Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 84083 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dwi Romadhanayanti
"L-asam askorbat adalah antioksidan alami dan penangkap radikal yang melindungi komponen seluler terhadap kerusakan oksidatif oleh radikal bebas dan oksigen aktif. Namun, L-asam askorbat mudah teroksidasi oleh panas, cahaya dan oksigen di udara menyebabkan hilangnya aktivitas dan juga tidak larut dalam minyak, sehingga memiliki penggunaan terbatas.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan senyawa etil askorbil eter dari L-asam askorbat yang berasal dari buah belimbing wuluh hasil reaksi eterifikasi yang kemudian dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif dengan kromatografi cair kinerja tinggi. Penelitian ini terlebih dahulu dilakukan penetapan kadar L-asam askorbat baik dalam filtrat dan serbuk hasil pengeringan dari filtrat buah belimbing wuluh.
Dari hasil analisis didapat kadar L-asam askorbat dalam filtrat dan hasil pengeringannya masingmasing sebesar (33,29 ± 0,513) % b/v dan (27,31 ± 0,124) % b/b. Kondisi analisis ini dilakukan dengan menggunakan fase gerak asetonitril-air (4:6 v/v), kecepatan alir 1,0 ml/menit, panjang gelombang 248 nm dengan kolom C-18.
Dari hasil analisis kualitatif didapat waktu retensi dari senyawa etil askorbil eter yang didapat dari hasil reaksi eterifikasi dari standar L-asam askorbat adalah 2,706 menit dan dari L-asam askorbat yang terkandung dalam serbuk hasil pengeringan dari filtrat buah belimbing wuluh adalah 2,505 menit dan 2,719 menit. Lalu secara kuantitatif didapat bahwa kadar dari senyawa etil askorbil eter dari standar asam askorbat adalah (21,36 ± 0,555) % b/b dan dari serbuk hasil pengeringan dari filtrat buah belimbing wuluh adalah (10,29 ± 0,082) % b/b.

L-Ascorbic acid is a natural antioxidant and radical scavenger that protects cellular components of oxidative damage by free radicals and active oxygen. However, L-ascorbic acid is easily oxidized by heat, light and oxygen in the air led to the loss of activity and also does not dissolve in the oil, so it has a limited use.
The aim of study was to obtain ethyl ascorbyl ether of L-ascorbic acid compound from carambola wuluh fruit that was result of etherification and then analyzed qualitative and quantitative with chromatography liquid high performance. The research was initiated with determination of the levels of Lascorbic acid in filtrate and the result of dried from carambola wuluh fruit filtrate.
From the analysis of L-ascorbic acid levels in the filtrate and dried result were obtained, respectively (33.29 ± 0.513)% w/v and (27.31 ± 0.124)% w/w. The condition analysis was performed using mobile phase acetonitrile-water (4:6 v /v), flow rate 1.0 ml/min, wavelength 248 nm with the C-18 column.
The results of qualitative analysis were obtained the retention time of ethyl ascorbyl ether compounds of etherification from the L-ascorbic acid standard was 2.706 minutes and from L-ascorbic acid in the powder from dried result of carambola wuluh fruit filtrate was 2.505 minutes and 2.719 minutes. Then quantitatively obtained that the levels of ethyl ascorbyl ether from standard L-ascorbic acid was (21.36 ± 0.555)% w/w and the powder from dried result of carambola wuluh fruit filtrate was (10.29 ± 0.082)% w/w.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2012
S1814
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Della Syariyana
"ABSTRAK
Belimbing Wuluh Averrhoa blimbi L. diketahui memiliki fungsi antioksidan dengan kandungan terbesarnya yaitu vitamin C. Fungsi dari vitamin C yang terdapat pada buah belimbing wuluh dapat dimanfaatkan sebagai sediaan, diantaranya adalah sediaan serum. Serum merupakan sediaan cair dengan partikel kecil sehingga dapat meresap ke dalam kulit. Tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah membuat formula dan melakukan pengujian terhadap stabilitas fisik sediaan serum wajah yang mengandung ekstrak etanol buah belimbing wuluh Averrhoa bilimbi L. serta menguji aktivitasnya sebagai antioksidan. Pada penelitian ini dibuat formula sediaan serum wajah yang mengandung ekstrak buah belimbing wuluh Averrhoa bilimbi L. dengan konsentrasi 1, 2, dan 3 serta blanko negatif sebagai pembanding yang tidak mengandung ekstrak buah belimbing wuluh. Dilakukan uji antioksidan dengan menggunakan metode DPPH untuk mengetahui nilai IC50 pada setiap formula sediaan serum wajah. Setelah itu, dilakukan uji stabilitas fisik pada keempat sediaan serum wajah dan cycling test. Hasil menujukkan nilai IC50 dari ekstrak etanol buah belimbing wuluh adalah sebesar 42,78 ppm. Sediaan serum wajah 1, 2, dan 3 masing-masing memiliki nilai IC50 rata-rata sebesar 362,12; 251,09; dan 102,27 ppm. Pada minggu kedelapan aktivitas antioksidan menunjukkan tidak terjadi perubahan yang signifikan. Sediaan serum terbukti stabil secara fisik dan dapat disimpulkan bahwa sediaan serum wajah yang mengandung ekstrak buah belimbing wuluh dapat dijadikan sebagai sediaan antioksidan.

ABSTRACT
Belimbing Wuluh Averrhoa blimbi L. is known as an antioxidant for its dominant contents which is Vitamin C. The vitamin C in it as antioxidant can be formed into serum. Serum is a liquid with small particles, that enable it to be absorbed into the skin. The aims of this study were to create a formula, conduct the physical stability study and antioxidant activity study as a facial serum containing ethanol extract of belimbing wuluh Averrhoa blimbi L. . In this study, facial serum formulation was made containing 1, 2, and 3 of belimbing wuluh Averrhoa blimbi L. extract, and also negative blank formula that was not containing belimbing wuluh extract that used as a reference. The antioxidant activity study was performed with DPPH method to obtain IC50 value from each formula. After that, physical stability study and cycling test were performed to all four facial serum formulae. IC50 value obtained from ethanol extract of belimbing wuluh Averrhoa blimbi L. was 42.78 ppm. On the other hand, others facial serum formulae that containing 1, 2, and 3 ethanol extract of belimbing wuluh Averrhoa blimbi L. gave 362.12 251.09 and 102.27 ppm, respectively it. After eight weeks, antioxidant activity from each formula was measured again and gave no significant different results. The result obtained showed that facial serum formula were physically stable and it can be concluded that facial serum containing belimbing wuluh Averrhoa blimbi L. extract can be used as antioxidant dosage form."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yunita Sadeli
"ABSTRAK
In order to maintain issued of environmental safe and clean, Indonesian government has been tried very hard to reduce toxicity, especially in water cooling systems by prohibiting chromate to be used.
A part from inhibitor chromate, the industries still use some inhibitors such as zinc phosphate, polyphosphonat etc, but the dangers of these inhibitors still unsolved. To anticipated of this condition, in this time has been made an advances of development of unpoisonous inhibitor called Ascorbic Acid (vitamin C).
The investigation started with behaviour of Ascorbic Acid in near neutral aqueous solution regarding corrosion of stainless steel. The experiment result indicated that inhibition of Ascorbic Acid gave effectiveness of 75 - 83 %. with intervals of 60 - 100 ppm. This effectiveness values can be said that Ascorbic Acid very promising to be used for inhibitor corrosion. Furthermore research must take place to get more information about inhibition of Ascorbic Acid, so that Ascorbic Acid can be used commercially in industries."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1993
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Puspa Handayani
"ABSTRAK
Perbaikan gizi merupakan faktor penting untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, karena erat hubungannya dengan peningkatan derajat kesehatan, pertumbuhan jasmani, dan kecerdasan. Protein hewani diketahui memiliki kelebihan dibandingkan protein nabati, karena mengandung asam-asam amino esensial yang lebih lengkap den seimbang, lebih mudah dicerna dan diabsorpsi, sehingga nilai biologisnya lebih tinggi. Widya Karya Pangan dan Gizi III tahun 1983 (1), yang membahas keadaan gizi di Indonesia, mengusulkan angka kecukupan protein hewani sebesar 10 g/kapita/hari. Namun, pada pendataan Biro Pusat Statistik (BPS) 1985 (2) didapatkan konsumsi protein hewani masyarakat sebesar 8,22 g/kapita/hari atau 11,80 % konsumsi protein total. Jumlah ini masih jauh di bawah kebutuhan yang dianjurkan, yakni 20 % konsumsi protein total. Pada Widya Karya Pangan dan Gizi 1988 (3) target konsumsi protein hewani sebesar 15 g/kapita/hari atau merupakan 30 % seluruh kebutuhan protein yaitu sebesar 50 g/kapita/hari.
Data BPS 1985 menunjukkan bahwa 59,65 % protein hewani yang dikonsumsi berasal dari ikan, 34,94 % nya berasal dari ikan asin {21 % dari protein hewani berasal dari ikan asin).
Ikan diketahui mengandung protein yang mempunyai kualitas setara protein daging hewan lain, mengandung asam lemak tak jenuh lebih tinggi daripada daging, berserat halus, dan mudah dicerna. Oleh karena itu untuk meningkatkan konsumsi protein hewani, ikan asin merupakan salah satu pilihan. Ikan asin selain digemari masyarakat, secara ekonomis relatif terjangkau, dan produksinya memadai.
Di Indonesia pembuatan ikan asin dilakukan secara tradisional, yang pada umumnya dibuat dari ikan segar dengan menambahkan garam dapur (NaCl) sebanyak 25-30 % berat ikan, kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari. Di dalam proses pengolahan kadangkala ditambahkan garam sendawa sebagai pengawet (4). Garam sendawa mengandung kalium nitrat dan natrium nitrit, yang merupakan prekursor nitrosamin yang dikenal bersifat karsinogenik. Nitrosamin dapat terbentuk sebagai hasil reaksi antara nitrit dan senyawa amin pada daging ikan dan hewan lain {5-9). Reaksi nitrosasi dapat terjadi baik in vitro maupun in vivo (5-10). Hadiwiyoto dan kawan-kawan membuktikan bahwa penggunaan garam sendawa yang berlebih pada 'cured meat' menimbulkan senyawa nitrosamin dan reside nitrit (4). Christiansen dan kawan-kawan, dikutip dari Hadiwiyoto, membuktikan genggunaan 2000 'part per million' (ppm) garam nitrat pada sosis mengakibatkan terbentuknya senyawa nitrosamin (4). Penelitian Yu dan kawan-kawan (6,7) serta Tannenbaum dan kawan-kawan (11) menemukan adanya nitrosamin pada sampel 'Cantonese-style salted fish' yang juga dibuat secara tradisional dengan penggaraman dan pengeringan di bawah sinar matahari.
Beberapa penelitian menghubungkan konsumsi ikan asin dengan keganasan nasofaring (KNF). Penelitian Poirier dan kawan-kawan di 3 daerah dengan resiko tinggi KNF (Tunisia, Cina Selatan, den Greenland), menemukan adanya nitrosamin pada sampel makanan yang diawetkan, termasuk 'Cantonese-style salted fish'. Penelitian Yu den kawan-kawan menemukan adanya nitrosamin pada sampel 'Cantonese-style salted fish', dan adanya hubungan bermakna antara konsumsi ikan asin dengan timbulnya KNF di Hong Kong dan Guang-xi, Cina. Penelitian terhadap etnik Cina yang bermukim di California dan Malaysia juga menemukan hubungan bermakna antara konsumsi ikan asin dan timbulnya KNF. Pada penelitian eksperimental dengan tikus percobaan oleh Yu dan kawan-kawan yang diberi 'Cantonese-style salted fish' menimbulkan karsinoma daerah nasal atau paranasal {12). Penelitian lain {13) menyatakan adanya kaitan antara virus Epstein-Barr (VEB) dan konsumsi ikan asin merupakan penyebab utama timbulnya KNF."
1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Widya Puspita Sari
"Sintesis zeolit FAU tipe Y dilakukan dengan teknik seeding, dalam proses hidrotermal dengan direfluks selama 192 jam pada suhu 100°C. Sumber silika berasal dari tetraetilortosilikat (TEOS), aluminium isopropoksida Al[((CH3)2 CHO)]3 sebagai sumber alumunium. Hasil Sintesis dikarakterisasi menggunakan XRD, SEM-EDS, dan FTIR yang menunjukan terbentuknya struktur zeolit tipe Y. Selanjutnya Zeolit ditumbuhkan pada Elektroda Glassy Carbon dengan teknik layer by layer, yaitu dengan pelapisan larutan poli elektrolit, Poly diallyl dimethyl ammonium chloride (PDDA) yang bermuatan positif dan Poly-4-sodium styrene sulfonate (PSS) yang bermuatan negatif selanjutnya dilakukan satu kali pelapisan akhir dengan seed. Elektroda yang termodifikasi dengan zeolit (ZME) dikarakterisasi dengan menggunakan XRD, SEMEDS dan FTIR, terlihat bahwa ukuran zeolit yang terbentuk hampir seragam yaitu kubus dan metilen biru terabsorpsi dalam ZME. ZME digunakan sebagai indikator asam askorbat dengan memasukkan metilen biru ke dalam pori-pori zeolit, sehingga terjadi reaksi reduksi-oksidasi. Dari hasil pengukuran voltametri siklik pada elektroda glassy carbon yang termodifikasi dengan zeolit sintetik belum memberikan respon yang baik terhadap keberadaan senyawa asam askorbat.

Zeolite FAU type Y synthesis was done with seeding technique, in hydrothermal process with reflucted for 192 hours at 100°C temperature. Silica source got from Tetra Ethyl Orto Silica (TEOS), Al[((CH3)2CHO)]3 as Alumunium source. The result of synthesis is characterized with XRD, SEM-EDS and FTIR which show zeolite structure type Y is formed. Next zeolite is grown to glassy carbon electrode with layer by layer technique, there for with the layer of poly electrolite solution, Poly diallyl dimethyl ammonium chloride (PDDA) which has positive charge and Poly-4-sodium styrene sulfonate (PSS) with negative charge futhermore will done one last process of layer with seed. Modified electrode with zeolite ZME is characterized using XRD, SEM-EDS and FTIR, show that an the size of zeolite formed almost same, they are cubic and methylen blue is absorbed in ZME. ZME used as indicator of ascorbic acid with fill in methylen blue inside the zeolite pores, so redox reaction occurs. From the cyclic voltametry measurement through glassy carbon modified electrode with synthetic zeolite, respond to ascorbic acid is negative."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2012
S1338
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muharijal
"Pengujian dilakukan untuk mengetahui hubungan antara laju aliran bahan dengan temperature pengeringan minimum dan daya tambahan pada pengering semprot di laboratorium perpindahan massa Departemen Teknik Mesin Universitas Indonesia. Adapun variable pengujian adalah aliran bahan, tekanan nozzel, aliran udara dan dew point. Variasi aliran bahan sebesar 0,18; 0,27; 0,36 dan 0,54 [liter/jam], tekanan nozzle 1; 2; dan 3 [bar], laju aliran udara 0,0047; 0,0067; 0,0082; dan 0,0097 [m /det], dew point 10;17;23 [oC].Dari percobaan yang sudah dilakukan, pada aliran bahan yang rendah dengan variable lain konstan aliran udara, tekanan nozzle, dew point maka temperatur pengeringan minimum akan rendah. Untuk daya tambahan, kenaikan aliran bahan sangat mempengaruhi penurunan daya tambahan yang dibutuhkan. Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui masalah ndash; masalah apa saja yang timbul.

Tests conducted to determine the relationship between the feed flow rate with minimum drying temperature and additional power on the spray drying in laboratory mass transfer department of mechanical engineering, University of Indonesia. The variables of test are feed flow rate, pressure nozzle, air flow rate and dew point. Variation of feed flow rate of 0,18 0,27 0,36 and 0,54 litre hour pressure nozzle 1 2 and 3 bar , air flow rate 0,0047 0,0067 0,0082 dan 0,0097 m3 sec , dew point 10 17 23 oC .From the experiments that have been carried out, the lower feed flow with other variables are constant pressure nozzle, air flow rate and dew point so the lower drying temperature. For additional power, the higher feed flow rate effects lower the additional power needed. This test aims to determine any issue that arises. "
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Klarisa Rizkyana
"Butylated Hydroxyanisol (BHA) dan Asam Askorbat merupakan antioksidan yang biasa digunakan sebagai BTP (Bahan Tambahan Pangan). Antioksidan ini dapat berubah menjadi pro-oksidan yang dapat menghasilkan radikal bebas seperti radikal hidroksil (HO●). Radikal hidroksil (HO●) dapat menyerang basa-basa DNA dan membentuk DNA adduct 8-OHdG. Pada penelitian ini, DNA 2?-deoksiguanosin 5?-monofosfat (dGMP) direaksikan dengan BHA dan Asam Askorbat melalui reaksi Fenton (Fe(II) dan H2O2) dengan variasi pH (7,4 dan 8,4) dan suhu (37oC dan 60 oC) menggunakan HPLC-UV pada panjang gelombang 254 nm. Konsentrasi adduct keseluruhan yang terdeteksi hanya mencapai nilai batas deteksi namun tidak dapat terkuantifikasi. Pembentukan DNA Adduct 8-OHdG dari senyawa BHA terdeteksi pada reaksi dGMP, BHA dan Fe(II) pada pH 7,4 dan 8,4 baik suhu 37 oC maupun 60oC. Selain itu, terdeteksi pada reaksi dGMP, BHA, Fe(II), dan penambahan H2O2 pada pH 7,4 dan 8,4, suhu 60 oC. Di sisi lain, pembentukan DNA Adduct 8-OHdG dari senyawa Asam Askorbat hanya terdeteksi pada reaksi dGMP, Asam Askorbat, Fe(II), dan penambahan H2O2 pada pH 8,4, baik suhu 37 oC maupun 60 oC. Pembentukan DNA adduct 8-OHdG pada pH 8,4 lebih tinggi dibandingkan pH 7,4 dan pembentukan DNA adduct 8-OHdG pada suhu 37°C juga lebih tinggi dibandingkan suhu 60°C.

Butylated Hydroxyanisol (BHA) and Ascorbic Acid are antioxidants that are commonly used as food additives. These antioxidants can be turned into pro-oxidants which can generate free radicals, such as hydroxyl radical (HO●). Hydroxyl radical (HO●) can attack the bases of DNA and forming DNA adduct 8-OHdG. This research was conducted by reacting DNA 2'-deoxyguanosine 5'-monophosphate (dGMP) with BHA and ascorbic acid through Fenton reaction (Fe(II) and H2O2) with variation of pH (7,4 and 8,4) and temperature (37°C and 60°C) using HPLC-UV at wavelength of 254 nm. Overall, the concentration of adduct was detected only attaining the limit of detection value, but it cannot be quantified. The formation of DNA adduct 8-OHdG of BHA compound was detected in the reaction of dGMP, BHA and Fe (II) at pH 7,4 and 8,4 either 37°C or 60°C. Additionally, it was also detected in the reaction of dGMP, BHA, Fe(II) and H2O2 at pH 7,4 and 8,4, at the temperature of 60°C. On the other side, the formation of DNA adduct 8-OHdG of ascorbic acid compound was only detected in the reaction of dGMP, ascorbic acid, Fe (II) and H2O2 at pH 8.4 either 37°C or 60°C. DNA adduct 8-OHdG formation at pH 8.4 is higher than pH 7.4. DNA adduct 8-OHdG formation at the temperature of 37°C is also higher than 60°C."
2016
S64246
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ardika Ardiyanti
"Magnesium askorbil fosfat (MAP) merupakan derivat dari asam askorbat yang lebih stabil dan berfungsi sebagai antioksidan. Dikarenakan sifatnya yang hidrofilik, MAP sulit berpenetrasi ke dalam kulit. Oleh karena itu, digunakan transfersom yang merupakan pembawa vesikel berbasis lipid yang memiliki kemampuan untuk berdeformasi sehingga dapat meningkatkan penetrasi dari MAP. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan formulasi transfersom magnesium askorbil fosfat (MAP) dengan menggunakan Tween 20 dan Tween 80 sebagai surfaktan, serta membandingkan daya penetrasi MAP dari sediaan gel transfersom dan sediaan gel konvensional. Pembuatan transfersom dilakukan dengan menggunakan metode hidrasi lapis tipis. Formula TMAP20 memiliki ukuran partikel rata-rata 588,37 nm, zeta potensial -25,8±4,19 mV, efisiensi penjerapan 68,276 % (metode ultrasentifugasi) atau 68,527 % (metode dialisis), dan indeks deformabilitas 759,869; sedangkan formula TMAP80 memiliki ukuran partikel rata-rata 582,68 nm, zeta potensial -22,3±5,01 mV, efisiensi penjerapan 66,830 % (metode ultrasentrifugasi) atau 60,734 % (metode dialisis), dan indeks deformabilitas 733,407. Jumlah kumulatif MAP yang terpenetrasi dari gel transfersom adalah 5293,575±9,99 μg/cm2 atau 35,271±0,76 % dengan fluks 618,53±2,57 μg cm-2 jam-1; sedangkan jumlah kumulatif MAP yang terpenetrasi dari sediaan gel konvensional adalah 632,441±6,23 μg/cm2 atau 4,316±0,05 % dengan fluks 56,83±0,43 μg cm-2 jam-1

Magnesium ascorbyl phosphate is a more-stable derivative of ascorbic acid that is used as antioxidant. Due to its hydrophiilicity, MAP is difficult to penetrate accross the skin. Therefore, it is used transfersome which is deformable lipid based vesicle carrier to enhance penetration of MAP. The purpose of this research is to obtain formulation of Magnesium ascorbyl phospate (MAP)-loaded tranfersome using Tween 20 and Tween 80 as surfactant; and to compare the penetration ability of MAP between tranfersomal gel and conventional gel. Preparations of transfersome is using thin film hydration method. Formula TMAP20 has average particle size 588,37 nm, zeta potential -25,8±4,19 mV, entrapment efficiency 68,276 % (ultracentrifugation method) or 68,527 % (dialysis method), and deformability index 759,869; meanwhile formula TMAP80 has average particle size 582,68 nm, zeta potential -22,3±5,01 mV, entrapment efficiency 66,830 % (ultracentrifugation method) or 60,734 % (dialysis method), and deformability index 733,407. Total cumulative penetration of MAP from transfersomal gel is 5293,575 ± 9,99 μg/cm2 which is equivalent to 35,271±0,76 % and its flux is 618,53±2,57 μg cm-2 hour-1; meanwhile total cumulative penetration of MAP from conventional gel is 632,441±6,23 μg/cm2 which is equivalent to 4,316±0,05 % and its flux is 56,83±0,43 μg cm-2 hour-1.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2015
S60449
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aurora Syafrina Zahra Ghaida
"α-Mangostin merupakan ekstrak dari kulit manggis yang belakangan ini sedang diteliti untuk sifat antioksidannya. α-Mangostin dapat diserap dengan baik oleh tubuh terutama pada usus besar sehingga penghantaran obat secara oral melalui mulut dipilih. Namun, pemberian obat secara oral memiliki tantangan yaitu kondisi pada saluran pencernaan yang begitu ekstrem, terutama pada lambung yang dapat mendegradasi α-mangostin sebelum sampai ke usus besar. Oleh karena itu, matriks biopolimer campuran kitosanalginat- pektin dengan penambahan asam askorbat dan asam folat digunakan untuk mengenkapsulasi α-mangostin agar terjadi pelepasan lambat di dalam usus besar. α- Mangostin dilarutkan dengan Deep Eutectic Solvent (DES) yang terdiri dari campuran kolin klorida dan 1,2-propana untuk menggantikan pelarut konvensional karena DES mampu mengekstraksi α-mangostin dari kulit manggis dengan baik dengan karakteristiknya yang tidak beracun, dan aman untuk dikonsumsi. Matriks obat dibuat melalui proses pengeringan beku karena tidak melibatkan suhu tinggi dan tidak ada senyawa bioaktif yang terbuang selama preparasi. Penelitian ini diharapkan memperoleh hasil analisis mengenai penambahan asam askorbat dan asam folat pada formula kitosanalginat- pektin untuk mengenkapsulasi mangostin yang dilarutkan dalam DES dan memperoleh profil pelepasan senyawa bioaktif mangostin, asam askorbat, dan asam folat pada formula kitosan-alginat-pektin. mikropartikel kitosan-alginat-pektin dan DES dalam sistem pencernaan manusia. Ekstrak yang digunakan memiliki kemurnian α-mangostin sebesar 76,8%. Sampel yang dibuat sebanyak 4 sampel dengan rendemen berkisar antara 58% sampai 62% dengan pembebanan aktual di atas pembebanan teori. Matriks tersebut mengandung kandungan fenolik 184,332mg GAE/g ekstrak, kandungan antioksidan 102919,021 μmol Fe(II)/100 g matriks, dan IC50 85,502ppm. Pada uji pelepasan, persentase pelepasan kumulatif untuk ekstrak manggis, asam askorbat, dan asam folat di bawah 30%.

α-Mangosteen, an extract from the peel of mangosteen, is being studied for its potential as an antioxidant. Mangosteen is best administered orally because it is readily absorbed in the colon. The extreme condition in the gastrointestinal tract, particularly in the stomach, where α-mangosteen is degraded before it reaches the colon, presents difficulties for oral administration of the medication. Therefore, α-mangosteen was enclosed in a mixed chitosan, alginate, and pectin biopolymer matrix along with ascorbic acid and folic acid for gradual release in the large intestine. Conventional solvents were replaced with Deep Eutectic Solvent (DES), which is composed of choline chloride and 1,2-propanediol and is capable of extracting α-mangosteen from mangosteen peel effectively. DES is also non-toxic and safe for human consumption. The preparation of the drug matrix was carried out using freeze drying because it did not involve high temperatures and the process of removing some of the bioactive compounds during preparation. This research is expected to obtain analysis results regarding the addition of ascorbic acid and folic acid to the chitosan-alginate-pectin formula to encapsulate mangostin which is dissolved in DES and obtain release profiles of the bioactive compounds mangostin, ascorbic acid, and folic acid in chitosan-alginate-pectin microparticles and DES in the human digestive system. The extract used had α-mangostin purity of 76.8%. The samples made were 4 samples with a yield ranged from 58% to 62% with the actual loading is above the theoritical loading. The matrix contains phenolic content of 184.332mg GAE/g extract, antioxidant content of 102919.021 μmol Fe(II)/100 g matrix, and IC50 85,502ppm. In the release test, the cummuative release percentage for mangoste extract, ascorbic acid, and folic acid is below 30%."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>