Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 118968 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Perluasan yurisdiksi pidana berdasar
kan asas teritorial meliputi yurisdiksi ekstra
teritorial di darat, yurisdiksi ekstra teritorial di
laut dan yurisdiksi ekstra teritorial di udara
Perluasan yurisdiksi pidana di wilayah darat
muncul dengan adanya ?Extra Territoriality
theory ? yang menimbulkan dua yurisdiksi yaitu
yurisdiksi negara penerima dan yurisdiksr]
dalarn Konvensi Wina 1961 tentang hubungan
diplomatik.
"
Hukum dan Pembangunan Vol. 30 No. 1 Januari-Maret 2000 : 7-19, 2000
HUPE-30-1-(Jan-Mar)2000-7
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
"makalah ini didasarkan pada masalah makalah-makalah penulis yang disampaikan di Lemhanas dengan judul menyempurnakan penetapan batas wilayah NKRI guna memantapkan kesatuan wilayah dalam menjalin kepentingan nasional."
300 MHN 1:1 2006
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Binanda Afia Millenia
"Perbedaan antara penegakan hukum maritim dan use of force di wilayah yurisdiksi negara pantai sama rumitnya dalam hukum internasional dan juga mendasar dalam praktiknya. Putusan arbitrase kasus Guyana/Suriname serta putusan pengadilan kasus M/V Saiga (No. 2) dan M/V Virginia G menjadi sangat signifikan dalam hal ini karena pengadilan-pengadilan tersebut harus mempertimbangkan beberapa pertanyaan penting yang melibatkan kategorisasi tindakan paksa di laut. Penelitian skripsi ini akan menawarkan beberapa refleksi awal tentang apa yang dianggap sebagai aspek kunci dari perbedaan antara penegakan hukum maritim dan use of force di wilayah yurisdiksi negara serta bagaimana seharusnya implementasi penegakan hukum yang diatur di dalam 1982. Berdasarkan penelitian hukum normatif yang dilakukan, tindakan use of force pada penegakan hukum di wilyayah yurisdiksi negara merupakan suatu hal yang tidak dilarang, namun harus sesuai dengan prinsip-prinsip necessity, unavoidability, dan reasonableness. Use of force dalam konteks ini juga harus dianggap sebagai kasus lex specialis dan tidak termasuk dalam lingkup larangan umum use of force di bawah pasal 2 (4) Piagam PBB.

The distinction between maritime law enforcement and the use of force in the jurisdiction of a coastal state is as complex in international law as it is fundamental in practice. The Guyana/Suriname arbitration award and the judgments of the M/V Saiga (No. 2) and the M/V Virginia G cases have been significant in this regard since the tribunal had to consider several important questions involving the categorization of forcible action at sea. This thesis research will offer some initial reflections on what are considered the key aspects of the difference between maritime law enforcement and the use of force in the jurisdiction of a coastal state and how law enforcement should be implemented as regulated in the United Nations Convention on the Law of the Sea 1982. Based on normative legal research conducted, use of force in law enforcement in the jurisdiction of a coastal state is something that is not prohibited, but must comply with the principles of necessity, unavoidability, and reasonableness. The use of force in this context must be considered as a lex specialis case and does not fall within the scope of the general prohibition of use of force under article 2 (4) of the UN Charter."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ika Wulan Priyanti
Depok: Universitas Indonesia, 1999
S25819
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marimin
"Tindak pidana perikanan (illegal fishing) di Exclusive Economic Zone atau Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) menjadi salah satu isu global yang dihadapi oleh negara-negara didunia. Indonesia juga terkena dampaknya adanya tindak pidana perikanan (illegal fishing) antara lain kerugiann yang cukup besar, kerusakan ekosistem dan sumber daya perikanan di laut serta menyangkut hak kedaulatan negara Indonesia. Tesis ini membahas ketentuan tindak pidana perikanan (illegal fishing), penerapan yurisdiksi negara dan upaya yang dilakukan untuk menanggulangi dan mengadili tindak pidana perikanan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dengan spesifikasi penelitian deskriptif analitis dalam rangka mengetahui penerapan yurisdiksi negara untuk menanggulangi dan mengadili tindak pidana perikanan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Ketentuan Hukum Internasional dan Hukum Nasional telah mengatur kewenangan Indonesia sebagai negara pantai menerapkan yurisdiksi negara untuk mengadili dan menanggulangi tindak pidana perikanan di Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI). Dalam penegakan hukum terdapat titik kelemahan yaitu hukuman negara pantai yang dijatuhkan terhadap pelanggaran perundang-undangan perikanan di ZEE tidak boleh mencakup pengurungan, jika tidak ada perjanjian sebaliknya antar negara yang bersangkutan atau setiap bentuk hukum badan lainnya. Upaya yang dapat dilakukan kerjasama internasional maupun asean dan patroli bersama antar aparat penegak hukum di ZEEI.

Fisheries (illegal fishing) in the Exclusive Economic Zone (EEZ) is one of the global issues faced by countries in the world. Indonesia is also affected by the occurrence of fisheries crime (illegal fishing), including significant losses, damage to ecosystems and fisheries resources in the sea and concerning the sovereign rights of Indonesia. This thesis discusses the provisions of fisheries crime (illegal fishing), the application of state jurisdiction and efforts made to tackle and adjudicate fisheries crime using a normative juridical approach method with analytical descriptive research specifications in order to know the application of state jurisdiction to tackle and adjudicate fisheries crime in Indonesian Exclusive Economic Zone. The provisions of International Law and National Law have regulated Indonesia's authority as a coastal state to apply state jurisdiction to prosecute and tackle fisheries in the Indonesian Exclusive Economic Zone (ZEEI). In law enforcement there is a weakness point, namely that the coastal state punishment imposed on violations of fisheries legislation in the EEZ may not include confinement, if there is no reverse agreement between the countries concerned or any other form of legal entity. Efforts can be made both international and ASEAN cooperation and joint patrols between law enforcement officers in ZEEI.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Hukum Internasional mengajarkan beberapa cara perluasan wilayah negara, yaitu pendudukan, aneksasi, sesi, akresi dan preskripsi. Perluasan wilayah negara dengan cara-cara klasik ini sering menimbulkan konflik antar negara yang penyelesaiannya biasanya berlarut-larut, kecuali akresi. Sebenarnya sejak tahun 1982, masyarakat internasioanl telah menyetujui suatu cara perluasan wilayah negara, yaitu melalui "United Nations Convention on the Law of the Sea". Perluasan wilayah negara ini lebih sebagai wilayah perluasan wilayah laut."
Hukum dan Pembangunan Vol. 26 No. 3 Juni 1996 : 219-232, 1996
HUPE-26-3-Jun1996-219
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Citra Yuda Nur F.
"Skripsi ini membahas pengaturan mengenai penumpang indisipliner di dalam tiga instrumen hukum internasional, yaitu Konvensi Tokyo 1963, Annex 17 Konvensi Chicago 1944, dan peraturan yang dikeluarkan oleh ICAO, ICAO Guidance Material on the Legal Aspects of Unruly/Disruptive Passengers, serta penerapannya di dalam praktik legislasi nasional negara Amerika Serikat, Inggris, dan Indonesia dengan mengambil beberapa studi kasus. Melalui perbandingan penerapan hukum terhadap beberapa studi kasus penumpang indisipliner di ketiga negara tersebut, diharapkan dapat ditemukan praktik terbaik (best practices) dalam hal penanganan penumpang indisipliner dalam penerbangan sipil internasional. Penelitian dalam skripsi ini dilaksanakan dalam bentuk penelitian hukum yuridis-normatif. Hasil penelitian menyarankan agar otoritas penyelenggara penerbangan sipil, dalam hal ini Direktorat Jenderal Kementerian Perhubungan Republik Indonesia dapat menyusun suatu prosedur khusus untuk menangani penumpang indisipliner dalam dunia penerbangan sipil di Indonesia.

This thesis discusses the regulation on unruly/disruptive passengers in three instruments of international law, namely the Tokyo Convention 1963, Annex 17 of the Chicago Convention of 1944, and the regulations issued by ICAO, ICAO Guidance Material on the Legal Aspects of Unruly/Disruptive Passengers, as well as its application in national legislation practices in three countries, United States, United Kingdom, and Indonesia, by comparing several case studies. Through the comparison of the application of the law to the unruly/disruptive passengers based on the case studies in those three countries, it’s expected to find best practices in terms of handling the unruly/disruptive passengers in the international civil aviation. This thesis research method is conducted in the form of juridicalnormative legal research. The result of this thesis suggests the Indonesia national civil aviation authority, in this case the Directorate General of Civil Aviation of the Ministry of Transport of the Republic of Indonesia, establish a special procedure in terms of handling the unruly/disruptive passengers in Indonesia."
Universitas Indonesia, 2014
S53668
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Setyaning Kartika Rini
"Citizen Lawsuit merupakan salah satu bentuk gugatan perwakilan yang keberadaannya sebagai hak gugat (Legal Standing) telah lama diakui di dalam praktek beracara di Indonesia. Namun meskipun demikian, belum ada hukum positif yang mengatur mengenai hak gugat ini di dalam sistem hukum Indonesia. Kekosongan hukum ini kemudian menimbulkan perbedaan penafsiran hukum di kalangan hakim dan berakibat pada ketidakpastian hukum. Sampai pada tahun 2013, Mahkamah Agung menerbitkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup. Keputusan yang dimaksudkan untuk mengisi kekosongan hukum ini salah satunya mengatur mengenai Citizen Lawsuit dan syarat formil yang diwajibkan dalam pengajuannya.

Citizen Lawsuit as one of the Representation Lawsuit?s Models has been known and approved as a Legal Standing in Indonesia. However, there is none of the Indonesia?s positive laws have contains the provision about Citizen Lawsuit in Indonesia?s legal system. This condition brings a legal vacuum on the practice of the court. And it makes so many differences in law interpretation among the judges. This differences brings an uncertainty for everyone about what is a Citizen Lawsuit and what are the procedural requirements needed to file one. Up until 2013, The Supreme Court had released Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup. This regulation has been intended to fill the legal vacuum in the Indonesia Rules of Civil Procedure about Citizen Lawsuit and its procedural requirements."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
S53899
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>