Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 38090 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Harsanto Nursadi
"The changing on local budgeting control (APBD) had been already begun by Law No. 25 year 1999 and impacted the most extreme procedure on the process to get legitimating and responsibility that not more to central government, but to local parliament (DPRD). After revision by the newest law No. 32 and 34 year 2004 local budgeting needs province and central government evaluations prior to get approval. The author here does scrutiny that by the newest law has produced positive changing on the local budgeting responsibility. It is shown by report through APBD realizations that might to be audited by Financial Audit Board (BPK) prior to be accountable. Its meaning that from the financial aspects shall not happen local head falls that 's caused by the DPRD repudiation toward budgeting reports. Recently, clear definitions and criteria 's are significant to avoid through earlier experiences that has strengthened by applied national accounting system for local government in consistent."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
HUPE-35-4-(Okt-Des)2005-456
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
H.A.W. Widjaja,1940-
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005
352.14 WID p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
H.A.W. Widjaja,1940-
Jakarta: RadjaGrafindo Persada, 2007
352.14 WID p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
H.A.W. Widjaja,1940-
Jakarta: Radja Grafindo Persada, 2013
352.14 WID p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Cecillia Dhamianna Wenny Sofiaty Haryanto
"Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan salah satu daerah otonom penyandang status “istimewa” di Indonesia, memiliki kedudukan hukum yang sangat kuat, terutama dibawah payung hukum UUD Negara RI Tahun 1945, UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan beberapa produk peraturan hukum lainnya. Keistimewaan tersebut terutama terletak pada penetapan jabatan Kepala Daerah (KDH) yang tidak terikat pada ketentuan tentang masa jabatan, syarat, dan tata cara pengangkatan KDH seperti yang berlaku di daerah otonom lainnya. Pengisian jabatan KDH DIY dilakukan melalui sistem pengangkatan dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Sri Sultan Hamengku Buwono, sedang jabatan Wakil KDH dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Sri Paku Alam. Lahirnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah membawa implikasi besar terhadap keistimewaan Provinsi DIY, karena undang-undang tersebut justru menyatakan tidak berlaku (mencabut) UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang menjadi rujukan keistimewaan; akibatnya sistem pengisian jabatan KDH di Provinsi DIY secara hukum harus mengikuti sistem pemilihan KDH secara langsung dan berlakunya pembatasan masa jabatan bagi KDH Provinsi DIY. Pemberlakuan ketentuan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tersebut, khususnya yang berkaitan dengan sistem pengisian jabatan KDH dan Wakil KDH Provinsi DIY tersebut mengakibatkan hilangnya Keistimewaan Provinsi DIY yang telah dijamin oleh UUD Negara RI tahun 1945. Skripsi ini membahas status hukum Provinsi DIY di Indonesia, khususnya terkait dengan jabatan Kepala Daerahnya, menyusul lahirnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Penelitian ini merupakan penelitian eksplanatoris dengan menggunakan data sekunder. Hasil penelitian menyarankan Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dapat segera mengesahkan Rancangan Undang Undang Keistimewaan Provinsi DIY, karena Undang-undang tersebut sangat dibutuhkan untuk pengaturan secara menyeluruh dan terintegrasi Provinsi DIY, khususnya terkait dengan sistem pengisian jabatan Kepala Daerahnya, serta untuk pelestarian kearifan lokal di bidang politik, sosial, budaya dan ekonomi.

Yogyakarta Special Region (DIY) Province as one of the autonomous regions with “special” status in Indonesia, has a very strong legal position, mainly under the legal umbrella of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia, the Law Number 22 of 1999 on Regional Government and a few other products of legal regulations. This special status lies mainly in the establishment of the position of the Regional Head (KDH) that is not bound to stipulations on term of occupation, requirement, and ways of KDH appointment valid in other autonomous regions. Appointment of the KDH DIY position is carried out by a system of appointment by considering a candidate, descent of Sri Sultan Hamengku Buwono, while the position of the position of Vice Regional Head is appointed by considering a candidate, descent of Sri Paku Alam. The formation of the Law Number 32 of 2004 on Regional Government brings great implication on the special status of DIY Province, because this law exactly states unvalid (revokes) the Law Number 22 of 1999 on Regional Government that refers to the special status; consequently the system of the appointment of the KDH position in the DIY Province legally should follow the system of a direct sistem of KDH election, and the validness of the limit of the term of occupation for the KDH of DIY Province. The validness of stipulation of Act Number 32 Year 2004 on Regional Government, especially related to the system of appointment of the KDH and Vice KDH positions of DIY Province result in the disappearance of DIY Province’s Special Status, which is guaranteed by the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. This mini-thesis discusses the legal status of DIY Province in Indonesia, especially related to the function of Its Regional Head, following the establishment of the Law Number 32 of 2004 on Regional Government. This research constitutes an explanatory investigation, using secondary data. The result of the research suggest that the Government and the Indonesian Legislative Assembly (DPR) soon verify the Bill on the Special Status of DIY Province, because this Act is most needed to regulate DIY Provence as a whole and integratedly, especially related to the system of filling the function of its Regional Head, as well as to preserve its local wisdom in the political, social, cultural and economic fields."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
S25496
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Luhur Kurnianto
"Pasal 1 Ayat (1) UUD 1945 menentukan bahwa Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik. Menurut C.F. Strong, pemerintah pusat negara kesatuan memegang kedaulatan internal dan kedulatan eksternal secara absolut dan tidak mengakui adanya badan berdaulat tambahan dalam pemerintahannya. Negara kesatuan sendiri memiliki sifat dasar yang sentralistik dari segi pemerintahannya. Hal tersebut konsekuen dengan ciri-ciri negara kesatuan yang pemerintahan pusatnya sebagai pengemban kedaulatan absolut negara. Lebih lanjut, pada Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa kedaulatan negara berasal dari rakyat dan dijalankan berdasarkan konstitusi. Berdasarkan ketentuan tersebut, pemerintahan Negara Republik Indonesia harus senantiasa menerapkan sistem demokrasi pada lapangan pemerintahan mana pun. Dikaitkan dengan Pasal 18 UUD 1945 bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah propinsi dan daerah propinsi dibagi atas daerah kabupaten dan kota. Masing- masing daerah tersebut ditetapkan sebagai daerah otonom yang memiliki pemerintahan sendiri, dan masing-masing daerah dipimpin oleh Kepala Daerah yang dipilih secara demokratis. Selaras dengan ketentuan dalam konstitusi, Undang-Ungang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pada Pasal 24 Ayat (5) mengatur cara pengisian Kepala Daerah yang dipilih secara langsung. Di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 juga diatur mengenai penyelenggaraan pemerintahan daerah yang berasaskan otonomi daerah. Hubungan antara susunan negara kesatuan, otonomi daerah dan pemilihan kepala daerah secara langsung dalam negara yang pemerintahannya menganut sistem demokrasi seperti Indonesia adalah fokus bahasan yang akan dianalisis dalam penulisan skripsi ini.

Article 1 Paragraph 1 of The Constitution 1945, determines that indonesia is an unitary state with structured of unitary and form of republic. According to C.F. Strong, the central government of the unitary state held the internal and external sovereignity absolutely and not admits of additional sovereign organ within in the government. The unitary state it self has a basic characteristic which centralistic in the term of its government. This is consistent with the characteristic features of the unitary state which the central government as the bearers of absolute state sovereignity. Furthermore, Article 1 Paragraph 2 of The Constitution 1945 asserted that state sovereignity comes from citizens and operated according to the constitution. Departing from this recuirment, the government of indonesia has to apply the democratic system in any government field. Associated with article 18 of the constitution 1945 that republic of indonesia is divided into provinces and provinces are devided into districs and municipal areas. In accordance with recuirment in constitution, Act Number 32 of 2004 on Local Government, on Article 24 Paragraph 5 regulates the position charging way of directly elected regional head. In the Act Number 32 of 2004 stipulates regarding about the implementation of local government which based on local autonomy principles. The relation between unitary staate structure, local aoutonomy, and direct local election in the state governing democracies like indonesia is a disccussion that will be analyzed in this thesis."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
S25498
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan. Mahkamah Konstitusi RI, 2006
R 342.09 IND p
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan. Mahkamah Konstitusi RI, 2006
R 342.09 IND p
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Hani Adhani
"Pasca Amandemen UUD 1945, Proses pemilihan Kepala Daerah dilaksanakan melalui pemilihan langsung. Hal mengenai mekanisme pemilihan Kepala Daerah tersebut selanjutnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah.
Pelaksanaan demokrasi dalam Pilkada langsung ini menimbulkan konsekuensi yang besar terhadap kelangsungan kehidupan demokrasi di Indonesia. Proses pelaksanaan Pilkada yang syarat dengan berbagai kepentingan akan menimbulkan konflik yang berkepanjangan dan selalu berujung dengan sengketa. Lembaga peradilan yang merupakan benteng terakhir untuk menyelesaikan sengketa Pilkada harus selalu dituntut untuk mengedepankan putusan yang menjunjung rasa keadilan bagi semua kepentingan yang terkait dengan sengketa Pilkada.
Adanya konflik yang berkepanjangan pasca putusan sengketa Pilkada oleh Mahkamah Agung menimbulkan kegamangan yang berujung dengan pengalihan kewenangan untuk mengadili sengketa Pilkada dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tidak secara jelas mengatur tentang mekanisme pengalihan kewenangan mengadili sengketa Pilkada dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi, hal tersebut menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda terkait tenggat waktu pelimpahan kewenangan tersebut, meskipun pada akhirnya permasalahan tersebut berakhir setelah ditandatanganinya Berita Acara Pelimpahan Kewenangan Mengadili Sengketa Pilkada dari Mahkamah agung ke Mahkamah Konstitusi pada tanggal 29 Oktober 2008.
Proses penyelesaian sengketa Pilkada di Mahkamah Konstitusi tidaklah jauh berbeda dengan penyelesian sengketa di Mahkamah Agung, adanya tenggat waktu 14 (empat belas) hari untuk menyelesaikan sengketa tersebut, menyebabkan proses penyelesaian sengketa tersebut harus dilaksanakan secara cepat dengan acuan yang menjadi dasar pertimbangan hakim adalah hal mengenai hasil penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon. Adanya upaya hukum berupa kasasi dan peninjauan kembali yang dilakukan oleh Mahkamah Agung pasca putusan yang bersifat final dan mengikat, menyebabkan upaya menyelesaikan sengketa Pilkada berlarut-larut sehingga menimbulkan adanya ketidakpastian hukum. Hal tersebut yang menjadi salah satu pembeda antara proses penyelesaian sengketa Pilkada di Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T25202
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>