Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3346 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mohd. Tarmizi Kamzon
Malaysia: Perpustakaan Negara Malaysia, 2008
R 635.7 MOH h
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Arini Dyah Sri Puspita Dewi
"Asiatikosid merupakan salah satu senyawa triterpen utama dalam herba tanaman Pegagan. Senyawa ini memiliki banyak khasiat bagi kesehatan diantaranya mampu menyembuhkan luka, anti stretch marks, ulkus lambung, antikonvulsif, antimikroba, dan imunomodulator. Asiatikosid memiliki sifat hidrofil, oleh karena itu untuk meningkatkan penetrasinya asiatikosid diinkorporasikan dalam etosom. Etosom merupakan modifikasi liposom yang terdiri dari fosfolipid, etanol, dan air. Penelitian ini bertujuan untuk memformulasikan dan mengkarakterisasi etosom dengan berbagai konsentrasi ekstrak dan menguji daya penetrasi secara in vitro sediaan krim mengandung etosom ekstrak herba pegagan. Berdasarkan hasil karakterisasi, dipilih satu formula terbaik yakni F1 dengan konsentrasi ekstrak 0,6 yang memiliki bentuk sferis, efisiensi penjerapan 75,03 0,295 , ukuran partikel 94,71 2,807nm, PDI 0,338 0,046 dan zeta potensial -25,067 0,814. Setelah itu, F1 etosom diformulasikan ke dalam sediaan krim dengan basis TEA stearat. Sediaan krim mengandung etosom kemudian dievaluasi, uji stabilitas secara fisik, dan uji penetrasi secara in vitro menggunakan sel difusi franz dibandingkan dengan krim kontrol, yakni krim mengandung ekstrak herba pegagan tanpa dibuat etosom. Dari hasil uji penetrasi didapatkan jumlah kumulatif asiatikosid yang terpenetrasi dari sediaan krim etosom dan krim non etosom secara berturut-turut sebesar 3651,271 37,579 ?g/cm2 dan 2873,016 36,850 ?g/cm2. Selain itu, nilai fluks kecepatan penetrasi asiatikosid dari sediaan krim etosom lebih besar daripada krim non etosom. Berdasarkan hasil pengujian tersebut dapat disimpulkan bahwa etosom dapat meningkatkan penetrasi asiatikosid melalui kulit.

Asiaticoside is one of the most important triterpene compound Pegagan herb. This substance has many therapeutic effects for human health such as in treatment of wound healing, anti stretch marks, gastrointestinal ulcer, anticonvulsive, antimicrobial effect and immunomodulatory effect. Asiaticoside had hydrophilic properties, therefore to increase its penetration, asiaticoside was incorporated in carrier sytems called ethosome. Ethosome is a modification of liposome that consists of phospholipid, ethanol up to 50 and water. The objectives of this study were to formulate and to characterize ethosome containing various concentration of Centella asiatica herb extract and to evaluate in vitro penetration ability of cream containing ethosome Centella asiatica herb extract. The result of characterization showed the first formula F1 with concentration of extract 0,6 as the best ethosome formula. F1 had properties such as spherical morphology, entrapment efficiency 75,03 0,295 , particle size 94,71 2,807nm, polydispersity index 0,338 0,046 and zeta potential 25,067 0,814. After that, F1 ethosome was formulated into cream with TEA stearic basis. Creams containing ethosome were evaluated, conducted physical stability test and in vitro penetration study using franz diffusion cell compared to control cream, which is cream containing non ethosome extracts. Based on the result of penetration study, ethosome cream and non ethosome cream had cumulative amount of asiaticoside penetrated sebesar 3651,271 37,579 g cm2 and 2873,016 36,850 g cm2. Furthermore, flux penetration rate asiaticoside of ethosome cream greater than non ethosome cream. So, it can be concluded that ethosome can increase asiaticoside penetration across the skin."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2017
S69715
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Roselyndiar
"Herba seledri dan daun tempuyung merupakan tanaman yang dapat digunakan sebagai pengobatan hipertensi. Herba seledri bekerja sebgai agen vasorelaksasi dan daun tempuyung bekerja sebagai agen diuretik. Penelitian ini dilakukan untuk membuat sediaan kapsul herba seledri dan daun tempuyung. Herba seledri dan daun tempuyung diekstraksi dengan proses maserasi dengan pelarut etanol 70% dan difraksinasi dengan n-heksan. Senyawa aktif yang berperan sebagai antihipertensi adalah flavonoid. Penetapan kadar flavonoid total dilakukan secara spektrofotometri UV-Vis dengan metode Chang, dengan hasil kadar flavonoid dalam fraksi polar herba seledri adalah 9,16 % dan daun tempuyung 8,03 %. Pembuatan serbuk ekstrak dilakukan melalui pengeringan dengan selulosa mikrokristalin (Vivapur 101) dengan perbandingan ekstrak : Vivapur 101 (1:0,5 ; 1:0,75; dan 1:1). Hasil optimasi dengan kadar air paling kecil adalah pada perbandingan 1:1 dengan bentuk serbuk yang lebih halus akan digunakan dalam formulasi selanjutnya.
Formulasi dilakukan dalam 3 formula berbeda. Formula A merupakan formula yang tidak ditambahkan bahan pengisi tambahan, sedangkan formula B dan C ditambahkan bahan pengisi tambahan, yaitu Vivapur 102 untuk formula B, dan amilum jagung untuk formula C. Pada masing-masing formula ditambahkan Aerosil 3% sebagai adsorben, Mg stearat 1% dan talk 1% sebagai pelincir dan glidan. Ketiga formula memiliki hasil laju alir, sudut istirahat, bulk tapped density dan uji higroskopisitas yang hampir sama. Oleh karena itu formula tanpa pengisi tambahan (formula A) sudah baik digunakan sebagai formula sediaan kapsul.

The celery herb and tempuyung leaf can be used as a treatment of hypertension. They contain flavonoid compounds which have anti hypertension activity. The celery herb works as vasorelaxation agent and the tempuyung leaf as diuretic agent. This study was conducted to prepare the capsule formulation of the celery herb and tempuyung leaf. The celery herb and tempuyung leaf were extracted with maceration process with solvent 70% ethanol and fractionated with n-hexane. Determination of total flavonoid levels performed by UV-Vis spectrophotometre by Chang's method, with the flavonoid?s levels in the polar fraction of the celery herb and tempuyung leaf were 9.16% and 8.03%, respectively. The extracts were dried by adding microcrystalline cellulose (Vivapur 101) with a ratio of the extract - Vivapur 101 were 1:0,5; 1:0,75, and 1:1. The results showed that extract - Vivapur 101 1:1 powder produced the lowest water content, so it was suitable to be used for the subsequent formulations.
The formulation was prepared in three different formulas. Formula A was not added filler, while the formulas B and C were added filler, Vivapur 102 for formula B, and corn starch for formula C. Each formula was added Aerosil 3% as an adsorbent, Mg stearate 1% and talc 1% as lubricant and glidant. The result showed that the value of the flow rate, the angle of repose, tapped bulk density and hygroscopicity of all three formulas were almost the same. Therefore, the formula without additional filler (formula A) was chosen as the used formula for the capsule of the celery herb and tempuyung leaf extract.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2012
S1774
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
R. M. Suryo Anggoro Kusumo Wibowo
"klerosis sistemik atau skleroderma adalah suatu penyakit jaringan ikat yang dimediasi imun yang ditandai dengan fibrosis kulit dan organ dalam serta vaskulopati. Penyebab kematian utama pada sklerosis sistemik adalah penyakit paru interstisial. Pengobatan penyakit paru interstisial pada sklerosis sistemik saat ini belum memuaskan. Herba ciplukan (Physalis angulata) merupakan salah satu terapi alternatif yang potensial dan terbukti dapat memperbaiki fibrosis kulit pada pasien sklerosis sistemik namun data pada manifestasi paru belum ada. Penelitian ini bertujuan untuk menilai efek herba ciplukan dalam mencegah dan memperbaiki inflamasi dan fibrosis paru pada model tikus sklerosis sistemik dan mencari dosis optimal ciplukan untuk memperbaiki fibrosis. Penelitian ini terbagai dalam 2 tahap yaitu tahap kuratif fibrosis (tahap 1) dan tahap preventif inflamasi dan fibrosis (tahap 2). Pada tahap 1, 33 tikus (Rattus norvegicus) galur Sprague-Dawley 10−12 minggu dibagi dalam 6 kelompok yaitu kelompok yang mendapat bleomisin dan ciplukan (dosis 50,100,150, dan 200 mg/kg), bleomisin dan salin, dan kontrol negatif. Bleomisin diberikan subkutan per hari selama 14 hari dan ciplukan atau salin diberikan mulai hari ke-21 selama 30 hari lalu hewan diterminasi. Fibrosis dinilai dengan derajat fibrosis dan luas fibrosis pada histopatologi, kadar hidroksiprolin, TGF-β dan MMP13 jaringan paru. Pada tahap 2, 36 ekor tikus dibagi dalam 6 kelompok yaitu 2 kelompok yang mendapat bleomisin dan ciplukan (50 dan 100 mg/kgBB) dan 2 kelompok bleomisin dan salin. Tiga kelompok diterminasi di H14 dan 3 kelompok di H51. Pada tahap 2, bleomisin dan ciplukan diberikan bersamaan selama 14 hari pertama. Luaran yang dinilai di H14 adalah kadar IL-6 paru, jumlah leukosit dari BAL dan skor inflamasi paru secara histopatologi. Luaran yang dinilai di H52 adalah derajat fibrosis dan luas fibrosis, kadar hidroksiprolin, TGF-β dan MMP13 paru. Kadar IL-6, TGF-β dan MMP 13 dinilai dengan ELISA dari jaringan paru, Hidroksiprolin dinilai dari jaringan paru dengan metode kolorimetri. Pada tahap 1 terdapat perbedaan luas fibrosis yang secara statistik bermakna antara kelompok yang mendapat ciplukan dosis 100, 150, dan 200 mg/kgBB dibandingkan kelompok bleomisin. Tidak terdapat perbedaan skor fibrosis antara kelompok yang mendapat ciplukan 50, 100, dan 150 mg/kgBB dengan kontrol negatif. Tidak terdapat perbedaan hidroksiprolin antara kelompok yang mendapat ciplukan dengan kontrol negatif. Tidak terdapat perbedaan kadar TGF-β dan MMP13 yang secara statistik bermakna antar kelompok. Pada tahap 2 penelitian tidak didapatkan perbedaan kadar IL-6, jumlah leukosit cairan BAL dan skor inflamasi yang bermakna antar kelompok dan tidak terdapat perbedaan skor fibrosis, luas fibrosis, kadar hidroksiprolin, TGF-β dan MMP13 antar kelompok. Sebagai simpulan ekstrak ciplukan memiliki efek kuratif untuk menurunkan luas fibrosis paru dengan dosis optimal 100 mg/kgBB. Ciplukan tidak memiliki efek preventif terhadap inflamasi dan fibrosis.

Systemic sclerosis or scleroderma is an immune mediated connective tissue disease which is manifested by fibrosis on skin and internal organ and vasculopathy. Interstitial lung disease (ILD) is the main cause of death of systemic sclerosis however the treatment of ILD in systemic sclerosis is still unsatisfactory. Ciplukan (Physalis angulata) herb is a potential alternative treatment for systemic sclerosis and has been proven to improve skin sclerosis in systemic sclerosis patients however the study on its effect on lung has been lacking. The aim of this study is to evaluate the effect of ciplukan herb for treating and preventing inflammation and fibrosis in systemic sclerosis animal model and to find out its optimal dose in improving lung fibrosis. This study was done in 2 stages. For the first stage (treatment of fibrosis), 33 Sprague-Dawley rats aged 10−12 weeks were divided into 6 groups (4 groups were given bleomycin and ciplukan extract dose 50,100,150, and 200 mg/kgBW, respectively, bleomycin and saline and negative control). Bleomycin was given subcutaneously daily for 14 days and ciplukan or saline were given from day 21 until the next 30 days and then the animals were sacrificed. At the end of observation, degree of fibrosis and width of fibrosis from lung histopathology, hydroxyproline, TGF-β, and MMP13 levels were analyzed. For the second stage (prevention), 36 rats were divided into 6 groups (bleomycin and ciplukan dose 50 and 100 mg/kgBW, and bleomycin only). Three groups were sacrificed after 14 days of observation for evaluation of IL-6 level in lung tissue, leucocyte count on BAL fluid and inflammation score. Three groups were sacrificed after 51 days observation and were analyzed for degree of fibrosis and width of fibrosis from lung histopathology, hydroxyproline, TGF-β, and MMP13 levels. For the second stage, bleomycin and ciplukan were given simultaneously for 14 days. IL-6, TGF-β, and MMP13 levels were measured using ELISA methods while hydroxyproline was analyzed using colorimetric method. From the stage 1, there was a significant reduction in width of lung fibrosis on groups receiving bleomycin and ciplukan dose 100, 150, and 200 mg/kgBW compared with bleomycin group. There was no difference of fibrosis score among groups who received ciplukan 50,100, and 150 mg/kgBW compared to the negative control. There was no difference of hydroxyproline among groups who received ciplukan compared with negative control. There was no difference of TGF-β, and MMP13 levels among groups. From the stage 2, there were no difference of IL-6 levels, BAL leukocyte count and inflammation score among groups after 14 days and no difference of fibrosis score, extension of fibrosis, hydroxyproline, TGF-β and MMP13 levels among groups after 51 days observation. As a conclusion, ciplukan herb has a role as a treatment of fibrosis to reduce extent of lung fibrosis with optimal dose of 100 kg/BW but shows no effect on prevention of lung inflammation and lung fibrosis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2025
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R. M. Suryo Anggoro Kusumo Wibowo
"klerosis sistemik atau skleroderma adalah suatu penyakit jaringan ikat yang dimediasi imun yang ditandai dengan fibrosis kulit dan organ dalam serta vaskulopati. Penyebab kematian utama pada sklerosis sistemik adalah penyakit paru interstisial. Pengobatan penyakit paru interstisial pada sklerosis sistemik saat ini belum memuaskan. Herba ciplukan (Physalis angulata) merupakan salah satu terapi alternatif yang potensial dan terbukti dapat memperbaiki fibrosis kulit pada pasien sklerosis sistemik namun data pada manifestasi paru belum ada. Penelitian ini bertujuan untuk menilai efek herba ciplukan dalam mencegah dan memperbaiki inflamasi dan fibrosis paru pada model tikus sklerosis sistemik dan mencari dosis optimal ciplukan untuk memperbaiki fibrosis. Penelitian ini terbagai dalam 2 tahap yaitu tahap kuratif fibrosis (tahap 1) dan tahap preventif inflamasi dan fibrosis (tahap 2). Pada tahap 1, 33 tikus (Rattus norvegicus) galur Sprague-Dawley 10−12 minggu dibagi dalam 6 kelompok yaitu kelompok yang mendapat bleomisin dan ciplukan (dosis 50,100,150, dan 200 mg/kg), bleomisin dan salin, dan kontrol negatif. Bleomisin diberikan subkutan per hari selama 14 hari dan ciplukan atau salin diberikan mulai hari ke-21 selama 30 hari lalu hewan diterminasi. Fibrosis dinilai dengan derajat fibrosis dan luas fibrosis pada histopatologi, kadar hidroksiprolin, TGF-β dan MMP13 jaringan paru. Pada tahap 2, 36 ekor tikus dibagi dalam 6 kelompok yaitu 2 kelompok yang mendapat bleomisin dan ciplukan (50 dan 100 mg/kgBB) dan 2 kelompok bleomisin dan salin. Tiga kelompok diterminasi di H14 dan 3 kelompok di H51. Pada tahap 2, bleomisin dan ciplukan diberikan bersamaan selama 14 hari pertama. Luaran yang dinilai di H14 adalah kadar IL-6 paru, jumlah leukosit dari BAL dan skor inflamasi paru secara histopatologi. Luaran yang dinilai di H52 adalah derajat fibrosis dan luas fibrosis, kadar hidroksiprolin, TGF-β dan MMP13 paru. Kadar IL-6, TGF-β dan MMP 13 dinilai dengan ELISA dari jaringan paru, Hidroksiprolin dinilai dari jaringan paru dengan metode kolorimetri. Pada tahap 1 terdapat perbedaan luas fibrosis yang secara statistik bermakna antara kelompok yang mendapat ciplukan dosis 100, 150, dan 200 mg/kgBB dibandingkan kelompok bleomisin. Tidak terdapat perbedaan skor fibrosis antara kelompok yang mendapat ciplukan 50, 100, dan 150 mg/kgBB dengan kontrol negatif. Tidak terdapat perbedaan hidroksiprolin antara kelompok yang mendapat ciplukan dengan kontrol negatif. Tidak terdapat perbedaan kadar TGF-β dan MMP13 yang secara statistik bermakna antar kelompok. Pada tahap 2 penelitian tidak didapatkan perbedaan kadar IL-6, jumlah leukosit cairan BAL dan skor inflamasi yang bermakna antar kelompok dan tidak terdapat perbedaan skor fibrosis, luas fibrosis, kadar hidroksiprolin, TGF-β dan MMP13 antar kelompok. Sebagai simpulan ekstrak ciplukan memiliki efek kuratif untuk menurunkan luas fibrosis paru dengan dosis optimal 100 mg/kgBB. Ciplukan tidak memiliki efek preventif terhadap inflamasi dan fibrosis.

Systemic sclerosis or scleroderma is an immune mediated connective tissue disease which is manifested by fibrosis on skin and internal organ and vasculopathy. Interstitial lung disease (ILD) is the main cause of death of systemic sclerosis however the treatment of ILD in systemic sclerosis is still unsatisfactory. Ciplukan (Physalis angulata) herb is a potential alternative treatment for systemic sclerosis and has been proven to improve skin sclerosis in systemic sclerosis patients however the study on its effect on lung has been lacking. The aim of this study is to evaluate the effect of ciplukan herb for treating and preventing inflammation and fibrosis in systemic sclerosis animal model and to find out its optimal dose in improving lung fibrosis. This study was done in 2 stages. For the first stage (treatment of fibrosis), 33 Sprague-Dawley rats aged 10−12 weeks were divided into 6 groups (4 groups were given bleomycin and ciplukan extract dose 50,100,150, and 200 mg/kgBW, respectively, bleomycin and saline and negative control). Bleomycin was given subcutaneously daily for 14 days and ciplukan or saline were given from day 21 until the next 30 days and then the animals were sacrificed. At the end of observation, degree of fibrosis and width of fibrosis from lung histopathology, hydroxyproline, TGF-β, and MMP13 levels were analyzed. For the second stage (prevention), 36 rats were divided into 6 groups (bleomycin and ciplukan dose 50 and 100 mg/kgBW, and bleomycin only). Three groups were sacrificed after 14 days of observation for evaluation of IL-6 level in lung tissue, leucocyte count on BAL fluid and inflammation score. Three groups were sacrificed after 51 days observation and were analyzed for degree of fibrosis and width of fibrosis from lung histopathology, hydroxyproline, TGF-β, and MMP13 levels. For the second stage, bleomycin and ciplukan were given simultaneously for 14 days. IL-6, TGF-β, and MMP13 levels were measured using ELISA methods while hydroxyproline was analyzed using colorimetric method. From the stage 1, there was a significant reduction in width of lung fibrosis on groups receiving bleomycin and ciplukan dose 100, 150, and 200 mg/kgBW compared with bleomycin group. There was no difference of fibrosis score among groups who received ciplukan 50,100, and 150 mg/kgBW compared to the negative control. There was no difference of hydroxyproline among groups who received ciplukan compared with negative control. There was no difference of TGF-β, and MMP13 levels among groups. From the stage 2, there were no difference of IL-6 levels, BAL leukocyte count and inflammation score among groups after 14 days and no difference of fibrosis score, extension of fibrosis, hydroxyproline, TGF-β and MMP13 levels among groups after 51 days observation. As a conclusion, ciplukan herb has a role as a treatment of fibrosis to reduce extent of lung fibrosis with optimal dose of 100 kg/BW but shows no effect on prevention of lung inflammation and lung fibrosis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2025
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Sunarni Zakaria
"ABSTRACT
Bisnis obat herbal merupakan usaha sampingan bagi ibu sebagian besar. Peserta pelatihan dan pelatihan Ipteks bagi Masyarakat (IbM) tidak diorganisir secara profesional. Tujuan program IbM adalah: 1) meningkatkan pengetahuan tanaman jamu; 2) memperbaiki skill dalam memilih, mengeringkan, mencampur, menggiling dan membuat simplisia (6M); 3) meningkatkan khasiat dan produksi jamu instars dan 4) untuk mengembangkan sumber daya manusia dalam pengolahan tumbuhan. Metode program IbM bekerja sama dengan UMKM untuk menyelenggarakan lpteks bagi Masyarakat (IbM) tentang pengetahuan tanaman obat. Pendidikan dan pelatihan kepada peserta kelompok usaha UMKM bahwa khasiat tanaman obat yang digunakan oleh masyarakat, bagaimana membuat teko dan teko empuk dan teknologi 6 M simplicity. Hasil kegiatan lbM adalah anggota UMKM yang telah menerapkan l) pembuatan dalam memilah umbi antara daun, batang dan akar 2) mengaplikasikan waktu panen toga 3) Cara menghindari kehilangan sifat pengeringan 4) bungkusan herbal diberi label (bedak atau dalam kapsul) dan meningkatkan pendapatan penjual herbal. Disarankan agar kegiatan IbM terus dilakukan setiap tahun untuk memantau perkembangan UMKM agar bisa menjadi pusat tanaman obat dengan melibatkan siswa untuk menciptakan wirausaha baru."
Surabaya: Lembaga Pengabdian, Pendidikan, Pelatihan, dan Pengembangan Masyarakat (LP4M) Universitas Airlangga, 2017
360 JLM 1:1 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Anies Monica Adhitia
"ABSTRAK
Peperomia pellucida L. Kunth telah dilaporkan memiliki beberapa aktivitas biologis seperti antihipertensi, antioksidan, anti-inflamasi. Bahan herbal rentan terhadap kontaminasi selama pengolahan dan penyimpanan yang dapat menurunkan kualitas, memperpendek masa simpan dan membahayakan konsumen. Iradiasi sinar gamma merupakan bentuk radiasi pengion yang umum digunakan untuk metode pengawetan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh iradiasi sinar gamma pada ekstrak etanol 70 % herba P. pellucida L. Kunth terhadap penghambatan aktivitas Angiotensin Converting Enzyme dan profil kromatografi lapis tipis. Herba kering P. pellucida L. Kunth diekstraksi dengan metode refluks menggunakan etanol 70 % dan kemudian diiradiasi sinar gamma pada dosis 2,5; 5; 7,5; dan 10 kGy. Setiap kelompok ekstrak yang diiradiasi sinar gamma tersebut diuji penghambatan aktivitas ACE secara in vitro menggunakan substrat 3-Hidroksibutilil-Glisil-Glisil-Glisin dari ACE Kit-WST Dojindo. Hasil uji menunjukan tidak ada perbedaan yang signifikan terhadap nilai persen penghambatan aktivitas ACE antara ekstrak noniradiasi dan ekstrak yang diiradiasi sinar gamma hingga dosis 10 kGy. Profil kromatografi lapis tipis untuk ekstrak yang diiradiasi identik dengan ekstrak noniradiasi baik yang diuji sesaat setelah iradiasi maupun setelah dua bulan penyimpanan. Perlakuan iradiasi sinar gamma hingga dosis 10 kGy tidak memengaruhi aktivitas penghambat ACE secara in vitro dan profil KLT pada ekstrak etanol 70 % herba P. pellucida L. Kunth.

ABSTRACT
Peperomia pellucida L. Kunth has been reported to have biological activities such as antihypertensive, antioxidant, anti-inflammatory. Herbal materials susceptible to contamination during processing and storage which can shortens their shelf life and direct health hazard to consumers. Gamma-irradiation is an ionic, non-thermal process that has been used as a method for preservation. This research aimed to analyze the effect of gamma irradiation on inhibition activity of Angiotensin Converting Enzyme of ethanol 70 % extract P. pellucida L. Kunth herbs and their chromatogram profiles of thin layer chromatography. Dried P. pellucida L. Kunth herbs were extracted by reflux method using ethanol 70 %. These extracts were irradiated with 60Co gamma rays applying doses of 2,5; 5; 7,5; dan 10 kGy. Each group of irradiated and non-irradiated extracts were tested for their inhibitory activity of ACE using an in vitro assay with ACE Kit-WST Dojindo. No significant differences were noted in the inhibition activity of ACE between non-irradiated extract and irradiated extracts. The type of chromatogram profiles in irradiated extracts were similar to those of non-irradiated extract either immediately after irradiation or after two months of storage. Treatment of gamma-rays irradiation up to 10 kGy did not affect the activity of ACE inhibitor in vitro and TLC profiles on ethanol 70 % extracts of the herb P. pellucida L. Kunth
"
2016
S63410
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yunita Indah Permatasari
"Diabetes melitus merupakan gangguan metabolisme kronis yang ditandai dengan tingginya kadar glukosa darah. Salah satu terapi diabetes melitus yaitu menurunkan kadar glukosa post-prandial melalui penghambatan enzim yang menghidrolisis karbohidrat yaitu α-amilase dan α-glukosidase. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi golongan senyawa kimia dan mengetahui penghambatan aktivitas enzim pada 10 ekstrak tanaman yang digunakan secara tradisional sebagai antidiabetes. Ekstraksi dilakukan menggunakan metode refluks dengan etanol 70%. Uji penghambatan α-amilase dilakukan menggunakan spektrofotometer UV-Vis (λ=540 nm). Hasil menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun bungur (Lagerstroemia speciosa (L.) Pers.) memiliki persen penghambatan terbesar yaitu 80,06%. Sedangkan, uji penghambatan α-glukosidase dilakukan menggunakan microplate reader (λ=405 nm). Hasil menunjukkan ekstrak etanol daun bungur memiliki aktivitas penghambatan terbaik dengan nilai IC50 33,86 μg/mL. Hasil penapisan fitokimia menunjukkan bahwa pada 10 ekstrak yang diuji umumnya mengandung golongan senyawa alkaloid, flavonoid, glikosida, saponin, tanin, dan terpenoid."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2014
S54776
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asti Anna Tanisa
"Alzheimer merupakan penyakit neurodegeneratif yang dapat disebabkan oleh penumpukan plak tanda penuaan pada otak dan mempengaruhi kerja neuron sehingga neuron menjadi kurang sensitif terhadap respon selular. Penelitian terdahulu menemukan bahwa enzim BACE1 berperan penting dalam proses pembentukan plak tanda penuaan sehingga dapat menjadi target pengobatan penyakit Alzheimer. Pada penelitian ini, dilakukan penapisan virtual senyawa dari basis data tanaman obat Indonesia sebagai inhibitor BACE1 menggunakan Autodock dan Autodock Vina yang divalidasi menggunakan basis data A Directory of Useful Decoys: Enhanced (DUD-E). Validasi dilakukan terhadap kedua peranti lunak menggunakan parameter Enrichment Factor, Receiver Operating Characteristics, dan Area Under Curve.
Kesimpulan dari validasi adalah ukuran grid box yang digunakan pada Autodock yaitu grid 30x30x30 dan 11,25x11,25x11,25 pada Vina (setelah penyetaraan unit). Nilai EF 1% dan AUC grid 30 pada Autodock adalah 7,74 dan 0,73, sedangkan pada Vina adalah 4,6 dan 0,77. Berdasarkan hasil penapisan virtual, diperoleh 6 peringkat teratas senyawa menggunakan Autodock (energi ikat kkal/mol -7,84 ~ -8,79) yaitu Azadiradione, Cylindrin, Lanosterol, Sapogenin, Simiarenol, dan Taraxerol. Hasil penapisan virtual pada Autodock Vina memberikan 7 senyawa peringkat teratas (energi ikat kkal/mol -8,8 ~ -9,4) yaitu Bryophyllin A, Diosgenin, Azadiradione, Sojagol, Beta amyrin, Epifriedelinol, dan Jasmolactone C. Hanya Azadiradione yang memberikan hasil penapisan virtual pada kedua peranti lunak dan berinteraksi dengan daerah aktif BACE1 pada residu Trp 76 dari Autodock dan Thr 232 dari Autodock Vina.

Lzheimer's is a neurodegenerative disease that can be caused by buildup of plaque signs of aging in the brain and affect the work of neurons so neurons become less sensitive to cellular responses. Research previously found that the BACE1 enzyme plays an important role in the process Plaque formation is a sign of aging so that it can become a treatment target Alzheimer's disease. In this study, virtual screening of compounds from database of Indonesian medicinal plants as using BACE1 inhibitors Autodock and Autodock Vina are validated using A database Directory of Useful Decoys: Enhanced (DUD-E). Validation is carried out against both software uses Enrichment Factor, Receiver Operating Characteristics, and Area Under Curve.
Conclusion of validation is the size of the grid box used in Autodock, which is a 30x30x30 and grid 11,25x11,25x,25,25 for Vina (after equalization unit). EF value of 1% and AUC grid 30 in Autodock is 7.74 and 0.73, while in Vina it is 4.6 and 0.77. Based on the results of virtual screening, obtained the top 6 compounds using Autodock (kcal / mol binding energy -7.84 ~ -8.79) namely Azadiradione, Cylindrin, Lanosterol, Sapogenin, Simiarenol, and Taraxerol. Screening results virtual on Autodock Vina provides 7 top-ranked compounds (binding energy kcal / mol -8.8 ~ -9.4) namely Bryophyllin A, Diosgenin, Azadiradione, Sojagol, Beta amyrin, Epifriedelinol, and Jasmolactone C. Only Azadiradione provide virtual screening results on both software and interact with BACE1 active area on Trp 76 residue from Autodock and Thr 232 from Autodock Vina.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2016
S64492
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>