Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 160027 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sukardi Rinakit
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1989
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
S6315
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Azwar
"Menyadari tingginya tingkat kejahatan, secara langsung maupun tidak langsung mendorong pula perkembangan dan pemberian reaksi terhadap para tersangka pelaku kejahatan. Reaksi akan dapat melahirkan stigmatisasi yang menyebabkan seseorang yang secara yuridis formal belum dikatakan bersalah, telah dicap sebagai penjahat atau telah melakukan suatu perbuatan jahat. Teori labeling, dimana stigmatisasi menekankan pada suatu proses interaksi manusia yang mengasilkan adanya pemberian peranan, setelah peranan didefinisikan, maka disimpulkan adanya pemberian suatu cap terhadap seseorang yang melakukan kejahatan atau penyimpangan. Reaksi dalam penelitian ini, berujung pada pendapat James Garofalo dan analisa situasi William I Thomas serta diperkuat oleh penekanan teori labeling menurut Michalowsky dan outsider oleh Howard. S. Becker.
Metode penelitian, menggunakan pendekatan kualitatif dan bersifat eksplanatoris, melakukan wawancara mendalam (depth interview) dan observasi partisipasi.lnforman penelitian, informan utama para tersangka pelaku kejahatan kekerasan sebanyak 7 (tujuh) orang dan informan pendukung sebanyak 25 (dua puluh lima) orang yang terdiri dari keluarga, teman dekat dan tenaga kesehatan di rumah sakit X. Untuk melindungi nama baik informan dan rumah sakit, semuanya menggunakan nama samaran.
Hasil penelitian dan kesimpulan, adanya perlakuan yang berbeda dalam pelayanan kesehatan terhadap tersangka pelaku kejahatan kekerasan dengan tersangka pelaku kejahatan tindak pidana korupsi serta terhadap pasien biasa. Bentuk perlakuan yang lain adalah; Sering mendapatkan penolakan, dipermalukan, terpojokan, dicela, dihina dan mendapatkan perlakuan kasar. Pelayanan, fasilitas, tindakan medis dan obat-obatan yang diberikan ala kadarnya. Adapun pandangan tenaga kesehatan terhadap para tersangka pelaku kejahatan kekerasan, adalah; Mereka telah dicap (dilabel) sebagai penjahat, mereka bukanlah orang yang berkelakuan balk, Mereka sebagai tahanan dan bukan pasien. Sakit, luka tembak, penderitaan atau tekanan psikologis yang dialami oleh mereka akibat ulah perbuatannya sendiri dan haruslah dapat dipertanggungjawabkan, perbuatannya keji dan menyengsarakan masyarakat. Adanya pembedaan perlakuan, pandangan dan pelayanan kesehatan, maupun dalam bentuk fasilitas dan pengobatan terhadap para tersangka pelaku kejahatan kekerasan, merupakan salah satu bentuk pengingkaran terhadap hak asasi manusia yang masuk dalam kategori diskriminasi."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T472
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pajouw, Lely Marcyke
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
S6396
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sonny P. Wibisono
"Penanganan tersangka pelaku kejahatan pada proses pemeriksaan pendahuluan oleh polisi adalah suatu bentuk penanganan tersangka pelaku kejahatan yang ditangani oleh polisi. terhadap tersangka yang diduga telah melakukan perbuatan kejahatan. Penanganan disini merupakan bentuk dari proses pemeriksaan pendahuluan serta penyidikan terhadap tersangka pelaku kejahatan, setelah tersangka tertangkap oleh polisi atas perbuatannya. Maksud dan tujuan dari pemeriksaan pendahuluan ini adalah untuk dilakukannya penyidikan guna mencari pembuktian dari tindak kejahatan, yang dilakukan oleh tersangka. Artinya apakah suatu tindak kejahatan benar dilakukan oleh tersangka yang bersangkutan. Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk menggambarkan penanganan tersangka pelaku kejahatan pada proses pemeriksaan pendahuluan oleh polisi, dan melihat faktor-faktor apa yang mempengaruhi dalam penanganan tersangka pelaku kejahatan ini. Dengan alasan inilah maka penelitian ini dilakukan. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif non survey atau dikenal sebagai studi dokumen dengan metode pengumpulan data dari kumpulan kliping berita dan artikel surat kabar dan majalah yang terbit antara tahun 1995-1991 yang membahas masalah penanganan tersangka pelaku kejahatan pada proses pemeriksaan pendahuluan oleh polisi. Dari penelitian ini di dapat bahwa sebagian besar penanganan tersangka pelaku kejahatan pada proses pemeriksaan pendahuluan oleh polisi, dilakukan dengan bentuk penanganan diluar prosedur aturan hukum yang mengatur tentang tata cara proses penyidikan dalam pemeriksaan pendahuluan, yang dalam hal ini adalah Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Bahkan selain penanganan diluar prosedur, juga ditemukan bentuk penanganan yang dilakukan sesuai prosedur yang disertai dengan kekerasan serta penganiayaan yang mengakibatkan luka berat bahkan sampai pada kematian pada tersangka. Hubungan antara karakteristik tersangka dengan bentuk penanganan yang dilakukan merupakan satu hal yang menentukan apakah penanganan tersangka pelaku kejahatan oleh polisi sesuai prosedur atau diluar prosedur. Bentuk penanganan sesuai prosedur adalah penanganan yang dilakukan dengan surat perintah penangkapan, memperhatikan hak-hak yang dimiliki oleh tersangka dan batas waktu penahanan yang telah diatur dalam KUHAP. Sedangkan bentuk penanganan diluar prosedur adalah penanganan yang dilakukan dengan tidak memperhatikan serta mengabaikan aturan KUHAP."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1999
S6275
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
S6317
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wagimin Wirawijaya
"Penelitian mengenai Perlakuan Terhadap Tersangka Pelaku Pencurian dengan Kekerasan Selama Proses Pemeriksaan di Pokes Metro Jakarta Selatan, bertujuan menunjukkan tentang perlakuan para penyidik terhadap para tersangka khususnya pelaku pencurian dengan kekerasan selama dalam proses pemeriksaan. Adapun perrnasalahan yang diteliti adalah (1) apakah selama tersangka menjalani proses pemeriksaan terjadi pelanggaran hak tersangka, berupa tindakan kekerasan yang dilakukan oleh para penyidik/penyidik pembantu terhadap tersangka, (2) apabila terjadi pelanggaran hak tersangka, yang berupa kekerasan, (3) apa bentuk atau pola-pola kekerasan yang dilakukan dan (4) mengapa tindakan kekerasan tersebut dilakukan, serta (5) faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi terjadinya tindakan kekerasan tersebut.
Untuk membuktikan ada atau tidaknya tindakan kekerasan yang dilakukan oleh para penyidik/penyidik pembantu dalam proses perneriksaan tersangka pelaku curas, maka saya telah melakukan penelitian di Polres Metro Jakarta Selatan, pada Unit Kejahatan Kekerasan, selama tiga bulan, dengan obyek penelitian para penyidik/penyidik pembantu yang menangani empat kasus pencurian dengan kekerasan, dengan menggunakan metode kualitatif.
Pemeriksaan tersangka merupakan bagian dari penyidikan suatu tindak pidana, yang terkait dengan hak asasi manusia, oleh karenanya pemeriksaan tersangka harus dilakukan sesuai ketentuan hukum yang berlaku, yaitu hukum acara pidana (KUHAP) yang menjadi dasar atau pedoman bagi aparat penegak hukum. Sebagai penjabaran KUHAP, khususnya mengenai proses pemeriksaan, Kapolri telah mengeluarkan Petunjuk Tehnis tentang Pemeriksaan Tersangka dan Saksi (Juknis/07/11/1982), yang berisi syarat-syarat dan prosedur pemeriksaan, meliputi persiapan, pelaksanaan dan evaluasi hasil pemeriksaan.
Meskipun telah ada undang-undang dan petunjuk tehnis yang mengatur tatacara pemeriksaan tersangka dan Saksi, ternyata masih sering terjadi penyimpangan dalam pelaksanaannya, sebagaimana terungkap dari berbagai pemberitaan media masa, baik melalui media cetak maupun media elektronik, sebagai kekurangmampuan Polri dalam melaksanakan profesinya.
Berbagai faktor dapat mempengaruhi individu dalam proses pemeriksaan tersangka, yaitu motif dan tujuan, status dan peranan masing-masing serta budaya atau sistem nilai yang dianut maupun norma yang berlaku. Proses interaksi dalam pemeriksaan tersangka, tidak selalu sesuai dengan harapan masing-masing pihak, yaitu pemeriksa mengharapkan tersangka akan berterus terang dalam menjawab setiap pertanyaan pemeriksa, sedangkan tersangka ingin diperlakukan secara wajar sesuai hak-haknya yang diatur dalam ketentuan hukum acara pidana dan berusaha menutupi kesalahanya agar Jobs dari jeratan hukum, sehingga dalam proses interaksi tersebut terjadi pertentangan keinginan. Apabila pemeriksa tidak mampu menunjukkan bukti-bukti tentang keterlibatan tersangka dalam suatu peristiwa pidana yang dipersangkakan, karena kurangnya bukti yang mendukung, sedangkan pemeriksa berdasarkan persepsi, intuisi, pengetahuan dan pengalamannya, berkeyakinan bahwa tersangka adalah pelakunya, maka dapat menimbulkan ketegangan pada diri pemeriksa. Sebagai pelampiasannya adalah menunjukkan sikap-sikap, perilaku dan tindakan yang cenderung melakukan kekerasan terhadap tersangka, baik berupa penyiiksaan fisiik, penyiiksaan psiikologis maupun penyiksaan hukum.
Pola-pola perilaku dan tindakan kekerasan terhadap tersangka tersebut cenderung sering dilakukan karena pemeriksa menganggap sangat efektif digunakan dalam mengungkap kasus pidana. Disamping itu para pemeriksa menganggap hal tersebut diperbolehkan dan dibenarkan, sehingga cenderung membentuk pola-pola perilaku tertentu yang secara langsung atau tidak langsung disepakti sebagai pola perilaku yang diterima dan dianggap biasa, meskipun sebenarnya menyimpang dari ketentan hukum yang berlaku serta merupakan pelanggaran hak asasi manusia.
Berdasarkan pengetahuan dan pengalamanya penyidik/penyidik pembantu selama bertugas melakukan pemeriksaan tersangka harus menghadapi tersangka yang berasal dari berbagai latar belakang ekonomi, status sosial dan budaya yang berbeda, maka pemeriksa berusaha mengolong-golongkan berdasarkan latar belakangnya itu. Penggolongan yang berisikan sangkaan-sangkaan buruk terhadap tersangka, merupakan prasangka yang dapat menimbulkan diskriminasi serta dijadikan acuan bertindak dalam melakukan pemeriksaan tersangka.
Dalam tesis ini telah ditunjukkan bahwa penyidik/penyidik pembantu yang ditunjuk sebagai pemeriksa tersangka pelaku curas di Polres Metro Jakarta Selatan mempedomani aturan formal yaitu KUHAP dan Petunjuk Tennis Pemeriksaan Tersangka dan Saksi, aturan-aturan tidak tertulis yang ditetapkan oleh Kapolres maupun berdasarkan pengetahuan dan pengalaman serta keyakinan mereka dalam menggolong-golongkan tersangka, terungkap adanya berbagai pola tindakan penyidik/penyidik pembantu dalam mencapai tujuan pemeriksaan, yang berimplikasi terjadinya penyalahgunaan wewenang berupa penyimpangan berbentuk penyiksaan fisik, penyiksaan psikologis maupun penyiksaan hukum, sehingga terbukti telah melanggar hak asasi tersangka dalam proses pemeriksaan."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2001
T9852
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Agus Supriyatna
"Kekerasan massa yang terjadi di daerah di Indonesia dalam waktu relatif singkat telah menjadi pemandangan sehari-hari. Media massa, baik itu cetak maupun elektronik sering memberitakan kekerasan massa semacam itu. Banyak ragam kekerasan massa, ada masyarakat yang memukuli pelaku kejahatan. Ada pula yang menggilas. Ada pula yang membakar pelaku kejahatan. Masyarakat Desa Cikupa melakukan kekerasan massa dengan cara membakar hidup-hidup pelaku kejahatan. Fenomena ini menarik bagi penulis untuk meneliti faktor-faktor apa saja yang membuat warga Desa Cikupa melakukan kekerasan massa seperti itu.
Penelitian tentang Kekerasan Massa Terhadap Pelaku Kejahatan (Studi Kasus di Desa Cikupa) menggunakan penelitian kasus, tujuannya meneliti obyek penelitian secara intensif hanya pada kasus di Desa Cikupa. Data yang penulis gunakan adalah data kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam (depth interview). Wawancara ini dilakukan terhadap warga Desa Cikupa meliputi wawancara terhadap aparat desa, tokoh masyarakat, warga yang melakukan kekerasan massa dan warga yang menyaksikan kekerasan massa.
Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat beberapa faktor penyebab yang membuat warga Desa Cikupa melakukan kekerasan massa, yaitu: 1. Anomi, yaitu kondisi masyarakat yang tidak menggunakan cara legal. 2. Peniruan dari Wilayah lain, yakni masyarakat melakukan kekerasan massa disebabkan karena mengikuti apa yang terjadi di desa lain. 3. Dendam masyarakat, yakni seringnya terjadi kejahatan membuat warga frustrasi dan akhirnya dendam pada pelaku kejahatan. 4. Media massa, yaitu media massa memberikan andil dalam mempengaruhi aksi kekerasan massa di Desa Cikupa. 6. Spontanitas, yaitu kekerasan massa merupakan tindakan warga yang tidak pernah direncanakan sebelumnya."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T7102
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>