Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 167454 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Haryono
"Kebijakan Penanggulangan Kejahatan (Criminal Policy) terhadap Tindak Pidana Pronografi di Dunia Maya (Cyberporn) melalui Pembaruan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia Tesis ini membahas permasalahan utama mengenai bentuk kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) yang dapat diterapkan terhadap tindak pidana pornografi di dunia maya (cyberporn), prospek bentuk criminal policy terhadap tindak pidana cyberporn dalam KUHP Nasional di masa mendatang, serta implikasi dari keberadaan KUHP Nasional terhadap undang-undang lainnya dalam pengaturan tindak pidana cyberporn. Dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif (yuridis-normatif), maka berdasarkan data sekunder yang diperoleh melalui studi dokumen seperti: bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier, telah dihasilkan suatu kesimpulan bahwa bentuk criminal policy yang dapat dilakukan dalam upaya penanggulangan tindak pidana cyberporn melalui sarana penal adalah dengan menerapkan ketentuan undang-undang, seperti: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman, sementara bentuk kebijakan non-penal yang dapat dilakukan adalah melalui berbagai pendekatan seperti: pendekatan teknologi (techno prevention), pendekatan budaya/kultural, pendekatan moral/edukatif, dan pendekatan global (kerjasama internasional). Di dalam RUU-KUHP telah dimuat beberapa ketentuan baru berkaitan dengan tindak pidana cyberporn, antara lain meliputi: pengaturan mengenai ruang lingkup berlakunya peraturan perundang-undangan pidana Indonesia terhadap tindak pidana di bidang teknologi informasi, pengaturan mengenai tindak pidana pornografi anak (child pornography) melalui komputer, serta pengaturan khusus mengenai tindak pidana pornografi. Keberadaan KUHP Nasional di masa mendatang dapat menimbulkan suatu implikasi terhadap udang-undang lainnya dalam pengaturan tindak pidana cyberporn berupa adanya tumpang tindih (overlaping) diantara KUHP Nasional dengan berbagai undang-udang tersebut, namun persoalan ini dapat diatasi dengan melakukan pencabutan sebagian atau seluruh ketentuan dari undang-undang di luar KUHP Nasional atau dengan menerapkan azas ?lex specialis derogat legi generalis? secara kasuistis.

This thesis discusses the main problems of the criminal policy that can be applied to combat cyberporn activities, the prospect of the cyberporn criminal policy in the future Indonesian Criminal Code, and the implication regarding to the existence of the new Indonesian Criminal Code with the other regulations relating with cyberporn offences. Using the normative legal research method (normative-juridical) based on the secondary data that consist of primary legal material, secondary legal material and tertiary legal material wich were gain through documentation study, concludes the cyberporn criminal policy that can be effort with the penal policy is by applying several regulations, such as: The Indonesian Penal Code, The Press Act No. 40/1999, The Broadcasting Act No. 40/1999, The Information and Electronic Transaction Act No. 11/2008, The Pornography Act No. 44/2008, and The Movie Act No. 33/2009, in the other part using the non penal policy can be submit with several approaches, for instance: technological approach, educational approach, cultural approach, and global approach. The new Indonesian Penal Code concept have several new regulations regarding to cyberporn offences, consisting: the regulation of Indonesian jurisdiction involving technology and information crimes, the regulation of child pornography using computers, and the special regulation of pornography offences. The existence of the new Indonesian Penal Code may causes an overlaping condition with the other regulations dealing with cyberporn, but this problem can be solve by eliminating some or the whole guidlines of a regulation, or by applying the ?lex specialis derogat legi generalis? principle based on cases.;This thesis discusses the main problems of the criminal policy that can be applied to combat cyberporn activities, the prospect of the cyberporn criminal policy in the future Indonesian Criminal Code, and the implication regarding to the existence of the new Indonesian Criminal Code with the other regulations relating with cyberporn offences. Using the normative legal research method (normative-juridical) based on the secondary data that consist of primary legal material, secondary legal material and tertiary legal material wich were gain through documentation study, concludes the cyberporn criminal policy that can be effort with the penal policy is by applying several regulations, such as: The Indonesian Penal Code, The Press Act No. 40/1999, The Broadcasting Act No. 40/1999, The Information and Electronic Transaction Act No. 11/2008, The Pornography Act No. 44/2008, and The Movie Act No. 33/2009, in the other part using the non penal policy can be submit with several approaches, for instance: technological approach, educational approach, cultural approach, and global approach. The new Indonesian Penal Code concept have several new regulations regarding to cyberporn offences, consisting: the regulation of Indonesian jurisdiction involving technology and information crimes, the regulation of child pornography using computers, and the special regulation of pornography offences. The existence of the new Indonesian Penal Code may causes an overlaping condition with the other regulations dealing with cyberporn, but this problem can be solve by eliminating some or the whole guidlines of a regulation, or by applying the ?lex specialis derogat legi generalis? principle based on cases."
2012
T30235
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dila Romi Aprilia
"Banyak pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat sehingga menimbulkan kerusakan hutan yang salah satunya adalah illegal logging. Tindak pidana illegal logging sangat marak di Indonesia dan melibatkan banyak pelaku dan merupakan tindak pidana yang rapi dan terorganisasi. Hal mendasar yang menyebabkan sulitnyamemberantas illegal logging adalah karena illegal logging adalah termasuk kategori 'kejahatan terorganisasi'. Oleh karena itu adanya kebijakan hukum pidana yang tegas mengatur dan penegakan hukum terhadap tindak pidana illegal logging perlu diwujudkan. Kebijakan hukum pidana yang diterapkan dalam rangka penanggulangan dan penegakan hukum tindak pidana illegal logging diatur dan dirumuskan dalam ketentuan perundang-undangan pasal 50 dan pasal 78 Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999, namun mengenai definisi yang dimaksudkan dengan illegal logging tidak dirumuskan secara limitatif sehingga banyak para praktisi hukum yang menafsirkan illegal logging sendiri-sendiri. Mengenai ancaman pidana yang dikenakan adalah pidana pokok yakni penjara dan denda, pidana tambahan berupa perampasan hasil kejahatan dan atau alat-alat untuk melakukan kejahatan, ganti rugi serta sanksi tata tertib. Kebijakan hukum tindak pidana illegal logging dan penerapan sanksinya dirasakan tidak memenuhi aspek kepastian dan keadilan. Hal ini terlihat dalam kasus illegal logging yang terjadi di wilayah hukum Pengadilan Negeri Blora dan Bojonegoro. Oleh karenanya selain kebijakan hukum pidana dibutuhkan pula penegakan hukum terhadap tindak pidana illegal logging yang dilakukan melalui sistem peradilan pidana. Sistem Peradilan Pidana terdiri dari komponen antara lain kepolisian, PPNS kehutanan, Kejaksaan, Kehakiman dan Lembaga Pemasyarakatan. Dalam prakteknya proses penegakan hukum terhadap tindak pidana illegal logging sangat lemah. Salah satu faktor lemahnya penegakan hukum terhadap tindak pidana illegal logging ditandai dengan penanganannya yang tidak integral (menyeluruh) karena pelaku intelektual yang berkaitan langsung seperti pemodal, pemesan, pengirim, pemalsu dokumen, sawmill yang berperan sebagai penghubung jarang sekali dipidana dan hanya orang-orang lapangan saja yang dipidana. Selain itu banyak faktor yang menyebabkan lemahnya penegakan hukum terhadap tindak pidana illegal logging sehingga hal tersebut menjadi kendala dalam dalam penegakan hukum.

The wealth of forests is a gift and trust from God Almighty that is priceless. Therefore, forests must be managed and be best utilized by noble character as the embodiment of worship and gratitude to God Almighty. Forests are many benefits to the sustainability of human life and other living creatures. One benefit is the direct result of forest wood that has high economic value. Timber is harvested and then used by the community. Utilization of wood should be based on permission from the Ministry of Forestry. But in reality there are many violations committed by the community, causing damage to the forest, one of which is illegal logging. Crime is rampant illegal logging in Indonesia and involves many actors and a crime is neat and organized. The basic thing that it is difficult to eradicate illegal logging is due to illegal logging is categorized as "organized crime". Therefore the policy of strict criminal laws regulating and enforcing criminal laws against illegal logging needs to be realized. Criminal law policy adopted in the framework of prevention and criminal law enforcement of illegal logging is regulated and defined in the statutory provisions of article 50 and article 78 of Law No. 41 of 1999, but the definition is meant by illegal logging limitatif formulated not so much legal practitioners who interpret their own illegal logging. Regarding the penalty imposed is the principal criminal imprisonment and fines, an additional penalty of deprivation of proceeds of crime and the or tools to do the crime, compensation and discipline sanctions. Criminal law policy of illegal logging and the application of sanctions does not meet the perceived certainty and fairness aspects. This is seen in cases of illegal logging that occurred in the District Court jurisdiction Blora and Bojonegoro. Therefore in addition to criminal law policy also required law enforcement against illegal logging crimes committed through the criminal justice system. The Criminal Justice System consists of components such as police, investigators forestry, Attorney, Justice and Correctional Institutions. In practice the process of criminal law enforcement against illegal logging is very weak. One of the weak enforcement of laws against illegal logging crimes marked with handling that is not integral (holistic) as intellectual actors who are directly related to such investors, buyers, shippers, document forgers, which acts as a liaison sawmill rarely convicted, and only those field are convicted. In addition, many factors that led to weak law enforcement against illegal logging crimes so they are a constraint in law enforcement."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T29475
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nadya Fitriza Adriyanti
"Indonesia telah memiliki beberapa ketentuan yang melindungi hewan peliharaan dari penganiayaan, yaitu KUHP dan UU Peternakan dan Kesehatan Hewan. Ternyata peraturan tersebut belum efektif mencegah masyarakat untuk melakukan perbuatan yang dapat menyakiti, melukai, maupun menyebabkan penderitaan lainnya terhadap hewan peliharaan. Pasal 302 KUHP merupakan ketentuan yang sudah lama diatur, namun dipandang masih kurang memuaskan dalam menanggulangi perbuatan penganiayaan hewan peliharaan. Semakin maraknya kasus penganiayaan hewan peliharaan di Indonesia membuat aktivis pecinta hewan dan segenap masyarakat lainnya menghendaki pemberian sanksi pidana yang lebih berat dalam RKUHP. Akan tetapi, pengambilan kebijakan hukum pidana harus tetap dilakukan secara rasional dan upaya tersebut dapat dilakukan dengan melihat pada pengaturan yang telah ada di Indonesia, ketentuan dalam KUHP negara lain, serta dari rancangan ketentuan untuk masa yang akan datang. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis-normatif dengan pendekatan historis dan perbandingan hukum. Kesimpulan dari hasil penelitian menunjukan bahwa penganiayaan hewan peliharaan masih dipandang sebagai perbuatan yang layak untuk dipidana dan sanksi pidana yang dikenakan di Indonesia lebih rendah daripada yang dikenakan oleh negara lain. Pengaturan tindak pidana penganiayaan hewan peliharaan yang ada di Indonesia sudah dapat menjerat perbuatan – perbuatan yang terjadi dalam praktik. RKUHP pun masih memiliki ketentuan tentang penganiayaan hewan, namun terdapat beberapa perubahan, baik dalam bentuk perbuatan yang termasuk penganiayaan hewan, maupun ancaman sanksi pidana yang dapat dikenakan kepada pelaku. Satu perbuatan yang sebaiknya tetap dipertahankan sebagai tindak pidana adalah penelantaran hewan peliharaan, sebab hal ini akan mendorong pemeliharaan dan kepemilikan hewan secara bertanggungjawab.

Indonesia has several provisions to protect pets from abuse that can be found in Criminal Code and Husbandry and Animal Health Act. The regulation has not been effective to prevent people from doing actions that can hurt, injure, or cause other suffering to pets. Article 302 of the Criminal Code (KUHP) is a provision that has been regulated for a long time, but it is still dissatisfying to overcoming pet abuse. The increasing number of pet abuse cases in Indonesia has affected animal lover activists and all other members of the society want the criminal sanctions in the draft of Criminal Code (RKUHP) more severely punished than before. However, criminal law policy must be carried out rationally, and it can be done by looking at the existing laws (ius constitutum) in Indonesia, regulations in the Criminal Code of other countries, and the draft privisions for the future law (ius constituendum). The research is a juridical-normative research with historical and comparative law approach. The results of the research shows that pet abuse is still seen as an act that deserves to be punished and the criminal sanction in Indonesia is lower than those imposed by other countries. The regulation of pet abuse in Indonesia has been able to ensnare the actions that occur in practice. The draft of Criminal Code still has a provision regarding to animal abuse, but there are some changes in the form of acts that include animal abuse and the threat of criminal sanctions that can be imposed to the perpetrators. One act that should be kept as criminal offense is the neglect of pets in order to encourage responsible animal care and animal ownership. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syarifah Hidayah Fatriah
"Latar Belakang: Hasil pemeriksaan dokter dalam bentuk visum et repertum mengandung derajat luka yang merupakan gambaran dari efek kekerasan atau penganiayaan sesuai dengan KUHP Kitab Undang-Undang Hukum Pidana . Tidak ada uraian/batasan yang jelas mengenai derajat luka sehingga kesimpulan yang dibuat oleh para dokter pemeriksa menjadi berbeda. Ketidakseragaman penentuan derajat luka dapat menimbulkan ketidakadilan bagi korban maupun pelaku tindak pidana.Tujuan: Menentukan kriteria luka ringan, luka sedang, dan luka berat.Metode: Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan rancangan Teori Grounded. Sampel penelitian adalah pakar hukum pidana, hakim, advokat, dokter forensik dan dokter forensik yang sekaligus sarjana hukum. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam dan Focus Group Discussion FGD . Penelitian dilakukan selama bulan September-Desember 2016. Teknik pengujian kredibilitas data dilakukan dengan triangulasi.Hasil: Berdasarkan wawancara mendalam dan FGD didapatkan bahwa luka ringan tidak ada di dalam undang-undang yang dipakai di Indonesia. KUHP memiliki definisi mengenai aniaya ringan, dan penganiayaan. Luka sedang dapat dirumuskan sebagai bukan luka berat maupun luka ringan, dan kriteria luka berat dapat dirumuskan dari pengertian luka berat dalam pasal 90 KUHP.Kesimpulan: Luka terbagi menjadi dua yaitu luka berat pada pasal 90 KUHP dan luka sedemikian rupa pada pasal 360 KUHP ayat 2 . Luka berat disimpulkan dengan menyebutkan kondisi mediknya saja. Ada perbedaan pemahaman antara pakar pidana, hakim, advokat dan dokter forensik. Kata Kunci: Analisis Medikolegal, Derajat Luka, KUHP

"Background The result from the doctors rsquo examination can be written in a form of a medical report visum et repertum which includes the degree of the injury associated with the effect of the assault according to the National Criminal Code. There is still an unclear explanation on the degree of injury, which results in a variety of conclusions made by the physician examiner. Error in determining the degree of injury can cause injustice not only to the victim but also to the prepetrators of the crime.Purpose To determine mild, moderate and severe injury.Method This study is a qualitative study using grounded theory. The sample of this study were criminal law experts, judges, advocates, forensic doctor and also forensic doctors with a law degree. Data collection was by indepth interview and focus group discussion FGD which was done from September until December 2016. Triangulation is used to test the credibility of data.Result The results obtained from the indepth interview and FGD was that the description of a mild injury was not stated in the constitution used in Indonesia, there it is only stated the definition of assault and mild assault. A moderate injury is defined as an injury not categorized as a severe or mild injury, and the criteria a severe injury is defined from the definition of severe injury in the Criminal Code article 90.Conclusion The degree of injury is divided into two, a severe injury defined in the Criminal Code article 90 and an injury as stated in the Criminal Code article 360 paragraf 2 . The severe injury is conluded by stating the medical condition itself. There was a different understanding between law experts, judges, advocates and forensic doctors. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mohamad Ilman Aulia Kusnadi
"Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perubahan regulasi terkait tindak pidana zina dalam Rancangan KUHP. Rumusan Pasal 446 RKUHP merupakan kriminalisasi yang dilakukan oleh pemerintah tentang perilaku kopulasi yang dilakukan oleh laki-laki dengan wanita yang masing-masing tidak terikat pada ikatan pernikahan. Kriminalisasi tersebut menyebabkan perubahan regulasi pada norma pelarangan
Zina yang awalnya merupakan kejahatan perzinahan merupakan kejahatan terhadap kesetiaan perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 284 KUHP menjadi tindak pidana karena tidak sesuai dengan nilai agama yang hidup di masyarakat sebagaimana diatur dalam Pasal 446 RKUHP. Dalam penelitian ini digunakan metode penelitian sosiolegal,
dengan menganalisis implikasi Pasal 446 RKUHP melalui pendekatan
kualitatif. Temuan dalam penelitian ini adalah: 1) Pasal 446 RKUHP berpotensi menyangkal kedudukan hukum pidana sebagai ultimum remedium. 2) Pasal 446 RKUHP berpotensi terlalu jauh mengintervensi ranah privat warga negara. 3) Artikel 446 RKUHP berpotensi meningkatkan praktik perkawinan anak. 4) Pasal 446 RKUHP berimplikasi pada korban pemerkosaan.

This study aims to examine regulatory changes related to the crime of adultery in the Draft Criminal Code. The formulation of Article 446 of the RKUHP is a criminalization carried out by the government regarding copulatory behavior carried out by men and women, each of whom is not bound by a marriage bond. The criminalization causes regulatory changes to the prohibition norms Adultery, which was originally a crime of adultery, is a crime against marital fidelity as regulated in Article 284 of the Criminal Code, which becomes a criminal offense because it is not in accordance with the religious values ​​that live in society as regulated in Article 446 of the RKUHP. In this study the sociolegal research method was used, by analyzing the implications of Article 446 of the RKUHP through an approach qualitative. The findings in this study are: 1) Article 446 of the RKUHP has the potential to deny the position of criminal law as ultimum remedium. 2) Article 446 of the RKUHP has the potential to intervene too far in the private sphere of citizens. 3) Article 446 of the RKUHP has the potential to increase the practice of child marriage. 4) Article 446 of the RKUHP has implications for victims of rape."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Basir
"Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengandung beberapa asas didalamnya, Salah satunya adalah asas diferensiasi fungsional. Asas ini berarti penegasan pembagian tugas dan kewenangan antara jajaran aparat penegak hukum secara instansional. KUHAP meletakan suatu asas 'penjernihan' (clarification) dan ?modifikasi? (modification) fungsi dan wewenang antara aparat penegak hukum. Asas diferensiasi fungsional mulanya bertujuan untuk dipergunakan sebagai sarana koordinasi horizontal dan saling checking antara penegak hukum, terutama antara polisi selaku penyidik dengan jaksa selaku penuntut umum. Berdasarkan pasal 1 butir 1 dan 4 jo pasal 1 butir 6 huruf a jo pasal 13 KUHAP, maka jelas terlihat penjernihan dan pembagian secara tegas antara fungsi dan wewenang polisi sebagai penyidik dan jaksa sebagai penuntut umum serta pelaksana putusan pengadilan. Walaupun asas diferensiasi fungsional ditekankan antara polisi dengan jaksa, namun berpengaruh terhadap semua sub sistem dalam sistem peradilan pidana. Bagi Polri hal itu berakibat menumpuknya penanganan laporan dan pengaduan yang harus ditindaklanjuti yang pada akhirnya menyebabkan kurang maksimalnya pelaksanaan tugas-tugas penyidikan, seperti lambatnya pengiriman Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan dan bolak baliknya berkas perkara. Bagi jaksa asas diferensiasi fungsional telah menjadikan spektrum dan cara pandang jaksa dalam memberantas kejahatan menjadi sempit. Hal ini karena jaksa tidak terlibat secara langsung dalam proses penyidikan. Sedangkan pada proses persidangan di pengadilan, hanya tidak lebih dari mengkonfirmasi dan memverifikasi kebenaran isi Berita Acara pemeriksaan yang sebenarnya tidak mengikat. Sedangkan bagi tersangka dan pelapor / pengadu asas diferensiasi fungsional, telah merugikan hak-haknya karena perkaranya tidak dapat diproses berdasarkan peradilan yang cepat, sederhana dan biaya murah. Pada akhirnya asas diferensiasi fungsional menjadi salah satu penyebab over capacity pada lembaga pemasyarakatan. Lembaga ini tidak dapat melakukan pembinaan terhadap narapidana sebagaimana mestinya, bahkan dapat menjadi school of crime yang melahirkan residivis baru. Berdasarkan hal itu asas diferensiasi fungsional dirasa tidak dapat menciptakan keterpaduan antara penyidik dengan penuntut umum. Oleh karena itu perubahan KUHAP merupakan sesuatu yang urgent dan harus segera dilaksanakan.

Act No. 8 of 1981 on Procedure of Criminal Law (Criminal Procedure Code) contains some of the principles therein. The one of them is functional differentiation principle. The functional differentiation principle means the affirmation of the division of duties and authority between the law enforcement officers in institutional. The criminal procedure code put a principle of "purification" (clarification) and ?modification? functions and powers among law enforcement officers. The functional differentiation principle originally intended to be used as a means of horizontal coordination and mutual checking between law enforcement agencies, especially between polices as investigator and prosecutors as public prosecutor. Based on criminal procedure code article 1, point 1 and 4 jo article 1 point 6 letter a jo article 13, it is clearly seen purification and distribution between the functions and powers of the police as investigators and prosecutors as a public prosecutor and executor of verdict. Although the principle of functional differentiation stressed in between the investigators and the public prosecutor, but it influent all the sub systems in criminal justice system. For the police, it resulted in deposition of handling reports and complaints that should be followed up, in the end it can be implementation tasks which is not fulfilled maximal, such as the slow delivery of the notice of investigation letter and back and forth the docket. For prosecutors, principle of functional differentiation has made spectrum and perspective in combating crimes prosecutor becomes narrower. This is because prosecutors are not directly involved in investigation process. The trial process in court is nothing more than confirmation and verifying the correctness of the content of the examination dossier which is not binding. At the same time, for the suspect and the complainant, the functional differentiation principle has been detrimental to their rights because the case can't be processed with fast, simple and low cost trial. In the end the principle of functional differentiation be one cause of over capacity in the penitentiary. This institution can not conduct training of prisoners, even can be a school crime that spawned a new recidivist. Based on this principle of functional differentiation deemed not to create integration between law enforcement agencies, especially the investigators with the prosecutors. Therefore, conversion of the criminal procedure code is urgent and should be implemented immediately."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35268
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nina Zainab
"Seiring dengan berkembangnya kejahatan-kejahatan terorganisasi khususnya Narkotika, merupakan kejahatan yang berdampak merugikan bangsa dan negara secara luas sehingga dikategorikan kejahatan serius atau disebut juga sebagai "extra ordinary crime". Bangsa Indonesia siaga terhadap penanggulangan kejahatan-kejahatan tersebut dengan memberlakukan kebijakan-kebijakan kriminal. Salah satu kebijakan tersebut dengan Moratorium/Pengetatan Hak-hak Narapidana mendapatkan Remisi, Asimilasi dan Pembebasan bersyarat, hal ini ditujukan untuk efek jera bagi pelaku kejahatan tersebut dan memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat luas. Dengan semangat tersebut maka diberlakukan Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang moratorium syarat mendapatkan Remisi, Asimilasi dan pembebasan bersyarat, yaitu PP No 99 Tahun 2012. Namun pemberlakuan PP No 99 Tahun 2012 tersebut menimbulkan polemik karena dianggap diskriminatif, melanggar HAM dan bertentangan dengan tujuan pemidanaan serta Hierarki perundang-undangan, selain itu pertentangan yang terjadi timbul pada salah satu syarat moratorium hak mendapatkan Remisi dan pembebasan bersyarat adalah harus bersedia bekerjasama dengan penegak hukum membongkar kejahatan yang dilakukanya ( Justice Collaborator) serta pertentangan bahwa pada saat seseorang telah berstatus sebagai narapidana harusnya telah memasuki tahap pembinaan dan mendapatkan perlakuan yang sama tanpa membicarakan lagi tentang kejahatan yang dilakukan.

The development of organized crime especially for Narcotics and Drugs Crimes inflict such destruction impact into our nation, so this crime is being called as serious crime and also called an Extra Ordinary Crime. Indonesia is preparing to prevent these crimes by applying some criminal policies. One of the criminal policy which applied by the Indonesian Government is the Moratorium of Inmates Rights to obtain the remission, assimilation, and parole. This policy aims to give the detterent effect to those narcotics and drugs offender and to reach the values of justice for society as well. With the spirit as mentioned above, the Indonesian Government enact The Government Ordinance No. 99/2012. But in other side, the enactment of this regulation evoke a polemic. The polemic raise because this regulation has been considered as a discriminative regulation, breached the universal values of human rights, contradictive with the sentencing purpose and also contradictive with the hierarchy of regulations as well. Another unappropriate rule in this regulation is the requirement for the inmate to become a justice collaborator. An inmate of these crimes should be in rehabilitation and development phase, not in the phase of arguing the crime itself which is past in the pra-ajudication and ajudication phase.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T42326
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hubert Josua Paruhum P
"Perkembangan teknologi informasi yang kian pesat secara global termasuk di Indonesia membawa dampak kemudahan terhadap kegiatan yang semula merupakan aktifitas konvensional yang dilakukan oleh masyarakat, seperti praktik perjudian online. Munculnya kejahatan-kejahatan dengan dimensi baru termasuk perjudian online merupakan dampak negatif dari perkembangan masyarakat dan perkembangan IPTEK masa kini yang perlu ditanggulangi dengan upaya penanggulangan kejahatan yang lebih efektif. Semakin komplek permasalahan yang dihadapi masyarakat dan aparat penegak hukum dalam menghadapi kejahatan modern perlu diiringi dengan pembedahan pembangunan sistem hukum pidana secara menyeluruh yang meliputi pembangunan kultur, struktur dan substansi hukum pidana dengan demikian jelas bahwa kebijakan hukum pidana memainkan peran yang strategis dalam menangani permasalahan kejahatan demi kepentingan pembangunan hukum modern Namun kebijakan hukum pidana dalam memberantas perjudian online menghadapi sejumlah tantangan. Tantangan tersebut diantaranya memastikan penegakan hukum yang efektif dan konsisten terhadap agen dan pemain perjudian online di Indonesia. Penelitian yang penulis lakukan ini memfokuskan pada pembahasan menelaah kebijakan penegakan hukum pidana dalam memberantas tindak pidana perjudian online di Indonesia serta implementasi kebijakan penegakan hukum dalam upaya memberantas dalam tindak pidana perjudian online di Indonesia berdasarkan analisis studi putusan. Penelitian ini juga melakukan perbandingan kebijakan hukum pidana terhadap perjudian online di negara Australia dan Inggris sebagai contoh negara yang memiliki peraturan yang mengizinkan dan mengatur perjudian secara legal. Berbeda dengan di Indonesia, Perjudian di Australia dan Inggris dianggap sebagai industri yang sah dan diatur oleh lembaga pengawas yang berwenang. Dengan memahami realita kebijakan hukum pidana yang dihadapi, penelitian ini diharapkan akan memberikan rekomendasi kebijakan yang dapat memperkuat penegakan hukum dan menekan perjudian online di Indonesia. Upaya ini diharapkan dapat melindungi masyarakat, meminimalisir kerugian ekonomi dan menjaga integritas hukum di negara Indonesia.

The rapid development of information technology globally, including in Indonesia, has brought about the ease of activities that were previously conducted conventionally by society, such as online gambling practices. The emergence of new dimension crimes, including online gambling, is a negative impact of societal and technological advancements that need to be addressed with more effective crime prevention efforts. The increasingly complex problems faced by society and law enforcement agencies in dealing with modern crimes need to be accompanied by a comprehensive examination of the development of the criminal law system, which includes the development of the culture, structure, and substance of criminal law. Thus, it is clear that criminal law policies play a strategic role in addressing crime issues for the sake of modern law development. However, the criminal law policy in eradicating online gambling faces several challenges, including ensuring effective and consistent law enforcement against online gambling agents and players in Indonesia. This research focuses on discussing the policy of criminal law enforcement in combating online gambling offenses in Indonesia and the implementation of law enforcement policies in efforts to combat online gambling offenses in Indonesia based on the analysis of court decision studies. This research also compares the criminal law policies on online gambling in Australia and the UK as examples of countries that have regulations allowing and regulating gambling legally. Unlike in Indonesia, gambling in Australia and the UK is considered a legitimate industry and is regulated by authorized regulatory bodies. By understanding the reality of the criminal law policies faced, this research is expected to provide policy recommendations that can strengthen law enforcement and suppress online gambling in Indonesia. These efforts are expected to protect society, minimize economic losses, and maintain legal integrity in the country of Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Moeljatno
Jakarta: Bumi Aksara, 2001
R 345 MOE k
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Moeljatno
Jakarta: Bumi Aksara, 2007
345.025 MOE k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>