Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 148801 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Hanro Yonathan Lekitoo
"Kelompok etnik Kayo Pulau dan kelompok etnik asli lainnya di teluk Humboldt, Kota Jayapura adalah rumpun kelompok etnik yang oleh Keesing disebut sebagai masyarakat tribal, masyarakat tanpa ekonomi sentral dan politik sentral. Kelompok etnik di sana dapat dikategorikan sebagai masyarakat pra-industri oleh Lewellen, dengan tipe masyarakat yang oleh Fried disebut rank society. Sejarah Perang Dunia Kedua membawa kelompok-kelompok etnik di Kota Jayapura segera masuk dalam dunia modern, di mana kehadiran Tentara Jepang 1942 dan Sekutu 1944 membuka berbagai infrastruktur perang di sana. Setelah hengkangnya Pemerintah Belanda, dan Papua kembali ke Pangkuan NKRI 1963, hingga kini Kota Jayapura menjadi salah satu daerah yang lebih maju dan sangat polietnik, oleh karena itu sering disebut sebagai Indonesia mini.
Kajian mengenai relasi antar-kelompok etnik dilakukan di Kampung Kayo Pulau kira-kira 3 tahun lamanya, yakni 2015-2018. Penelitan dengan metode etnografi, di mana teknik observasi partisipasi, wawancara, serta studi literatur dari berbagai sumber digunakan. Analisis selain Kampung Kayo Pulau, juga diangkat ke tingkat Kota Jayapura dan Kabupaten Jayapura di mana karakter sosial budaya penduduknya mirip.
Konsep utama yang dipakai pada kajian ini adalah konsep etnisitas dari Barth dan Eriksen, di mana relasi antar-etnik bersifat mencair dan konstruktif. Namun demikian penekanan dari Barth lebih pada relasi individu dan keluarga dalam perspektif ekologi dan demografi. Sedangkan Eriksen lebih kepada konteks kesejarahan. Dalam kaitan relasi antar-etnik orang Kayo Pulau dengan kelompok etnik lainnya di Kota Jayapura, saya mencermati empat konteks, yakni kekerabatan, ekonomi, politik dan keagamaan. Dalam kaitan dengan keempat konteks tersebut, sifat inklusif orang Kayo Pulau dan kelompok-kelompok etnik asli di Kota Jayapura yang mana selalu mencari persamaan dan merangkul kelompok etnik lainnya, merupakan nilai-nilai penting dalam mempertahankan kehidupan yang toleran dan harmonis.
Kini penduduk asli Kota Jayapura hanya 3,71 persen dan orang Kayo Pulau di kampungnya hanya 24,6 persen. Namun mereka mampu bertahan dan beradaptasi di tengah pusaran modernisasi, serta dalam konteks masyarakat yang polietnik dan berbagai tuntutan kehidupan dengan mengedepankan relasi antar-kelompok etnik, baik dalam konteks kekerabatan, ekonomi, politik dan keagamaan.

The Kayo Pulau ethnic group and other indigenous ethnic groups in the Humboldt bay, Jayapura City are groups of ethnic groups that Keesing refers to as tribal communities, communities without a central economy and central politics. Those ethnic groups can be categorized as pre-industrial societies by Lewellen, with the type of society that Fried calls rank society. The history of the Second World War brought ethnic groups in the city of Jayapura immediately into the modern world, where the presence of the Japanese Army in 1942 and the Allies of 1944 opened various war infrastructures there. After the departure of the Dutch Government and Papua returned to Indonesia in 1963, until now Jayapura has become one of the most developed region and become a highly polyethnical region. The development and the diversity of Jayapura city make this city called Little Indonesia.
The study of relations between ethnic groups in Kampung Kayo Pulau is conducted approximately 3 years, between 2015-2018. The research is done using ethnographic methods, with participatory observation techniques, interviews, and literature studies from various sources are used. The analysis proccess is done other than Kampung Kayo Pulau, is also raised to the level of Jayapura City and Jayapura Regency where the socio-cultural character of the population is similar
The main concept used in this study is the concept of ethnicity from Barth and Eriksen, where inter-ethnic relations are melting and constructive. However, the emphasis of Barth’s concept is on the relations of individuals and families in an ecological and demographic perspective. Whereas Eriksen’s is more on the historical context. The inter-ethnic relations of the Kayo Pulau people with other ethnic groups in Jayapura City, I look at four contexts, those are kinship, economy, politics and religion. In relation to these four contexts, the inclusive nature of Kayo Pulau and indigenous ethnic groups in Jayapura City which always seek equality and embrace other ethnic groups, are important values ​​in maintaining a tolerant and harmonious life.
Today, the native population of Jayapura City is only 3.71 percent and Kayo Pulau is only 24.6 percent. However, they are able to survive and adapt in the midst of a vortex of modernization, multi-ethnic context and various demands of life by prioritizing relations between ethnic groups, both in the context of kinship, economy, politics and religion.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Penelitian ini mengkaji fitur dan dinamika sistem kekerabatan perkawinan dalam realitas sosial budaya kelompok etnis Manggarai (KEM). Penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian deskriptif...."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Rubiana Soeboer
"ABSTRAK
Penelitian mengenai persepsi ketidak adilan berdasarkan stratifikasi mayoritas-minoritas ini disusun berdasarkan konstruksi teoritik mengenai stratifikasi sosial yang ada di masyarakat (Jeffries dan Ransford, 1980). Menurut Jeffries dan Ransford, stratifikasi sosial di masyarakat secara hirarkis terdiri dari stratifikasi kelas (aset ekonomi, posisi pekerjaan, tingkat pendidikan, dan gaya hidup), etnik, jenis kelamin, dan usia. Stratifikasi sosial yang ada di masyarakat akan membedakan mereka yang berada pada posisi manoritas (kelompok yang menguasai surplus kekuasaan, kekayaan, previlegi, dan prestise) dan mereka yang berada pada posisi minoritas (kelompok yang kurang memiliki aset kekuasaan, kekayaan, previlegi, dan prestise). Secara obyektif diasumsikan bahwa mereka yang berada pada posisi minoritas akan merasakan adanya ketidak adilan yang berkaitan dengan distribusi sumber daya ini. Namun demikian, kondisi obyektif ini tidak selalu ada pada semua kelompok masyarakat. Pada masyarakat dengan budaya tertentu seperti budaya Jawa, persepsi ketidak adilan yang dirasakan oleh kelompok minoritas (kelas bawah) tergantung pada hubungan baik (kekerabatan) antara kelompok kelas ini dengan si pelaku.
Dalam studi ini, di samping kondisi obyektif dan subyektif, tipe "distribusi reward" serta sumber pertukaran dalam interaksi mayoritas-minoritas juga perlu dilihat. Alasannya adalah tipe "distribusi reward" yang ada di masyarakat terkait dengan setting kultural di mans individu tersebut berada. Dalam studi ini
diasumsikan bahwa subyek penelitian balk Jawa maupun Cina melakukan "ditribusi reward" yang equity. Bila "equity" dalam kelompok Jawa berarti adanya pola pertukaran yang tidak sejajar antara atasan bawahan sesuai dengan input yang diberikan oleh masing-masing pihak, maka dasar "equity" kelompok Cina adalah input yang berupa kapasitas pribadi (uang yang diiniliki, informasi, atau barang).
Berdasarkan asumsi teoritik di atas, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah teori tersebut sesuai bila diterapkan pada kondisi masyarakat Indonesia khususnya Jakarta yang terpilah berdasarkan (1) variabel stratifikasi kelas, yaitu kelas menengah sebagai kelompok mayoritas dan kelas bawah kelompok minoritas, (2) variabel stratifikasi etnik, yaitu kelompok etnik Jawa sebagai kelompok mayoritas dan kelompok Cina sebagai kelompok etnik minoritas, dan (3) interaksi antara variabel stratifikasi kelas dan variabel stratifikasi etnik. Diasumsikan bahwa ketiga variabel penentu di atas akan berpengaruh terhadap persepsi subyek penelitian mengenai pengalaman yang dianggapnya tidak adil. Di samping pengaruh kondisi obyektif struktur mayoritas-minoritas, kondisi subyektif yaitu nilai-nilai budaya tradisional juga ikut berpengaruh terhadap persepsi subyek penelitian.
Sampel penelitian yang diambil adalah 200 sampel penelitian masyarakat Jakarta dewasa (berusia 21 tahun ke atas) dan telah bekerja. Jumlah sampel tersebut terbagi menjadi 100 subyek Jawa golongan menengah dan golongan bawah, dan 100 subyek Cina golongan menengah bawah.
Alat ukur disususun berdasarkan teori dan klasterisasi yang telah dibuat oleh Mikula dkk. (1990).
Secara keseluruhan hasil-studi ini menunjukkan bahwa:
Pada kelompok kelas menengah dan bawah persepsi subyek tidak semata-mata dipengaruhi oleh kondisi obyektif mereka dalam stratifikasi sosialnya, melainkan ia juga dipengaruhi oleh kondisi subyektif mereka yaitu nilai-nilai budaya tradisional yang
mengutamakan hubungan baik antara subyek dengan pelaku ketidak adilan. Pada kelompok Jawa, persepsi tersebut dipengaruhi oleh nilai-nilai subyektif budaya tradisional subyek yaitu nilai-nilai kekerabatan. Pada kelompok Cina, persepsi subyek dipengaruhi kondisi obyektif mereka dalam stratifikasi sosialnya. Pada masyarakat Jakarta baik kelompok Jawa maupun Cina, terdapat kecenderung untuk mempraktekkan "distribusi reward" negatif bilamana kelompok tersebut dalam interaksinya berada pada posisi super-ordinat.
Tujuan studi ini, selain untuk mengetahui masalah ketidak adilan pada masyarakat yang terstruktur berdasarkan stratifikasi mayoritas minoritas, studi ini juga dilakukan untuk membentuk klaster ketidak adilan yang khas Indonesia khususnya Jakarta.
Berdasarkan hasil studi ini, ternyata pertama, tipe ketidak adilan yang dominan muncul adalah adanya perlakuan sewenang-wenang atasan di tempat kerja, perlakuan sewenang-wenang figur otoritas pegawai pemerintah, dan perlakuan tidak adil oleh atasan di tempat kerja dalam hal distribusi barang dan keuntungan. Kedua,masalah diskriminasi seks bagi wanita dan diskriminasi etnik baik bagi kelompok etnik Jawa maupun.kelompok etnik Cina muncul sebagai salah satu tipe ketidak adilan yang ada di Jakarta.
Berdasarkan hasil studi ini, saran yang dapat diberikan mencakup dua hal, yang pertama saran yang dapat diberikan seandainya dilakukan penelitian berikutnya yang menyangkut topik penelitian ini, dan yang kedua saran aplikatif yang dapat diterapkan oleh pihak-pihak yang membutuhkannya.
"
1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: UI-Press, 1988
305.8 KEL
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
cover
Darwis
"Studi ini mencoba mengungkap fenomena hubungan sosial antara etnik Cina dengan etnik Bugis-Makassar di kotamadya Ujungpandang, dengan fokus studi pada pola hubungan sosial, yang berlangsung di lingkungan pemukiman (tempat tinggal) dan di lingkungan tempat kerja; berupa pola perilaku etnik Cina dengan Bugis-Makassar di dalam bekerjasama, bersaing, berkompetisi, dan berasimilasi serta berakulturasi, hingga mencapai suatu hubungan sosial yang serasi. Konsep keserasian hubungan sosial yang dipergunakan dalam studi ini, secara teoritis diartikan sebagai suatu kualitas hubungan, antara dua kelompok yang berinteraksi, terlibat dalam suatu proses prilaku, bersifat dinamis dan keduanya berusaha mempertahankan kelangsungan hubungan yang dibina, serta menciptakan perubahan-perubahan dari hubungan mereka, serta interaksi yang terjadi mengandung makna relasi.
Penelitian dilakukan di Kotamadya Ujungpandang pada tahun 1992. Temuan penelitian berupa faktor potensial dan riel .yang mendorong dan menghambat keserasian hubungan sosial antara etnik Cina dengan Bugis-Makassar, dalam aktivitas komunal (berupa hubungan ketetanggaan, dan partisipasi. dalam berbagai kegiatan yang terselenggara, beserta konflik yang timbul), dan aktivitas di tempat kerja. Keserasian sosial melalui aktivitas komunal, menunjukkan bahwa kedua belah pihak memiliki tingkat keserasian hubungan sosial yang serasi. Dan pada hubungan yang berlangsung di tempat kerja, (tata cara merekrut tenaga kerja, serta penilaian kedua etnik dalam kapasitasnya sebagai majikan pekerja), menunjukkan tingkat keserasian hubungan sosial yang serasi namun bersyarat. Hal ini disebabkan oleh karena etnik Cina memandang etnik Bugis-Makassar, adalah sebagai suatu sosok manusia yang dapat diajak bekerjasama bahkan bersaing dalam kegiatan ekonomi. Akan tetapi sebaliknya, etnik Bugis-Makassar, memandang etnik Cina, tidak lebih, sebagai kelompok yang menguasai sumberdaya ekonomi, alat produksi (pemilik modal serta menguasai pasar perekonomian, khususnya di kota Ujungpandang).
Selain itu, kerap pula terjadi benturan-benturan (konflik), baik di lingkungan tempat tinggal maupun di tempat kerja yang merupakan warna lain dari hubungan sosial etnik Cina dengan Bugis-Makassar. Konflik-konflik yang muncul pada awalnya bersumber pada hal yang sifatnya sepele, hingga akhirnya menjadi konflik terbuka. Hal ini apabila dibiarkan begitu saja, tidak menutup kemungkinan akan mengancam stabilitas masyarakat. Konflik-konflik ini adalah merupakan suatu faktor potensial yang dapat menghambat keserasian hubungan sosial antara etnik Cina dengan Bugis-Makassar.
Tak kalah penting yang mendorong terciptanya hubungan sosial di lingkungan pemukiman, adalah tidak terlepas dari peran para pimpinan formal dan informal, dalam upaya mendorong interaksi etnik Cina dengan Bugis-Makassar di dalam kegiatan yang berlangsung di lingkungan pemukiman, agar tercapai suatu keserasian hubungan sosial di lingkungan pemukiman. Usaha tersebut adalah melibatkan etnik Cina dengan Bugis-Makassar secara bersamaan dalam kegiatan-kegiatan komunal. Usaha para pimpinan ini merupakan faktor yang bersifat nyata untuk mewujudkan suatu keadaan dimana etnik Cina dan Bugis-Makassar dapat hidup berdampingan, saling menghormati privacy masing-masing, sehingga nantinya teruwujud masyarakat yang tenteram, dan tidak lagi dibayangi oleh adanya perasaan "etnosentrisme" yang mendalam.
Selain yang disebutkan di atas, ada hal yang menarik dari hubungan sosial etnik Cina dengan Bugis-Makassar, yaitu rentang waktu hubungan, tingkat pendidikan, tingkat penghasilan, yang berperan serta bahkan mewarnai pola tindakan/prilaku kedua etnik, manakala terlibat dalam kegiatan-kegiatan komunal. Etnik Cina yang sudah lama hidup bertetangga, berkecenderungan untuk tidak sering mengunjungi tetangga. Sebaliknya etnik Bugis-Makassar, yang berpendidikan dan berpenghasilan rendah, berkecenderungan untuk selalu membuka diri untuk bergaul dengan etnik Cina. Namun, etnik Bugis-Makassar yang berpendidikan tinggi, berkecenderungan menutup diri terhadap etnik Cina. Hal lain dari etnik Cina, adalah bentuk partisipasi mereka pada kegiatan sekuler (kegiatan meronda/bekerja bakti/peringatan hari Nasional), cenderung berpartisipasi dalam bentuk materi atau barang.
Meskipun tampak bahwa hubungan sosial etnik Cina dengan Bugis-Makassar di lingkungan tempat tinggal menunjukkan intensitas pertemuan fisik lebih rendah dibanding di lingkungan tempat kerja, namun potensi (latent) konflik menunjukkan kecenderungan yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh masih terdapat perasaan "ketidakpuasan" akan keterlibatan etnik Cina dalam kegiatan komunal yang berupa materi. Harapan etnik Bugis-Makassar adalah selain keterlibatan materi, juga hendaknya sesekali berpartisipasi terlibat langsung, sehingga dapat tercipta dialog (komunikasi) antara etnik Cina dengan Bugis-Makassar.
Dengan demikian studi tentang telaah terhadap hubungan antar kelompok etnik (Cina-Pribumi), merupakan suatu studi yang menantang pada saat ini, khususnya dalam suasana kekhawatiran orang untuk meneliti soal SARA. "
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1993
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>