) lebih banyak mengatur kepentingan hukum tersangka/terdakwa dan fungsionalisasi tanggungjawab aparat peradilan pidana. Kedudukan dan peranan korban tindak pidana kejahatan dalam sistem peradilan pidana hanya sebagai pelapor/pengadu dan saksi. Kepentingan hukumnya sebagai pihak yang dirugikan (pencari keadilan) hanya terumuskan dalam Pasal 14 c KUHP dan Pasal 98 ayat (1) KUHAP, itu pun tidak pernah terealisasi. Ada suatu kondisioning yang berpengaruh terhadap kondisi korban tindak pidana kejahatan, yaitu pertama, perundang-undangan yang belum jelas dan tegas, meskipun ada indikasi diperhatikannya korban tindak pidana kejahatan dalam Konsep Rancangan KUHP 1987/1988, namun masih perlu dilakukan reorientasi, reevaluasi dan reformasi
terhadap hukum formil (KUHAP). Kedua, belum optimalnya realisasi tanggung jawab hukum dan moral aparat peradilan pidana terhadap upaya pemulihan penderitaan korban tindak pidana kejahatan. Ketiga, masih rendahnya partisipasi masyarakat, baik secara individu maupun secara kolektif. Akibatnya dengan kondisi tersebut diperlukan pembaharuan hukum melalui kebijakan hukum pidana yang berorientasi pada nilai-nilai kemanusiaan dengan tidak meninggalkan
nilai-nilai hukum dan keadilan."
Jakarta: Universitas Indonesia, 1993
T36430
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Anggidigdo
"Kojaksaan adalah lembaga pemerintah pelaksanan kekuasaan negara di bidang penuntutan, sedangkan kewenangan penyidikan dimiliki oleh sub slotem kepolisian. Hal inilah yang diamanatkankan dan dicita-citakan oleh Undang-Undang Momor Tahun 1981 (KUHAP). Dalam Praktek sehari-hari kejaksaan tidak hanya melaksanakan kekuasaan negara dibidang penuntutan, tetapi juga melaksanakan kekuasaan negara dibidang penyidikan tindak pidana tertentu, Ikutnya kejaksaan dalam bidang penyidikan tentunya mempunyal alasan yang kuat sehingga lembaga ini masih diberi kewenangan melakukan penyidikan hingga saat ini.
Fenelitian bertujuan untuk mengetahui apa saja problematika yang dialami oleh kejakeaan dalam hal penyidikan, mengetahui dasar mempertahankan kewenangan penyidikan kejaksaan tetap dan mengetahui pengaruh masuknya sub sisten kejaksaan pada tahap penyidikan dalam hubungannya dengan keterpaduan sistem peradilan pidana. Metode pendekatan yang digunakan adalah yuridis normatif yang didasarkan pada sumber data sekunder berupa peraturan peraturan hukum, keputusan pengadilan, teori bukun dan pendapat para sarjana hukum terkenal. Data yang diperoleh dari kepustakaan dan data yang diperoleh dari lapangan spabila telah terkumpul kemudian dilakukan analisis dengan menggunakan metode normatif kualitatif. Rormatif karena penelitian ini bertitik tolak dari peraturan perundang-undangan yang ada sebagai norma hukum positif, sedangkan diperoleh Kemudian kualitatif dimaksudkan data yang disusun secara sistematis untuk selanjutnya dianalisis secara kualitatif guna mencari kejolasan masalah yang akan dibahas.
Berdasarkan analisis kualitatif diketahui bahwa masuknya kejaksaan dalam bidang penyidikan sebenarnya telah menyalahi sistem peradilan pidana seperti yang diamanatkan oleh KUKAP (UU No. 8/1981), tetapi hal itu dimaklumi karena penyidikan tindak pindana tertentu yang dilakukan penyidik kepolisian masih kurang sedangkan intensitas yang dilakukan penyidik kejaksaan lebih banyak dan cepat. Berlakunya DU Korupsi yang baru (UU 31/1999 jo 20/2001), adanya Putusan Pengadilan yang menolak kewenangan penyidikan oleh kojaksaan dan terbentuknya Komisi Pemberantas Korupsi (UU No. 30/2002) tidak menghilangkan kewenangan kejaksaan untuk tetap bisa melakukan penyidikan tindak pidana tertentu. karena kejaksaan masih mempunyai dasar hukum yang tersebar dalan berbagai undang-undang tertulis, dukungan rakyat melalui OPR/KPR serta prosentase putusan pengadilan yang menerima penyidikan kejaksaan lebih banyak daripada yang menolak. Untuk lebih meningkatkan suasana yang kondusif dalam bidang penyidikan perlu diciptakan kerjasana yang harmonia dengan lembaga penyidik tindak pidana tertento
baik penyidik kepolisian maupun penyidik KPTPK. Guna menghapus keraguan apakah lembaga kejaksaan Disa melakukan penyidikan tindak pidana tertentu atac tidak, disarankan agar kewenangan penyidikan tersebut dipertegas dalam KUMAP, RUU Kejaksaan dan BUU Sisten Peradilan Pidana yang akan datang."
Universitas Indonesia, 2004
T36180
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endang Tirtana
"Tujuan pemidanaan terhadap anak harus disesuaikan dengan keperluan dan kebutuhan anak tersebut demi masa depannya karena anak memiliki ciri-ciri khusus yang melekat pada dirinya yang tidak dapat disamakan dengan pelaku dewasa. Perkembangan mutakhir dalam hukum pidana khususnya yang berkaitan dengan persoalan pidana yang menjadi trend atau kecenderungan internasional adalah berkembangnya konsep untuk mencari alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan dalam bentuknya sebagai sanksi pidana alternatif, khususnya bagi terpidana anak. Hal ini bertolak dari suatu kenyataan bahwa dalam perkembangannya pidana perampasan kemerdekaan semakin tidak disukai baik atas pertimbangan kemanusiaan, pertimbangan filosofi pemidanaan maupun atas pertimbangan ekonomi. Community service order (CSO) atau pidana pelayanan masyarakat merupakan salah satu dari pidana alternatif perampasan kemerdekaan atau penjara bagi anak yang bersifat non-institusional (di luar lembaga) yang direkomendasikan oleh instrumen internasional yaitu United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (Beijing Rules). Pidana pelayanan masyarakat telah dimasukkan dalam konsep pembaharuan hukum pidana anak Indonesia yaitu dalam Konsep atau Rancangan KUHP (RKUHP) dan Rancangan Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (RUU SPP Anak). Penelitian ini menggunakan penelitian yuridis normatif yang didukung dengan penelitian lapangan dalam bentuk wawancara dengan informan. Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa pidana pelayanan masyarakat sangat menunjang tujuan pemidanaan dan pembinaan bagi terpidana anak, baik dilihat dari tujuan pemidanaan secara umum maupun tujuan pemidanaan yang bersifat integratif. Relevansi antara pidana pelayanan masyarakat dengan pembaharuan sistem pemidanaan anak di Indonesia dapat diartikan bahwa pidana pelayanan masyarakat perlu dipahami dalam konteks kebijakan kriminal, dengan demikian pidana pelayanan masyarakat dapat memerankan fungsinya sebagai salah satu kontrol sosial dalam menunjang kebijakan penanggulangan kejahatan yang dilakukan oleh anak di Indonesia. Konsep pengaturan pidana pelayanan masyarakat yang ada dalam Rancangan Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (RUU SPP Anak) masih perlu disempurnakan lagi karena masih bersifat sangat umum. Pidana pelayanan masyarakat memberikan prospek dan harapan besar untuk dapat diterapkan dalam peradilan pidana anak di Indonesia, mengingat pelbagai keuntungan yang didapat dari pidana pelayanan masyarakat tersebut.

Criminal sentencing of a juvenile offender should be adjusted to the special need and requirement of a juvenile or a minor, because despite being an offender, s/he is still a child, hopefully with a future and hence s/he has a special characteristic that is inherent to him/her that is not found in an adult offender. The recent development in criminal law reveals a growing international trend to seek an alternative to replace the more common method of incarceration, specifically in cases involving juvenile offender. This conviction stemmed from the notion that the concept of imprisonment is getting less popular, whether it is viewed from humane consideration, sentencing philosophy or economic consideration. Community service order (CSO) is one of the alternatives to incarceration to a juvenile offender that is non-institutionalized and it is recommended in an international instrument the United Nation Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (Beijing Rules). The concept of community service sentencing for juvenile offender has been entered into the draft reform of the Indonesian Criminal Code (RKUHP) and the draft for the Law for Juvenile Criminal Procedure System (RUU SPP Anak). This study is a judicial normative research supported by a field research in the form of interviews with competent respondents. From the result of the study, the author concludes that community service is highly supportive to the objectives of sentencing and education of a juvenile offender both from the perspective of sentencing in general or sentencing objectives that are integrative in nature. The relevance between community service sentencing and the juvenile criminal system reform may be interpreted that community service sentencing is perceived within the context of a policy on managing criminal offenders; therefore, community service sentencing may play its intended role as a social-control instrument to support the policy of managing criminal acts committed by juveniles in Indonesia. The existing draft on community service sentencing as contained in the draft for the Law for Juvenile Criminal Procedure System (RUU SPP Anak) still needs to be improved since it is still too broad in nature. Community service sentencing has the prospect and possibility to be applied in Indonesia?s juvenile criminal court, considering the huge benefits that may be reaped from such application."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T29213
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Susanti
"Sistem pidana denda pada hakikatnya mencakup keseluruhan perundang-undangan yang mengatur bagaimana pidana denda itu ditegakkan atau dioperasionalkan atau difungsikan secara konkret sehingga seseorang dijatuhi pidana (denda). Sistem pidana denda erat kaitannya dengan pemberian kewenangan atau kebebasan kepada jaksa dan hakim untuk mengoperasionalkan pidana denda. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kendala yang ditemui dalam penerapan pidana denda terhadap tindak pidana yang melanggar KUHP dan Undang-Undang Pidana Khusus yang ancaman pidana dendanya dirumuskan secara alternatif maupun gabungan (alternatifkumulatif), kemudian mengkaitkannya dengan Rancangan KUHP. Pendekatan yang digunakan menitikberatkan pada penelitian yuridis normatif yang ditunjang dengan penelitian lapangan. Sumber data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Pembahasan dalam tulisan ini bertitik tolak pada penerapan pidana denda di dalam KUHP dan Undang - Undang Pidana Khusus guna mengetahui kendala dalam upaya penerapan pidana denda saat ini kemudian dikaitkan dengan Rancangan KUHP untuk menemukan pemecahan terhadap kendala tersebut sehingga sistem pidana denda di dalam KUHP mendatang benar-benar dapat diterapkan secara optimal.
Hasil penelitian menunjukkan kebijakan pidana denda di dalam KUHP sudah ketinggalan jaman serta tidak memberi kebebasan kepada hakim untuk menetapkan batas waktu pembayaran denda dan cara pelaksanaan pidana denda. Sedangkan terhadap ancaman pidana denda pada Undang-Undang di luar KUHP meskipun jumlah ancaman pidana denda relatif tinggi tetapi jaksa maupun hakim cenderung untuk menuntut maupun menjatuhkan putusan berupa pidana penjara dikarenakan minimnya pengaturan mengenai pelaksanaan pidana denda. Dengan demikian dalam rangka optimalisasi penerapan pidana denda yang akan datang diperlukan pengaturan teknis pelaksanaan pidana denda yang jelas dan tegas. Untuk itu, dalam rangka reorientasi dan reformulasi sistem pidana denda di dalam KUHP yang akan datang perlu adanya kriteria/ukuran/standar sebagai dasar pengambilan kebijakan yang berupa tujuan pemidanaan dan pedoman pemidanaan. Adanya tujuan dan pedoman pemidanaan diharapkan mampu mengefektifkan pidana denda dalam penyelesaian tindak pidana.

The system of criminal fines in fact covers the entirety of the legislation that governs how criminal fines were upheld or operationalized or functioned concretely so someone sentenced to criminal (fines). The system of criminal fines are intimately connected with the awarding authority or freedom to prosecutors and judges to operationalize the criminal fines. This research aims to find out the obstacles encountered in the application of criminal penalties against criminal acts in violation of the criminal code and the Special Criminal legislation the criminal threat formulated late fee or alternately merge (alternative-cumulative), then correlate it with the draft criminal code. The approach used focuses on research that is supported with the juridical normative research field. Data sources used are primary data and secondary data. The discussion in this paper is the starting point on the application of criminal penalties in the criminal code and the Special Criminal legislation in order to know the constraints in a bid application of criminal fines currently then associated with the draft of the criminal code in order to find solutions to these barriers so that the system of criminal fines in criminal code this coming actually could be implemented optimally.
The results showed the criminal policy on fines in the criminal code are outdated and do not give freedom to the judge to set a deadline for payment of the fine and the way the implementation of criminal fines. While the threat of fines in criminal law outside the criminal code even though the number of criminal threats of fines is relatively high but the Prosecutor and judges tend to demand as well as dropping the verdict of imprisonment due to the lack of arrangements on the implementation of criminal fines. Thus in order to optimize the application of criminal fines coming necessary technical arrangements implementing criminal fines are clear and unequivocal. To that end, in order to reorient and criminal fines in reformulating my system in the criminal code that would come to existence of criteria/size/standard as the basis for policy making purposes in the form of punishment and punishment guidelines. The objectives and guidelines of punishment expected to streamline criminal fines in solving the crime.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T30698
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rantawan Djanim
Jakarta: Universitas Indonesia, 1997
T36424
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>