Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 106952 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aninda Ratih Kusumaningrum
"Kawasan kumuh di Indonesia terjadi karena tingginya urbanisasi, namun tidak diimbangi oleh edukasi maupun skill para migran, disatu sisi, lapangan kerja yang terbatas, menyebabkan persaingan untuk mendapatkan pekerjaan begitu sulit, begitu pula dengan keuangan para migran dan akhirnya banyaknya migran yang datang, menyebabkan tingginya permintaan akan hunian, namun kemampuan keuangan migran tidak dapat menjangkaunya sehingga mereka menempati lokasi daerah marginal tanpa adanya pelayanan infrastruktur dasar yang memenuhi standart pelayanan minimum.
Pembangunan Rusunawa di Marunda, Jakarta Utara adalah salah satu solusi dalam penyediaan permukiman layak huni bagi pekerja kawasan industri, masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dan korban gusur serta kebakaran. Rumah susun dilakukan dengan tujuan meningkatkan kualitas lingkungan permukiman melalui upaya peremajaan, pemugaran dan relokasi. Kegiatan pembangunan rumah susun ini dinilai positif dalam mengurangi kekumuhan perkotaan karena sangat menghemat lahan.
Ketepatan penerima manfaat subsidi, dapat dilihat dari penerima subsidi sudah tepat sasaran atau belum dengan menggunakan metode Benefit Incidence Analysis yang menggunakan data SUSENAS dan data primer, kemudian diperkuat dengan menganalisis permasalahan pergeseran penerima subsidi tersebut dengan menggunakan metode depth interview dan sistem sewa menyewa yang ada di dalamnya, serta komparasi fakta lapangan dengan kebijakan yang berlaku, yaitu UU no 16 tahun 1985.
Dari hasil analisis BIA, secara umum ditemukan bahwa masyarakat berpenghasilan rendah yang menjadi target sasaran program ini masih kesulitan masuk ke rumah susun karena tingginya harga hunian dan utilitas yang tidak sebanding dengan pendapatan mereka. Untuk penghuni yang mendapatkan sistem subsidi, masyarakat miskin (Q1) belum mendapatkan manfaat dari program pemerintah ini, penerima manfaat terbanyak merupakan masyarakat yang memiliki penghasilan lebih tinggi (Q4). Pergeseran penerima manfaat ini disebabkan karena tingginya biaya hidup yang sulit dipenuhi oleh penghuni, sulitnya aksesibilitas transportasi, desain yang kurang sesuai dengan kegiatan penghuni. Sedangkan untuk penghuni dengan sistem non subsidi, penerima manfaat hampir merata dan hampir tepat sasaran karena tidak ada perbedaan yang mencolok antara masyarakat miskin (Q1) dengan masyarakat terkaya (Q5).
Mengacu pada UU No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pemerintah berkewajiban untuk menyediakan layanan dasar kesehatan tersebut, namun agar program tersebut berkelanjutan, harus ada peran serta dari masyarakat, yaitu ikut menanggung biaya penyediaan layanan dasar, terutama layanan dasar air bersih yang sekarang ini belum tahu berapa besaran biaya yang harus ditanggung masyarakat. Penentuan besaran biaya air bersih tersebut, menggunakan metode willingness to pay dan menggunakan data primer. Besaran biaya air bersih ini perlu dilakukan untuk menghitung biaya service hunian, yang menurut UN Habitat tidak boleh melebihi 30% dari total pengeluaran rumah tangga, dan ketika masyarakat mengeluarkan pendapatannya lebih dari 30% untuk sewa rumah dan utilitasnya, maka hunian tersebut sudah tidak dapat terjangkau lagi oleh masyarakat dan akhirnya mereka akan kembali ke daerah marginal yang minim akan pelayanan dasar. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa sebanyak 51% sample penghuni, mengeluarkan pendapatannya melebihi batas yang dianjurkan oleh UN Habitat, yaitu >30% untuk hunian dan utilitasnya, sehingga rumah susun tersebut sudah tidak lagi terjangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah ini.

Slum areas in Indonesia occurred because of the high urbanization, but not matched by education and skills of migrants, on the one hand, employment is limited, causing the competition to get a job so difficult, so they accept law salary, high housing demand for working and less supply in housing, make they fit into the marginal areas without basic infrastructure services that meet minimum service standards.
Development for Flats in Marunda, North Jakarta is one of the solutions in the supply of habitable housing for industrial workers, low income people (MBR) and evicted the victims and fire. Development for flats with the aim of improving the quality of neighborhoods through the efforts of rejuvenation, restoration and relocation. Apartment construction activity was assessed positively in reducing urban squalor because it can conserve land, encourage green open space and efficiency for development basic infrastructure.
The accuracy of the beneficiaries of subsidies, subsidies can be seen from the receiver is on target or not by using a method that uses the Benefit Incidence Analysis. This analysis using data from SUSENAS and primary data, and then amplified by analyzing the problems of shifting the subsidy recipients by using the method of depth interviews and a lease system that is in therein, as well as comparative facts on the ground with the policies in force, UU Rumah Susun (UURS) No. 16 year 1985.
From the analysis of BIA, in general it was found that low-income people who become the target of this program is still difficult entry into the apartment because of the high price of housing and utilities that are not proportional to their income. For residents who get a subsidy system, the poor (Q1) has not benefited from this government program, most beneficiaries are the people who have higher incomes (Q4). Beneficiaries of this shift is caused due to the high cost of living is difficult to fulfill by the occupant, the difficulty of accessibility of transportation, lack of appropriate design with the activities. As for residents with non-subsidy system, beneficiaries almost evenly and almost right on target because there was no significant difference between the poor (Q1) with the richest (Q5). Referring to the Act No. 26 of 2007 on Spatial Planning, the government is obliged to provide basic services such health, but that the program is sustainable, there must be participation from the community, which helped underwrite the cost of providing basic services, especially basic services of clean water are not currently know how much amount of cost to be borne by society.
Determination of the amount of the cost of the clean water, using the method of willingness to pay and use the primary data. Cost of clean water is necessary to calculate the cost of residential service, which according to UN Habitat should not exceed 30% of total household expenditure, and when people spend more than 30% of their income for rent and utilities, then the occupancy is already out of reach again by the community and eventually they will return to marginal areas would be minimal basic services. From the result showed that as many as 51% sample of residents, to spend his income exceeds the limit recommended by the UN Habitat, which is> 30% for shelter and utilities, so the apartment is no longer affordable by low-income communities.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2012
T30283
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Magdalena Jasin
"Peningkatan pembangunan apartemen di Jakarta dengan lokasi tidak hanya terkonsentrasi di kawasan pusat kota, tetapi telah menyebar ke kawasan pinggiran kota dan di kota-kota pinggiran seperti Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi yang merupakan suatu fenomena tersendiri. Bagi penghuni apartemen golongan ekonomi menengah-atas, pembangunan sistem transportasi yang dilaksanakan pemerintah berupa pembangunan jaringan jalan lingkar luar, jalan layang dan jalan tol, telah menjadikan kawasan pinggiran kota sebagai salah satu lokasi permukiman yang cukup menarik dan ideal.
Penelitian mengenai motivasi penghuni apartemen golongan ekonomi menengah-atas ini, dilakukan dengan pendekatan metode penelitian kuantitatif dengan studi verifikasi untuk menjajaki dan memahami motivasi dan profil penghuni apartemen golongan ekonomi menengah-atas yang bermukim di lokasi kawasan pinggiran kota Jakarta.
Untuk mengetahui karakteristik masalah penelitian ini, digunakan metode tabulasi silang yaitu suatu cara untuk mengetahui hubungan komparatif dari dua variabel yang diteliti, yaitu motivasi dan kawasan pinggiran kota Jakarta. Cara ini merupakan penelitian satu tahap yang datanya berupa beberapa subyek pada waktu tertentu, dengan menggunakan instrumen kuesioner. Penetapan subyek penelitian dilakukan secara acak. Uji Hipotesis dilakukan setelah tabulasi antar variabel dilakukan, sehingga akan tampak distribusi tabulasi silang sebagai cerminan diterima atau ditolaknya Hipotesis penelitian.
Berdasarkan hasil penelitian, diambil kesimpulan bahwa motivasi penghuni apartemen golongan ekonomi menengah-atas yang bermakna adaiah kebutuhan akan hunian, dengan faktor aksesibilitas yang tinggi terhadap pusat kegiatan, lokasi bebas banjir dan bebas polusi dan kepastian hukum dalam pemilikan.
Komunitas penghuni apartemen adalah dari golongan swasta, dengan posisi jabatan setingkat manager ke atas, mayoritas tingkat pendidikan penghuni adalah sarjana (S1), berpenghasiian sekitar di atas 10 juta rupiah/bulan sampai di atas 30 juta rupiah/bulan. Faktor yang berperan penting dan secara statistik bermakna terhadap hubungan motivasi penghuni apartemen golongan menengah-atas di kawasan pinggiran kota adaiah status keluarga dan status pekerjaan.
Motivasi penghuni apartemen golongan ekonomi menengah-atas terhadap pemilikan lokasi permukiman di kawasan pinggiran kota lebih di dasarkan pada faktor kebutuhan akan kepraktisan dan keamanan dan bukan karena faktor pengakuan dan gaya hidup (Life style). Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu sumber pengayaan bagi penelitian selanjutnya.

The phenomenal growth of apartment buildings in Jakarata is not only concentrated in the city center, but also scattered in the suburb and fringe region of Jakarta, such as Bogor, Depok, Tangerang and Bekasi. The new system of transportation were built by government: outer ring road, fly over and by pass made the suburb and fringe region as a favorable place for living.
The accessibility and availability of good transportation system is the crucial factor in choosing the suburb and fringe region of Jakarta as location to live. The study on motivation of the middle-up income apartment's tenants is basically a normative research using the quantitative method.
To illustrate the characteristic of the problem, we apply the cross tabulation method, a technique for comparing two classification variables such as Motivation and Fringe region of Jakarta. The technique uses questionnaires and this is one shot research. Hypothesis test is a form of statistical inference in which a statement concerning a characteristic of a population. The Hypothesis test conducted after the tabulation of variables, therefore the distribution of the random sampling are reflected by the cross tabulation. Usually the value of its mean, is accepted or rejected based upon the value of the corresponding sample characteristic.
Based upon the research result, as a matter of fact, most of the tenants who live in the apartment comprise managers, directors of private sectors, with college graduate and monthly income between 10 millions rupiah/month until above 30 millions rupiahJ month.
Motivation of the middle-up income tenants to live in high rise apartements basically based on security, practical life rather than life style. Hopefully the result of this study can be used as a source for further study.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2006
T17928
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raymond Ferry Suwantoro
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1998
S48996
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Henty
"Perumahan dan permukiman yang tepat adalah salah satu kebutuhan dasar manusia, tetapi saat ini, ada banyak warga tinggal di daerah yang kurang layak karena kemiskinan, urbanisasi, dan kurangnya tanah. Alternatif terbaik untuk memecahkan masalah ini adalah dengan membangun rumah susun dengan harga terjangkau bagi masyarakat miskin. Rumah susun ini diatur oleh undang-undang no. 16/1985. Saat ini, ada rumah susun mewah di Indonesia, yang juga dikenal sebagai "apartemen" dan "kondominium". Rumah susun mewah juga diatur oleh undang-undang nomor 16/1985 yang diarahkan untuk rumah susun sederhan, sehingga undang-undang ini tidak lagi cocok untuk rumah susun mewah. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peraturan untuk rumah susun mewah di Indonesia, dengan menggunakan pendekatan undang-undang dan pendekatan komparatif.
Hasil penelitian ini membuktikan bahwa pengaturan rumah susun mewah di Indonesia belum diatur secara jelas di salah satu undang-undang dalam hukum Indonesia, yang menyebabkan banyak masalah, seperti tidak ada batasan yang jelas antara rumah susun sederhana dan rumah susun mewah, yang dapat digunakan oleh beberapa pihak untuk menggunakan hak yang bukan milik mereka untuk memperoleh keuntungan dan fasilitas. Akibatnya, pengembangan rumah susun tidak lagi mencapai sasaran yang tepat, dan pendapatan pemerintah dari pajak menjadi tidak optimal.

Proper housing and settlement are one of the basic needs of human, but nowdays, there are many citizens live in a vile area because of the poverty, urbanizations, and lack of land. The best alternative to solve this problem is by building flats with affordable price to the poor. These flats are regulated by law no. 16/1985. Nowdays, there are many luxurious flats in Indonesia, which also known as "apartments" and "condominiums". They also regulated by law no. 16/1985 which is directed for the low price flats, so this statute is no longer suitable for the luxurious flats. The purpose of this research is to find the regulation for the luxurious flats in Indonesia, by using a statute approach and a comparative approach.
Results of this research proves that the regulation of luxurious flats in Indonesia has not regulated clearly in one of the statute in Indonesia law, which causes many problems, such as there are no clear limitation between flats and apartments/ condominiums, that can be used by some party to use rights which not belong to them. As result, the development of flats is no longer reach the right target, and the income of the government from tax is not optimal."
Depok: Universitas Indonesia, 2011
T28326
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Asih Pertiwi
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1995
S48035
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nina Fanina Zainal
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1999
S47934
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aida Maysriwigati Mustafa
"Tesis ini membahas tentang Implikasi pelaksanaan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun terhadap Pengelolaan Rumah Susun dalam Masa Transisi di Rumah Susun Kelapa Gading Square Jakarta Utara. Pertama, belum adanya peraturan pelaksanaan dari pengaturan mengenai masa transisi. Kedua, tidak adanya sanksi bagi pelaku pembangunan yang melewati jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun masa transisi sebagaimana diatur dalam Pasal 59 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun. Ketiga, belum adanya ketentuan yang mengatur kapan pelaku pembangunan berkedudukan sebagai pemilik sarusun yang belum terjual.

This thesis discuss about the implication of the implementation of Law Number 20 of 2011 regarding Apartment in relation to the management of the apartment in the transition period at the Kelapa Gading Square Apartment, located at North Jakarta which covers firstly the non existence of implementation devices regarding to the provision of transition period. Secondly, there is no sanction for the developer which has exceeded limit of the period of transition for one year as stipulated in article 59 para 2 of Law Number 20 of 2011 regarding Apartment. Thirdly, there is not any regulation which stipulates when does the developer become the owner of the apartment's unit which has not been sold."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T31324
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Herendraswari K.W.
"Rumah susun yang dibangun oleh pemerintah karena keterbatasan lahan di DKI Jakarta menuntut penghuninya untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya, baik lingkungan fisik maupun sosial. Pola bermukim secara vertikal menuntut penghuninya untuk hidup bersama dengan penghuni lainnya dalam satu bangunan, berinteraksi, bersosialisasi dengan lingkungannya. Hal tersebut membuat penghuninya memiliki perasaan senasib, dan cenderung memiliki gaya hidup yang sama. Karena adanya persamaan itulah, maka timbul berbagai kepentingan yang sama dengan tujuan yang sama pu1a. Untuk mewujudkan berbagai tujuannya, maka penghuni melakukan berbagai aktivitas, termasuk di dalamnya adalah berorganisasi, berkumpul untuk mengutarakan berbagai aspirasinya. Hal tersebut membuat mereka memiliki ikatan-ikatan di antara warga komunitas. Untuk melakukan berbagai aktivitas yang dilakukan secara bersama-sama, mereka membutuhkan tempat-tempal umum, yang disebut dengan ruang umum. Namun apakah ruang-ruang yang bersifat umum yang disediakan oleh pengelola rumah susun tersebut dapat memfasilitasi, memotivasi warganya untuk datang dan berkegiatan didalamnya. Apakah ruang publik yang tercipta dengan baik, indah, terawat, diciptakan untuk memberikan kesan dan suasana yang ingin diwujudkan dapat membentuk dan menggerakkan warganya untuk melakukan kegiatan berkomunitas?,ataukah hanya ruang umum yang sederhana, tidak terawat, kotor, yang dapat memfasilitasi kebutuhan warga komunitas? Dengan mengkaji dua rumah susun di Jakarta Pusat dengan kondisi ekonomi yang berbeda, maka dapat disimpulkan bahwa ruang umum yang tercipta dengan baik, indah, terawat, belum dapat dikatakan dapat membentuk, menggerakkan komunitas di rumah susun. Ruang umum yang sederhana, minimalis, justru dapat memenuhi kebutuhan hidup warga komunitasnya. Hal ini disebabkan karena gaya hidup yang berbeda di kedua rumah susun tersebut. Warga yang tingkat ekonominya lebih tinggi, dengan jam kerja yang padat, dengan ikatan komunitas di lingkungan pekerjaan lebih kuat, menyebabkan warga hidup individualis, tidak dapat bersosialisasi di lingkungan tempat tinggalnya."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2003
S48476
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Thasya Rachmawati
"ABSTRAK

Kenaikan harga properti menyebabkan milenial sulit memiliki tempat tinggal. Milenial yang saat ini mendominasi struktur demografi Indonesia, diprediksikan akan tidak sanggup membeli rumah. Dalam menanggulangi isu tersebut, pemerintah akan membangun 14,500 unit hunian susun sederhana sebagi bagian dari program rumah susun 1000 tower yang diperuntukan untuk Milenial. Disisi lain, semakin banyaknya hunian susun di perkotaan akan menyebabkan distribusi yang tidak merata antar kelompok masyarakat sehingga menciptakan segregasi urban dari gated community. Penulisan ini melihat kebutuhan dan keefektifan hunian susun terhadap Milenial, dan segregasi yang terlihat pada lingkungan hunian susun berdasarkan studi kasus pada Kalibata City dan Menteng Square di Jakarta. Terlihat bahwa segregasi sangat terlihat pada hunian susun sederhana terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar, namun bagi Milenial segregasi ditentukan oleh adanya visual separation yang menyebabkan terbentuknya personal space dan kurangnya interaksi pada ruang publik. Untuk mencapai dwelling yang tepat dan mengurangi segregasi spasial bagi Milenial, hunian susun sederhana perlu membentuk social space dengan memberikan ruang untuk berkolaborasi dan bersosialisasi


ABSTRACT
The increase in property prices has made it difficult for Millennials to have a place to live. Millenials which currently dominates Indonesias demographic structure, are predicted to be unable to afford a house. In tackling this issue, the government will build 14,500 low-cost apartment units which part of the 1,000 towers program intended for Millennial. On the other hand, the increasing number of low-cost apartments in urban areas will lead to uneven distribution among community groups, thus creating urban segregation by gated community. This thesis aims to describe the needs and effectiveness of low-cost apartment for Millennial, and the segregation seen in the low-cost apartment based on case studies at Kalibata City and Menteng Square in Jakarta. It is seen that segregation in low-cost apartment is visible on the environment and surrounding communities, but for Millennial segregation is determined by the presence of visual separation which causes the formation of personal space and lack of interaction in public space. To achieve proper dwelling and to reduce spatial segregation for Millennials, low-cost apartment must be able to form social space by providing more space to collab and socialize.

 

"
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mikhail Gorbachev Dom
"Rumah susun (pemukiman vertikal) adalah solusi untuk meningkatkan kualitas lingkungan bagi penghuni pemukiman kumuh, namun penelitian terdahulu mengindikasikan melemahnya interaksi sosial penghuni rumah susun. Penclitian lni dilaksanakan di rumah susun Cinta Kasih yang dikelola Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia dengan metode survei pada bulan November-Desember 2010. terdapat 79 responden dan 16 informan. Dldapat hubungan semaldn tinggi lantai semakin sedikit jumlah kegiatan sosial yang diikuti oleh penghuni, terutama pada penghuni perempuan. Angka koefisien korelasi adalah 0,267 (seluruh penghuni) dan 0,335 (penghuni perempuan). Disimpulkan bahwa fisik bangunan rumah susun Cinta Kasih dengan 5 tingkat lantai tidak menghambat penghuni dalam membangun interaksi sosial.

Flats or can be called with vertical settlement is a solution to increase the environment quality for slum dwellers, however previous research shows that flats has caused the decrease of social interaction between occupants. This research was conducted at flat of Cinta Kasih that managed by Buddha Tzu Chi Indonesia foundation, in November until December 2010. In getting data, researcher was used survey methode, there were 79 repondents and 16 informants who are involved in it. Relations obtained that the higher floors the less amount of social activity which is followed by occupants, especially in female occupants. Correlation coefficient were 0.267 (for all occupants) and 0.335 (for female occupants). Concluded that the physical building of Cinta Kasih' flats with 5 levels of floor, does not hamper social interaction between occupants."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2011
T31664
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>