Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12130 dokumen yang sesuai dengan query
cover
R. Mansury
Tangerang: YP4, 1999
336.24 MAN p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Syaiful Anwar
"Indonesia termasuk melakukan perdagangan dan pengembangan derivatif yang tertinggal. Banyak sekali produk derivatif yang telah diperdagangkan di bursa intemasional tujuannya adalah untuk mengairahkan bursa dan mengembangkan keragaman produk di bursa, secara tidak langsung akan dapat mendongkrak perekonomian suatu negara, dengan investasi hanya beberapa persen dari total investasi atau hanya sebesar premium bisa memberikan keuntungan yang besar bagi investor.
Berbagai Produk derivatif sudah diperdagangkan di Indonesia, baik yang diperdagangkan di bursa maupun di luar bursa. Baik berbentuk option, future, forward dan swap.
Namun demikian peraturan perpajakan yang ada hanya berupa peraturan tentang forward dan swap, sedangkan future dan option belum diatur dalam bidang perpajakan. Artinya peraturan perpajakan yang ada belum mencover secara keseluruhan tentang perdagangan instrumen keuangan derivatif.
Thesis ini yang berjudul perlakuan pajak penghasilan transaksi opsi atas saham mengkaji apa yang menjadi dasar pengenaan pajak dari derivatif kontrak opsi serta bagaimana mekanisme transaksi kontrak opsi dimaksud."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2005
T15688
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Darussalam
"Krisis ekonomi yang diawali dengan adanya krisis moneter pada pertengahan tahun 1997, telah mengakibatkan perseroan-perseroan yang beroperasi di Indonesia mengalami kesulitan keuangan yang sedemikian berat. Sudah menjadi kesepakatan umum di antara pemerintah, ekonom dan pelaku bisnis, bahwa reorganisasi akuisitif yang berupa penggabungan, peleburan dan pengambilalihan serta reorganisasi divisif yang berupa spin-off, split-off dan split-up merupakan suatu solusi terbaik bagi perseroan-perseroan untuk memecahkan problem kesulitan keuangan tersebut.
Adanya berbagai bentuk reorganisasi akuisitif dan divisif seperti tersebut di atas, hendaknya diantisipasi oleh para pembuat kebijakan perpajakan dengan merumuskan bagaimana seharusnya perlakuan Pajak Penghasilan atas reorganisasi akuisitif dan divisif. Kebijakan perlakuan Pajak Penghasilan atas reorganisasi tersebut hendaknya mengacu kepada substansi ekonominya, sehingga dapat menimbulkan keadilan dan kepastian hukum bagi Wajib Pajak serta tidak digunakan sebagai alat penghindaran pajak (tax avoidance).
Metode penelitian dilakukan melalui wawancara dengan beberapa pejabat pajak, Wajib Pajak dan konsultan pajak. Penelitian atas dokumen dilakukan berdasarkan hasil karya ilmiah dan ketentuan-ketentuan perpajakan baik berdasarkan Undang-undang dan ketentuan pelaksanaannya.
Berdasarkan analisis yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa ketentuan PPh yang mengatur tentang reorganisasi perseroan belum mengatur secara lengkap dan menyeluruh bentuk-bentuk dari reorganisasi akuisitif dan divisif, demikian juga perlakuan-perlakuan Pajak Penghasilannya belum didasarkan atas substansi ekonomi dari reorganisasi tersebut. Oleh karena itu, disarankan untuk dilakukan kaji ulang guna menyusun ketentuan yang mengatur secara lengkap dan menyeluruh perlakuan Pajak Penghasilan atas reorganisasi akuisitif dan divisif yang didasarkan atas substansi ekonomi masing-masing bentuk reorganisasi. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T1354
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Mardiana
"Gencarnya industri asuransi mempromosikan produk-produk berunsurkan tabungan dan bahkan memiliki unsur investasi, memang menjadi fenomena yang mencolok ketimbang dunia perbankan yang memang sejak dulu secara konvensional menggarap dengan berbagai daya tarik mengemas berbagai bentuk tabungan. lndikasi ini bisa dilihat dari maraknya jenis asuransi jiwa yang dikemas secara menarik dalam kombinasi produk antara tabungan dan asuransi, bahkan dikombinasikan dengan investasi. Produk-produk asuransi yang ditawarkan tersebut, pada saatnya akan memberikan berbagai manfaat asuransi jiwa yang dikaitkan dengan hidup dan meninggalnya orang yang dipertanggungkan. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk menganalisis kebijakan perpajakan atas penerimaan manfaat asuransi jiwa.
Obyek yang diteliti dalam penelitian ini adalah kebijakan perpajakan terhadap penerimaan manfaat asuransi jiwa. Pengumpulan data menggunakan metode Kualitatif dengan pendekatan Deskriptif Analisis, yaitu mendeskriptifkan data yang telah terkumpul dan menganalisisnya. Data yang digunakan dalam penelitian diperoleh dengan teknik Library Research dan Field Research.
Manfaat yang diberikan oleh perusahaan asuransi jiwa menurut perundang-undang Perasuransian di Indonesia adalah manfaat proteksi, yaitu untuk memastikan masa depan dan menanggulangi risiko hidup dan kehidupan. Jenis manfaat asuransi jiwa yang diberikan tergantung dari produk asuransi itu sendiri. Formula dasar pembentukan produk asuransi jiwa ada 3 (tiga), yaitu: asuransi berjangka (Term Insurance), asuransi seumur hidup (Whole Life Insurance), dan asuransi berunsurkan tabungan (Endowment Insurance). Sebagian besar ahli ekonomi perpajakan sepakat bahwa the S-H-S Concept merupakan titik tolak yang ideal dalam merumuskan penghasilan untuk keperluan perpajakan. Pengenaan pajak harus sesuai dengan pendekatan deductibility-taxability dan nondeductibility - nontaxability. Dalam rangka mencapai sasaran perpajakan yang dimaksud oleh undang-undang perpajakan, maka hendaknya sistem perpajakan berlandaskan pada suatu prinsip yang berlaku umum. Prinsip yang mendasar dalam pemungutan pajak adalah prnsip keadilan dan netralitas.
Analisis yang didapat bahwa ketentuan perpajakan atas manfaat asuransi jiwa yang tersebut dalam Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-O91PJ.4211997 tanggal 23 Juli 1997 bertentangan dengan UU PPh yang menganut pendekatan deductibility-taxability dan nondeductibility - nontaxability. Surat edaran tersebut memperlihatkan adanya diskriminasi pengenaan pajak atas penerimaan manfaat asuransi jiwa di mana PPh hanya dikenakan untuk pembayaran manfaat asuransi jiwa berjangka waktu 3 (tiga) tahun atau kurang. Pilihan masyarakat juga terganggu, karena untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun atau kurang, masyarakat disudutkan pada pilihan untuk membeli produk asuransi jiwa yang berjangka waktu lebih panjang dan menekankan investasi tabungan dari pada asuransi untuk jangka waktu pendek. Perusahan asuransi dihadapkan dengan kesulitan dalam melaksanakan pemotongan, pembayaran dan pelaporan pajak yang terutang karena surat edaran tersebut dikeluarkan tidak disertai dengan aturan yang menentukan jenis pemotongan pajaknya dan penggunaan formulir pajak baik bukti potong maupun surat pemberitahuan. Kesulitan juga dihadapi pada saat edaran tersebut diberlakukan karena pembayaran manfaat asuransi jiwa yang dibayarkan adalah manfaat untuk polls asuransi jiwa sebelum diberlakukannya surat edaran tersebut.
Berdasarkan analisis dapat ditarik kesimpulan bahwa Perlakukan PPh atas Penerimaan Manfaat Asuransi Jiwa berdasarkan UU PPh telah sesuai dengan pendekatan deductibility-taxability dan nondeductibility-nontaxability; kebijakan PPh atas Penerimaan Manfaat Asuransi Jiwa berdasarkan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-491PJ.4211997 tanggal 23 Juli 1997 tidak sesuai dengan mekanisme yang dianut oleh UU PPh; dan bertentangan dengan prinsip keadilan dan netralitas; serta penerbitannya tidak disertai dengan sarana administrasi perpajakan. Saran yang dapat disampaikan adalah disarankan agar manfaat asuransi jiwa tetap tidak dikenakan pajak sesuai UU PPh; disarankan dalam melaksanakan UU PPh, DJP tetap berpegang pada mekanisme deductibility-taxability dan nondeductibility-nontaxability; disarankan kebijakan di bidang asuransi jiwa lebih memperlihatkan prinsip penanggulangan risiko hidup dan meninggalnya yang dipertanggungkan; disarankan agar Kebijakan PPh atas Penerimaan Manfaat Asuransi Jiwa berdasarkan Surat Edaran Dirjen Pajak nomor SE-O91PJ.4211997 tanggal 23 Juli 1997 dicabut kembali, supaya pelaksanaan pemungutan pajak tetap berpegang teguh pada asas keadilan dan asas netralitas; disarankan agar pembuatan kebijakan di bidang pemungutan pajak disertai peraturan pelaksanaan di bidang administrasi."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12111
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mangoting, Yenni
"Penggunaan mata uang asing memang cukup rentan terhadap risiko fluktuasi nilai tukar mata uang dan tingkat suku bunga. Untuk melindungi aktiva atau pasiva yang rentan terhadap perubahan nilai tukar mata uang dan tingkat suku bunga, Wajib Pajak dapat menggunakan instrumen keuangan derivatif Swap. Melalui instrumen keuangan derivatif Swap, risiko kerugian akibat perubahan-perubahan tersebut dapat dihindari atau diperkecil. Bahkan dengan lindung nilai (hedging), Wajib Pajak dapat menciptakan keuntungan melalui pergeseran risiko. Oleh karena itu, perlindungan nilai melalui penggunaan istrumen derivatif, khususnya Swap, merupakan fenomena menarik untuk menentukan pengenaan pajaknya.
Wajib Pajak dapat menggunakan Swap jenis interest rate swap atau currency swap. Interest rate swap merupakan transaksi pertukaran bunga. Selisih lebih pertukaran bunga Swap yang diterima (cash flow in) merupakan obyek pajak. Sedangkan currency swap merupakan transaksi pertukaran mata uang dengan denominasi yang berbeda. Selisih antara kurs pada saat pertukaran (spot rate at exchange rate) dengan kurs pada saat kontrak Swap berakhir (spot rate at inception) merupakan obyek pajak.
Karakterisasi penghasilan merupakan permasalahan yang timbul dalam transaksi Swap. Terdapat kecenderungan bahwa fiskus mengklasifikasikan penghasilan dari transaksi Swap sebagai penghasilan bunga, padahal transaksi Swap bukan transaksi pinjam meminjam. Berhubung transaksi Swap, merupakan kontrak jangka panjang, permasalahan lain yang timbul adalah saat pengakuan kuntungan atau kerugian yang dihasilkan melalui._transaksi Swap untuk kepentingan pengenaan pajaknya.
Penelitian ini menggunakan metodologi kualitatif dengan pendekatan deskriptif analisis dan menggunakan data sekunder. Melalui penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa faktor penentu untuk mengklasifikasikan penghasilan dari transaksi Swap adalah karakteristik atau sifat (nature) Wajib Pajak dan tujuan dilakukannya transaksi Swap, apakah untuk tujuan lindung nilai (hedging) atau untuk trading. Sedangkan tujuan dilakukannya transaksi Swap merupakan faktor penentu dalam menentukan metode pengakuan keuntungan dan kerugian dari transaksi Swap. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa tidak tersedianya ketentuan perpajakan yang rinci dan comprehensive yang mengatur tentang pengenaan pajak atas transaksi Swap. Beberapa ketentuan perpajakan yang sudah ada, sebaiknya dikaji kembali karena terdapat pertakuan Pajak Penghasilan atas transaksi Swap yang kurang tepat apakah dianaiisa dengan menggunakan teori-teori yang ada."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12393
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Titi Muswati Putranti
"Kebijakan pemungutan Pajak Penghasilan atas usaha jasa konsultan sekarang ini didasarkan suatu sistem pengenaan Pajak Penghasilan berdasarkan tarif khusus yang bersifat final. Tesis ini menganalisis pelaksanaan kebijakan tersebut dari sudut pandang azas-azas perpajakan yaitu keadilan, kepastian dan kecukupan penerimaan. Hal ini dilatarbelakangi dengan perbandingan kebijakan pemungutan Pajak Penghasilan berdasarkan tarif progresif atas tambahan kemampuan ekonomis neto.
Undang-undang Pajak Penghasilan berserta petunjuk pelaksanaan serta peraturan di bawahnya menjadi acuan peraturan yang digunakan dalam menganalisis permasalahan. Penelitian bersifat deskriptif analitis dengan menggunakan metoda pengumpulan data berupa studi lapangan melalui wawancara mendalam dan data dokumenter serta studi kepustakaan.
Penentuan definisi penghasilan dalam undang-undang cenderung menggunakan konsep SHS yang telah disempurnakan yaitu menganut pengertian penghasilan atas realization accreation sehingga untuk mengukur konsep keadilan maka penghitungan pajak dihasilkan dari tambahan kemampuan ekonomis neto dengan penerapan tarif progresif agar prinsip equal treatment for the equals dapat tercapai. Disisi lain prinsip unequal treatment for the unequal juga harus dipenuhi agar Wajib Pajak yang mempunyai tambahan kemampuan ekonomis neto yang lebih besar harus memikul beban pajak yang lebih besar pula dan sebaliknya. Untuk itu perlu diperkenankan pengurangan beban pajak. Bila kebijakan pemungutan Pajak Penghasilan atas penghasilan bruto dengan penerapan tarif final tanpa diperbolehkan pengurangan, maka kebijakan ini lebih mengarah kepada pajak atas transaksi.
Pemungutan Pajak Penghasilan dengan cara pemotongan oleh pihak ketiga telah diakui merupakan salah satu kemudahan administrasi disamping terjaminnya keuangan negara. Namun demikian pemotongan tersebut akhirnya harus dihitung atas dasar penghasilan neto, sehingga keadilan tidak terabaikan. Kecenderungan pemerintah sekarang ini banyak mengintrodusir kebijakan pemotongan Pajak Penghasilan dengan tarif khusus yang bersifat final, berarti mengarah kepada kebijakan dengan sistem schedular. Dan pada akhirnya menggeser prinsip global taxation dalam kebijakan perpajakan kita menjadi schedular taxation."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ginting, Riskon
"Teknologi informasi dan komunikasi saat ini terus berkembang dari waktu ke waktu. Internet merupakan hasil dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang memungkinkan pengiriman data informasi dilakukan dengan lebih cepat dan elisien. E-commerce merupakan suatu bagian yang tidak terpisahkan dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi tersebut. E-commerce merupakan suatu transaksi perdagangan yang mempunyai kesamaan dengan transaksi konvensional. hanya media yang digunakan untuk transaksi tersebut berbeda. Penghasilan atas transaksi E-commerce merupakan penghasilan usaha seperti penghasilan atas transaksi konvensional. Karakterisasi penghasilan atas E-commerce merupakan suatu hal yang sangat penting untuk menentukan sistem dan prosedur pemajakan serta hak pemajakan atas penghasilan tersebut. Penghasilan atas E-commerce dapat dikategorikan kedalam empat kategori yaitu penghasilan atas penjualan barang, penghasilan Royalti, penghasilan Jasa dan penghasilan Sewa. Sistem dan prosedur pemajakan atas masing-masing jenis penghasilan berbeda satu dengan lainnya. Pemajakan atas penghasilan Royalti dan jasa dan Sewa dipotong secara Withholding. Sedangkan penghasilan atas penjualan barang tidak dipotong secara withholding. Untuk penghasilan atas Royalti, Jasa serta Sewa Negara sumber mempunyai hak untuk memajaki, sedangkan atas penghasilan dari penjualan barang Negara sumber tidak mempunyai hak, kecuali ada Bentuk Usaha Tetap.
Penelitian ini menggunakan nnetodologi dengan pendekatan deskriptif analisis dan meng gunakan data sekunder. Melalui penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa faktor penentu untuk mengkategorikan penghasilan atas E-commerce dapat dilihat dari ciri-ciri transaksi yang dilakukan. Ciri-ciri dari suatu transaksi yang dikategorikan sebagai penjualan barang Royalti. Pemberian Jasa dan Sewa berbeda satu sama lain. Dengan mengetahui ciri-ciri dari suatu transaksi maka penghasilan atas transaksi tersebut dapat dikategorikan. Pemajakan penghasilan atas transaksi E-commerce di dalam negeri masih menggunakan peraturan yang ada seperti pemajakan atas laba usaha, penghasilan Royalti, penghasilan Jasa dan penghasilan sewa. Untuk Wajib Pajak Luar Negeri dikenakan sesuai dengan peraturan domestik dan peraturan Tax Treaty yang telah dibuat."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T12220
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tambunan, Ruston
"Untuk menggali penerimaan pajak dari sektor usaha jasa konstruksi maka pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari. Usaha Jasa Konstruksi dan Jasa Konsultan. Mengacu pada sasaran pembaharuan sistem perpajakan nasional, maka setiap ketentuan perpajakan harus memperhatikan aspek keadilan serta jaminan atas kepastian hukum dalam pemungutan pajak.
Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis apakah ketentuan tersebut telah tepat ditinjau dad azas-azas perpajakan yang baik terutama aspek keadilan dalam pembebanan pajak, kepastian hukum, kesederhanaan pemungutan, serta kekuatan dan keabsahan dasar hukum pemungutan pajak.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode .deskriptif analitis mencakup analisis teoritis melalui studi kepustakaan dan pendapat beberapa pakar perpajakan serta analisis empiris atas kasus-kasus di lapangan.
Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa Peraturan Pemerintah yang mengenakan PPh Final atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi kurang mencerminkan azas keadilan, baik keadilan horizontal yang menekankan bahwa semua orang yang mempunyai penghasilan sama harus membayar pajak dalam jumlah sama maupun keadilan vertikal yang mewajibkan pajak yang semakin besar selaras dengan semakin besarnya kemampuan yang bersangkutan untuk membayar pajak.
Selain itu terdapat beberapa hal yang menyangkut ketidakpastian termasuk pengertian jasa konstruksi sehingga menimbulkan perbedaan interpretasi dalam pelaksanaannya. Di sisi lain, Peraturan Pemerintah tersebut telah mempunyai landasan hukum yang sah yaitu Undangundang (UU). Yang menjadi permasalahan adalah terlalu luasnya wewenang yang diberikan oleh UU sehingga dengan Peraturan Pemerintah dapat diatur tarif pajak tersendiri atas segala jenis penghasilan yang berbeda dari ketentuan UU itu sendiri. Hal ini menyimpang dari Undang-undang Dasar 1945 yang menetapkan bahwa segala pajak harus berdasarkan UU.
Menerapkan kembali tarif umum yang progresif dan tidak final lebih mencerminkan keadilan. Akuntansi Keuangan sangat memudahkan penetapan penghasilan neto usaha jasa konstruksi sehingga secara teknis pembukuan tidak terdapat masalah. Selanjutnya perlu ditinjau kembali ketentuan dalam UU yang memberi wewenang terlalu besar kepada Peraturan Pemerintah untuk mengatur tersendiri perlakuan PPh atas jenis-jenis penghasilan tertentu."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sudarmoyo
"Krisis ekonomi yang diawali dengan krisis moneter yang terjadi di pertengahan tahun 1997, memberikan pelajaran amat berharga bagi bangsa Indonesia. Pelajaran ini merupakan modal dalam membenahi sistem perekonomian yang ada selama ini. Salah satu pembenahan yang dilakukan adalah di sektor perbankan, dengan melakukan merger bank-bank yang sakit.
Terdapat beberapa permasalahan dalam merger bank yang menyangkut Pajak Penghasilannya antara lain menyangkut : peraturan perpajakan yang ada, kebijakan perpajakan, pelaksanaan peraturan, dan upaya tax planning yang dilakukan. Pembahasan atas permasalahan ini difokuskan pada kasus merger Bank Mandiri.
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan antara lain : Mempelajari implikasi peraturan PPh terhadap terjadinya proses merger ; Mempelajari dan menganaiisis unsur kepastian hukum pada peraturan pajak penghasilan; Membandingkan peraturan-peraturan perpajakan yang ada dengan praktek di lapangan dan pengaruhnya terhadap motivasi merger dan revenue kas negara; Mempelajari pelaksanaan merger di Bank Mandiri yang dikaitkan dengan peraturan PPh yang berlaku ; dan meneliti proses tax planning yang ada pada merger Bank Mandiri.
Pada Merger Bank Mandiri terdapat proses pengalihan asset dari keempat bank bergabung menjadi asset Bank Mandiri. Pengalihan asset ini bisa merupakan peristiwa kena pajak apabila muncul penghasilan yang menurut UU PPh merupakan Objek Pajak. Namun demikian sudah merupakan teori yang umum bahwa merger yang merupakan penyatuan kepemilikan merupakan peristiwa merger yang bebas pajak penghasilan, karena tidak muncul penghasilan pada proses pengalihan asetnya.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan tipe penelitian deskriptif analitis. Data-data yang dikumpulkan dengan bersandarkan pada studi pustaka dan observasi lapangan. Kemudian penelitian juga dilakukan atas dasar artikel-artikel dan berita-berita di media masa juga melalui ketentuan-ketentuan perpajakannya.
Dari hasil penelitian dapat ditarik beberapa kesimpulan antara lain bahwa merger Bank Mandiri menggunakan metode penyatuan kepentingan sehingga bebas pajak dilihat dari sisi pajak penghasilan, bahwa pajak penghasilan atas merger bank relatif tidak berdampak secara signifikan terhadap motivasi untuk melakukan merger, bahwa peraturan perpajakan masih bersifat umum sehingga disarankan dibuat Iebih Iengkap dan rinci supaya lebih memberikan kepastian hukum."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T7474
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dasto Ledyanto
"Salah satu kemanfaatan utama dari transaksi kontrak berjangka komoditi adalah sebagai sarana lindung nilai dari kemungkinan kerugian investasi. Sarana lindung nilai seperti ini merupakan salah satu jenis transaksi derivative. Pada akhir dari transaksi ini (saat jatuh tempo atau terjadi cash settlement) nasabah (investor) akan dihadapkan pada dua hal yakni memperoleh keuntungan atau menderita kerugian. Apabila dikelola dengan baik, transaksi kontrak berjangka komoditi ini sangat potensial sebagai sarana lindung nilai dalam rangka memperoleh penghasilan dan mengurangi atau menekan kerugian. Dari sisi keberadaannya di Indonesia yang masih relatif baru, transaksi kontrak berjangka komoditi dapat menjadi suatu altematif investasi. Oleh karena itu, apabila hal ini digali lebih mendalam khususnya yang berkenaan dengan pengenaan PPh atas penghasilan dari transaksi kontrak berjangka komoditi, bukan tidak mungkin akan memberikan kontribusi yang besar pada penerimaan negara.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam tesis ini adalah bagaimana Wajib Pajak dalam negeri yang melakukan transaksi kontrak berjangka komoditi dapat melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan baik, sehingga dapat memberikan kontribusi pada peningkatan penerimaan negara. Pokok permasalahan tersebut apabila diperinci dalam bentuk kalimat-kalimat pertanyaan meliputi hal-hal sebagai berikut: (i) bagaimana konsep dan hakekat ekonomi dari transaksi kontrak berjangka komoditi?, (ii) bagaimana pendapat para ahli berkenaan dengan pajak atas penghasilan yang diperoleh dari transaksi kontrak berjangka komoditi?, (iii) bagaimana perlakuan PPh atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dari kontrak berjangka komoditi yang saat ini berlaku di Indonesia?, dan (iv) bagaimana pengaturan PPh yang seharusnya diterapkan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dari kontrak berjangka komoditi di Indonesia ?.
Untuk membantu proses pengkajian dan pembahasan masalah tersebut dilakukan penelitian secara deskriptif analitis, yakni mendeskripsikan terlebih dahulu semua informasi atau data yang diperoleh dari penelitian. Selanjutnya atas semua data tersebut dilakukan analisis yang dikaitkan dengan ketentuan PPh yang berlaku saat ini dan korelasinya dengan sistem pemajakan yang memenuhi persyaratan keadilan vertikal dan horizontal. Yang pada akhirnya dari analisis data tersebut dapat dirumuskan suatu kesimpulan atau memberikan saran-saran. Sebagai pendukung analisis dilakukan penelitian lapangan melalui wawancara mendalam dengan pengambil keputusan dalam bidang perpajakan yakni pejabat di Direktorat Jenderal Pajak, dengan penyelenggara bursa yakni pihak Bursa Berjangka Jakarta, Badan Pengawas Perdagangan Berjangka dan pelaku bursa seperti pialang anggot'a bursa. Dalam transaksi kontrak berjangka komoditi digunakan mark to market basis dalam arti setiap hari dilakukan penghitungan berdasarkan settlement price untuk hari yang bersangkutan sehingga diketahui keuntungan atau kerugian nasabah. Meskipun demikian penghitungan keuntungan atau kerugian bersih dilakukan pada saat jatuh tempo atau terdapat cash settlement. Yang menjadi objek PPh adalah penghasilan (keuntungan) yang telah terealisasi. Namun, secara teoritis untuk pengakuan atas keuntungan atau kerugian ini menggunakan matching basis yakni apabila kerugian underlying jatuh dalam tahun buku yang berbeda dengan tahun buku diperolehnya keuntungan dari derivative yang dimaksudkan sebagai lindung nilai bagi underlying yang bersangkutan maka keuntungan derivative tersebut harus dibukukan dalam tahun buku yang sama dengan dideritanya kerugian underlying.
Berkenaan dengan penggunaan mark to market basis dalam kontrak berjangka pada dasamya tidak menjadi suatu masalah karena memang hal itu merupakan habitual practice dari transaksi tersebut. Sedangkan berkaitan dengan pengakuan ada tidaknya suatu penghasilan dari kontrak berjangka komoditi ini tetap mendasarkan pada realization principles. Oleh karena itu pengakuan adanya penghasilan atau kerugian pada kontrak berjangka komoditi dihitung setelah terselesaikannya suatu transaksi kontrak berjangka komoditi yakni pada saat jatuh tempo transaksi dan pada saat terjadi penyelesaian secara tunai (cash settlement). Maksud penghitungan dalam hal ini adalah penghitungan bersih setelah terlebih dahulu memperhitungkan keuntungan atau kerugian hariannya dari transaksi kontrak berjangka komoditi yang bersangkutan.
Pada akhirnya dapat ditarik suatu kesimpulan tentang bagaimana pengenaan PPh yang seyogyanya diterapkan atas penghasilan dari kontrak berjangka komoditi yakni berpedoman pada 4 hal pokok. Mengingat sampai dengan saat ini Direktorat Jenderal Pajak sebagai instansi yang melingkupi tata laksana perpajakan belum merumuskan peraturan perpajakannya maka menurut hemat penulis 4 hal pokok tersebut dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam merumuskan peraturan perpajakannya. Hal ini tidak lain dimaksudkan agar segera dapat tercipta suatu kepastian hukum atas perlakuan perpajakan dari keuntungan atau kerugian transaksi kontrak berjangka komoditi."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12134
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>