Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 190114 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Umi Fadilah Astutik
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
S6322
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syifa Zainati
"ABSTRAK
Penulisan ini membahas mengenai implementasi penanggulangan penyelundupan manusia people smuggling yang dilakukan oleh NCB ndash; Interpol Indonesia, khususnya dalam kasus ekstradisi Sayeed Abbas Azad bin Sayeed Abdul Hamid ke Australia. NCB - Interpol Indonesia adalah salah satu bagian yang berada dalam struktur organisasi Divisi Hubungan Internasional Polri yang menyelenggarakan tugas kerja sama internasional dalam lingkup bilateral dan multilateral. Oleh karenanya, 4 variabel implementasi milik George Edward III digunakan untuk menganalisa bagaimana implementasi penanggulangan penyelundupan manusia oleh NCB ndash; Interpol Indonesia.

ABSTRACT
This study discusses about implementation of combating people smuggling by NCB ndash Interpol Indonesia particularly in extradition case of Sayeed Abbas Azad bin Sayeed Abdul Hamid to Australia. NCB ndash Interpol Indonesia is part of the International Relations Division of National Police, which organizes international bilateral and multilateral cooperation. Therefore, the four implementation variables of George Edward III will be used to analyze how the implementation of combating people smuggling by NCB ndash Interpol Indonesia."
2017
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"Trafficking in persons, aspecially in women and children, is one of the transnational crime, which is now concerned by the international community. It has been stipulated in the Supplementing Protocol to the UN Convention Against Transnational Organized Crime, 2000. Trafficking has hereby a wider sense, including recruitment, transportation, transfer, harboring, or receipt ofpersons, by means of the threat or use of the force, or other forms of coercion, of abduction, of fraud, for the purpose of exploitation. This become one of the problems in the efforts of law enforcement, due to lack of regulations. Another problem is the different perspective of some countries looking at trafficking as a transnational crime, that need an international cooperation to combat it."
340 JHPJ 24:1 (2006)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, 2010
346.016 68 IND i
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Mochamad Akbar Adhinugroho
"Masalah tindak pidana pencucian uang merupakan permasalahan yang tidaklah dapat dipandang sebelah mata oleh setiap negara di dunia. Kejahatan ini merupakan sebuah tindak pidana serius yang memerlukan sebuah pencegahan dan pemberantasan yang optimal. Hal ini disebabkan karena praktek tindak pidana pencucian uang (money laundering) mempunyai keterkaitan sangat erat dengan kejahatan yang terorganisir (organized crime). Tindak pidana pencucian uang (money laundering) merupakan sebuah proses dimana pelaku kejahatan berupaya menciptakan ilusi sehingga harta yang dibelanjakan yang diperolehnya dari hasil tindak pidana kejahatan tampak seolah-olah berasal dari sumber yang legal.
Praktek tindak pidana pencucian uang dilakukan oleh pelaku tindak pidana kejahatan dengan perencanaan yang rapih dengan melibatkan berbagai sarana kejahatan. Praktek tindak pidana kejahatan ini kian kompleks dan tidak lagi dilakukan dalam skala kecil yang bersifat nasional namun telah melibatkan skala yang luas yang bersifat internasional. Hal ini disebabkan karena praktek tindak pidana pencucian uang ini semakin beragam dan dilakukan dengan melintasi batasan yuridiksi suatu negara. Akibatnya uang-uang atau harta kekayaan hasil tindak pidana pencucian uang telah tersebar di penjuru dunia.
Hal inilah yang mendorong hadirnya sebuah kerja sama internasional guna melakukan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana ini dan membentuk institusi-institusi internasional yang memberikan penekanan secara internasional dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang ini. Selain itu pemerintah di suatu negara harus juga terdorong untuk memberikan perhatian dengan melakukan kebijakan hukum balk berupa kebijakan dikeluarkannya peraturan di bidang pencucian uang ini serta dibentuknya institusi yang memiliki kebijakan di dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang ini."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T17301
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Livya Roska Pingkan author
"Berkembangnya bidang perekonomian Indonesia, menciptakan dampak negatif dan positif. Dari segi positif dapat kita rasakan, bahwa perkembangan perekonomian ikut membantu pembangunan nasional. Sedangkan pada dari sisi negatifnya dapat kita temui jenis pelanggaran atau kejahatan dalam sistem perbankan. Salah satunya adalah tindak pidana pencucian uang. Pencucian uang atau money laundering adalah kejahatan yang berupaya untuk menyembunyikan asal-usul uang sehingga dapat dipergunakan sebagai uang yang seolah-olah diperoleh secara legal. Salah satu upaya yang diambil oleh Pemerintah Indonesia adalah membentuk Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Yaitu lembaga independen yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden yang dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang di Indonesia. Pembentukannya disebutkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Undang-undang ini kemudian dirubah dan disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, PPATK bebas dari intervensi pihak manapun. PPATK memperoleh informasi dari Laporan PJK, Ditjen Bea Cukai, Informasi Media dan Masyarakat. Kemudian PPATK menyimpan, menganalisis dan mengevaluasi informasi tersebut. PPATK menyerahkan hasil analisanya terkait transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang kepada pihak Kepolisian, Kejaksaan atau penyidik lainnya untuk selanjutnya dilakukan penyidikan. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T26723
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Sathila Kusumaningtyas
"Tesis ini meneliti tentang hambatan yang dihadapi Indonesia, Malaysia, dan Filipina dalam kerja sama patroli maritim trilateral (trilateral maritime patrol) di Laut Sulu dan Sulawesi dengan menggunakan kelima variabel rezim keamanan yakni norma dan prinsip, aturan main, kepentingan nasional, kekuatan politik, dan pengetahuan yang didasari oleh ancaman yang ada di kawasan Laut Sulu dan Sulawesi. Analisis tersebut memberikan hasil bahwa ketiga negara kesulitan melakukan kerja sama dikarenakan beberapa hambatan berikut: prinsip kedaulatan dalam ASEAN Way yang dianut ketiga negara justru menghambat pelaksanaan patroli, aturan main dalam TCA tidak mengikat secara hukum dan tidak mengatur perluasan hak pengejaran seketika, adanya kepentingan nasional yang tumpang-tindih membuat negara-negara lalai akan tujuan utama kerja sama, dan terdapat ketimpangan yang cukup besar dalam kekuatan politik ketiga negara. Oleh karena itu, Indonesia sebagai negara dengan insentif kerja sama terbesar perlu untuk terus mendorong kedua negara lainnya untuk segera merealisasikan kerja sama. Selain itu ketiga negara perlu menunjuk keketuaan atau koordinator secara bergiliran untuk menjamin pertanggungjawaban pelaksanaan kerja sama dan merumuskan aturan main yang lebih mengikat secara hukum.Ketiga negara juga perlu untuk bekerja sama dalam capacity building untuk membantu negara yang lebih lemah menyetarakan (jenis dan teknologi) kapal-kapal yang akan digunakan untuk patroli agar memudahkan dalam komando dan pengendaliannya.

This thesis examines the obstacles faced by Indonesia, Malaysia and the Philippines in the cooperation of trilateral maritime patrols in the Sulu Sea and Sulawesi. In analyzing these obstacles, this thesis uses the five variables of the security regime: norms and principles, rules of conduct, national interests, political power, and knowledge based on the threats that exist in the Sulu and Sulawesi. The purpose of this exercise to identify the constraints that exist in the joint trilateral joint patrol cooperation between Indonesia, Malaysia and the Philippines. This thesis finds that the three countries embrace the norms and principles of the ASEAN Way which embraces the principle of sovereignty, and as such erodes the effectiveness of cooperation. In addition, the TCA principles result in the absence of legally-binding, and the regulation of the extention of the right of hot pursuit. The over-emphasis on non-intervention in the pursuit of national interests leads tothe neglect of the main purpose of cooperation, and there is considerable imbalance in the political power of the three countries. Therefore, referring to the concept of the security regime, this cooperation will not work effectively if the variables in the regime are not met. Indonesia as a country with the largest cooperation incentives needs to continue to encourage the other two countries to immediately realize the critical significan of the cooperation. In addition, the three countries also need to appoint a coordinator to ensure the accountability of the implementation of cooperation.There is also a need to formulate more legally binding rules. Finally, the states in the region need cooperate in the capacity building that helps weaker states to equalize the type and technology of vessels to be used for patrols to facilitate command and control.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
R. Abdussalam
"Polisi di semua negara dalam melaksanakan penegakan hukum di lapangan adalah sama wewenangnya. Selain mengadakan tindakan berdasarkan hukum peraturan perundang-undangan, juga dapat secara leluasa memakai peraturan sendiri dan pengalaman pribadi dalam memutuskan apa yang harus dilakukan dan bagaimana menangani penegakan hukum serta situasi dalam memelihara ketertiban yang polisi temui dalam melaksanakan tugasnya. Polisi tidak perlu mempunyai bukti cukup untuk menangkap orang dan dimintai keterangan. Walaupun tanpa dibekali atau didukung surat perintah sepotong pun, cukup mengenalkan identitasnya saja. Wewenang tersebut di semua negara terutama Amerika Serikat dan Inggris, dikenal dengan istilah Police Discretion. Dan Indonesia menyebut dengan istilah diskresi, terutama para perwira dan senior Polri. Padahal dalam Undang-undang No. 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana pada Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 4 terdapat wewenang mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab dan dalam penjelasan disebutkan untuk kepentingan penyelidikan dengan 5 (lima) persyaratan. Menurut penulis, wewenang tersebut sama dengan wewenang yang dilaksanakan di semua negara yang dikenal dengan istilah Police Discretion.
Kenyataan di lapangan polisi yang berada di tengah-tengah, berbaur dan bersentuhan langsung dengan masyarakat serta yang berhadapan langsung dengan para pelanggar hukum dan pelaku kejahatan adalah polisi yang paling rendah pangkatnya yaitu Tamtama dan Bintara. Oleh karena itulah pangkat Tamtama dan Bintaralah yang paling dominan dalam melaksanakan wewenang mengadakan tindakan lain daripada wewenang lainnya yang telah dirinci pasal demi pasal dalam UUHAP. Dalam mengadakan tindakan lain tersebut tidak harus lebih dahulu membuat laporan polisi, Surat perintah penangkapan, surat perintah penggeledahan dan penyitaan, surat izin dari ketua pengadilan negeri setempat. Polisi dapat langsung melakukan tindakan tersebut cukup hanya berdasarkan kecurigaan dan laporan informasi masyarakat yang dapat dipercaya maupun didapat sendiri baik secara individu, dua atau lebih, maupun satuan antara lain mengadakan razia dan operasi khusus kepolisian terhadap orang-orang yang termasuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) dan barang-barang yang termasuk Daftar Pencarian Barang (DPB).
Tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab sangat efektif dan efisien dalam penegakan hukum di lapangan, karena Polri selalu dihadapkan dengan meluasnya dan tidak fleksibelnya undang-undang pidana. Undang-Undang yang mendua arti dan samar atau tidak jelas. Undang-undang yang usang dan kuno yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat, keterbatasan anggaran, sarana, dan prasarana penegakan hukum, adanya kelambatan-kelambatan untuk menyesuaikan peraturan perundang-undangan dengan perkembangan di dalam masyarakat, berbedanya struktur, kebudayaan dan harapan masyarakat. Pendapat intern baik individu, satuan maupun atasan, waktu dan tempat kejadian serta faktor-faktor lain. Adanya kasus-kasus individual yang memerlukan penanganan secara khusus dan sebagai kebijakan penegakan hukum dalam pencegahan kejahatan maupun dalam melaksanakan fungsi hukum untuk mencapai tujuan hukum.
Mengingat sangat pentingnya wewenang mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab dalam penegakan hukum di lapangan sebagai kebijakan penegakan hukum dalarn pencegahan kejahatan, maka perlu diatur dalam peraturan pemerintah atau dimasukkan dalam RUU Polri dan dibuatkan petunjuk teknis sama dengan wewenang lainnya yang telah dirinci pasal demi pasal dalam UUHAP guna pedoman bagi Polri di lapangan serta dilakukan pemasyarakatan pada semua lapisan terutama seluruh anggota Polri atau ABRI, para pakar dan semua mahasiswa universitas dalam upaya untuk meningkatkan kadar kesadaran hukum serta dalam usaha mengembangkan sistem keamanan dan ketertiban masyarakat yang bersifat swakarsa."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>