Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 94616 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Attia Nur
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
S6110
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heriyandi Roni
"Perubahan politik nasional di Indonesia pada tahun 1998 adalah runtuhnya rejim Orde Baru. Perubahan tersebut membawa implikasi kepada Golkar. Implikasi positif adalah terjadinya perubahan dalam pengambilan keputusan partai. Pengambilan keputusan dalam penentuan calon presiden dan ketua umum partai tidak lagi didasarkan kepada kekuasaan seseorang sebagaimana terjadi selama Orde Baru tetapi menggunakan mekanisme bottom up, melalui pemilihan dan kewenangan suara untuk menentukan pilihan melibatkan unit-unit organisasi di Partai Golkar. Studi ini bertujuan untuk menjelaskan demokratisasi dalam proses pengambilan keputusan untuk menentukan caIon presiden dan ketua umum partai, khususnya di Munaslub 1993, Munas VII 2004 dan di Konvensi Partai Golkar.
Metode penelitian yang digunakan dalam studi ini adalah metode penelitian kualitatif dengan jenis studi kasus. Paradigma yang digunakan adalah paradigma kontruktivisme, dengan pengumpulan data digunakan melalui wawancara dan didasarkan kepada sumber-sumber lain. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis kualititatif.
Dalam menjelaskan proses demokratisasi yang berlangsung digunakan beberapa teori antara lain teori Demokrasi dan Demokratisasi, teori Partai Politik, dan Teori Elit. Temuan - temuan dalam studi ini dikemukakan sebagai berikut :
Pertama, penentuan ketua umum dalam masa transisi di Munaslub 1998, Munas VII 2004 dan penentuan calon presiden melalui model konvensi menggambarkan adanya proses demokratisasi internal di Pattai Golkar. Kedua, kasus pemilihan tersebut memberikan gambaran yang cukup kompleks tentang power strugle antar faksi di tingkat elit partai golkar. Peta faksi-faksi tersebut di setiap kasus berubah-ubah. Dalam studi ini, di kasus pemilihan ketua umum terlihat kelompok kepentingan pragmatis kekuasaan yang memenangkan power strugle tersebut. Ketiga, Dalam kasus Konvensi Partai Golkar, implementasi demokratisasi dalam proses pengambilan keputusan dengan cara pemilihan, dipercepat adanya kasus hukum Akbar Tanjung. Untuk menghindari perpecahan internal maka konvensi disepakati sebagai model untuk menentukan calon presiden dari Partai Golkar. Keempat, studi ini juga menemukan bahwa proses pelaksanaan konvensi partai meningkatkan citra (image building) Partai Golkar. Pada pemilihan umum legislatif 2004 di tengah kemorosotan perolehan suara partai-panai lain dilihat dari hasil pemilihan umum 1999, Partai Golkar berhasil mempertahankan perolehan suara.
Secara teoritis, studi ini menunjukan relevansi terhadap beberapa teori yang digunakan yaitu teori Larry Diamond, Juan Linz, Seymour M Lipset dan Jose Abueva tentang nilai-nilai demokrasi prosedural, teori Maswadi Rauf dan Anders Uhlin tentang adopsi nilai-nilai demokrasi sebagai proses dernokratisasi. Alan Ware tentang model keputusan organisasl, dan Gaetano Mosca tentang sirkulasi clit. Tetapi tcori Robert Michel tentang Oligarki dalam tingkat organisasi seeara luas bersifat terbatas dan perlu direvisi. Dalam sistem pengambilan keputusan yang semakin otonom di unit-unit organisasi, DPD I, DPD II dan Ormas-Ormas semakin berdaya menentukan pilihan sesuai dengan kepentingannya. Dengan demikian mekanisme demokrasi dalam proses pengambilan kepurusan dapat membatasi pengaruh dan intervensi pimpinan pusat partai."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
D810
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riyono Asnan
"Maksud dan tujuan penelitian mengenai Sirkulasi Elite Partai GOLKAR Pasca Orde Baru adalah pertama, untuk rnenggambarkan seperti apa sirkulasi atau pergantian elite Partai GOLKAR pasea Orde Baru. Kedua, untuk mengetahui perbedaan bentuk sirkulasi elite GOLKAR ketika semasa Orde Baru yang tergantung restu elite dalam hal ini Ketua Dewan Pembina GOLKAR Soeharto dan semasa reformasi, apakah mengalami perubahan seiring tuntutan reformasi yang disuarakan oleh mahasiswa. Ketiga, untuk mengetahui perubahan-perubahan yang texjadi di Partai GOLKAR sehingga rnenyebabkan organisasi ini tetap kukuh berdiri di tengah badai perubahan? Keempat, untuk mengetahui apakah sirkulasi elite dan perubahan-perubahan di Partai GOLKAR tersebut mempunyai dampak terhadap proses demokratisasi di tubuh GOLKAR.
Dalam penelitian ini digunakan teori elite yang dikemukakan oleh Gaetano Mosca, Vilfredo Paretto, C. Wright Mills dan Robert Michels. Konsep teori elite yang dikemukaan mereka pada dasarnya adalah bahwa setiap struktur sosial masyarakat pasti terdapat kelompok sosial yang mempunyai kemampuan, kekayaan dan kecakapan tertentu yang dapat membedakan mereka dengan kelompok lainnya. Kelompok masyarakat yang mempunyai kelebihan ini oleh para teoritisi elite disebut sebagai kelompok elite. Dalam struktur kekuasaan, kelornpok elite ini biasanya memegang peranan lebih besar dibanding kelompok lainnnya. Mereka biasanya menjadi pemimpin di dalam struktur kekuasaan. Sedangkan kelompok lainnya, yang berada diluar kekuasaan mengambil sikap oposisi atau sebagai kelompok yang mengkoreksi segala kebijakan yang dibuat oleh pemegang kekuasaan. Sebenarnya, kedua kelompok ini saling bersaing untuk memperebutkan kekuasaan.
Dalam proses Sirkulasi Elite di GOLKAR Pasca Orde Baru nampak sekali terjadi perubahan seiring perubahan politik di luar GOLKAR. Sirkulasi elite yang sebelumnya tergantung sepenuhnya kepada presiden Soeharto, telah mengalami perubahan mengikuti perkembangan politik di luar GOLKAR. Faksi-faksi yang ada di GOLKAR mempunyai kesempatan dan peluang yang sama untuk memperebutkan kekuasaan. Perubahan ini nampak terlihat saat GOLKAR menggelar Munaslub tahun 1998 dan Munas VII GOLKAR di Bali. Semua kelompok baik penguasa (Srigala) maupun oposisi (Singa) saling bersaing untuk mendapatkan dukungan dari arus bawah. Perubahan-perubahan ini telah menjadikan GOLKAR lebih demokratis dibanding semasa kekuasaan Orde Baru. Terjadi ledakan panisipasi yang cukup besar dari arus bawah (DPD I dan II) setelah jatuhnya presiden Soeharto.
Dari dua kali perubahan elite di GOLKAR, nampak kepentingan negara ikut mempengaruhi proses sirkulasi elite. Munaslub 1998 kepentingan negara terpersonifikasikan ke dalam diri B.J. Habibie. Habibie sangat berkepentingan untuk mernpertahankan kekuasaannya sehingga ia perlu menempatkan orang kepercayaannya untuk memimpin GOLKAR yalmi Akbar Tandjung. Sedangkan dalam Munas VII GOLKAR di Bali, kepentingan negara terwakili pada diri Jusuf Kalla. Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla sangat berkepentingan untuk menjinakkan sikap oposisi GOLKAR yang tergabung dalam koalisi kebangsaan. Langkah ini diambil untuk mengamankan kebijakan pemerintali agar mendapat dukungan dari parlemen. Dukungan dari parlemen ini sangat penting untuk memperkokoh kebijakan pemerintah dan untuk menjamin kelangsungan program pemerintah maka negara perlu menguasai Partai GOLKAR. Faktor lain yang mempengaruhi sirkulasi elite di GOLKAR adalah kharisma elite (pengaruh elite), idiologi dan kepentingan politik sesaat elite yang biasanya bersifat oportunistik.
Dari hasil penelitian tersebut, nampak sekali bahwa teori elite yang dikemukakan oleh Pareto, Mosca, Michels dan Mills jika diterapkan di GOLKAR tidak sesederhana yang mereka bayangkan. Perlu memperhatikan nilai-nilai lokal dimana organisasi itu berada. Hal ini wajar mengingat kondisi sosial politik saat teori ini muncul yakni di Italia dan Amerika Serikat berbeda dengan kondisi Indonesia. Masyarakat di Italia dan Amerika Serikat tentunya lebih maju dibanding dengan kondisi masyarakat Indonesia."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T21911
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ridhwan Effendi
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1995
S5665
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2022
153 INT
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Ogi Ahmad Fauzi
"Tesis ini dilatarbelakangi oleh Kepemimpinan Partai Golkar era transisi mampu mempertahankan Partai Golkar ditengah desakan pembubaran pasca jatuhnya orde baru. Tidak hanya bertahan, Golkar mampu meraih suara yang signifikan pada pemilu tahun 1999 dengan peringkat kedua setelah PDIP. Pada pemilu 2004 Partai Golkar mampu memenangkan pemilihan umum mengalahkan partai-partai lainnya. Oleh karena itu, penellitian ini dilakukan untuk mencari jawaban bagaimana model kepemimpinan yang dijalankan Partai Golkar pada masa transisi menuju demokrasi. Penelitian ini menggunakan teori Kepemimpinan, Kepemimpinan Transformasional, perilaku Kepemimpinan Transformasional. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif.
Hasil penelitian dilapangan memperlihatkan bahwa kepemimpinan Partai Golkar era transisi mampu bertahan ditengah desakan pembubaran disebabkan sosok pemimpin Partai Golkar di bawah kepemimpinan Akbar Tandjung memiliki kharisma dimana kharisma ini membuat para kader dan simpatisan bersedia melakukan sesuatu sesuai dengan visi pemimpinnya. Sosok pemimpin memberikan perhatian yang personal kepada para kader dan simpatisan yang membuat kader dan simpatisan merasa diakui keberadaannya di Partai serta merasa dekat dengan pemimpinnya. Kemudian kepemimpinan Partai Golkar era transisi dengan kebijakan dan program yang dijalankannya memberikan stimulasi kepada para kader sehingga mendapatkan ruang yang lebih besar untuk berkontribusi di partai dalam upaya membangun kemandirian Partai Golkar. Yang terakhir adalah, sosok pemimpin yang dalam menjalankan roda organisasi pantang menyerah dan terus bekerja sehingga para kader Partai Golkar menjadi termotivasi untuk melakukan lebih baik lagi.

This thesis is motivated by the Golkar Party leadership in transition era which is able to maintain the Golkar Party dissolution amid insistence after the fall of the New Order. Even after facing dissolution notion, Golkar also able to achieve a significant vote in the 1999 election, only behind PDIP. During 2004 election, Golkar Party was able to win the general election. Therefore, this research was conduct to find the model of Golkar Party leadership during democracy transition period. The study uses the theory of leadership, transformational leadership, transformational leadership behaviors. The method used in this study is qualitative method.
The results of field studies showed that the survival of Golkar Party during transition era came from leadership figure of the Golkar Party, Akbar Tandjung. The Golkar Party leader had certain quality of charisma which makes the cadres and sympathizers willing to obey in accordance with Akbar Tandjung visions. In Golkar Party case, a leader gives personal attention to cadres and sympathizers which made the cadres and sympathizers felt acknowledged within the party and felt close, strong bonded to the leaders. The Golkar Party leadership in transition era stimulated the cadres with policies and programs that provide a more space to build independence of Golkar Party. Lastly, Akbar Tandjung who was running the organization never gave up the party and continued to work.With this model of leader, Golkar Party cadres were motivated to contribute more toward party.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yogyakarta: InsistPress, 2015
302.23 ORD
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Rahmat
"Tesis ini membahas gerakan sosial baru yang terjadi di Papua. Bagaimana sikap penolakan masyarakat Papua terhadap integerasi dengan Indonesia sejak tahun 1969 lewat Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) dengan bergerilya bersenjata kemudian berubah menjadi cara-cara damai dengan berpolitik dan membangun basis kekuatan massa bukan saja di hutan tetapi sampai didalam kota (konsep masyarakat modern).
Dengan menghadirkan organisasi perjuangan yang bernama Presidium Dewan Papua (PDP) sikap menolak integrasi. Sehingga yang menjadi rumusan masalah yaitu bagaimana bentuk organisasi PDP dan perannya dalam melahirkan gerakan sosial baru di Papua ?. Eksplorasi metode pada penelitian ini dengan menggunakan metode penelitian kualitatif, karena peristiwa ini relatif masih baru maka sumber paling baik adalah pengumpulan dokumen dari hasil Musyawarah Besar (MUBES), Kongres Rakyat Papua Ke II dan dokumen penting PDP dan yang terpenting mewawancarai tokoh-tokoh gerakan sosial baru ini. Untuk memperkuat penelitian ini maka penulis menggunakan teori-teori gerakan sosial baru yang paling relevan dan tepat . Dengan melihat kunci kekuatan teori tersebut dimana lahirnya organisasi perlawanan rakyat, tokoh / pimpinan, adanya kesempatan politik, partisipasi masyarakat akar rumput dan tanggapan pihak yang berkuasa (pemerintah), sehingga lahir mobilisasi massa dan mobilisasi politik, karena adanya suatu kepercayaan (belief) sebagai sumber penyatu.
Temuan penelitian ini benar-benar menunjukkan realitas di Papua sebagai fenomena gerakan sosial baru yaitu, organisasi PDP yang laior berhasil merubah pola gerakan yang sebelumnya dengan cara gerilya bersenjata menjadi cara damai dan pola itu menjadi tema pokok perjuangan rakyat, selain ini representatif rakyat dengan melibatkan komponen perjuangan masa lalu seperti TPN / OPM, Tapoll Napol , perempuan, intelektual, dan lain-lain menunjukkan proses demokrasi yang jalan pada tingkat bawah. Cara-cara ini mendapat perhatian yang luar biasa bukan saja dari pemerintah Indonesia bahkan dunia luar.
Sekali lagi fenomena ini menjadi sangat menarik dan dapat di tarik bebarapa kesimpulan penting seperti ; ada satu perubahan dimana rakyat dapat memposisikan dirinya dalam konstalasi politik dan bernegara menjadi objek yang sangat berperan, kemudian rakyat tidak lagi semata-mata dijadikan objek keputusan pemerintah. Terjadi interplay of power antara institusi resmi dan kekuatan non formal massa. Akhirnya peran-peran oposisi sangat efektif dalam menciptakan perubahan yang cukup signifikan dalam bentuk kebijakan untuk menampung aspirasi rakyat yang timbul.

New Social Movement The Papuan Presidium Council And The New Social Movement In Papua After The Fall Of The New Order Regime In 1998This thesis discusses a developing New Social Movement In Papua. The nature of rejection of the Papuan community against integration with Indonesia, initially resulted from the so called Act Of Free Choice in 1969 was shown at the very beginning in guerrilla warfare. Recently, in spite of ongoing counter-tenor and intimidating human right violations the struggle has totally changed its course by the adoption of more peaceful and humane means for the restoration of Papuan sovereignty through the establishment of mass political power at the grass-root level, which exists not only in jungles but has widely spread into urban areas (a civic/modem society concept).
The presence of The Papuan Presidium Council (locally known as Presidium Dewan Papua or the PDP), play an important role in voicing people's rejection on integration with Indonesia. The new struggle concept has put a challenging strain on PDP, namely, how to organizationally activate this new form of Social Movement in Papua to keep up the struggle ? The exploration of this research fully adopt qualitative research method. As the case is a new, most of the resources are tapped from direct outcome of Deliberation Meetings (Mubes), the Second Papuan People Congress, PDP's initial documentation, and most importantly direct interview with those who - are responsible and involved in maintaining the New Social Movement. In order to strengthen the results of this research the writer has adopted the most recent, most relevant and most popular new social movement theories. Through these theories we can simply see in this case that the unity and oneness established among emerging people resistance organizations, community figures and leader, grass-root communities participation, situational political moments, and mass political mobilization against the government's authoritarian response, are tied as one based on one single belief
Achievements of the research indicated the emergence of current socio-political phenomenon in Papua as a New Social Movement. PDP has succeeded in converting a violence-based struggle into a `peaceful struggle'. Mass consolidation which involve a great deal of community representatives as well as past resistance organizations such as TPNIOPM (Papua Liberation Army), Tapol/Napol (Ex-political prisoners), as well as other civic components including women, intellectuals et cetera, is a good sign of a smooth running democratization at the grass-root level. Such situation has drawn serious foreign as well as domestic government attentions.
The phenomenon has served us some very interesting conclusions : the people has succeeded in the repositioning process to proactively participate in the overall state political constellation, and that the people are not longer object to government decisions. There is an interplay of power between existing formal institution and the non-formal people (mass) power. Finally, the current opposition has played an effective role in creating significant changes through the adoption of new policies in order to enhance accommodation of all emerging people aspirations.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13710
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syamsuddin Haris
"Setelah mengalami masa otoritarianisme politik selama hampir 40 tahun (1959-1998), Indonesia akhirnya memasuki era transisi menuju demokrasi. Namun ironisnya, era transisi tidak segera diikuti dengan tahap konsolidasi demokrasi. Presiden Abdurrahman Wahid dan DPR justru terperangkap ke dalam konflik politik berkepanjangan. Konflik itu begitu serius sehingga Abdurrahman Wahid akhirnya diberhentikan dari jabatannya sebagai presiden oleh para politisi partai besar melalui Sidang Istimewa MPR 2001.
Dalam kajian itu, tesis ini berusaha menjawab, mengapa terjadi konflik antara Presiden Wahid dan DPR sera faktor-faktor apa yang melatarbelakangi konflik tersebut?
Konflik Presiden Wahid dan DPR bersumber pada dua faktor yang bersifat mendasar. Pertama, tidak adanya platform politik dan visi bersama di antara para elite politik sipil dalam rangka mengakhiri rejim otoriter, dan membangun kerangka demokratis untuk mengakomodasi format politik baru produk Pemilu 1999. Kedua, terbentuknya format politik baru dengan sistem multipartai tanpa kekuatan mayoritas di DPR tidak diikuti dengan reformasi kelembagaan, terutama yang berkaitan dengan relasi kekuasaan Presiden, DPR, dan MPR. Akibatnva, praktik politik DPR cenderung mengarah pada sistem parlementer sementara UUD 1945 bernuansa presidensial.
Selain faktor-faktor di atas, konflik selama periode kajian ini dipicu pula oleh beberapa faktor lain, baik yang bersifat obyektif maupun subvektif. Faktor obyektif pertama adalah polarisasi politik produk Pemilu 1999 di mana PDIP sebagai partai pemenang hanya memperoleh 153 kursi dari 500 kursi DPR Kursi selebihnya diperoleh 20 partai lainnya, Ironisnya tidak ada inisiatif PDIP yang mencalonkan Megawati sebagai presiden untuk mengajak kerjasama dan koalisi dengan partai-partai lain. Konsekuensi logis sikap diam Megawati tersebut, muncul koalisi partai-partai berbasis Islam "Poros Tengah" yang mencalonkan Abdurrahman Wahid sebagai alternatif di luar Megawati dan Habibie. Solusi yang bersifat jangka pendek ini berlanjut ketika Presiden Wahid menyusun kabinet atas dasar kompromi dengan pimpinan kekuatan politik besar di DPR, trmasuk pimpinan TNI. Koalisi dan kompromi politik yang bersifat semu ini adalah faktor obyektif kedua yang melatari konflik politik yang menjadi fokus kajian ini.
Faktor-faktor subyektif yang menjadi sumber konflik adalah; pertama, berkembangnya personalisasi kekuasaan yang dilakukan Presiden Wahid seperti bongkar pasang kabinet, indikasi keterlibatan dalam kasus Bulog dan dana sumbangan Sultan Brunei, berbagai ancaman jika dia tidak lagi menjadi presiden, dan pengeluaran dekrit presiden yang memicu pemberhentiannya oleh SI MPR. Kedua, adalah kecenderungan partai-partai besar non-PKB di DPR memanfaatkan personalisasi kekuasaan yang dilakukan presiden untuk menjatuhkan Abdurrahman Wahid dalam rangka kepentingan kelompok masing-masing. Termasuk di dalam kategori kelompok ini adalah pembangkangan politik TNI/Polri yang kecewa karena kecenderungan Presiden Wahid melakukan intervensi terlampau jauh dalam kehidupan internal tentara dan polisi."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T2333
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratnia Solihah
"Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran relevan tentang orientasi politik birokrat pemerintah Kota Bandung pasca Orde Baru. Pertanyaan tesis adalah: "Bagaimana orientasi politik birokrat Pemerintah Kota Bandung yang meliputi orientasi kognitif, afektif dan evaluatif pasca Orde Baru? Bagaimana pengaruh latar belakang atau karakteristik internal birokrat terhadap orientasi politik birokrat pemerintah Kota Bandung pasca Orde Baru? Serta bagaimana pengaruh konteks politik terhadap orientasi politik birokrat pemerintahan Kota Bandung pasca Orde Baru?
Teori yang digunakan untuk menganalisis orientasi politik birokrat pemerintah di Kota Bandung pasca Orde Baru ini adalah teori tentang Budaya Politik yang intinya adalah orientasi politik yang meliputi orientasi kognitif, afektif dan evaluatif sebagaimana dikemukakan oleh Gabriel Almond dan Sidney Verba. Untuk Iebih mempertajam analisis teori tersebut digunakan latar belakang atau karakteristik internal birokrat yang meliputi suku bangsa, usia, pendidikan, masa kerja, jabatan dan pengalaman organisasi birokrat; serta konteks politik yang meliputi kondisi kepolitikan birokrasi Indonesia, budaya politik birokrasi pemerintahan di Indonesia, serta budaya politik sunda yang sedikit banyak mempengaruhi orientasi politik birokrat pemerintah Kota Bandung pasca Orde Baru.
Penelitian tesis ini bersifat deskriptif analisis dan dalam menganalisis data digunakan pendekatan kuantitatif sederhana dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif sederhana digunakan untuk menganalisis latar belakang atau karakteristik internal birokrat dan orientasi politik birokrat pemerintah Kota Bandung yang meliputi orientasi kognitif, afektif dan evaluatif pasca Orde Baru yang diperoleh melalui kuisioner berupa perhitungan modus atau frekuensi jawaban info man dalam bentuk prosentase; kemudian hasil kuantitatif tersebut dianalisis secara kualitatif berdasarkan hasil wawaneara Sedangkan pendekatan kualitatif digunakan untuk menganalisis konteks politik; yang diperoleh dari data primer berdasarkan basil wawancara dan Bari data sekunder melalui berbagai literature. Informan dalam penelitian ini adalah birokrat pemerintah Kota Bandung yang memiliki eselon IV ke atas; pimpinan dan anggota DPRD Kota Bandung pimpinan, pengurus dan anggota LSM; serta akademisi dari UNPAD yang concern dengan penelitian ini.
Kesimpulan yang diperoleh: Orientasi politik birokrat pemerintah Kota Bandung pasta Orde Baru yang meliputi orientasi kognitif, afektif dan evaluatif berada dalam kategori sedang dengan klasifikasi budaya politik subyek Hal tersebut dipengaruhi oleh latar belakang atau karakteristik internal birokrat pemerintah Kota Bandung pasta Orde Baru serta konteks politik yang melingkupinya yang meliputi kondisi kepolitikan birokrasi saat ini, budaya politik birokrasi pemerintah di Indonesia dan budaya politik Sunda.

This research aim to get relevant descriptions about political orientation at the government bureaucrate in Bandung City post Orde Baru. There are three questions of tesis, are: "How political orientation at the goverment bureaucrate in Bandung City post Orde Baru which comprises cognitive, affective and evaluative orientation?; How influence of background or internal characteristic bureaucrate toward political orientation at the government bureaucrate in Bandung City post Orde Baru; and how influence of politics context toward political orientation at the government bureaucrate in Bandung City post Orde Baru? ".
Theory of political Culture is taken from Gabriel Almond and Sidney Verba are used to analyze political orientation at the goverment bureaucrate in Bandung City post Orde Baru, that essence is political orientation comprises cognitive, affective and evaluative orientation. In order to clear this theory analysis are used the background or internal characteristic bureaucrate such as tribe, sex, education, long of work,, salary ranks and experience of organization at the bureaucrate; and politics context which describe conditions bureaucratic polity, political culture of government bureaucracy in Indonesia, and Sundanese political culture.
This research use analitis descriptive, by using simple quantitative and qualitative approaches. The simple quantitative approach is used to analyze political orientations and background or internal characteristic bureaucrate in Bandung City, which are got from questionare with modus or frequency count on procentage. Then, the result of quantitative data are analyzed with qualitative data by using interview. Meanwhile qualitative approah to analyze politics context which are got from literatures. Infonnan in this research are government bureaucrate in Bandung City who have echelon IV and up; leader and members of DPRD Bandung City; Leader, official and member of NGO in Bandung City and academicians from UNPAD who concern with this reserach.
The conclusion: Political orientation at the government bureaucrate in Bandung City post Orde Baru, comprises cognitive, affective and evaluative orientation belong in middle category with political culture is subject clasifcation. This condition was influenced by background or internal characteristic bureaucrate of government in Bandung City; and so by politics contect post Orde Baru which comprises condition of bureaucracy polity, political culture of government bureaucracy in Indonesia and Sundanese political culture.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14355
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>