Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6321 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Carter, Linda
St. Paul: West, A Thomson Reuters Business, 2011
345.05 CAR g
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Israel, Gerold H.
America: St. Paul Minn, 2000
345.05 laf c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Slobogin, Christopher
New York: Foundation press, 2000
345.05 Whi c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Basir
"Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengandung beberapa asas didalamnya, Salah satunya adalah asas diferensiasi fungsional. Asas ini berarti penegasan pembagian tugas dan kewenangan antara jajaran aparat penegak hukum secara instansional. KUHAP meletakan suatu asas 'penjernihan' (clarification) dan ?modifikasi? (modification) fungsi dan wewenang antara aparat penegak hukum. Asas diferensiasi fungsional mulanya bertujuan untuk dipergunakan sebagai sarana koordinasi horizontal dan saling checking antara penegak hukum, terutama antara polisi selaku penyidik dengan jaksa selaku penuntut umum. Berdasarkan pasal 1 butir 1 dan 4 jo pasal 1 butir 6 huruf a jo pasal 13 KUHAP, maka jelas terlihat penjernihan dan pembagian secara tegas antara fungsi dan wewenang polisi sebagai penyidik dan jaksa sebagai penuntut umum serta pelaksana putusan pengadilan. Walaupun asas diferensiasi fungsional ditekankan antara polisi dengan jaksa, namun berpengaruh terhadap semua sub sistem dalam sistem peradilan pidana. Bagi Polri hal itu berakibat menumpuknya penanganan laporan dan pengaduan yang harus ditindaklanjuti yang pada akhirnya menyebabkan kurang maksimalnya pelaksanaan tugas-tugas penyidikan, seperti lambatnya pengiriman Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan dan bolak baliknya berkas perkara. Bagi jaksa asas diferensiasi fungsional telah menjadikan spektrum dan cara pandang jaksa dalam memberantas kejahatan menjadi sempit. Hal ini karena jaksa tidak terlibat secara langsung dalam proses penyidikan. Sedangkan pada proses persidangan di pengadilan, hanya tidak lebih dari mengkonfirmasi dan memverifikasi kebenaran isi Berita Acara pemeriksaan yang sebenarnya tidak mengikat. Sedangkan bagi tersangka dan pelapor / pengadu asas diferensiasi fungsional, telah merugikan hak-haknya karena perkaranya tidak dapat diproses berdasarkan peradilan yang cepat, sederhana dan biaya murah. Pada akhirnya asas diferensiasi fungsional menjadi salah satu penyebab over capacity pada lembaga pemasyarakatan. Lembaga ini tidak dapat melakukan pembinaan terhadap narapidana sebagaimana mestinya, bahkan dapat menjadi school of crime yang melahirkan residivis baru. Berdasarkan hal itu asas diferensiasi fungsional dirasa tidak dapat menciptakan keterpaduan antara penyidik dengan penuntut umum. Oleh karena itu perubahan KUHAP merupakan sesuatu yang urgent dan harus segera dilaksanakan.

Act No. 8 of 1981 on Procedure of Criminal Law (Criminal Procedure Code) contains some of the principles therein. The one of them is functional differentiation principle. The functional differentiation principle means the affirmation of the division of duties and authority between the law enforcement officers in institutional. The criminal procedure code put a principle of "purification" (clarification) and ?modification? functions and powers among law enforcement officers. The functional differentiation principle originally intended to be used as a means of horizontal coordination and mutual checking between law enforcement agencies, especially between polices as investigator and prosecutors as public prosecutor. Based on criminal procedure code article 1, point 1 and 4 jo article 1 point 6 letter a jo article 13, it is clearly seen purification and distribution between the functions and powers of the police as investigators and prosecutors as a public prosecutor and executor of verdict. Although the principle of functional differentiation stressed in between the investigators and the public prosecutor, but it influent all the sub systems in criminal justice system. For the police, it resulted in deposition of handling reports and complaints that should be followed up, in the end it can be implementation tasks which is not fulfilled maximal, such as the slow delivery of the notice of investigation letter and back and forth the docket. For prosecutors, principle of functional differentiation has made spectrum and perspective in combating crimes prosecutor becomes narrower. This is because prosecutors are not directly involved in investigation process. The trial process in court is nothing more than confirmation and verifying the correctness of the content of the examination dossier which is not binding. At the same time, for the suspect and the complainant, the functional differentiation principle has been detrimental to their rights because the case can't be processed with fast, simple and low cost trial. In the end the principle of functional differentiation be one cause of over capacity in the penitentiary. This institution can not conduct training of prisoners, even can be a school crime that spawned a new recidivist. Based on this principle of functional differentiation deemed not to create integration between law enforcement agencies, especially the investigators with the prosecutors. Therefore, conversion of the criminal procedure code is urgent and should be implemented immediately."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35268
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
O`Sullivan, Aisling
Boca Raton: CRC Press, 2017
345 OSU u
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Salim
"Untuk dapat menjalankan fungsinya yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar, sebuah undang-undang tentu harus dirumuskan secara jelas, tidak mengandung kecacatan substansial, dan tidak menimbulkan inkonsistensi dalam penerapannya terhadap sistem hukum secara keseluruhan. Merupakan sebuah tanggung jawab bagi perancang peraturan perundang-undangan dan merupakan fungsi dari Ilmu perundang-undangan untuk mewujudkan hal tersebut. Rumusan sebuah pasal sangat menentukan dapat atau tidak dapatnya hukum memberikan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan bagi manusia. Tidak dirumuskannya sebuah undang-undang secara baik akan menimbulkan permasalahan yang pelik, contohnya adalah diterimanya permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh jaksa terhadap putusan bebas yang telah berkekuatan hukum tetap dalam perkara pidana oleh Mahkamah Agung. Ketidakjelasan dalam pasal-pasal yang mengatur tentang peninjauan kembali menimbulkan berbagai macam penafsiran yang sayangnya tidak sesuai dengan hakikat dari peninjauan kembali. Oleh karena itu, terhadap rumusan pasal-pasal tersebut perlu diadakan perbaikan dan karena proses perubahan sebuah undang-undang memakan waktu, tentunya terhadap pasal-pasal yang masih berlaku tersebut perlu diterapkan sebuah metode penafsiran yang tepat.

In order to apply its function as has been mandated under the Constitution of the Republic of Indonesia, an act must be formulated clearly, doesn’t have a substantial defects, and doesn’t cause any incosistency in its implementation at the whole level. It is a duty for a legal drafter to make sure that it is done properly and it is the functions of the legislation theory to implement it. The drafting of each articles in an act is essential towards to ensure its impartiality and its certainty, also its benefit towards the people governed by it. Fraud of act’s legal drafting process will cause a huge consequences. Example given, the approval of a case review requestas has been appealed by Prosecutor to a legal and binding judgment in a criminal case by the Supreme Court of the Republic of Indonesia. The uncertainty in articles that governs about the rights to file a case review will cause a misinterpretation and distorting the basic philosophy of the case revie (herziening) itself. Hence, the drafting of an act’s article must be coordinated together with revision and in such a lengthy time-frame, especially to implement the interpretation of the articles properly."
Universitas Indonesia, 2014
S54028
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andre Jevi Surya
"ABSTRAK
Tesis ini menganalisis peranan ahli kedokteran forensik dalam memberikan keterangan ahli serta pengaruhnya terhadap keyakinan dan pertimbangan hakim dalam menentukan putusan perkara pidana di Indonesia. Ruang lingkup pembahasannya adalah bagaimanakah definisi dan kualitas alat bukti keterangan ahli dalam hukum acara pidana Indonesia; bagaimana perkembangan pengaturan, bentuk peranan, standar kriteria ahli kedokteran forensik dalam memberikan keterangan ahli dalam hukum acara pidana di Indonesia; dan bagaimanakah pengaruh keterangan ahli kedokteran forensik dalam putusan perkara pidana di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan menggunakan Pendekatan Perundang-undangan Statue Approach Pendekatan Kasus Case Approach dan Pendekatan Perbandingan Comparative Approach . Data-data yang diperoleh akan dideskripsikan untuk kemudian dianalisa secara kualitatif dan diuraikan secara sistematis. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa definisi alat bukti keterangan ahli di Indonesia mengacu pada KUHAP, yang pada prakteknya terbagi atas tiga macam definisi dan kualitas antara lain mulai yang terkuat kualitasnya Getuige Deskundige ahli yang mengemukakan pendapat dengan melakukan pemeriksaan secara langsung , Deskundige ahli yang mengemukakan pendapat tanpa melakukan pemeriksaan secara langsung , Zaakkundige ahli yang menerangkan pendapatnya, namun sebenarnya dapat dipelajari sendiri oleh hakim, jaksa penuntut umum dan penasehat hukum ; Perkembangan pengaturan peranan ahli kedokteran forensik sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda hingga sekarang namun tidak terkodifikasi dalam satu undang-undang khusus, Bentuk peranan yang dapat diberikan oleh dokter forensik antara lain Clinical Forensic Medicine peranan kedokteran forensik terhadap manusia hidup , dan Clinical Pathology peranan kedokteran forensik terhadap mayat , Standar kriteria ahli kedokteran forensik yaitu memiliki kemampuan dan keterampilan dengan level 4A mampu melakukan secara mandiri disertai dengan surat tanda registerasi dan surat izin praktek; Pendapat ahli kedokteran forensik berasal dari hasil pemeriksaan yang dilakukan secara langsung terhadap bukti-bukti yang ada dan disertai dengan visum et repertum memiliki pengaruh terhadap pertimbangan dan keyakinan hakim.
ABSTRACT
This thesis analize forensic medicine expert role in providing expert 39 s testimony and its influence on judge 39 s conviction and consideration in determining criminal judgment in Indonesia. The scopes of the discussion are, how are the definition and quality of expert rsquo s testimony evidence in criminal procedure law of Indonesia how are the development of regulation, the form of the role, standard criteria of the forensic medicine expert in providing expert rsquo s testimony in criminal procedure law of Indonesia and how is influence of forensic medicine expert rsquo s testimony in the criminal judgment in Indonesia. The research method used normative juridical method by using statute approach, case approach, and comparative approach The data obtained will be described for later analyzed qualitatively and described systematically. The result of the research concludes that the definition of expert rsquo s testimony evidence in Indonesia refers to the Indonesia Criminal Procedure Code, which in practice is divided into three kinds of definitions and qualities, among others from the strongest quality Getuige Deskundige experts who provide testimony by conducting direct examination , Deskundige experts who provide testimony without conducting a direct examination , Zaakkundige experts who provide testimony but it can actually be studied by judges, public prosecutor and legal advisor The development of regulation on the role of forensic medicine experts began in the Dutch colonial era up to now but not codified in one particular law, The forms of the role that can be provided by forensic doctor such as Clinical Forensic Medicine the role of forensic medicine to human life and Clinical Pathology the role of forensic medicine against corpses , Standard criteria of forensic medicine expert are the ability and skill with level 4A able to do independently accompanied by letter of registration and license of practice Testimony of the forensic medicine expert, which derived from the results of a direct examination of the available evidence accompanied by visum et repertum has an influence on judge 39 s consideration and conviction."
2018
T49443
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fox, Richard G.
Clayton: Faculty of Law, Monash University, 1995
345.059 4 FOX v (2)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Lacey, Nicola
Jerman: Lexix Nexix, 2003
345 LAC r (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Debora Vetra Mesia
"Skripsi ini membahas mengenai penyelesaian perkara pidana di luar persidangan yang berlaku baik di Indonesia, Belanda, maupun Singapura. Penyelesaian perkara pidana di luar persidangan atau dikenal dengan istilah Afdoening Buiten Proces merupakan salah satu cara untuk menyelesaikan perkara di luar persidangan dengan cara membayar denda maksimum secara sukarela sebagaimana diatur dalam Pasal 82 KUHP Lama. Ketentuan ini juga terdapat dalam KUHP Baru, tepatnya dalam Pasal 132 ayat (1) huruf d-e. Sementara itu, di Belanda ketentuan ini diatur dalam Pasal 74 Wetboek van Strafrecht, sedangkan di Singapura dikenal mekanisme Deferred Prosecution Agreement yang memiliki konsep berbeda dengan yang diatur oleh Indonesia dan Belanda. Terdapat dua pembahasan utama dalam skripsi ini. Pertama, skripsi ini akan membahas mengenai bagaimana ketentuan penyelesaian perkara pidana di luar persidangan dalam ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia, Belanda, dan Singapura. Kedua, skripsi ini akan membahas mengenai bagaimana Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Lama dalam mengakomodir kebutuhan penyelesaian perkara pidana di luar persidangan. Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian normatif-yuridis yang menganalisis lebih lanjut tentang ketentuan hukum yang berlaku di suatu negara. Adapun hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa ketentuan penyelesaian perkara pidana di luar persidangan yang berlaku di Indonesia, Belanda, dan Singapura masing-masing memiliki persamaan dan perbedaan. Selanjutnya, diketahui bahwa ketentuan penyelesaian perkara pidana di luar persidangan yang diatur dalam Pasal 82 KUHP Lama selama ini tidak mengakomodir kebutuhan yang diperlukan oleh sistem peradilan pidana. Terakhir, ketentuan penyelesaian perkara pidana di luar persidangan pada dasarnya memiliki tujuan yang baik dan dapat membantu meringankan beban sistem peradilan pidana, tetapi masih terdapat beberapa hambatan.

This thesis discusses the settlement of criminal cases outside the court which is valid in Indonesia, Netherlands, and Singapore. Settlement of criminal cases outside the court or known as Afdoening Buiten Process is one way to settle cases outside the court by paying the maximum fine voluntarily as stipulated in Article 82 of the Old Criminal Code. This provision is also contained in the New Criminal Code, specifically in Article 132 paragraph (1) letter d-e. Meanwhile, in the Netherlands this provision is regulated in Article 74 Wetboek van Strafrecht, while in Singapore the Deferred Prosecution Agreement mechanism is known, which has a different concept from that regulated by Indonesia and Netherlands. There are two main discussions in this thesis. First, this thesis will discuss how the provisions for settling criminal cases outside the court in the legal provisions in force in Indonesia, the Netherlands and Singapore. Second, this thesis will discuss how the Old Criminal Code accommodates the need for settlement of criminal cases outside of court. This research was conducted using a normative-juridical research method that further analyzes the legal provisions in force in a country. The results of this study state that the provisions for settling criminal cases outside the court in force in Indonesia, Netherlands and Singapore have similarities and differences, respectively. Furthermore, it is known that the provisions for settling criminal cases outside the court as regulated in Article 82 of the Old Criminal Code have so far not accommodated the needs required by the criminal justice system. Finally, provisions for the settlement of criminal cases outside the court basically have a good purpose and can help ease the burden on the criminal justice system, but there are still some obstacles."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>