Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 92658 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
S6317
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zainal Abidin
"ABSTRAK
Meningkatnya kuantitas dan kualitas kasus penghakiman massa Paska Pemerintahan Orde Baru, telah mendorong peneliti untuk melakukan penelitian tentang kasus ini. Peneliti bermaksud (1) memahami karakteristik dan sifat dasar dari kasus penghakiman massa, (2) memahami pengalaman para pelaku sebelum, pada saat, dan sesudah menjadi pelaku dalam penghakiman massa, dan (3) membangun teori substantif atau framework tentang penghakiman massa.
Beberapa teori psikologi dan sosiologi tentang agresi dan kekerasan kolektif ditelusuri oleh peneliti untuk penjelasan awal dan sementara tentang kasus ini. Teori-teori tersebut di antaranya adalah social interactionist theory of coercive action (Tedeshi & Felson, 1994); social identity theory (Tajfel, 1984), self categorization theory (Turner & Giles, 1985), dan_collective identification theory (Reicher, 1996, 2003; Hogg, 2003); frustration aggression theory (Dollards, dkk, 1961), relative deprivation theory (Gurr, 1971; Muller, 1980); teori-teori tentang mob, lynching dan collective violence (LeBON, original 1895, 1995; Young, 1958;Milgram & Toch,1969; Smelser, 1962); dan teori tentang peran penegakan hukum (Black, 1983). Berdasarkan pada penelusuran teoritis tersebut disusunlah sebuah tesis atau hipotesis kerja penelitian berikut ini: ?Terdapat beberapa faktor yang memungkinkan timbulnya penghakiman massa, yakni perceived norm violation, relative deprivation, mob identification, dan perceived law enforcement.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan case study. Praktek penelitiannya dilakukan melalui 2 tahap, yakni preliminary study dan field study. Penelitian dilakukan di daerah-daerah perkampungan di empat kecamatan yang semuanya berada di Kota (Kodya) Tangerang. Terdapat lima buah kasus yang diteliti dalam penelitian ini, yang masing-masing diberi nama Kasus-1, Kasus-2, Kasus-3, Kasus-4, dan Kasus-5. Pengambilan data dilakukan mulai bulan Februari sampai Oktober 2003. Data dianalisis melalui suatu proses pengkodean (coding) dengan menggunakan alur berpikir induktif (untuk menemukan faktor-faktor atau tema-tema baru di lapangan) dan deduktif (untuk mengetahui ada tidaknya faktor-faktor atau tema-tema dalam resis penelitian). Untuk menjaga kredibilitas penelitian digunakan lankah-langkah seperti triangulation, keeping a reflextive journal peer debriefing, prolonged engagement, dan intellectual sharing.
Hasil penelitian antara Iain menunjukkan: (1) Sebagai suatu bentuk kekerasan kolektif penghakiman massa mungkin tidak bersifat unik, karena di negara-negara lain pun terdapat kasus-kasus serupa dengan sebutan yang berbeda-beda. Tetapi jika dilihat dari konteksnya, maka keunikan kasus ini tarnpak antara lain dari variasi kasusnya (spontan, semi-spontan, dan tidak spontan), jenisjenis kekerasannya (pengeroyokan dan pembakaran), dan motif pelakunya. yang non-politis, non-etnis, non-mitis, non-agama, dan lain-lain. (2) Sebelum terjadinya kasus penghakiman massa, para pelaku mengalami perasaan tidak aman yang disebabkan oleh semakin meningkatnya kualitas dan kuantitas kejahatan di Iingkungan mereka. Perasaan tersebut menyebabkan mereka memiliki perceived norm violation yang negatif terhadap para penjahat, perceived law enforcement yang negatif terhadap polisi, social learning yang positif dari kasus-kasus penghakiman massa yang terjadi sebelumnya, perceived social support yang positif dari warga kampungnya, dan relative deprivation yang disebabkan oleh kesenjangan antara harapan akan terciptanya rasa aman dan semakin meningkatnya kejahatan. Setelah dipicu oleh munculnya penjahat di kampung mereka (triggering factor), dan para pelaku mengalami perceived social role yang sesuai dengan citra-dirinya, maka menyatulah mereka dalam massa dan merasa sebagai bagian dari massa (mob identification). Mob identification menyebabkan depersonalisasi, desensitisasi, dan dehumanisasi, sehingga tanpa rasa kasihan mereka menjadi pelaku penghakiman massa. (3) Berdasarkan temuan pada butir dua, maka disusunlah sebuah teori substantif atau framework tentang penghakiman massa berlkut ini: ?Penghakiman massa dapat terjadi jika ada beberapa faktor yang mendahuluinya (antecedent factors). Faktor-faktor tersebut adalah: (a) perceived norm violation, fb) perceived law enforcement, dan (C) relative deprivation, (d) perceived social support, dan (e) social learning. Setelah diperantarai oleh (E)triggering factor dan (g) perceived social control, maka terjadilah (g) mob identification. Tanpa triggering factor, mob identification, dan perceived social role, tidak mungkin ada penghakiman massa." Setelah terlibat dalam penghakiman massa pun, para pelaku masih mengalami suatu pengalaman yang disebut self defense mechanism. Kesadaran bahwa mereka telah melakukan pembunuhan terhadap ?penjahat? menjadikan mereka merasa cemas dan was-was- Mereka kemudian berusaha melindungi diri mereka dari parasaan-perasaan yang tidak menyenangkan tersebut melalui berbagai argumentasi dan rasionalisasi untuk membenarkan (justifikasi) ?pembunuhan" tersebut.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi; (a) Upaya pengendalian kasus-kasus penghakirnan massa, (b) Pengembangan teori-teori kekerasan kolektif dalam psikologi sosial dan upaya memperkaya khasanah kepustakaan psikologi sosial di Indonesia tentang kasus-kasus kekerasan massa pada umumnya dan kasus-kasus penghakiman massa pada khususnya, (c) Pengembangan metode penelitian kualitatif dalam penelitian-penelitian psikologi, khususnya psikologi sosial.
The increased penghakiman masse cases, qualitatively as well as quantitatively, alter the fall down of the New Order regime had raised the researchers interest to do a study on this topic. This study was aimed to (1) understand the characteristics and the nature of penghakiman massa, (2) understand the experiences of the actors before, during, and after they were involved in a penghakiman massa, and (3) build up a theory or framework about penghakiman massa.
Some psychological and sociological theories about aggression and collective violent behavior were reviewed. Some of the theories are: Social interactionist theory of coercive action (Tedeshi & Felson, 1994), Social Identity Theory (Tajfel, 1984), Self1Categorization Theory (Turner & Giles, 1985), and Collective Identification Theory (Reicher, 1996, 2003, Hogg, 2003) Frustration Aggression Theory (Dollards et.al, 1961), Relative Deprivation Theory (Gurr, 1971, Muller, 1980), Theories of Mob, Penghakiman rnassan, and Collective violence (LeBon, original 1895, 1995, Young, 1958, Milgrain and Toch, 1969, Smelser, 1962), and theories of the role of Law Enforcement (Black, 1983). A thesis was generated from reviewing those theories : "Factors that triggered penghakiman massa include perceived norm violation, relative deprivation, mob identification, and perceived law enforcement".
Case study approach and qualitative method were used in this study. The research procedure consists of 2 stages: preliminary study and field study. This study was carried out in the village areas at 4 districts in the City of Tangerang. There were live cases in this study and they were called Case-1, Case-2, Case-3, Case-4, and Case-5. The length of data gathering was from February to October 2003. Data analysis was done by using coding technique. The inductive thinking (to lind new factors or themes in the Held) and deductive thinking (to discover new factors or themes in the research thesis) were used in the whole process of this study. To maintain the credibility of this research, some actions were done, such as triangulation, keeping a reflective joumal, peer debrieftng, prolonged engagement, and intellectual sharing.
The result of this research shows that (1) as a fonn of collective violent behavior, penghakiman massa is not unique to Indonesia because similar cases occur in other countries as well. However, in terms of its context, the uniqueness of these cases can be seen from the variety of the cases (spontaneous, semi spontaneous or not spontaneous), the types of violence involved (pengeroyakan and bum); (2) actors usually feel unsecured before a penghakiman massa happens that is caused by the increased crime rates in their neighborhood. This unsecured feeling shapes a negative perceived norm violation of the criminals, negative perceived law enforcement of policemen, positive social learning from previous penghakiman massa cases, positive perceived social support from members of their community, and relative deprivation caused by discrepancy between hope for secured feeling and the facts that criminals are in their neighborhood (triggering factor), and the actors have positive perceived social role. All of these factors form mob identification that causes depersonalization, desensitization, and dehumanization which trigger penghakiman massa. (3) Based on point (2), a substantive theory of penghakiman massa was built, that ?the antecedent factors of penghakiman massa include (a) perceived norm violation, (b) perceived law enforcement, (c) relative deprivation, (d) perceived social support, and (e) social learning. After being mediated by (f) triggering factor and (g) perceived social control, then (h) mob identification is formed. Without triggering factor, perceived social control, and mobidentification, penghakiman massa will never take place". After being involved or exposed to penghakiman massa, the actors felt anxious, wony, and guilty as a consequence of being aware that they have killed a ?criminal". Then they built a self defense mechanism to protect themselves from these unpleasant feelings in the form of argumentation and rationalization to justify ?the killing".
The result of this research is expected to be beneficial for (a) the development of collective behavior theories in social psychology and to enhance references in social psychology, especially in Indonesia, about collective violent behavior in general and penghakiman massa in particular; (b) the development of qualitative research methods in research in psychology, especially social psychology; (c) law enforcement, to build a mechanism to deal with penghakiman massa cases; and (d) government and NGOs who are concerned with human rights issues, to put penghakiman massa as part of their work program.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zainal Abidin
Jakarta: Accompli Pub. , 2005
303.609 598 ZAI p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
S6315
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Azwar
"Menyadari tingginya tingkat kejahatan, secara langsung maupun tidak langsung mendorong pula perkembangan dan pemberian reaksi terhadap para tersangka pelaku kejahatan. Reaksi akan dapat melahirkan stigmatisasi yang menyebabkan seseorang yang secara yuridis formal belum dikatakan bersalah, telah dicap sebagai penjahat atau telah melakukan suatu perbuatan jahat. Teori labeling, dimana stigmatisasi menekankan pada suatu proses interaksi manusia yang mengasilkan adanya pemberian peranan, setelah peranan didefinisikan, maka disimpulkan adanya pemberian suatu cap terhadap seseorang yang melakukan kejahatan atau penyimpangan. Reaksi dalam penelitian ini, berujung pada pendapat James Garofalo dan analisa situasi William I Thomas serta diperkuat oleh penekanan teori labeling menurut Michalowsky dan outsider oleh Howard. S. Becker.
Metode penelitian, menggunakan pendekatan kualitatif dan bersifat eksplanatoris, melakukan wawancara mendalam (depth interview) dan observasi partisipasi.lnforman penelitian, informan utama para tersangka pelaku kejahatan kekerasan sebanyak 7 (tujuh) orang dan informan pendukung sebanyak 25 (dua puluh lima) orang yang terdiri dari keluarga, teman dekat dan tenaga kesehatan di rumah sakit X. Untuk melindungi nama baik informan dan rumah sakit, semuanya menggunakan nama samaran.
Hasil penelitian dan kesimpulan, adanya perlakuan yang berbeda dalam pelayanan kesehatan terhadap tersangka pelaku kejahatan kekerasan dengan tersangka pelaku kejahatan tindak pidana korupsi serta terhadap pasien biasa. Bentuk perlakuan yang lain adalah; Sering mendapatkan penolakan, dipermalukan, terpojokan, dicela, dihina dan mendapatkan perlakuan kasar. Pelayanan, fasilitas, tindakan medis dan obat-obatan yang diberikan ala kadarnya. Adapun pandangan tenaga kesehatan terhadap para tersangka pelaku kejahatan kekerasan, adalah; Mereka telah dicap (dilabel) sebagai penjahat, mereka bukanlah orang yang berkelakuan balk, Mereka sebagai tahanan dan bukan pasien. Sakit, luka tembak, penderitaan atau tekanan psikologis yang dialami oleh mereka akibat ulah perbuatannya sendiri dan haruslah dapat dipertanggungjawabkan, perbuatannya keji dan menyengsarakan masyarakat. Adanya pembedaan perlakuan, pandangan dan pelayanan kesehatan, maupun dalam bentuk fasilitas dan pengobatan terhadap para tersangka pelaku kejahatan kekerasan, merupakan salah satu bentuk pengingkaran terhadap hak asasi manusia yang masuk dalam kategori diskriminasi."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T472
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyu Pataka Dhaneswara
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
S6425
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sukardi Rinakit
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1989
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Rais
"Bangsa kita terkenal sebagai bangsa yang berbudaya, beradab luhur dan peramah. Namun semua predikat baik tersebut ternodai oleh banyaknya peristiwa kekerasan. Salah satu dari bentuk kekerasan itu adalah penghakiman massa, dimana tersangka pelaku kejahatan dikeroyok sampai mati bahkan dibakar hidup-hidup. Seperti pada beberapa peristiwa kejadian massa di Kota Bekasi. Kenyataan ini menarik bagi peneliti untuk mengetahui mengapa masyarakat kita bisa seperti itu.
Penelitian tentang penghakiman massa di Kota Bekasi menggunakan metode studi kasus dengan meneliti beberapa kasus tentang penghakiman massa yang terjadi di Kota Bekasi. Data yang digunakan adalah data kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam (depth inrerview) dan observasi lapangan. Wawancara dilakukan terhadap tokoh masyarakat, aparat kepolisian, pelaku penghakiman massa dan masyarakat yang menyaksikan jalannya penghakiman massa tersebut.
Dari hasil penelitian ditemukan bahwa masyarakat melakukan tindakan penghakiman massa karena kesal dan dendam, dengan banyaknya peristiwa kejahatan yang terjadi di wilayahnya. Sementara aparat yang diharapkan dapat melindungi mereka ternyata tidak berdaya, bahkan terkesan lebih berpihak pada penjahat. Dan hal tersebut telah terlanjur tertanam dan tersosialisasi dalam hati masyarakat yang pada akhirnya menjadikan masyarakat berada dalam kondisi anomi, tidak tahu kemana dia mengadukan masalahnya dan pada akhirnya mereka melakukan innovasi dengan rnelakukan tindakan penghakiman massa sebagai artikulasi dari sikap mereka terhadap permasalahan yang dihadapinya. Selanjutnya, tindakan penghakiman massa tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu : (a). adanya peniruan model kejahatan, (b). adanya pengaruh media massa, (c). ketidakpercayaan pada aparat hukum, (d). adanya keyakinan akan tindakannya, (e). rasa benci dan dendam, (f). penjeraan, (g). Spontanitas massa, (h). ikut - ikutan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12231
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eko Hariyanto
"Pembunuhan pada hakekatnya bertentangan dengan norma hukum dan norma agama, serta membahayakan bagi penghidupan dan kehidupan masyarakat. Meskipun demikian tetap saja ada sebagian anggota masyarakat yang melakukan tindak kejahatan tersebut. Dan ironisnya minat para pemerhati masalah-masalah sosial di Indonesia untuk mengkaji fenomena pembunuhan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat nampak masih kurang. Padahal sebagai fenomena sosial, pembunuhan merupakan topik yang sangatlah menarik dan perlu dikaji secara luas dan mendalam. Kenyataan inilah yang mendorong penulis untuk mengangkat permasalahan tersebut sebagai topik dalam penelitian ini.
Telaah teoritis mengacu kepada teori pembunuhan sebagai transaksi yang disengaja karya David F. Luckenbill sebagai kerangka pemikiran utama. Sedangkan gagasan Lonnie H. Athens dan Marvin E. Wolfgang sebagai teori penunjang.
Metode, tipe dan pendekatan penelitian yang digunakan untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran penelitian adalah metode studi kasus, dengan tipe penelitian deskriptif dan menggunakan pendekatan kualitatif. Agar data dapat terkumpul sesuai dengan yang diharapkan, maka digunakan beberapa cara pengumpulan data, antara lain adalah dengan wawancara mendaiam dan studi kepustakaan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap empat puluh dua pelaku pembunuhan yang saat ini sedang menjalani masa pidananya di beberapa Lapas yang menjadi lokasi penelitian (yaitu : Lapas Cipinang Jakarta, Lapas Bogor, Lapas Anak, Lapas Pemuda dan Lapas Wanita Tangerang) diperoleh garnbaran bahwa pelaku pembunuhan umumnya pria, berusia dewasa, beragama Islam, etnis Sunda, belum menikah, berpendidikan rendah, bekerja sebagai buruh atau di sektor informal, tergolong pelaku pemula (first offender), melakukannya secara spontan.
Sedangkan korban pembunuhan umumnya pria, berusia dewasa, beragara Islam, etnis Sunda, sudah menikah, berpendidikan rendah, berprofesi sebagai preman.
Ditinjau dari elemen-elemen situasionalnya ditemukan bahwa motivasi para pelaku umumnya merupakan motivasi ekspresif yang muncul saat terjadi pertengkaran antar pribadi yang kian memuncak; mayoritas pembunuhan melibatkan kenalan, selebihnya melibatkan anggota keluarga sendiri dan orang asing 1 tidak dikenal sebelumnya; korban umumnya berperan aktif dalam interaksi; lokasi fisik yang paling berbahaya bagi terjadinya pembunuhan adalah di dalam rumah korban sendiri dan di jalanan umum serta tempat umum lainnya.
Peristiwa pembunuhan lebih sering terjadi pada malam hari. Senjata tajam seperti pisau, golok, badik dan clurit merupakan senjata yang paling umum digunakan pelaku untuk menusuk atau membacok korbannya. Senjata yang mematikan tersebut kebanyakan sengaja dibawa pelaku, namun ada Pula yang ditemukan di tempat kejadian atau direbut dari tangan korban. Peristiwa pembunuhan paling sering dilakukan dengan cara keroyokan. Sesaat sebelum peristiwa pembunuhan terjadi, umumnya baik pelaku ataupun korban diketahui habis mengkonsumsi alkohol dan/atau obat-obatan terlarang. Temuan ini menimbulkan dugaan bahwa alkohol atau obat-obatan terlarang inilah yang mempengaruhi atau merangsang pelaku dan korban sehingga menjadi lebih aktif (baca: agresif) dalam proses interaksi di antara keduannya.
Dari hasil analisis data terungkap bahwa peristiwa pembunuhan itu merupakan akibat dari suatu perselisihan atau konflik antar pribadi yang kian memuncak di antara pelaku dengan korban. Interaksi social yang berakhir dengan pembunuhan ini umumnya berlangsung dalam enam tahapan menurut urutan waktunya. Temuan ini nampaknya relatif bersesuaian dengan kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini.
Tahap pertama menggambarkan bahwa proses interaksi tersebut umumnya dibuka (diawali) oleh korban (victim precipitated) dengan cara melakukan : serangan terhadap pelaku atau rnemprovokasi secara verbal atau isyarat fisik yang bemada penghinaan terhadap pelaku.
Menurut data yang terkumpul ditemukan bahwa tindakan korban tersebut di atas oleh pelaku umumnya ditafsirkan sebagai tindakan yang mengancam dan membahayakan jiwanya, dan seringkali juga dianggap sebagai penghinaan terhadap kehormatan dan harga diri pelaku. Kemudian dengan berlandaskan pada hasil interpretasi ini pelaku umumnya lalu menyusun rencana tindakan balasan (umumnya berupa tindak kekerasan) yang bersifat potensial, belum merupakan tingkah laku nyata. Rencana tindakan kekerasan oleh pelaku ini umumnya pada akhirnya direalisir dalam bentuk tindak kekerasan nyata pada tahapan interaksi berikutnya bila sikap dan perilaku korban tetap tidak dapat ditolerirnya Tahapan ini sering disebut sebagai tahapan kedua interaksi.
Pada tahap berikutnya, yakni tahap ketiga, pelaku benar-benar merespon provokasi korban demi menyelamatkan jiwa, ataupun harga diri dan kehormatannya. Respon pelaku umumnya berupa tantangan verbal yang menghina dan mengancam korban, dan terkadang juga dalam bentuk serangan fisik terhadap korban.
Tahap keempat, yang mencenninkan respon korban terhadap reaksi balik pelaku pada tahap sebelumnya, memperlihatkan bahwa korban umumnya menerima tantangan verbal ataupun serangan fisik pelaku dengan memberikan ekspresi verbal yang menantang balik maupun dengan melakukan serangan fisik berikutnya. Pada tahap ini tampak jelas bahwa audiens yang ada di sekitar tempat kejadian umumnya aktif mendukung matangnya perselisihan antara pelaku-korban hingga berakhir dengan pembunuhan. Dengan adanya kesepakatan kerja secara implisit ataupun eksplisit antara pelaku dengan korban bahwa kekerasan merupakan cara yang paling tepat untuk menyelesaikan konflik di antara mereka dan adanya senjata serta dukungan dan audiens, maka pada tahap kelima ini, keduanya terlibat perkelahian nyata yang kemudian berakhir dengan kematian korban.
Tahap keenam yang merupakan tahap penutup interaksi menggambarkan bahwa setelah korban tewas umumnya pelaku melarikan diri, terlebih bila hubungan antara korban dengan pelaku hanya sebatas kenalan apalagi orang yang tidak dikenalnya. Namun bila korban adalah sanak keluarganya sendiri umumnya pelaku segera menyerahkan diri kepada polisi. Pada tahap ini audiens pun umumnya segera melaporkan peristiwa pembunuhan yang terjadi kepada polisi. Namun tetap harus disadari bahwa tahapan interaksi seperti ini tidak berlaku untuk kasus-kasus pembunuhan berikut ini : pembunuhan karena kekerasan kolektif primitif; pembunuhan yang bermotif politik; pembunuhan karena motif bayaran (yang dilakukan oleh pembunuh bayaran) dan pembunuhan dimana pelakunya mengidap kelainan jiwa, misalnya paranoids."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>