Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 129118 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sinta Dewi HTP
"Perkembangan teknologi modern membawa perubahan dalam dunia hukum, salah satu diantaranya yakni penggunaan audio visual (teleconference) dalam memberikan keterangan (kesaksian) di depan persidangan perkara pidana. Di satu sisi, penggunaan fasilitas ini merupakan terobosan positif dalam peradilan pidana di Indonesia, namun di sisi lain menimbulkan banyak kontroversi karena penyelenggaraan audio visual (teleconference) dalam pemeriksaan saksi tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), akan tetapi kenyataannya sarana tersebut dipakai untuk memeriksa saksi dalam persidangan perkara pidana diantaranya dalam perkara tindak pidana korupsi, pelanggaran HAM berat pasca jajak pendapat di Timor-Timur, dan perkara tindak pidana terorisme. Berangkat dari hal tersebut, penulis berusaha mengkaji mengenai pemanfaatan audio visual (teleconference) di persidangan dalam perkara pidana sebagai alat bukti keterangan saksi.
Dari data yang penulis peroleh, dalam praktek persidangan diijinkannya penggunaan audio visual (teleconference) dalam pemeriksaan saksi karena untuk menguji kebenaran dari keterangan saksi itu sendiri. Selain itu, dengan telah terbentuknya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang memberikan pilihan bagi saksi dalam memberikan kesaksiannya yang tidak harus hadir ke pengadilan tetapi dapat melalui sarana elektronik (Pasal 9). Pemeriksaan saksi melalui audio visual (teleconference) pada prinsipnya merupakan komunikasi langsung secara interaktif dimana para pihak satu sama lain dapat berdialog (tanya/jawab) walaupun masing-masing berada di tempat yang berbeda dan dapat bertatap muka meskipun melalui monitor/layar, dengan demikian keterangan saksi yang disampaikan melalui teknologi audio visual (teleconference) di depan persidangan pada dasarnya adalah sama dengan keterangan saksi yang diatur dalam ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Selain itu penggunaan audio visual (teleconference) juga telah memenuhi asas-asas umum yang berlaku pada hukum acara pidana.
Dengan demikian keterangan saksi melalui audio visual (teleconference) dapat dijadikan alat bukti yang sah sebagai alat bukti keterangan saksi, sepanjang saksi tersebut memenuhi syarat-syarat sebagai saksi, harus mengucapkan sumpah atau janji lebih dahulu (Pasal 160 ayat (3) jo. Pasal 185 ayat (7) KUHAP); dinyatakan secara lisan melalui alat komunikasi audio visual (teleconference) di muka sidang pengadilan (merupakan perluasan dari Pasal 185 ayat (1) KUHAP); Isi keterangan harus mengenai hal yang saksi lihat, dengar, dan alami sendiri, serta menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu (Pasal 1 angka 27 KUHAP) dan Keterangan saksi tersebut saling bersesuaian satu sama lain (Pasal 185 ayat (6) KUHAP). Penggunaan teknologi audio visual (teleconference) dalam pemeriksaan perkara pidana di sidang pengadilan memang masih menimbulkan beberapa kendala selain kendala teknis juga kendala karena belum ada kesamaan pandangan dalam menyikapi penggunaan audio visual (teleconference) ini, untuk itu pemerintah segera merevisi KUHAP terutama yang berkaitan dengan hukum pembuktian.

The development of modern technology to bring a change in the legal world, one of them the use of audio visual/teleconference to give testimony in the trial of criminal cases. On the one hand, the use of this facility is a positive breakthrough in criminal justice in Indonesia, but on the other hand caused much controversy due to the implementation of audio visual/teleconference in the examination of witnesses is not regulated in Criminal Procedure Code (KUHAP), but the fact means may be used to examine witnesses in the trial of criminal cases including cases of corruption, gross human rights violations after the popular consultation in Timor-Timur, and terrorism. Departing from this, the authors tried to examine the use of audio visual/teleconference in proceedings in criminal cases as evidence the testimony of witnesses.
From the data the authors obtained, in a trial practice in allowing the use of audio visual/teleconference in the examination of witnesses as to test the truth of the witness testimony itself. In addition, the formation has Law of Indonesia Number 13 Year 2006 on Witnesses and Victims Protection that provides an option for witnesses to provide testimony that does not have to present to the court but can be by electronic means (Article 9). Examination of witnesses through the audio visual/teleconference in principle is a direct interactive communication where the parties can engage in dialogue with one another (question / answer), although each are in different places and can even come face to face through the monitor/screen, with the statement witnesses are delivered via audio visual technologies (teleconference) before the trial is essentially the same as set forth in the statements of witnesses that the provisions of Article 184 paragraph (1) Criminal Procedure Code (KUHAP).
In addition, the use of audio visual/teleconference also meets the general principles that apply to criminal procedure. Thus, the statements of witnesses through the audio visual/teleconference can be used as valid evidence as evidence the witnesses testimony, all witnesses are to meet the requirements as a witness, took the oath or affirmation must be first (Article 160 paragraph (3) jo. Article 185 paragraph (7) Criminal Procedur Code/KUHAP); expressed verbally through audio visual means of communication (teleconference) before the trial court (an extension of Article 185 paragraph (1) Criminal Procedure Code/KUHAP); content information must be on the witness see, hear, and experience, and state the reason of his knowledge of it (Article 1 number 27 Criminal Procedur Code/KUHAP) and the witness are compatible with each other (Article 185 paragraph (6) Procedur Code/KUHAP). The use of audio visual technologies (teleconference) in the examination of criminal cases in court is still causing some problems in addition to the technical constraints because there is no obstacle too common view in addressing the use of audio visual/teleconference, for the government to revise the Procedur Code/KUHAP, especially relating to the law proof.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T30089
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Septiani Herlinda
"Skripsi ini membahas tentang analisa kekuatan pembuktian keterangan saksi anak atas tindak pidana asusila yang di hadapinya di persidangan. Kekuatan pembuktian keterangan saksi anak sebagai korban yang dapat digunakan ataupun dikesampingkan oleh Hakim sebagai alat bukti yang sah memicu suatu ketidakadilan bagi korban maupun keluarga korban. Penanganan yang terlambat ataupun tidak tepat dapat memberikan kendala-kendala dalam proses peradilan pidana terutama pada tahap persidangan. Adanya perbedaan penilaian kekuatan pembuktian bagi hakim membuat pencapaian tujuan hukum pun terkendala.
Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif. Dengan demikian, dibutuhkan sejauh mana kekuatan pembuktian keterangan yang diberikan oleh saksi anak sebagai korban pada tindak pidana asusila di persidangan pada setiap kasus yang ada. Selain itu juga dibutuhkan penanganan terhadap korban secara tepat dan cepat untuk mengatasi kendala dalam proses peradilan pidana.

This thesis discusses the analysis of the strength of evidence for child witnesses in criminal misconduct face him in court. The strength of evidence as a victim of child witness statements that can be used or set aside by the Court as valid evidence triggers an injustice to the victims and their families. Handling late or incorrectly may provide obstacles to the criminal justice process, especially at the trial stage. Assessment of differences in the strength of evidence for the judge to make the achievement of any law constrained.
The method used is the juridical normative. Thus, the extent to which the strength of evidence required information given by witnesses on the child as a victim of criminal misconduct in the trials in each of the cases. It also required the handling of victims appropriately and quickly to overcome the obstacles in the criminal justice process.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S42526
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Syafvan Rizki
"Teleconference sebagai cara yang digunakan untuk melindungi saksi pada saat memberikan keterangan di persidangan telah diatur dalam Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Teleconference juga bisa dikategorikan sebagai manifestasi bentuk perlindungan yang dapat diberikan kepada saksi pada kasus-kasus tertentu sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006. Akan tetapi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 ayat (2) bahwa semua bentuk perlindungan yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (1) baru dapat diberikan setelah adanya persetujuan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Sementara dalam Pasal 9 ayat (3) jo. Pasal 9 ayat (1), bahwa pemeriksaan saksi melalui teleconference baru dapat dilakukan setelah mendapat izin dari hakim. Skripsi ini menganalisis siapa sesungguhnya yang berwenang dalam menentukan apakah seorang saksi diperiksa melalui teleconference atau tidak, khususnya pada Persidangan Tindak Pidana Terorisme Atas Nama Terdakwa Abu Bakar bin Abud Ba?asyir Alias Abu Bakar Ba?asyir Nomor Register Perkara 148/Pid.B/2011/PN.JKT.Sel. Penelitian dalam skripsi ini menggunakan metode kepustakaan dengan metode pendekatan perudang-undangan dan pendekatan kasus.

Abstract
Teleconferencing as an option for protecting the witness when he or she gives his or her testimony on a trial has been regulated in article 9 paragraph (3) of Law No. 13/2006 about The Protection of Witness and Victim. Teleconferencing as a form of protection that may provided for witness in certain cases refers to article 5, paragraph (1) of Law No.13/2006. However, as article 5 paragraph (2) has determined that all forms of protection refers to article 5 paragraph (1) allowed only after the approval of Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) (The Body of Witness and Victim Protection). Although article 9 paragraph (3) jo. Article 9 paragraph (1) that the interrogation of witness via teleconference may be done only after receiving permission from the judge. This thesis mainly discussed about the authority to determine whether a witness examined via teleconference or not, especially on the trial of a terrorism crime in the name of offender Abu Bakar bin Abud Ba'asyir alias Abu Bakar Ba'asyir Case Number 148/Pid.B /2011/PN. JKT.Sel. This thesis is using the normative method research in statue approach and case approach."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S266
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Radinal
"Ketentuan mengenai saksi dalam hukum acara pidana di Indonesia yang selama ini diatur dalam Pasal 1 angka 26 dan 27, Pasal 65, Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4) serta Pasal 184 ayat (1) huruf a Undang-undang nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dinyatakan bertentangan dengan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum tetap melaui putusan Mahkamah Konstitusi nomor 65/PUU-VIII/2010. Dengan adanya putusan tersebut maka perlu dilihat bagaimana sifat dari putusan tersebut mempengaruhi baik kedudukan saksi dalam hukum acara pidana di Indonesia, maupun dalam hukum acara pidana pada umumnya, yang mana kedudukan saksi untuk dapat memberikan keterangan saksi dalam suatu perkara pidana dianggap cukup penting.

The provisions on witness in criminal procedure law in Indonesia provided in article 1 points 26 and 27, article 65, article 116 subsection (3) and subsection (4) and Article 184 subsection (1) letter a Law No. 8 of 1981 on the Law of Criminal Procedure (Indonesian Code of Criminal Procedure) is declared to be contrary to Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 and has no absolute legal force of law according to the Constitutional Court Award No. 65/PUU-VIII/2010. Following the ruling, the is necessity to see how the nature of the decision affects the position of witness both in criminal procedure law in Indonesia, as well as in the law of criminal procedure in general, considering the importance of the witness competence in giving testimony for the criminal trial."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S42816
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Munthe, Saut Erwin Hartono A.
"Penerapan Teleconference untuk penghadiran saksi dalam Persidangan Pidana menimbulkan perdebatan panjang. Disatu sisi perkembangan hukum ketinggalan jauh dengan perkembangan masyarakat, apalagi bila diperbandingkan dengan kemajuan teknologi sedangkan disisi lainnya, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana {KUHAP} sebagai basis acara Pemeriksaan Perkara Pidana tidak mengaturnya. Pasal 185 KUHAP ayat (1) yang isinya sebagai berikut "keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan". Kalimat yang saksi nyatakan di sidang pengadilan inilah yang menjadi titik tolak perdebatan. Disatu pihak mengatakan bila saksi tidak hadir langsung secara fisik kedepan persidangan kesaksiannya tidak sah, di pihak lain menyatakan bahwa dengan teleconference saksi sudah hadir dipersidangan, karena keterangan saksi tetap dapat di Cross-Check oleh kedua belah pihak dan fisik saksi dapat dilihat pada layar monitor yang ada. Berkaitan dengan permasalahan hukum pembuktian, tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah untuk memecahkan permasalahan yang ada mengenai teleconference sebagai salah satu alat bukti dalam memeriksa keterangan saksi, khususnya kekuatan bukti keterangan saksi melalui teleconference dan legalitas prosedur pemeriksaan jarak jauh melalui teleconference. Permasalahan hukum pembuktian Teleconference terkait dengan kekuatan bukti dan kekuatan pembuktian tidak bertentangan dengan asas-asas hukum pidana dan peraturan perundang-undangan yang ada. Ada beberapa asas-asas umum yang berlaku dalam hukum acara pidana yaitu asas terbuka secara umum, asas pemeriksaan secara langsung,asas peradilan cepat, sederhara, dan biaya ringan,asas kelangsungan/oral debat. Penggunaan teleconference sudah memenuhi syarat materiil dan syarat formil KUHAP. Dalam syarat formil tidak terlihat adanya hambatan, kecuali pasal 185 ayat (1), Penerapan Teleconference justru menutupi kelemahan Pasal 162 KUHAP karena dengan teleconference maka tetap dilakukan dialog dan tanya jawab serta melihat emosi saksi selama memberikan keterangan. Padoaharuan hukum pembuktian terutama dikaitkan dengan legalitas prosedur pemeriksaan jarak jauh mutlak dilakukan karena beberapa Undang-undang sebenarnya telah memasukkan dokumen elektronik sebagai alat bukti seperti RUU Informasi dan Transaksi Elektronik, RUU Perlindungan Saksi, UU Tindak Pidana Pencucian Uang, UU Pemberantasan Korupsi, UU Terorisme. Berkaitan dengan hal itu KUHAP sebagai "UU Payung" mestinya mengakomodasi Perkembangan Alat Bukti modern khususnya Teleconference sebagai data Elektronika."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
T19806
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Olivia Helen Fernandez
"[Notaris merupakan pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik. Akta otentik yang dibuat oleh Notaris wajib memenuhi syarat formil dan syarat materiil untuk memenuhi sifat otentiknya, agar dapat mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat dan sempurna. Pokok permasalahan dari tesis ini adalah bagaimana implikasi akta pencabutan keterangan saksi yang dibuat oleh Notaris terhadap
keterangan saksi yang sebelumnya telah diberikan di dalam persidangan, dan bagaimanakah tanggung jawab seorang Notaris bilamana akta yang dibuatnya tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian.Untuk menjawab permasalahan tersebut, penelitian dilakukan secara Yuridis Normatif dan menyatukan dengan
pola pikir deduktif analisis yang bersumber pada kebenaran koheren. Data yang digunakan adalah Data Sekunder yang terdiri dari Bahan Hukum Primer dan Bahan Hukum Sekunder. Hasil Penelitian ini adalah akta pencabutan keterangan saksi tidak dapat digunakan untuk mencabut keterangan yang telah diberikan sebelumnya di dalam persidangan di bawah sumpah dan atas akta yang tidak mempunyai nilai pembuktian karena kehilangan otentisitasnya, Notaris dapat
dimintakan ganti kerugian, peringatan tertulis, sampai dengan pemberhentian secara tidak hormat.;Notary is a public official who authorized to make an authentic deed. An authentic deed of Notary must fulfill both formal and material requirements to meet its
authentic nature, in order to have the strength of evidence which is strong and perfect. The subject matter of this thesis are about how the implication of the deed of revocation of witness testimony by Notaries deed affect the witness testimony that had previously been given in court and how is the notary responsibilities for the deed that does not have the evidentiary value. To answer these problems, research conducted in Normative method and unite it with deductive analysis
which is based on coherent truth. The writer using Secondary Data consist of Primary Legal Materials and Secondary Legal Materials. For the result, this research shows that The Deed of Revocation of Witness Testimony can not be used to revoke the previous given testimony which is given under the vow and for the deed that has no evidentiary value because it loses its authenticity, a Notary may be charged to compensate , be given of a written warning, up to dismissal in
disgrace;Notary is a public official who authorized to make an authentic deed. An authentic deed of Notary must fulfill both formal and material requirements to meet its authentic nature, in order to have the strength of evidence which is strong and perfect. The subject matter of this thesis are about how the implication of the deed of revocation of witness testimony by Notaries deed affect the witness testimony
that had previously been given in court and how is the notary responsibilities for the deed that does not have the evidentiary value. To answer these problems, research conducted in Normative method and unite it with deductive analysis which is based on coherent truth. The writer using Secondary Data consist of Primary Legal Materials and Secondary Legal Materials. For the result, this research shows that The Deed of Revocation of Witness Testimony can not be used to revoke the previous given testimony which is given under the vow and for
the deed that has no evidentiary value because it loses its authenticity, a Notary may be charged to compensate , be given of a written warning, up to dismissal in disgrace;Notary is a public official who authorized to make an authentic deed. An authentic
deed of Notary must fulfill both formal and material requirements to meet its
authentic nature, in order to have the strength of evidence which is strong and
perfect. The subject matter of this thesis are about how the implication of the deed
of revocation of witness testimony by Notaries deed affect the witness testimony
that had previously been given in court and how is the notary responsibilities for
the deed that does not have the evidentiary value. To answer these problems,
research conducted in Normative method and unite it with deductive analysis
which is based on coherent truth. The writer using Secondary Data consist of
Primary Legal Materials and Secondary Legal Materials. For the result, this
research shows that The Deed of Revocation of Witness Testimony can not be
used to revoke the previous given testimony which is given under the vow and for
the deed that has no evidentiary value because it loses its authenticity, a Notary
may be charged to compensate , be given of a written warning, up to dismissal in
disgrace, Notary is a public official who authorized to make an authentic deed. An authentic
deed of Notary must fulfill both formal and material requirements to meet its
authentic nature, in order to have the strength of evidence which is strong and
perfect. The subject matter of this thesis are about how the implication of the deed
of revocation of witness testimony by Notaries deed affect the witness testimony
that had previously been given in court and how is the notary responsibilities for
the deed that does not have the evidentiary value. To answer these problems,
research conducted in Normative method and unite it with deductive analysis
which is based on coherent truth. The writer using Secondary Data consist of
Primary Legal Materials and Secondary Legal Materials. For the result, this
research shows that The Deed of Revocation of Witness Testimony can not be
used to revoke the previous given testimony which is given under the vow and for
the deed that has no evidentiary value because it loses its authenticity, a Notary
may be charged to compensate , be given of a written warning, up to dismissal in
disgrace]"
Universitas Indonesia, 2015
T44627
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Hajar Zunaidi
"Rancangan KUHP dan Rancangan KUHAP telah mengadopsi mekanisme penyelesaian perkara di luar proses yakni pada Pasal 145 R-KUHP dan Pasal 42 R-KUHAP, sebagai suatu kebijakan pidana (penal policy) untuk menanggulangi peningkatan jumlah perkara yang bersifat ringan yang membebani sistem peradilan pidana dan anggaran negara. Meskipun demikian, masih ada permasalahan utama terkait upaya memperluas penerapan mekanisme penyelesaian perkara di luar proses atau afdoening buiten proces dalam sistem peradilan pidana Indonesia yakni belum siapnya sistem hukum pidana Indonesia untuk melaksanakannya. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan pemahaman secara komprehensif tentang pertimbanganpertimbangan yuridis sebagai dasar kebijakan pidana (penal policy) untuk memperluas penerapan mekanisme transaksi atau afdoening buiten proces dari pasal 82 KUHP, hal-hal yang harus dipenuhi sebagai prasyarat, serta tentang kriteria-kriteria tindak pidana yang dapat diselesaikan dengan menerapkan mekanisme transaksi atau afdoening buiten proces. Tipe penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif, namun untuk memperkuat argumen normatif, peneliti juga telah mendapatkan argumen praktis-sosiologis tentang urgensi perluasan penerapan afdoening buiten proces dalam sistem peradilan pidana terpadu dengan cara melakukan wawancara terstruktur dengan nenek Aminah, Aguswandi, dan Kholil yang telah menjalani proses hukum acara pidana karena tindak pidana yang bersifat ringan. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa Pertimbanganpertimbangan yuridis sebagai dasar kebijakan pidana memperluas penerapan mekanisme penyelesaian perkara di luar proses atau afdoening buiten proces dalam sistem hukum pidana Indonesia adalah sebagai wujud implementasi asas oportunitas yang dimiliki penuntut umum, sesuai dengan asas peradilan pidana yang cepat, sederhana, dan biaya ringan, relevan dengan konsep restorative justice yang sekarang ini berkembang, sebagai bagian dari upaya desain ulang sistem peradilan pidana, sebagai alternatif untuk pidana penjara singkat, dan sebagai langkah terobosan hukum untuk pemberantasan tindak pidana korupsi. Sedangkan hal-hal yang harus dipenuhi sebagai prasyarat memperluas penerapan mekanisme penyelesaian perkara di luar proses adalah dalam hukum acara pidana harus dirumuskan mekanisme penyelesaian perkara di luar proses yang cocok bagi sistem hukum Indonesia yakni dalam bentuk transaksi, pola transaksi, lembaga pelaksana transaksi, prinsip-prinsip pelaksanaan transaksi, dan hal-hal teknis lainnya. Terakhir, kriteria-kriteria tindak pidana yang dapat diselesaikan dengan menggunakan mekanisme transaksi adalah (pertama) kriteria yang bersifat subyektif seperti umur pelaku, kondisi fisik dan mental, mens rea, serta kondisi, sikap,atau tindakan pelaku setelah terjadinya tindak pidana, dan (kedua) kriteria yang bersifat obyektif seperti derajat tercelahnya perbuatan, derajat kerusakan atau kerugian yang ditimbulkan, jenis tindak pidana (kejahatan atau pelanggaran), ancaman pidana dalam pasal yang dilanggar, serta faktor kepentingan umum.

The draft Criminal Code and Criminal Procedure Code has adopted the draft resolution mechanisms criminal case settlement outside the trial process on Article 145 of the Penal Code and Article 42 R-KUHAP, as a penal policy to cope with an increasing number of mild cases that burden the criminal justice system and the budget countries. Nevertheless, there are still major issues related to efforts to expand the application of criminal case settlement outside the trial process or afdoening buiten proces in the criminal justice system that is unprepared Indonesian criminal justice system to implement. Therefore, this study aims to gain a comprehensive understanding of legal considerations as a basis for penal policy extending the application of the criminal case settlement outside the trial process of Article 82 of the Criminal Code, the things that must be met as a prerequisite, as well as on the criteria?s crimes that can be solved by applying the criminal case settlement outside the trial process. Type of research is a normative juridical studies, but to strengthen the normative argument, researchers also have a practical-sociological argument about the urgency of expanding the application of afdoening buiten proces in the integrated criminal justice system by means of structured interviews with Amina, Aguswandi, and Kholil who had undergone criminal proceedings for criminal acts that are minor. The results of this study concluded that the legal considerations as a basis for penal policy of extending the application criminal case settlement outside the trial process in Indonesian criminal law system is as a form of implementation of the opportunity principle that the prosecution had, in accordance with the principle of criminal justice is quick, simple , and low cost, relevant to the concept of restorative justice are the present developed, as part of efforts to redesign the criminal justice system, as an alternative to short jail, and as a legal breakthrough for the eradication of corruption. While the things that must be met as a prerequisite for extending the application criminal case settlement outside the trial process is in the Criminal Procedure Code must be formulated the criminal case settlement outside the trial process which is suitable for the Indonesian legal system that is in the form of transactions, patterns of transactions, the implementing agency transactions, principle-principle of the transaction, and other technical matters. Finally, the criteria's crimes that can be solved by using a transaction mechanism is the (first) subjective criteria such as offender age, physical condition and mental, mens rea, as well as the conditions, attitudes, or actions of the perpetrator after the crime, and (second ) are objective criteria such as degrees of flawed act, the degree of damage or loss incurred, the type of crime (felony or offense), the threat of criminal in the article are being violated, as well as public interest factors."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T30093
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 1996
S21907
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bima Bijak Prasetyo
"Kajian awal Disaster preparedness. Disaster preparedness merupakan sebuah panduan tertulis berisi langkah-langkah mulai dari persiapan menghadapi bencana samapi pemuliah koleksi. PT TMP merupakan institusi bisnis yang aset pentingnya berada pada Library Audio Visual berupa koleksi videotape. Banyaknya ancaman bencana yang terjadi di Indonesia membuat panduan ini sangat penting diterapkan untuk menjaga keberlanjutan kegiatan bisnis mereka. Permasalahan yang muncul ketika Library Audio visual PT TMP tidak memiliki disaster preparedness mengakibatkan kerusakan 335 videotape karena terendam air pada bencana banjir awal Februari 2007. Bagaimanakah bentuk manual disaster preparedness yang ideal dapat diterapkan oleh Librari audio Visual PT. TMP. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif berbentuk studi kasus dengan pendekatan kualitatif, dan pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara, obervasi, studi pustaka. Informan yang diwawancara merupakan personal yang bertanggung jawab dan paham tentang kegiatan Library Audio Visual PT. TMP. Dalam penelitian ini diusulkan sebuah usulan disaster preparedness untuk diterpkan oleh Library Audio Visual PT. TMP. Usulan disaster preparedness Library Audio Visual PT. TMP (lampiran 4) terdiri dari kata pengantar, prevention (pencgahan), response (tanggapan), reaction (tindakan), recovery (pemulihan)."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2008
S15183
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Fauzie & Partners, 2004
347.06 KEA (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>