Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 48672 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1999
S6879
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nani Indra Ratnawati Nurrachman Sutoyo
"Studi ini adalah mengenai identitas sosial wanita sebagai suatu kelompok pimpinan organisasi wanita. Selain itu, studi ini juga berupaya memahami pengembangan diri pribadi wanita dalam kelompok tersebut. Fokusnya adalah pada persepsi diri wanita, secara kolektif maupun individual.
Interaksi interpersonal antar sesama wanita mempunyai akar psikologis yang kuat pada keakraban hubungan antara seorang anak perempuan dengan ibunya. Dengan penekanan pada peran dan tugas ibu, serta berlangsungnya siklus menjadi ibu pada setiap generasi, wanita akan tetap melestarikan sikap simbiotik. Sikap demikian ini akan dapat menyulitkan proses kemandirian anak perempuan untuk berkembang menjadi pribadi yang penuh, yang terpisah dari gambaran ibunya. Tetapi sebaliknya, keakraban ini menjadi dasar dari kelekatan psikologis yang kuat antar sesama wanita sebagai suatu kelompok.
Organisasi wanita dapat dipandang antara lain sebagai sarana penyalur aspirasi, penopang diri dan kancah pengembangan diri wanita. Keanggotaan seorang wanita dalam organisasi mempunyai dasar perseptual karena merujuk kepada penempatan wanita sebagai kelompok yang berbeda dengan kelompok pria. Penghayatan subyektif atas kebersamaan sesama wanita ini memberikan suatu identitas sosial tertentu. Ada dua ciri penting yang menandai organisasi wanita. Ciri pertama adalah kelekatan psikologis yang kuat antar sesama wanita yang disebut sebagai female bonding. Karena melalui female bonding ini maka wanita dapat lebih nyaring menyuarakan aspirasi dan kebutuhannya. Lagipula, wanita dapat saling belajar memahami diri dan sesamanya. Ciri kedua adalah sebagai organisasi yang berada ditengah-tengah masyarakat yang didominasi oleh pria, maka organisasi wanita berada dalam suatu paradoxical reality. Artinya, sekalipun wanita dan pria hidup bersama-sama dalam masyarakat tetapi ada suatu perbedaan cara pandang antara wanita dan pria terhadap realitas sosial masyarakatnya. Perbedaan cara pandang ini hams dihadapi wanita bilamana ia ingin menyuarakan aspirasi dan kebutuhannya.
Studi ini mengeksplorasi bagaimana wanita mempersepsi dirinya, baik secara kolektif, maupun secara individual. Responden studi adalah kelompok pimpinan organisasi wanita KOWANI dan empat organisasi anggotanya. Untuk dapat melihat persepsi diri, maka kepada responden diberikan kuesioner, disamping diadakan wawancara terbuka. Hal ini dilakukan untuk melihat bagaimana persepsi diri wanita sebagai kelompok yang tercermin melalui identitas sosialnya. Sedangkan untuk melihat bagaimana persepsi atas diri pribadi dan pengembangannya dalam organisasi wanita dilakukan wawancara mendalam terhadap seorang responden yang bersedia dan terbuka menuturkan kisahnya.
Responden studi ini adalah tiga puluh delapan orang yang dapat terjaring selama dua setengah bulan pengumpulan data lapangan. Karena tujuannya adalah untuk memahami persepsi diri dari perspektif subyek itu sendiri, maka pemahamannya bersifat kualitatif.
Atas dasar telaahan terhadap berbagai pandangan tentang wanita Indonesia, studi ini mengasumsikan dua hal. Pertama, identitas sosial wanita Indonesia sebagai kelompok pimpinan organisasi wanita KOWANI bertumpu pada konsep ibu yang mendapat penopangannya oleh female bonding. Kedua, kelompok wanita dapat mempunyai peran mengembangkan diri pribadi wanita bila ditopang oleh derajat kesadaran diri pribadi yang relatif tinggi dari wanita itu sendiri.
Dengan menggunakan tehnik analisa isi terhadap kelompok responden diperoleh hasil sebagai berikut ini. Secara kolektif, persepsi diri wanita terkait pada berbagai aspek ketubuhan, agama/keyakinan dan aspek sosial yang dapat dirinci atas suami, anak, kelompok wanita, negara dan pria. Sekalipun keterkaitan diri pribadi wanita sangat luas hingga menjangkau batas-batas agama dan negara, tetapi diri pribadinya senantiasa dipersepsikan dengan perannya sebagai ibu. Dari semua aspek ini, keterkaitan diri pribadi pada aspek sosial, yakni dengan sesama kelompok wanita mendapat respons yang paling banyak. Keadaan ini menunjukkan betapa female bonding menjadi ciri yang menonjol dari identitas sosialnya.
Secara individual, persepsi dan pengembangan diri wanita dalam kelompok wanita berangkat dari kesadaran dirinya sebagai wanita ditengah-tengah masyarakat. Kepekaan dan kepedulian terhadap lingkungan sosial mencetuskan kesadaran yang kemudian dipantulkan kembali kepada dirinya. Ia mengabsorbsi dan memproses berbagai pemikiran tentang din dan lingkungan sosialnya sehingga menjadi sesuatu yang baru dan berasal dari pemikirannya sendiri. Ia menjadi seorang partisipan yang aktif, seorang subyek dalam percaturan berbagai pikiran tentang wanita. Makin kuat kesadaran untuk melakukan proses berpikir yang kritis dan reflektif ini, makin kuat pula kecenderungan untuk menghayati peluang yang memberikan keleluasaan kearah pengembangan diri, apapun bentuknya. Sekalipun ada pembatasan-pembatasan tertentu, namun keadaan ini memberikan rangka dalam mana pengembangan diri itu dapat terselenggara.
Kesimpulan umum tentang responden dalam studi ini adalah bahwa untuk organisasi wanita gejala female bonding dalam interaksi antar sesama wanita lebih memegang peranan daripada pengelolaan organisasi secara profesional. Female bonding ini menopang konsep ibu yang mempunyai nilai yang tinggi dalam masyarakat Indonesia.
Female bonding ini dapat mempunyai dampak yang positif sampai mana wanita saling memerlukan guna menyuarakan aspirasi dan kebutuhannya. Female bonding ini dapat mempunyai dampak yang negatif sampai mana menghambat pengembangan diri wanita sebagai pribadi yang penuh."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1993
D246
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Patricia Sara
"Holmes & Rahe (1967) pemah membuat sebuah tabel yang mengurutkan hal-hal apa saja yang dapat membuat orang menjadi stres. Pada tabel tersebut, perceraian merupakan urutan kedua setelah kematian pasangan hidup. Oleh karena itu orang yang bercerai harus segera menyesuaikan dirinya, sehingga orang tersebut dapat segera mengatasi rasa sedih, dan marah, menerima dirinya sendiri, anak-anak dan mantan suaminya, kembali bekeija dan mengikuti kegiatan-kegiatan yang ada di lingkungan sekitar, dan Iain-lain masalah yang biasanya timbul setelah perceraian. Adapun masalah-masalah yang biasanya dialami oleh mereka yang bercerai adalah masalah secara psikologis/emosi, dalam mengasuh anak, pelaksanaan tugas-tugas rumah tangga, keuangan, sosial hingga seksual (Hurlock, 1980).
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui masalah-masalah apa saja yang dialami pada wanita dewasa muda yang berpisah/bercerai. Selain itu ingin dilihat pula gambaran dan dinamika penyesuaian diri mereka setelah berpisah/bercerai. Untuk menjawab tujuan penelitian di atas, maka dilakukan wawancara mendalam terhadap empat orang subyek. Hasil wawancara yang diperoleh akan dianalisis dan diinterpretasi dengan menggunakan teori-teori yang sudah ada. Penyesuaian diri tidak selalu dilakukan setelah terjadi perceraian, mengingat adapula orang yang telah melakukan penyesuaian diri jauh sebelumnya, yaitu pada saat mereka berpisah dengan suaminya (Lasswell & Lasswell, 1987). Oleh karena itu penelitian ini akan menggali penyesuaian diri subyek setelah bercerai, maupun pada subyek yang berpisah lalu bercerai. Adapun subyek penelitian ini adalah wanita yang berpisah/bercerai pada usia dewasa muda.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa masalah yang ditemukan pada keempat subyek penelitian adalah masalah secara psikologis/emosi, yaitu subyek merasa sedih dan kecewa karena rumah tangga mereka berakhir dengan perceraian. Selain itu mereka juga merasa kesepian dan kehilangan sejak berpisah bercerai dengan suami mereka. Masalah lain yang ditemukan pada subyek adalah masalah dalam mengasuh anak, masalah dalam hal keuangan, dan sosial. Subyek dalam penelitian ini tidak raengalami masalah dalam pelaksanaan tugas rumah tangga sehari-hari dan pemenuhan kebutuhan seks. Waktu yang diperlukan subyek untuk dapat menyesuaikan diri mereka setelah berpisah^e^cerai adalah bervariasi, antara satu/dua sampai lima tahun, bahkan hingga saat subyek diwawancara. Hal ini disebabkan faktor-faktor tertentu seperti apakah subyek masih mencintai suaminya atau tidak, lama dan kualitas perkawinan subyek, siapakah yang berinisiatif untuk bercerai, pandangan subyek terhadap perceraian, jumlah anak yang dimiliki, apakah subyek bekeija dan mempunyai penghasilan sendiri, dan lain.lain."
Depok: Universitas Indonesia, 1998
S2701
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anastasia Sri Indryastuti
"Penerimaan diri merupakan salah satu dari enam indikator Psychological Well-Being (Ryff, 1989). Penerimaan diri yang baik hanya akan terjadi bila seseorang mau dan mampu memahami keadaan dirinya sebagaimana adanya, bukan sebagaimana yang diinginkan. Penulis merasa aspek ini cukup penting untuk diteliti, terutama pada wanita. Ada penelitian yang menyebutkan bahwa wanita cenderung mengadopsi pendapat kaum pria mengenai diri mereka atau diri wanita Iain, memiliki self-esteem yang Iebih rendah dan konsep diri yang cenderung negatif dibandingkan dengan kaum pria (American Association of Universiti of Women, 1991).
Penulis mencoba mengkaitkan penerimaan diri dengan identitas peran jender (selanjutnya disebut IPJ) dan ekspresi kemarahan. IPJ dianggap penting karena selama ini IPJ diketahui mempengaruhi setiap aspek kehidupan manusia (Unger & Crawford, 1992), termasuk penerimaan diri. Sementara ekspresi kemarahan dianggap perlu karena banyak penelitian yang menyebutkan bahwa wanita mengalami kesulitan dalam mengalami dan mengekspresikan kemarahan mereka, sehingga mengakibatkan berbagai gangguan kesehatan mental (Kopper, 1989). Pada saat merasa marah, wanita mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada diri mereka sendiri yang malahan menghalangi pengekspresian kemarahannya, bahkan seringkali mengarah kepada perasaan bersalah, depresi dan perasaan ragu-ragu terhadap diri sendiri.
Dengan latar belakang tersebut maka yang menjadi permasalahan umum dalam penelitian ini adalah: Apakah ada perbedaan penerimaan diri wanita berdasarkan tipe IPJ (maskulin, feminin, androgin dan tak-tergolongkan) dan ekspresi kemarahannya (ke dalam, asertif dan ke luar)? Dan apakah ada hubungan antara IPJ (maskulin, feminin, androgin dan tak-tergolongkan) dan ekspresi kemarahan (ke dalam, asertif dan ke luar) dengan penerimaan diri pada wanita? Secara lebih rinci permasalahan umum di atas dapat dijabarkan ke dalam empat sub permasalahan, yaitu:
1. Apakah ada perbedaan penerimaan diri wanita berdasarkan tipe IPJ (maskulin, feminin, androgin dan tak-tergolongkan)?
2. Apakah ada perbedaan penerimaan diri wanita berdasarkan tipe ekspresi kemarahannya (ke dalam, asertif, dan keluar)?
3. Apakah ada perbedaan penerimaan diri wanita berdasarkan interaksi antara IPJ (maskulin, feminin, androgin dan tak-tergolongkan) dan ekspresi kemarahannya (ke dalam, asertif, dan keIuar)'?
4. Apakah ada hubungan antara IPJ (maskuIin, feminin, androgin dan tak-tergolongkan) dan ekspresi kemarahan (ke dalam, asertif dan ke Iuar) dengan penerimaan diri pada wanita?
Penelitian ini lebih bersifat penelitjan deskriptif walaupun terdapat unsur- unsur penjajagan sehubungan dengan belum banyaknya penelitian yang telah dilakukan di sini yang dapat dijadikan Iandasan untuk merumuskan hipotesa bagi penelitian ini. Dalam penelitian ini digunakan pendekatan kuantitatif dan pengolahan hasil dilakukan dengan teknik statistik analisa varians dan regresi majemuk. Sampel penelitian adalah mahasiswa perempuan yang diperoleh dengan teknik accidental sampling sebanyak 200 orang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa:
1. Ada perbedaan penerimaan diri wanita berdasarkan IPJ.
2. Tidak ada perbedaan penerimaan diri wanita berdasarkan tipe ekspresi kemarahan.
3. Tidak ada perbedaan penerimaan diri berdasarkan interaksi antara IPJ dan ekspresi dengan penerimaan diri.
4. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa secara bersama-sama IPJ dan ekspresi kemarahan tidak berhubungan dengan penerimaan diri. Hanya 1,7 % varians penerimaan diri yang dapat diterangkan oleh identitas IPJ dan ekspresi kemarahan."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1998
S2950
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meta Refianti
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009
S5918
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rini Nur Aini
"Manusia, seiring dengan perkembangan usianya,' menjalani berbagai peranan dan fungsi dalam hidup. Di dalamnya tercakup pelaksanaan tugas-tugas perkembangan. Secara lebih khusus, dalam tahapan usia dewasa muda seseorang dihadapkan pada adanya fenomena seputar karir dan pernikahan. Dua hal tersebut merupakan tahap yang harus dilalui dan hasilnya akan menentukan kehidupan seseorang pada tahap perkembangan hidup selanjutnya.
Kehidupan masyarakat kota identik dengan adanya modernisasi dalam segala bidang. Dalam pelaksanaannya saat ini, tidak hanya pria yang terlibat aktif, melainkan wanita pun turut mempunyai andil yang besar dalam menjalani arus perkembangan modernisasi yang ada. Pekerjaan yang dulunya selalu diidentikkan dengan pria sekarang menjadi bergeser dengan adanya pengakuan terhadap fungsi dan peranan wanita.
Dengan adanya tuntutan yang lebih besar bagi para wanita saat ini di bidang pengembangan karir, sedikit banyaknya berpengaruh pada gaya hidup yang dijalani. Salah satunya adalah gaya hidup melajang yang saat ini sudah banyak ditemukan di hampir semua kota-kota besar. Pilihan untuk tidak menikah atau yang lazimnya disebut hidup melajang rupanya menjadi suatu fenomena yang terjadi dan menarik untuk disimak. Hal ini mengingat kodrat dan pandangan umum yang mengemukakan bahwa selayaknya wanita melakukan pernikahan dan membangun rumah tangga. Tentu saja hal ini menimbulkan pandangan-pandangan yang pro dan kontra dari masyarakat, yang pada akhirnya menimbulkan stereotip bagi yang para wanita yang mengalaminya.
Beberapa tokoh mengemukakan bahwa wanita yang tidak menikah cenderung memiliki well-being yang tinggi, yang ditandai oleh terpenuhinya kebutuhan akan keahlian (yang berasal dari pekerjaan) dan kesenangan (kualitas dari pekerjaan yang diperoleh). Selain itu juga wanita yang tidak menikah dapat lebih memiliki kesempatan yang besar untuk melakukan pengembangan dan perubahan diri, serta lebih memiliki kebebasan dalam hidup. Di sisi lain ada pula tokoh yang mengemukakan bahwa pada wanita yang tid^k menikah, well-being yang dimiliki cenderung rendah terutama dalam hal pemenuhan kebutuhan akan kesenangan karena tidak terciptanya hubungan yang akrab dengan seseorang. Selain itu mereka juga kadang diidentikkan dengan ketidakbahagiaan dan kecenderungan depresi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lebih lanjut tentang gambaran konsep diri yang dimiliki oleh para wanita yang memutuskan untuk tidak menikah, mengetahui alasan-alasan yang menyebabkan mereka mengambil tindakan tersebut, dan seberapa besar pengaruh lingkungan terhadap diri mereka sehubungan dengan adanya keputusan untuk tidak menikah.
Untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini, digunakan pendekatan kualitatif dengan tipe penelitian studi kasus, di mana dengan pendekatan ini akan memungkinkan penulis untuk mempelajari isu-isu secara mendalam dan mendetil yang dirasakan individu mengenai topik yang akan dibahas.
Hasil yang didapat dari penelitian ini adalah bahwa gambaran konsep diri pada mereka adalah cenderung positif. Mereka menganggap bahwa dengan tidak menikah mereka menjadi mandiri dan memiliki well- being yang tinggi. Dalam hal ini well-being lebih dikaitkan dengan dimilikinya keahlian tertentu yang diperoleh melalui pekerjaan dan kualitas pekerjaan tersebut. Kebutuhan untuk mendapatkan penilaian positif dari orang lain juga terpenuhi meskipun ada beberapa pihak yang tetap menentang keputusan mereka. Mereka juga memiliki kepuasan diri yang tinggi, setidaknya mereka telah cukup puas menjalani hidupnya hingga saat ini.
Alasan utama yang menyebabkan mereka memutuskan untuk tidak menikah adalah alasan yang lebih bersifat internal, meliputi adanya pengalaman-pengalaman pribadi yang menunjukkan bahwa pernikahan acapkali menampilkan ketidakbahagiaan, dan adanya faktor sifat diri atau kepribadian. Selain itu adanya keinginan untuk merasakan kebebasan hidup tanpa campur tangan dari orang lain dan adanya keinginan untuk membuktikan ketidakbenaran persepsi yang negatif mengenai stereotip wanita yang tidak menikah.
Alasan eksternal yang juga mempengaruhi mereka adalah adanya persepsi mereka terhadap pengalaman-pengalaman orang lain dalam dunia pernikahan yang juga acapkali menampilkan ketidakbahagiaan. Meskipun demikian ada seorang subyek yang hingga saat ini mengalami keraguan akan kondisi dirinya. Sebenarnya ia tidak secara langsung membuat keputusan untuk tidak menikah, namun ia lebih menyerahkan kehidupannya pada Tuhan sehingga pada akhirnya ia menerima kondisinya yang harus hidup melajang dengan pemikiran yang positif bahwa kehendak Tuhan pastilah yang terbaik untuknya.
Secara umum, keputusan mereka untuk tidak menikah berasal dari pengaruh internal. Artinya keputusan mereka benar-benar merupakan keputusan yang diperoleh dari diri sendiri tanpa adanya pengaruh dari orang lain. Dengan demikian faktor ektemal tidak secara signifikan berpengaruh pada kondisi mereka sehubungan dengan keputusan yang mereka pilih.
Dari hasil penelitian ini, diperoleh informasi baru bahwa ternyata semua subyek memiliki konflik dengan ayah. Hal ini menarik untuk diteliti lebih lanjut untuk memperkaya hasil penelitian sehubungan dengan adanya pengaruh kedekatan dengan ayah terhadap keputusan subyek untuk tidak menikah."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
S3114
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Christina Siwi Handayani
"Studi ini berusaha mengatasi masalah yang terjadi dalam penelitian kontemporer tentang identitas diri dengan menjelaskan 'identitas diri sebagai hasil kerja sistem representasi' Perspektif ini melibatkan teori diri dialogis, representasi sosial dan teori relasi ohjek yang mempertimbangkan baik realitas individual, sosial dan simbolik.
Penelitian berlangsung di Yogyakarta selama kurang iebih satu tahun (Januari-Desember 2006) dengan melibatkan 7 informan yang berprofesi sebagai SPG (Sales Promotion Girl) dan 625 responden. Informan dan responden berasal dari kalangan wanita muda perkotaan Yqgyakarta yang berstatus mahasiswi, berumur 21-25 tahun dan berasai dari Yogyakarta dan Jawa Tengah. Metode pengumpulan data meliputi metode partisipatif, anilisis media, observasi dan Wawancara mendalam serta penyebaran skala psikologis. Analisis data dilakukan dengan empat metode yaitu analisis diskursus, analisis isi, analisis faktor dan analisis kluster.
Studi ini membuktikan bahwa budaya-konsumsi sangat fberpengaruh besar pada pembentukan identitas diri wanita muda perkotaan Yogyakarta. Namun, mereka mengadopsi budaya konsumsi secara lebih kritis dan cerdas sehingga mcnghasiikan pemaknaan yang baru yang berbeda dengan yang dimaksudkan oleh media maupun industri. Studi ini juga membuktikan bahwa dinamika proses pembentukan identitas diri melalui konsumsi mempakan proses dialektika saling mempengaruhi antara kekuatan masyarakat dan kreativitas individu. Gambaran identitas diri yang dominan pada wanita muda perkotaan Yogyakarta adalah menilai pentingnya ekspresi gaul dengan mcmanfaatkan benda-benda konsumsi sekaligus menekankan pentingnya menjaga harmoni sosial.
Penelitian ini juga memperlihatkan pola konservatif yang diasumsikan di awal studi ada, ternyata tidak ditemukan baik pada informan maupun responden penelitian ini. Pola yang ditemukan adaiah pola emansipatif konsumtif atau masih dalam masa peralihan. Mencermati hasil ini, dapat dikatakan hahwa tidak ada wanita muda perkotaan Yogyakarta yang mampu mengelak dari pengaruh budaya konsumsi.
Penelitian ini juga membuktikan bahwa telah dan sedang terjadi perubahan Kota Yogyakarta yang kini ekspresi masyarakatnya semakin melibatkan pemanfaatan barang konsumsi dan praktik kebertubuhan. Namun, di sisi Iain spirit untuk menjaga harmoni sosial juga masih terjaga. Dengan kecenderungan ini, dapat diprediksikan setidaknya dalam I0 tahun ke depan, Kota Yogyakarta masih tetap memiliki tradisi yang kuat meskipun fasilitas modern semakin banyak. Spirit untuk menjaga harmoni sosial tetap menjadi spirit yang dominan meskipun ekspresi penampilannya semakin diukur dari kepemilikan benda materi.
Penelitian ini hanya terbatas pada konteks wanita muda perkotaan Yogyakarta yang berasal dari suku bangsa Jawa yang berusia 2l-25 tahun. Dengan demikian, penelitian ini tidak bisa digeneralisasikan untuk konteks penelitian yang Iain, baik jenis kelamin dan umur yang lain maupun konteks sosial-budaya yang lain.
Berdasarkan kontribusi teoritik, penelitian ini menyarankan agar kajian di bidang psikologi selalu memahami dan memperhitungkan proses dialektika antara individu dan sosial, antara konstruksi kreatif individu dan konstruksi sosial. Faktor sosial dan individu bukan variabel yang bisa diperlakukan semata-mata individu sebagai variabel yang tergantung dan sosial sebagai variabel bebas, keduanya saling mempengaruhi dalam proses dialektika yang bekerja sebagai siklus yang berulang. Ruang sosial juga dibentuk oleh aktivitas individu, demikian sebaliknya individu juga dipengaruhi oleh kondisi sosial. Dengan kata lain, penelitian ini menyarankan pendekatan penelitian yang bersifat holistik yang mempertimbangkan dialektika antara individu dan sosial.
Berdasarkan kontribusi ap1ikalif, hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa pengaruh budaya konsumsi terhadap pembentukan identitas diri wanita muda perkotaan Yogyakarta sudah tidak mungkin dibendung lagi. Untuk itu Studi ini menyarankan:
Perlama, penting bagi Wanita muda perkotaan khususnya dan anak muda umumnya agar memiliki sikap kritis dan ketrampilan mengambil keputusan yang tepat. Hal ini sangat diperlukan untuk menghadapi pengaruh budaya konsumsi yang semakin kuat dan tak terbendung sehingga mereka tidak larut di dalamnya. Untuk membentuk sikap kritis dan ketrampilan tersebut orang tua dan masyarakar termasuk lembaga pendidikan harus memiliki pemahaman yang lebih tepat dan kontekstual atas kondisi wanita muda sehingga tidak jatuh pada pendakatan yang normatif.

Contemporary research on self-identity remains a problematic study area. This study aims at solving that problem by explaining ?self-identity as a result of the working of representation system? by using dialogical self-perspective, social representation and object relation theory by considering individual, social and symbolic realities.
This research was carried out in three steps. The first one is initial step, consisting of participatory research (from February to June 2006) and media analysis (from March to May 2006). The second step is observation and in-depth interview with sales promotion girls (SPG), from August to December 2006. The third step is the distribution of scale of psychology (from November to December 2006). This research was conducted in Yogyakarta, involving seven informan working as SPG and 625 respondents of urban, young females living in Yogyakarta, mostly students, age between 21 to 25 years old, grow up-in Yogyakarta -and Central Java. Data was analyzed through four methods, namely discourse analysis, content analysis, factors analysis and cluster analysis.
It is proven that consumption practice by utilizing body powerfully determines the very process of self-identity formation of urban young females in Yogyakarta. It means that consumer culture strongly affects their self-identity. However, they adopt consumer culture displayed by media Suggestion critically and intelligently that it results in another meaning which is different from that of what media intends. They are able to re-contextualize a number of new things, including media's suggestion on consumer culture, referring to the meaning and their own interests that can be completely different from that of what media and industry intend.
The main result of this research proves that as a result of the working of representation system, self-identity of urban young females in Yogyakarta that are strongly affected by consumer culture is dynamic and plural one. Their self-identities are dynamic and plural since they have been moving to Yogyakarta city. Prior to moving, the image of their self-identities was described as being in a position which is relatively integrated, stable, and single one, as a child of an ustadz, qoriah or as a child of a public figure in parochial council, etc. Moving to Yogyakarta the image of their self-identities which was relatively stable, single and integrated turned to be that of dynamic and plural. ln Yogyakarta, various identification and imitation figures exist in a number of social, academic, religious, tradition and gaul spheres. With the existence of new identification and imitation figures, there emerge new positions in their selves, e.g. SPG, model, entertainer and anal: gaul. Thus, these new positions were integrated with old positions in such a way that there is a dynamic movement among various positions.
In the mental world of these research?s informants and respondents, the image of their self-identities is expressed in their abilities to manage strategy of playing a number of positions in a harmonic way. Initially, the image of the self-identity in that mental world was social one, given that it emerged from social representation where an individual lives. ln other words, an individual heritages and live in a certain feature of self-identity existing in the society. In this research, social representation of urban young female in Yogyakarta can be described as vaulting the importance of expression of gaul style and having spirit to keep social harmony. The image of self-identity in social representation then belongs to individuals through identification as well as imitation process as being explained by object relation theory. ln consumption moment, this area represents moment of appropriation, a moment that shows individual?s creative acts in giving meaning to new object does not merely adopt meaning offered, but re-contextualize the meaning instead. Then it becomes completely new meaning or the result of modification from personal meaning and other meaning offered, so that it turns to be personal and belongs to her.
Dynamics of self-identity formation as a result of the working of representation as described above will occur over and over again so that self-identity is a result of dynamic relationship between two opposing powers, namely publicly acknowledged power of the society, and creativity as well as freedom acquired by individuals. There is inter-dependence between culture and individual?s mind in the process of self-
identity formation.
This research is limited to the context of urban young female. in Yogyakarta, whose ethnic background is Javanese, between 21 -25 years of age.Thus, this research cannot be generalized to other research, gender, age as well as socio-cultural contexts.
For that reason, this research suggest that study 911 self-identity for-other age-group, and cultural contexts to be carried out by implementing a holistic- research approach by considering individual, social and symbolic realities. Research on self-identity will not be sufficient if it merely consider one single reality. BY considering simultaneously those three realities, the study on self-identify can result in a perspective which is sensitive to various socio-cultural contexts where individual live
Other suggestion, since the influence of-consumer culture on the self-identity formation is impossible to prevent; it is important that urban young female particularly and youth generally acquire critical attitude and ability to make the right decision in order not to be drawn in it. ln order to develop such critical attitude and ability, parents/family and society as well as educational institution should have a better and contextual understanding on the nature of young female. By such a better and contextual understanding it is expected that they can implement a more appropriate approach without being trapped into that of normative one.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2007
D1242
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mochamad Fansuri
"ABSTRAK
Kehidupan bermasyarakat dapat berjalan dengan baik apabila norma-norma yang menjadi pedoman tindakan warganya dapat berjalan sebagaimana mestinya. Dalam masyarakat dikenal adanya suatu bentuk kearifan yang berdasarkan kebiasaan (conventional wisdom}, yang menyatakan bahwa ada dua prinsip mengenai mengapa norma-norma budaya akan selalu dijadikan pedoman. Pertama, nilai tentang baik dan buruk telah ditanamkan pada seseorang pada saat proses sosialisasi. Kedua, adanya rasa saling hormat menghormati antar sesama (Edgerton, 1978:455). Namun, dalam kenyataan akan selalu terdapat orang-orang tertentu yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku dalam masyarakatnya. Jika akan ditelusuri penyebabnya akan sangat banyak dan bervariasi, tetapi secara garis besar perilaku menyimpang dapat disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor internal dari diri orang yang bersangkutan, dan faktor eksternal yang berasal dari masyarakat di sekitar dirinya.
Terlepas dari faktor mana yang menyebabkannya, penyimpangan terhadap norma-norma kehidupan masyarakat akan dapat berpengaruh terhadap keseimbangan masyarakat serta dapat menimbulkan kekacauan yang serius. Di antara sekian banyak penyimpangan yang terdapat dalam kehidupan masyarakat, yang paling potensial untuk menimbulkan ketidak-seimbangan dan kekacauan yang serius ialah bentuk penyimpangan yang melanggar hukum yang berlaku. Perilaku tersebut biasanya disebut tindak pidana dan pelakunya disebut penjahat atau pelanggar hukum. Untuk lebih jelasnya akan dikemukakan sebuah definisi tindak pidana dari Hugh D. Barlow, yang berbunyi sebagai berikut:
Tindak pidana merupakan tindakan manusia yang melanggar hukum kriminal, kejahatan terdiri dari dua komponen: (1) melibatkan tingkah laku tertentu; (2) tingkah laku tersebut dapat diidentifikasikan dalam sistem hukum yang berlaku (Barlow, 1984:5).
Hukum kriminal pada hakekatnya merupakan suatu mekanisme yang sengaja diciptakan manusia untuk menanggulangi dan melindungi masyarakat dari tindak pidana.
Pada dasarnya tindak pidana akan ada karena adanya batasan-batasan yang disahkan oleh kelompok masyarakat tertentu mengenai perilaku mana yang dianggap baik dan mana yang buruk. Masyarakat pula yang menentukan sanksi apa yang akan diberikan pada suatu bentuk tindak pidana tertentu. Pada kebudayaan dan masyarakat di seluruh dunia banyak dikenal bentuk-bentuk sanksi bagi pelaku tindak pidana. Dalam penelitian ini perhatian akan dipusatkan pada suatu bentuk pidana hilang kemerdekaan di Indonesia, dengan lembaga pemasyarakatan sebagai unit pelaksananya, khususnya LP Cipinang, Jakarta."
1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kartika Murdisari
"Theories in architecture are hard to be regarded scientific, because they are not based on clear and objective phenomena. Most of them are merely assumptions, hypotheses or concepts. Egenter argues that anthropology architecture which is based on real phenomenon, i.e. human in his relationship with culture, may hold a complete and universal architectural theory. This study seeks to analize a case of a traditional house of the Dani people in Irian Jaya based on Egenter's approach. Findings has shown that social structure, living activities, religion and survivalship determine spatial patterns and form of the settlement."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1997
S48132
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Muis Wicaksono suryo
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009
S6022
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>