Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 1593 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Evy Yunihastuti
"Pembedahan masih menjadi standar emas terapi kuratif untuk obstruksi saluran empedu maligna, namun hanya 10-20% kasus yang dianggap dapat dioperasi. Oleh karena itu, terapi paliatif untuk menghilangkan rasa sakit, kolestasis, dan obstruksi saluran empedu, merupakan pengobatan utama bagi sebagian besar pasien. Perkembangan drainase bilier transhepatik perkutan dan drainase bilier endoskopi telah menghasilkan pengobatan invasif minimal untuk obstruksi bilier ganas, yang memiliki morbiditas dan mortalitas lebih rendah dibandingkan drainase bedah. Pilihan teknik drainase tergantung pada jenis tumor, lokasi obstruksi, serta ketersediaan tenaga ahli dan instrumentasi.

Surgery is still the golden standard of curative therapy for malignant biliary obstruction, but only 10-20% of cases considered resectable. Therefore, palliative therapy to relieve pain, cholestasis, and biliary obstruction, is the main treatment for most patients. The development of percutaneous transhepatic biliary drainage and endoscopic biliary drainage had brought about minimally invasive treatment for malignant biliary obstruction, which had lower morbidity and mortality than surgical drainage. The choice of drainage technique depends on type of tumor , site of obstruction, also the available expert and instrumentation.
"
Depok: The Indonesian Journal of Gastroenterology Hepatology and Digestive Endoscopy, 2001
IJGH-2-2-Agt2001-8
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Juwita Cresti Rahmaania
"ABSTRAK
Pendahuluan:Obstruksi duodenum kongenital merupakan salah satu kelainan bawaan pada saluran cerna yang tersering. Fungsi peristaltik merupakan hal yang ingin dicapai pada pascabedah. Resiko terjadinya translokasi bakteri pada kasus obstruksi membuat pasien jatuh dalam kondisi sepsis hal ini akan memengaruhi waktu tercapainya fungsi peristaltik dan pada akhirnya akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Selain itu, infeksi nosokomial yang mengancam neonatus menyebabkan sepsis pada neonatus juga akan memengaruhi waktu tercapainya fungsi peristaltik. Penelitian ini ditujukan untuk mencari hubungan sepsis dengan waktu tercapainya fungsi peristaltik. Metode: Desain penelitian ini adalah potong lintang menggunakan data sekunder yaitu pasien obstruksi duodenum tanpa disertai kelainan bawaan berupa gastroschizis, omphalocele dan atresia intestinal lain yang telah dilakukan operasi di RSCM periode bulan Januari 2010-Juli 2016. Subjek dikelompokkan menjadi sepsis dan non sepsis kemudian dilakukan analisis untuk melihat hubungan dengan waktu tercapainya fungsi peristaltik serta menganalisis variabel perancu yaitu, usia gestasi, berat badan lahir, kelainan bawaan, kondisi hipoksia dan ketidakseimbangan elektrolit. Analisis data dilakukan univariat, bivariat Mann Whitney, Chi Square atau Fischer dan multivariat (regresi linier) dengan nilai p <0,05 dianggap bermakna. Hasil: Dari 31 subjek didapatkan bahwa median waktu tercapainya fungsi peristaltik pada subjek sepsis dan non sepsis yaitu 12,5 dan 5 hari (p <0,0001). Hubungan antara waktu tercapainya fungsi peristaltik dengan sepsis (p <0,0001), usia gestasi (p = 0,004) dan kondisi hipoksia (p = 0,02). Pada analisis multivariat didapatkan hasil antara sepsis dengan waktu tercapainya fungsi peristaltik dengan nilai p = 0,011 dan nilai R Simpulan: Pada penelitian ini sepsis merupakan faktor utama yang memengaruhi waktu tercapainya fungsi peristaltik. Mengingat cukup jauhnya perbedaan waktu yang dicapai antara kelompok sepsis dan non sepsis maka perlu dilakukan pengontrolan maupun pencegahan kondisi sepsis baik dalam prabedah maupun pascabedah sehingga dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas. ABSTRACT
Introduction: A common site for congenital duodenal obstruction is the duodenum. Peristaltic function is to be achieved in the postoperative, respectively. Intestinal obstruction has been shown to induce bacterial translocation and that event would be associated with an increased risk of sepsis conditions. That condition would affecting the achievement of peristaltic function and ultimately increased morbidity  and mortality. In addition, nosocomial infections that threaten neonates cause sepsis also will affect the achievement of a peristaltic function. Therefore, the aim of this study was to investigate the relationship between sepsis with timing achievement of peristaltic function postoperatively. Methods: This study is cross sectional study design. The research data was obtained from medical records of patients with duodenal obstruction without congenital abnormalities such as gastroschizis, omphalocele and other intestinal atresia that have underwent operations in RSCM period January 2010 to July 2016. Subject are grouped into sepsis and without sepsis. The relationships between sepsis and timing achievement of peristaltic function also confounding variabels (gestational age, birth weight, congenital abnormalities, conditions of hypoxia and electrolyte imbalance) were analyzed. Data analysis was performed using univariate, bivariate (Mann Whitney, Chi Square or Fischer) and multivariate (linear regression) with significance p Results: The study included 31 subjects. Time were needed to achieved peristaltic function (median value) are 12,5 days in patients with sepsis and 5 days in patients without sepsis. Bivariate analysis between timing achievement of peristaltic function are sepsis with p <0,0001, gestational age with p = 0,004 and hypoxic conditions with p = 0,02. Multivariate analysis have shown relationship between sepsis and timing achievement of peristaltic function with p = 0,011 and R Conclusion: In this study, sepsis is a major factor affecting the achievement of a peristaltic function . Considered the differences time to achieved peristaltic function between sepsis and without sepsis is significant. Therefore,it is necessary to control and prevent sepsis preoperatively and postoperatively thus reducing morbidity and mortality."
2018
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Philadelphia: Wolters Kluwer, 2015
617.556 2 HAN
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Julia Sabrina Vasthi
"ABSTRAK
Riset ini bertujuan untuk menemukan faktor resiko dan hasil diagnosis terlambat pada atresia bilier. Subjek adalah bayi dengan umur 2 bulan-2 tahun dengan menilai manifestasi klinis, penentuan diagnosis menggunakan USG abdomen dan/atau biopsi hati, dan hasil diagnosis pendukung lain antara November 2014 sampai April 2017 menggunakan metode potong lintang untuk menemukan faktor resiko diagnosis terlambat gender, area tempat tingal, metode diagnosis USG abdomen dan biopsi hati , umur saat kuning, status nutrisi, feses dempul, kadar albumin, bilirubin direk, SGOT and gammaGT . Test chi square dengan penentuan rasio Odds dan 95 IK digunakan dengan 26 rekam medis subjek Dari 26 rekam medis anak dengan atresia bilier yang pertama kali berobat ke RSCM dengan median usia 7 62- 10,1 bulan, mayoritas perempuan 53,8 . Usia saat kuning, usia saat berobat, tempat tinggal, status nutrisi, BAB dempul, kadar albumin, bilirubin direk, SGPT maupun gamma-GT bukan merupakan faktor risiko atresia bilier yang didiagnosis terlambat nilai-p>0,05; 95 IK OR mencakup nilai 1 . Tidak ada satu pun bayi dengan atresia bilier yang didiagnosis terlambat telah dilakukan operasi Kasai. Uji fungsi hati menunjukkan peningkatan bermakna dan kadar albumin yang rendah pada atresia bilier yang terlambat didiagnosis. Dampak lanjut berakibat pada status nutrisi yang buruk, maupun timbulnya hematemesis dan asites. Studi ini tidak cukup untuk membuktikan faktor risiko yang berpengaruh pada keterlambatan diagnosis.

ABSTRACT<>br>
This research is to understand the risk factors and outcome of diagnosing biliary atresia in late stages after 2 months old . The subject was the medical record of the biliary atresia of infant aged 2 month 2 years by evaluating the clinical manifestation, abdominal ultrasound result, and other supporting diagnosis between November 2014 to April 2017 through cross sectional study to find the late diagnosis risk factors gender, living area, diagnosis method abdominal ultrasound and liver biopsy , icteric onset, nutritional status, pale stool, albumin level, direct bilirubin level, SGOT level and gammaGT level . Chi Square test was used to analyze the data as well as 95 confidence interval of Odds Ratio OR . There were only 26 subjects that considered eligible. Twenty six medical records of biliary atresia were eligible in this study. The majority of subject were females 53,8 , the median aged of first admitted to RSCM was 7 6.2 10.1 months. The aged of icteric onset, the aged of first admitted to RSCM, living area, nutritional status, pale stool. albumin level, direct bilirubin level, SGPT and gamma GT levels were not significant as risk factors p value 0.05 95 CI of Odds Ratios included value 1 . There was no infant with late diagnosis of biliary atresia underwent Kasai 39 s procedure. The liver function tests showed increased levels of direct bilirubin, SGOT, SGPT, and gamma GT, decreased plasma albumin. Late diagnosis of biliary atresia resulted in worsen nutritional status, and symptoms of hematemesis and ascites. "
2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diana Fitria
"Pendahuluan: Atresia bilier adalah kelainan pada saluran empedu yang merupakan penyebab kolestasis ekstrahepatik neonatal terbanyak dan menjadi indikasi transplantasi hati tersering (+ 50%) pada bayi dan anak. Keterlambatan diagnosis pada pasien atresia bilier di Indonesia menyebabkan angka THDH (transplantasi hati donor hidup) primer pada atresia bilier lebih tinggi dibandingkan dengan pusat transplantasi lain di dunia. Penelitian ini bertujuan untuk menilai luaran THDH primer pada pasien atresia bilier di RSCMdan faktor-faktor yang memengaruhinya.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kohort retrospektif dengan menggunakan data pasien anak dengan atresia bilier yang dilakukan THDH primer sejak Desember 2010 hingga Desember 2019. Luaran pasien dalam satu tahun pascaoperasi berupa morbiditas (komplikasi, lama rawat, relaparotomi) dan mortalitas dianalisis terhadap faktor prognostik praoperasi dan intraoperasi.
Hasil: Telah dilakukan 58 operasi transplantasi hati di RSCM dengan 85% (34 subjek) merupakan THDH primer pada anak dengan atresia bilier. Mayoritas adalah laki-laki dengan median usia 14 bulan. Sebagian besar subjek mengalami gizi kurang (64,5%). Rerata skor PELD adalah 17,09, rerata GRWR sebesar 3,11. Rerata perdarahan intraoperasi sebesar 670,4 mL dengan median lama operasi 690 menit, median CIT adalah 57 menit dan rerata WIT adalah 54,9 menit. Komplikasi terjadi pada 96,7% subjek, dengan infeksi (77,4%) sebagai komplikasi tertinggi. Relaparotomi dilakukan pada 54,8% subjek. Median lama rawat 41 hari dengan rentang 18-117 hari. Mortalitas dalam satu tahun pascatransplantasi sebesar 9,3%. Hubungan bermakna didapatkan antara gizi kurang terhadap komplikasi infeksi (p = 0,033), GRWR terhadap lama perawatan pascaprosedur THDH primer (p = 0,00) dan WIT terhadap kejadian relaparotomi (p = 0,007).
Simpulan: Dengan karakteristik pasien atresia bilier yang ada di Indonesia (mayoritas gizi kurang dan rerata skor PELD tinggi) didapatkan angka mortalitas satu tahun cukup kecil dan sebanding dengan pusat transplantasi di dunia. Kejadian relaparotomi dan komplikasi infeksi masih menjadi masalah utama dan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengevaluasi intervensi baik pembedahan maupun medikamentosa dalam memeperkecil kejadian morbiditas dan mortalitas.
Kata Kunci : Atresia bilier, THDH primer, luaran, morbiditas, mortalitas

Introduction: Biliary atresia is a disorder of the bile duct that the most common cause neonatal extrahepatic cholestasis and the most common indication for liver transplantation (+ 50%) in infants and children. Delayed in diagnosis patients with biliary atresia in Indonesia causes the primary LDLT (living donor liver transplantation) rate to be higher than other transplant centers in the world. This study aimed to assess the primary LDLT outcome patients with biliary atresia in RSCM and influencing factors.
Methods: This study was a retrospective cohort study using data on pediatric patients with biliary atresia who were undergoing primary LDLT from December 2010 to December 2019 in RSCM. Patient outcomes within one year postoperatively in the form of morbidity (complications, length of stay, relaparotomy) and mortality were analyzed for preoperative and intraoperative prognostic factors.
Results: There have been 58 liver transplantions in RSCM with 85% (34 subjects) being primary LDLT in children with biliary atresia. The majority were men with median age 14 months. Most of the subjects experienced malnutrition (64.5%). The average PELD score was 17.09, the average GRWR was 3.11. The mean intraoperative bleeding was 670.4 mL with median operating time 690 minutes, median CIT was 57 minutes and the mean WIT was 54.9 minutes. Complications occurred in 96.7% subjects with infection (77.4%) as the highest complication. Relaparotomy was performed in 54.8% subjects. The median length of stay was 41 days with a range of 18-117 days. One year post transplantation mortality was 9.3%. There were statistically significant found between malnutrition and infection complications (p = 0.033), GRWR with length of stay after primary LDLT (p = 0.00) and WIT with incidence of relaparotomy (p = 0.007).
Conclusion: With the characteristics of biliary atresia patients in Indonesia (majority was malnutrition and the average PELD score is high) the one-year mortality rate is quite small and comparable to transplantation centers in the world. The incidence of relaparotomy and infectious complications are still major problems and further research is needed to evaluate both surgical and medical interventions in minimizing the incidence of morbidity and mortality.
Key words: Biliary atresia, primary LDLT, outcome, morbidity, mortality"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasnil Mubarak
"Pendahuluan dan tujuan: Obstruksi pada persimpangan ureteropelvic dapat ditangani dengan pembedahan atau laparoskopi. Laparoskopi pieloplasti (LP) menunjukkan hasil yang lebih baik dari pada pembedahan. Penelitian ini bertujuan untuk melaporkan pengalaman pertama dari laparoskopi pieloplasti sebagai penanganan pada UPJO. Bahan dan metode: Pengumpulan data retrospektif dilakukan di Rumah Sakit Adam Malik, Medan dari tahun 2017 hingga 2019. Pasien didiagnosa dengan UPJO melalui renogram atau CT Scan dan gejala yang muncul ditawarkan untuk dilakukan LP sebagai pilihan terapi. Surat persetujuan didapatkan setelah adanya penjelasan terkait resiko, alternative dan ilmu baru dari Teknik laparoskopi. Status selama operasi, yakni lama operasi, kehilangan darah, serta segala luaran yang negative, dilakukan pencatatan. Hasil: didapatkan total 10 pasien yang dilakukan LP dengan usia rerata adalah 6.10 (+ 3.64) tahun; pria dan wanita didapatkan sebanyak delapan (80%) dan dua (20%). Rata-rata waktu operasi adalah 291,00(+22,828) menit, sedangkan jumlah kehilangan darah selama operasi adalah 56.00 (+18,97)ml, dan lama perawatan adalah 5,7(+0,95) hari. Rerata waktu yang dibutuhkan untuk melakuakn aktifitas kembali adalah 7,30(+0,95) hari. Tiak ditemuan komplikasi setelah operasi pada seluruh pasien. Kami melakukan evalausi dengan USG dan menemukan adanya hidronefrosis ringan pada enam pasien (60%) dan sedang pada empat pasien (40%). Kesimpulan: Dari pengalaman pertama melakukan LP, Teknik ini ditemukan berpotensi sebagai terapi pilihan untuk pieloplasti pada kasus UPJO. Kami menemukan hasil yang sebanding dengan penelitian lain dalam hal waktu operasi dan jumlah kehilangan darah selama operasi yang lebih baik. LP dapat digunakan sebagai opsi lini pertama pada penanganan UPJO.

Introduction and objectives: Ureteropelvic junction obstruction (UPJO) can be treated with surgery or laparoscopy. Laparoscopic pyeloplasty (LP) has been shown to provide better results than surgery. This study aims to report our first experience of laparoscopy pyeloplasty as the management of UPJO. Materials and methods: Retrospective data collection were done in Adam Malik General Hospital, Medan from 2017 to 2019. Patients with UPJO diagnosed by renogram or CT scan and symptoms were offered LP as the treatment option. Informed consent was obtained after explanation about risks, alternatives, and novelty of the laparoscopic technique. Intraoperative status, including duration of operation, blood loss, and all negative outcome, was documented.

Results: A total of 10 patients underwent LP with the average of age was 6.10 (± 3.64) years old; male and female patients were eight (80%) and two (20%). The mean of operation time was 291.00 (±22.828) minutes, while intraoperative blood loss was 56.00 (±18.97) mL, and the length of stay was 5.70 (±0.95) days. The average time to perform daily activities was 7.30 (±0.95) days. No postoperative complication was found in all of our patients. We performed an USG evaluation and revealed mild hydronephrosis in six patients (60%) and moderate hydronephrosis in four patients (40%). Conclusion: From our first experience in performing LP, this technique was found to be a potential treatment option in pyeloplasty for UPJO. We found the comparable result to other studies in term of operative times and a better intraoperative blood loss. LP could be used as the first line option for management of UPJO."

Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila Hasan
"Latar Belakang. Striktur bilier ditemukan pada 70-90% kasus keganasan pankreatobilier dan menimbulkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi terutama pada stadium lanjut yang unresectable. Pada stadium tersebut, tata laksana paliatif bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien dan memperbaiki kesintasan. Tata laksana paliaitf yang dapat dilakukan adalah dengan pemasangan sten bilier perendoskopik dan operasi pintas saluran bilier. Sehingga, perlu diketahui perbedaan kesintasan satu tahun pasien dengan striktur bilier maligna yang mendapatkan terapi paliatif dengan prosedur biliodigestive double bypass dan pemasangan sten bilier perendoskopik di RSCM. Tujuan. Mengetahui perbedaankesintasan antara pasien striktur bilier distal maligna yang menjalani prosedur double bypass dan prosedur pemasangan sten bilier per endoskopik.
Metode. Penelitian dilakukan dengan metode kohort retrospektif dengan subyek penelitian pasien striktur bilier maligna distal yang menjalani prosedur pemasangan sten perendoskopik atau prosedur double bypass di RSCM pada periode 1 Januari 2015 – 31 Desember 2019 dan dilakukan pengamatan selama 1 tahun sejak pasien menjalani prosedur tersebut. Kesintasan dinilai dengan metode Kaplan-Meier dan dilanjutkan dengan analisis multivariat terhadap faktor-faktor yang dinilai dapat menjadi faktor perancu.
Hasil. Penelitian ini berhasil mengumpulkan 119 subjek pada kelompok sten endoskopik dan 39 subjek pada kelompok double bypass. Pada pengamatan kesintasan satu tahun, didapatkan median kesintasan 93 hari pada kelompok sten endoskopik dan 140 hari pada kelompok double bypass [HR 0,871 (IK95% 0,551-1,377; p = 0,551)]. Tidak ditemukan perbedaan kurva kesintasan pada kedua kelompok. Pada analisis multivariat, didapatkan Charlson Comorbidity Index, usia, dan bilirubin adalah variabel perancu.
Kesimpulan. Tidak terdapat perbedaan kesintasan antara pasien striktur bilier distal maligna yang menjalani prosedur double bypass dan prosedur pemasangan sten bilier perendoskopik. Usia, CCI 34, dan kadar bilirubin merupakan faktor perancu terhadap kesintasan kesintasan antara pasien striktur bilier distal maligna yang menjalani prosedur double bypass dan prosedur pemasangan sten bilier per endoskopik.

Background. Biliary strictures are observed in 70-90% of cases of pancreatic malignancy and cause high morbidity and mortality, especially in advanced, unresectable stage. At this stage, palliative management aims to improve the patient's quality of life and survival. Palliative management can be done is by placing an endoscopic biliary stent and biliary tract bypass surgery. Thus, it is necessary to know the one-year survival of patients with malignant biliary stricture who received palliative therapy with billio-digestive double bypass procedures and perendoscopic biliary stent placement in RSCM. Objective. To determine the survival between patients with distal malignant biliary stricture who underwent a double bypass procedure and an endoscopic biliary stent placement procedure.
Methods. This is a restrospective cohort study with the subjects being patients with distal malignant biliary strictures who underwent endoscopic stenting procedures or double bypass procedures at RSCM in the period 1 January 2015 – 31 December 2019 and was observed for one year since the patient underwent the procedure. Survival was done using the Kaplan-Meier method and followed by multivariate analysis using the cox regression test.
Result. We collected 119 subjects in the endoscopic stent group and 39 subjects in the double bypass group. After one year, median survival was 93 days in the endoscopic stent group and 140 days in the double bypass group [HR 0,871 (95%CI 0,551-1,377; p = 0,551)]. In multivariate analysis, it was found that Charlson Comorbidity Index, age, and bilirubin were confounding variables.
Conclusion. There was no difference in survival between patients with malignant distal biliary stricture who underwent a double bypass procedure and an endoscopic biliary stent procedure. Age, CCI 4, and bilirubin levels were confounding factors for survival among patients with malignant distal biliary stricture who underwent a double bypass procedure and an endoscopic biliary stent placement procedure.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Evan Regar
"Latar Belakang: Akses yang baik ke sakus lakrimal sangat penting dalam prosedur DCR endoskopik pada kasus obstruksi duktus nasolakrimal. Struktur ini dapat terhalangi oleh keberadaan agger nasi, yang juga dapat mempersulit prosedur operasi dan meningkatkan angka kegagalan.
Tujuan: Untuk menentukan variasi anatomi agger nasi dalam hubungannya dengan sakus lakrimal menggunakan CT scan dan membandingkannya dengan pembukaannya. Metode: Studi ini merupakan studi potong lintang yang dilakukan pada 11 subjek yang didiagnosis dengan sumbatan saluran air mata hidung terperoleh primer. Subjek menjalani CT scan untuk menilai keberadaan agger nasi dan penempatannya terhadap sakus lakrimal. Subjek kemudian menjalani dakriosistorinostomi endoskopik, dan operator menilai apakah agger nasi perlu dibuka atau tidak untuk mengakses sakus lakrimal. Analisis statistik menggunakan Cohen's Kappa dilakukan untuk mengevaluasi kesepakatan antara kedua temuan tersebut.
Hasil: Dari 13 subjek, 12 adalah perempuan. Agger nasi ditemukan pada 12 dari 13 subjek. Pada pemeriksaan radiologi, 8 dari 12 subjek menunjukkan penempatan sakus lakrimal dengan agger nasi. Pada intraoperatif, agger nasi dibuka pada 9 subjek. Terdapat kesepakatan yang substansial dengan κ = 0,800; p = 0,005. Satu pasien tidak menunjukkan penempatan, namun agger nasi dibuka karena kesulitan mengakses sakus lakrimal yang disebabkan oleh sudut proses frontal maksila.
Kesimpulan: Evaluasi aposisi agger nasi terhadap sakus lakrimal dapat dilakukan secara rutin. Terdapat kesepakatan yang substansial antara pemeriksaan radiologi dan temuan intraoperatif mengenai pembukaan agger nasi.

Background: Proper access to the lacrimal sac is crucial in endoscopic DCR procedures in nasolacrimal duct obstruction. This structure can be obstructed by the presence of the agger nasi, which may complicate the surgery and increasing failure rate.
Objectives: To determine the anatomical variations of the agger nasi in relation to the lacrimal sac using CT scan and comparing it with its opening.
Methods: This study is a cross-sectional study conducted on 11 subjects diagnosed with primary acquired nasolacrimal duct obstruction. The subjects underwent CT to assess the presence of the agger nasi and its apposition to the lacrimal sac. Endoscopic dacryocystorhinostomy was performed, and the operator assessed whether the agger nasi needed to be opened or not to access the lacrimal sac. Statistical analysis using Cohen's Kappa was conducted to evaluate the agreement between the two findings.
Results: Out of the 13 subjects, 12 out of 13 were female. Agger nasi was found in 12 out of 13 subjects. In radiological examination, 8 out of 12 subjects showed apposition of the lacrimal sac with the agger nasi. Intraoperatively, the agger nasi was opened in 9 subjects. There was substantial agreement with a κ = .800; p = .005. One patient did not show apposition, however agger nasi was opened due to difficulty in accessing the lacrimal sac caused by the angulation of the frontal process of the maxilla.
Conclusion: Evaluation of the apposition of the agger nasi to the lacrimal sac can be routinely performed. There is substantial agreement between radiological examination and intraoperative findings regarding the opening of the agger nasi.
"
2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lubis, Andika Rizki
"Latar belakang: Waktu yang tepat untuk pembedahan katup aorta masihmerupakan tantangan saat ini. Pasien sering datang dengan kondisi lanjut denganperubahan geometri ventrikel kiri sebagai mekanisme kompensasi terhadappeningkatan beban tekanan dan volume berkepanjangan yang akan mempengaruhiluaran klinis pascabedah.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahuiapakah terdapat pengaruh karakter ventrikel kiri meliputi ukuran dimensi ventrikelkiri EDD, ESD, FEVKi, indeks massa ventrikel kiri LVMI terhadapmorbiditas dan mortalitas di rumah sakit pascabedah katup aorta pada pasiendengan regurgitasi aorta kronik serta luaran klinis jangka menengah.
Metode: 168 pasien dengan regurgitasi aorta kronik yang menjalani pembedahankatup aorta terseleksi sesuai kriteria inklusi dan eksklusi, pascapembedahandilakukan follow-up terhadap luaran klinis morbiditas dan mortalitas di rumahsakit, kemudian diikuti 1 tahun hingga 5 tahun setelah operasi, morbiditas danmortalitas dievaluasi,
Hasil: Tidak terdapat perbedaan bermakna pada tiap tiapparameter ventrikel kiri EDD, ESD, FEVKi, LVMI terhadap morbiditas danmortalitas saat di rumah sakit p>0,05, terdapat faktor-faktor yang mempengaruhimorbiditas intrahospital yaitu laju filtrasi ginjal p< 0,001 dan usia p=0,001 ,riwayat Penyakit Jantung Koroner PJK, riwayat PPOK dan riwayat stroke, sedangkan morbiditas jangka menengah dipengaruhi oleh kejadian aritmia pascapembedahan p=0,009, terdapat perbaikan pada NYHA functional class.Mortalitas di rumah sakit dipengaruhi oleh usia p=0,001 dan laju filtrasi ginjal p

Background: The optimal timing of aortic valve replacement is still challenging.The patients often come to hospital in end stage clinical performance withalteration in left ventricular LV geometry due to compensatory mechanism tovolume and pressure overload in long term period.
Objective: This study soughtto determine the effect of left ventricular characters diameter of the left ventricle,end diastolic diameter EDD, end systolic diameter ESD, left ventricularejection fraction LVEF, left ventricular mass index LVMI to in hospitalmorbidity and mortality following aortic valve replacement in patients withchronic aortic regurgitation and postoperative mid term outcome.
Methods: 168 patients with chronic aortic regurgitation underwent aortic valve replacementselected according to inclusion and exclusion criteria. Outcomes morbidity andmortality were observed during hospitalization and 1 year until 5 years aftersurgery. Mid term outcomes consisted of NYHA functional class, rehospitalizationand redo operation.
Results: There was no significant difference to in hospitalmorbidity and mortality for each of left ventricular characters p 0,05. Other factors which influenced in hospital morbidity were glomerularfiltration rate p
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Listyo Lindawati Julia
"LATAR BELAKANG : Hipotensi akibat anestesia spinal pada pasien yang menjalani bedah caesar berbahaya bagi ibu dan janinnya. Sehingga, kombinasi anestetik lokal dosis rendah dengan opioid yaitu bupivakain 0,5% hiperbarik 5 mg dan 6 mg ditambah fentanil 25 mcg diharapkan dapat menurunkan angka kejadian hipotensi dengan kualitas analgesia yang adekuat untuk memfasilitasi bedah caesar.
METODE : 394 pasien hamil aterm usia 20 ? 40 tahun yang akan menjalani bedah caesar, baik cito maupun elektif ASA I ? II,yang sesuai dengan kriteria inklusi.Randomisasi menjadi kelompok I yang mendapat bupivakain 0,5% hiperbarik 5 mg ditambah fentanil 25 mcg serta kelompok II (kontrol) yang mendapat bupivakain 0,5% hiperbarik 6 mg ditambah fentanil 25 mcg.Posisi pasien pada kedua kelompok sama yaitu posisi lateral dengan pungsi lumbal setinggi L3-4/L4-5.Total volume 1,7cc disun tikkan dengan kecepatan 0,2 cc/detik.Kemudian telentang dengan posisi left lateral tilt. Dilakukan pencatatan tekanan darah pada menit ke - 3,6,,9,12,15,20,30,40,50,60 setelah disuntikkannya obat anestetik lokal ke ruang subaraknoid.
HASIL : Terdapat 3 subyek penelitian yang dikeluarkan pada kelompok I, karena dikonversi menjadi anestesia umum . Terdapat 2 subyek penelitian pada kelompok II yang mendapatkan fentanil 100 mcg intravena. Angka kejadian hipotensi pada kelompok I 9,3% dan pada kelompok II adalah 12,2%.
KESIMPULAN : Tidak terdapat perbedaan yang bermakna mengenai angka kejadian hipotensi pada kedua kelompok subyek penelitian.

BACKGROUND: Hypotension due to spinal anesthesia in patients undergoing cesarean section is dangerous for both mother and fetus. So with a combination of low doses of local anesthetics 0.5% hyperbaric bupivacaine 5 mg and 6 mg plus fentanyl 25 mcg is expected to reduce the incidence of hypotension with adequate quality of analgesia to facilitate cesarean section.
METHODS: 394 pregnant patients at term age 20-40 years undergo caesarean section, either cito and elective ASA I - II, in accordance with the criteria I inclusion. Randomization into groups that received 0.5% hyperbaric bupivacaine 5 mg plus fentanyl 25 mcg and group II (controls) who received 0.5% hyperbaric bupivacaine 6 mg plus fentanyl 25 mcg.Posisi patients in both groups were the same, namely the lateral position with the highest lumbar puncture L3-4/L4-5.Total injected volume is 1.7 cc with speed of injection 0.2 ml / second. Then move patient to supine position with left lateral tilt. Do blood pressure recording in minute - 3.6,9,12,15,20,30,40,50,60 after injection of local anesthetic drugs into the subarachnoid space.
RESULTS: There were three subjects that excluded subjects in group I, because converted to general anesthesia. There are two subjects in group II who received fentanyl 100 mcg intravenously. The incidence of hypotension in group I and 9.3% in group II was 12.2%.
CONCLUSION: There was no significant difference in the incidence of hypotension in both groups."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>