Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 161993 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Fatmawati
"Berdasarkan sejarah ketatanegaraan RI, Struktur parlemen pada Konstitusi RIS dan padaUUD 1945 (sesudah perubahan) memiliki kamar tersendiri bagi wakil rakyat yang mewakili rakyat dalam konteks kedaerahan. Struktur parlemen menurut UUD |945 jika dianalisis berdasarkan kewenangan formal yang dimiliki, termasuk fungsi legislasi dalam arti luas (membentuk UUD), menggunakan sistem trikameral yang terdiri dari DPR, DPD, dan MPR; sedangkan jika dianalisis hanya berdasarkan fungsi legislasi dalam arti sempit (membentuk UU), menggunakan sistem bikameral yang terdiri dari DPR dan DPD.
Dalam studi perbandingan berbagai negara terkait struktur parlemen multikameral, struktur parlemen lidak hanya terdiri dari sistem bikameral, tetapi ,juga sistem trikameral (tiga kamar) dan sistern pentakameral (S kamar). Dari 22 negara yang menggunakan sistem bikameral, I0 negara merupakan negara kesatuan. Pengamran struktur dan fungsi legislasi parlemen dalam UUD 1945 membatasi kewenangan DPD, dimana DPD hanya berwenang mengusulkan dan membahas RUU tanpa memiliki voting right. DPD juga hanya dapat menyampaikan hasil pengawasan yang dilakukannnya kepada DPR sebagai bahan penimbangan unmk ditindaklanjuti tanpa dapat meminta penjelasan langsung terkait hasil pengawasan yang "dilakukannya kepada pemerintah.
Implikasinya adalah sulitnya mewujudkan latar belakang yang menjadi tujuan pembentukan DPD, yaitu memperkuat ikatan daerah-daerah dalam wadah Ne gara Kesatuan Republik Indonesia dan memperteguh persatuan kebangsaan seluruh daerah, meningkatkan agregasi dan akomodasi aspirasi dan kepentingan daerah-daerah dalam pemmusan kebijakan nasional berkaitan dengan negara dan daerah, Serta untuk mendorong percepatan demokrasi, pernbangunan dan kemajuan daerah secara serasi dan seimbang.
Berdasarkan perbandingan dengan berbagai negara, ditemukan bahwa hanya DPD yang metode seleksinya dipiiih secara langsung dengan legitimasi demokratis yang lebih kuat dari pada DPR, tetapi memiliki kewenangan sangat terbatas. Dari 20 negara yang kedua kamar memiliki kewenangan niembentulr UU, semua kamar kedua memiliki kewenangan membahas dan hak veto. Pembatasan kewenangan pada negara tertentu terhadap kamar kedua adaiah dalam hal pengusulan UU (3 negara). Walaupun kewenangan DPD terbatas dalam hal pembentukan UU, tapi masih Iebih baik dibandingkan dengan 2 negara yang kamar keduanya sama sekali tidak memiliki kewenangan membentuk UU, yang dalam tulisan ini penulis kategorikan sebagai very weak bicameralism.

According to Indonesian constitutional history, parliamentary structure in the Constitution ofthe Republik Indonesia Serikat as well as in the UUD 1945 (aiter amendment) has its own chamber for people representatives which represent their states or provinces. Parliamentary structure according to the UUD 1945, if analyzed based on its legislation function in broad meaning (to form constitution), applies tricarneral system consisting of DPR, DPD, and MPR; whereas if analyzed only based on its legislation function in narrow meaning (to make law), it applies bicameral system consisting of DPR and DPD.
In comparative study in various countries on the multicameral parliamentary structure, parliamentary structure is not only consisting of bicameral system but also tricameral system (three chambers) and pentacameral system (tive chambers). Out of 22 countries applying bicarneral system, 10 countries are Unitarian State. In regard to the legislation structure and function of the parliament, the UUD 1945 has limiting the authority of the DPD, which only authorize DPD both to propose and to discuss a bill without exercising voting right. DPD is also entitle to provide its control against Government to DPR, in order to be follow up by DPR, but without having the authority to demand explanation Hom Govemment.
The implication of it is?'the difficulty to bring into reality the historical background of the aim in the DPD?s creation, i.e. to strengthen provinces within the Unitarian State of the Republic of Indonesia as well as nationalistic unitary of all provinces; to improve aggregation and accommodation of aspiration and interest of all provinces in formulating national policy with respect to the relation between state and provinces; and to urge bthe harmony and equal of democracy acceleration, regional development and progression.
Based on the comparative study in various countries, it is found that only DPD applies direct election as the selection method providing a legitimate democracy stronger than DPR, but unfortunately has merely limited authority. Out of 22 countries which the second chamber has the authority to form an act or a law, all second chamber have the authority to discuss and vote it. The limitation of authority in certain countries toward the second chamber applied merely to propose an act (three countries). Notwithstanding the limitation of DPD's authority to make law, it is still better compared to two countries which the second chamber do not have the authority to make law at all, and in this writing it is called as a very weak bicameralism.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
D965
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Jimly Asshiddiqie, 1956-
Jakarta: UI-Press, 1996
342 JIM p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Rafa Tabina Bakhiatushsholihat
"Skripsi ini membahas mengenai pengaturan dan penerapan Judicial Pardon dalam sistem peradilan pidana di Indonesia dengan dasar hukum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP 2023). Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian doktrinal yang menggunakan tipologi Funtional Comparative Legal dengan fokus Perbandingan Substantif yang berfokus pada perbandingan isi atau substansi dari norma-norma hukum yang ada dari berbagai negara dengan membandingkan pengaturan, mekanisme, dan penerapan dari judicial pardon dari berbagai negara yang mengatur mengenai judicial pardon, antara lain Belanda, Yunani, Portugal, Uzbekistan, Perancis, Greenland, dan Somalia, untuk menyusun rekomendasi rencana pembaharuan hukum. Pada skripsi ini, pembahasan akan dibagi menjadi tiga. Pertama, pembahasan mengenai kualifikasi tindak pidana yang dapat diberikan judicial pardon dengan mengalisis hukum positif di Indonesia dan melakukan perbandingan dengan beberapa negara yang mengatur mengenai judicial pardon dalam hukum positifnya. Kedua, pembahasan mengenai penerapan judicial pardon dalam sistem peradilan pidana di Indonesia dengan menganalisis peraturan hukum pidana formil dan praktiknya dalam peradilan di Indonesia serta melakukan perbandingan dengan beberapa negara yang menerapkan judicial pardon. Ketiga, menganalisis pengaturan dan penerapan judicial pardon yang tepat apabila hendak diterapkan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Penelitian ini mengemukakan bahwa kualifikasi tindak pidana terhadap pemberian judicial pardon diperlukan yang meliputi ringannya perbuatan mengacu pada ketentuan tindak pidana ringan atau dampak dari perbuatannya ringan, keadaan pribadi yang mengacu pada umur dan riwayat hidup pelaku, dan keadaan pada waktu dilakukannya tindak pidana dan setelahnya mengacu pada dampak tindak pidana terhadap korban dan terdakwa serta upaya pemulihannya. Lebih lanjut, perlu diatur mengenai mekanisme penjatuhan judicial pardon dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang meliputi bentuk putusan terhadap pemberian judicial pardon yang diatur sebagai putusan khusus dan upaya hukum terhadap putusan judicial pardon berupa upaya hukum kasasi.

This thesis discusses the regulation and application of Judicial Pardon in the criminal justice system in Indonesia with the legal basis of Law Number 1 of 2023 concerning the Criminal Code (Criminal Code 2023). The research method used in writing this thesis is doctrinal research that uses Functional Comparative Legal typology with a focus on Substantive Comparison which focuses on comparing the content or substance of existing legal norms from various countries by comparing the regulation, mechanism, and application of judicial pardon from various countries that regulate judicial pardon, including the Netherlands, Greece, Portugal, Uzbekistan, France, Greenland, and Somalia, to develop recommendations for legal reform plans. In this thesis, the discussion will be divided into three. First, a discussion of the qualifications of criminal offenses that can be granted judicial pardon by analyzing positive law in Indonesia and making comparisons with several countries that regulate judicial pardon in their positive laws. Second, it discusses the application of judicial pardon in the criminal justice system in Indonesia by analyzing formal criminal law regulations and practices in the Indonesian judiciary as well as making comparisons with several countries that apply judicial pardon. Third, to analyze the appropriate regulation and application of judicial pardon in Indonesia's criminal justice system. This research argues that the qualifications of criminal offenses for the granting of judicial pardon are needed, which include the seriousness of the act referring to the provisions of minor crimes or the impact of minor acts, personal circumstances referring to the age and life history of the offender, and the circumstances at the time of the crime and afterwards referring to the impact of criminal acts on victims and defendants as well as efforts to recover. Furthermore, it is necessary to regulate the mechanism of judicial pardon in the Criminal Procedure Code (KUHAP) which includes the form of verdict on the granting of judicial pardon which is regulated as a special verdict and legal remedies against judicial pardon decisions in the form of cassation legal remedies."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ghunarsa Sujatnika
"Abstrak
Salah satu perdebatan yang sudah berlangsung lama dan belum selesai adalah terkait dengan hubungan antara agama dan negara. Terdapat dua pendapat umum mengenai hal ini, yakni yang memisahkan antara agama dan kehidupan bernegara dan sebaliknya berpendapat bahwa agama merupakan bagian tidak terpisahkan dalam kehidupan bernegara. Salah satu cara untuk melihat bagaimana hubungan antara Tuhan dan agama dengan negara dapat dilihat dalam konstitusi negara tersebut, apakah konstitusi tersebut mengatur Tuhan dan agama atau tidak. Setelah itu dapat ditemukan bagaimana pengaruh Konstitusi Berketuhanan pada praktik ketatanegaraan di Indonesia dan juga perbandingannya dengan beberapa konstitusi negara lain serta pengaruhnya dalam praktik ketatanegaraan dalam negara tersebut."
Depok: Badan Penerbit FHUI, 2018
340 JHP 48:4 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Endah Widyaningsih
"Gerakan reformasi pada pertengahan tahun 1998 telah membawa dampak dan perubahan yang sangat krusial dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, menyusul adanya penyesuaian struktur-struktur berbangsa dan bernegara seiring dengan perkembangan jaman dan tuntutan-tuntutan yang berkembang dalam masyarakat. Majelis Permusyawaratan Rakyat, ketika pertama kali didirikan pada tahun 1945, struktur parlemen Indonesia diidealkan berkamar tunggal (unikameral) dan dianggap sebagai penjelmaan seluruh rakyat dan pemegang kedaulatan tertinggi sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan"Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.Seiring dengan adanya perubahan Undang-undang Dasar 1945, yaitu mengenai Pasal 1 (2) UUD Negara Republik Indonesia 1945 yang menyatakan bahwa "Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar telah membawa konsekuensi perubahan kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara melainkan sebagai lembaga negara seperti biasa.Perubahan kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat tersebut juga diikuti dengan perubahan komposisi keanggotaan Majelis permusyawaratan Rakyat yang terdiri dari DPR dan DPD yang keduanya dipilih melalui Pemilihan Umum, lahirnya Dewan Perwakilan Daerah tersebut merupakan format baru parlemen Indonesia sehingga terjadi perubahan struktur keparlemenan di Indonesia. Disamping itu perubahan kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat tersebut juga berakibat pada perubahan Tugas dan wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat, dimana MPR tidak lagi memilih Presiden dan Wakil Presiden karena telah dipilih secara langsung .oleh rakyat. Tugas dan wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat yang hanya bersifat insidentil tersebut akhirnya memunculkan perdebatan mengenai eksistensi kelembagaan Majelis Permusyawaratan Rakyat apakah akan terus dipertahankan atau ditiadakan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia atau ditiadakan. Untuk menjawab permasalahan tersebut peneliti menggunakan metode penelitian hukum normatif dan metode penelitian hukum empiris secara bersamaan."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16640
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rudi Rochmansyah
"Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD) 1945, yang diawali dengan Perubahan Pertama, Kedua, Ketiga, dan Keempat, secara fundamental telah mengubah format kelembagaan negara dan pergeseran kekuasaan dalam struktur ketatanegaraan Indonesia.
Perubahan yang mendasar juga menandakan terjadinya perubahan sistem kekuasaan negara yang dianut dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, yaitu dari paradigma dengan sistem pembagian kekuasaan (distribution/division of powers) secara vertikal sebelum perubahan UUD 1945, menjadi sistem pemisahan kekuasaan (separation of powers) secara horizontal setelah perubahan UUD 1945. Dianutnya sistem pemisahan kekuasaan (separation of powers) yang bersifat horizontal ini sebagaimana yang tercermin dalam pandangan Jimly Asshiddiqie, ialah mempertegas kedudukan dan fungsi kekuasaan negara yang dipisah dengan menganut prinsip checks and balances yang diwujudkan ke dalam tiga cabang kekuasaan negara, yaitu kekuasaan legilatif dipegang oleh DPR, kekuasaan eksekutif dipegang oleh Presiden dan kekuasaan kehakiman dipegang oleh lembaga peradilan.
Pergeseran kekuasaan legislasi merupakan implikasi dari Perubahan UUD 1945. Pada Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 naskah asli mengamanatkan bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Sedangkan DPR sebagai lembaga legislatif hanya diberikan hak untuk mengajukan Rancangan Undang-Undang. Berdasarkan UUD 1945 ini, Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif sekaligus juga memegang kekuasaan legislatif. Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem yang dianut UUD 1945 ini adalah pembagian kekuasaan dan tidak menganut prinsip check and balances, karena kekuasaan Presiden sangat dominan dalam menyelenggarakan negara dan pemerintahan, baik dalam kekuasaan eksekutif maupun kekuasaan legislatif.
Perubahan UUD 1945 telah menganut sistem pemisahan kekuasaan secara horizontal dengan prinsip check and balances, yang mendorong terjadinya pergeseran kekuasaan legislasi dari Presiden beralih kepada DPR. Dalam Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 (Perubahan) mengamanatkan bahwa DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang sedangkan pada Pasal 5 ayat (1) mengamanatkan bahwa Presiden mempunyai hak mengajukan Rancangan Undang-Undang. Pergeseran kekuasaan legislasi tersebut menunjukkan adanya pemisahan kekuasaan negara secara horizontal menjadi cabang kekuasaan legislatif dipegang oleh DPR sedangkan kekuasaan eksekutif dipegang oleh Presiden. Pemisahan kekuasaan negara dengan menganut prinsip check and balances menandakan adanya keseimbangan peran DPR sebagai lembaga legislatif dan Presiden pemegang kekuasaan eksekutif, sebagai lembaga negara dalam menyelenggarakan negara dan pemerintahan."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T18222
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
"Attempting political democratization, strengthening macroeconomic condition, and developing independent judiciary have been three sector paid more concerns in Indonesia. Beside, administrative reform in Indonesia is considered another sector that is so worth to perform since it plays significant role as prerequisite infrastructure in which other reform efforts are preceded as well as dealing with daily life public services. In doing so, taking administrative procedure law in other well-developed countries, such as the U.S, Germany, and the Netherland, Indonesia government are about to make draft of Government Administration Law. By using point of view as a practicioner of German public servant, this article emphasizes fundamental aspect of this effort in comparison to what has been preceded in Germany as well. That is distinguishing as well as separating administration from branch of political power, especially the executive, in order to maintain its independence and neutrality. It is what the respective legal draft is supposed to afford."
JUIPJPM
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>