Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 76472 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
S5720
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Hasanah
"Permasalahan dari tulisan ini adalah bagaimana proses ketatanegaraan yang berlangsung pads masa Demokrasi Terpimpin dengan melihat hubungan antara Soekarno, PKI dan AD. Topik ini menarik untuk diangkat karena terjadi konflik politik antara PKI dan AD untuk memperebutkan kekuasaan, dimana mereka juga saling memperebutkan simpati dari Soekarno. Berdasarkan hat tersebut permasalahan dalam tesis ini adalah bagaimana perpolitikan Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin yang melibatkan Soekarno, PKI dan AD serta bagaimanakah Soekarno mempertahankan politik perimbangan kekuatan (balance of power) dalam kaitannya dengan mempertahankan kekuasaan di satu pihak dan perebutan kekuasaan antara PKI dan AD dipihak lain.
Teori yang digunakan dalam tesis ini adalah Teori Politik dari David Easton, Teori kekuasaan dari Roberth Bierstedt, Teori Kharismatik dari Benedict R.O.G. Anderson dan Soemarsaid Moertono, Teori Partisipasi Politik dari Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson, teori Partai Politik dari Sigmund Neumann, Teori Militer dari Finer, serta Teori Kekuasaan Negara dari Bertrand Russel. Penelitian ini memakai metode penelitian kualitatif dengan teknik analisa deskriptif analitis.
Hasil temuan penelitian ini adalah Soekarno, PKI dan AD adalah tiga kekuatan yang saling mendukung dan membutuhkan pada masa Demokrasi Terpimpin. PKI sebagai pendukung Soekarno di bidang kekuasaan politik dan AD menjadi kekuatan Soekarno dalam menjalankan Demokrasi Terpimpin. Persoalan muncul ketika adanya perbedaan ideologi dan sudut pandang antara AD dan PKI. PKI tetap dipertahankan oleh Soekarno karena la tidak memiliki organisasi pendukung sehingga membutuhkan PKI sebagai pengimbang posisinya dengan AD. Segitiga persoalan ini semakin tajam sehingga mengakibatkan terjadinya pemberontakan G30S/PKI 1965 yang menewaskan petinggi-petinggi AD dan Soekarno dianggap yang paling bertanggung jawab atas peristiwa tersebut.
Teori Politik, Teori kekuasaan, Teori Kharismatik, Teori Partisipasi Politik Teori Partai Politik, Teori Militer, dan Teori Kekuasan Negara berinspiikasi positif terhadap konflik yang terjadi antara Soekarno, PKI dan AD.

The research question of the research is how the process of state administration is in the Guided Democracy by seeing the relation of Soekarno, Indonesian Communist Party (PKI), and the Army. The topic is interesting to be discussed because there was a political conflict between PKI and the Army to gain power and sympathy of Soekarno. Based on that, the problem in this thesis is how the political situation in Indonesia which involved Soekarno, PKI and the Army is. Other problem is how Soekarno maintained the balance of power between those two political actors related to his own power as a president.
Theories applied in the thesis are theory of politics from David Easton, theory of power from Roberth Bierstedt, theory of charisma from Bennedict ROG Anderson and Soemarsaid Moertono, theory of political participation from Samuel P. Huntington and Joan M. Nelson, theory of political party from Sigmund Neumann theory of military from SE Finer, and theory of state power from Bertrand Russell. This research applies qualitative research method and the technique of analysis is descriptive analytic.
The result of the research is that Soekarno, PICT, and the Army was three political powers which support each other in the era of Guided Democracy. The role of PKI was to support Soekarno in politics and the Army became the power resource for Soekarno in running Guided Democracy. Problem rose when there was an ideological conflict between PKI and the Army. The party was protected by Soekarno because he did not have any organization to support his political power. Thus, PKI became his equilibrium factor of his power against the Army. This triangle of politics sharpened so that culminated in the tragedy of G30SIPK.I in 1965 which killed some generals from the Army and Soekarno was expected as the most responsible person related to the tragedy.
Theories mentioned above have positive implication on the conflict of Soekarno, PKI and the Army.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T22116
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suhaemi
"Masa Demokrasi Terpimpin atau disebut juga Zaman Orde Lama, memperlihatkan kembalinya Presiden Sukarno trimnil sebagai tokoh utama dalam pemerintahan negara Indonesia. Presiden Sukarno menjadi tokoh utama dari sebagian besar kegiatan politik negara Indonesia sehing_ga kebijakan-kebijakan yang dijalankan pemerintah selalu berdasarkan pada sikap dan pandangan politiknya. Presiden Sukarno menempatkan kebijakan politik lu_ar negeri sebagai prioritas utama dari sebagian besar kebijakan politik pemerintah. Pemberian prioritas utama pada politik luar negeri, mencerminkan ambisi Presiden Sukarno untuk memperlihatkan kebesaran bangsa Indone_sia kepada dunia dan sekaligus juga memperlihatkan upayanya mengalihkan perhatian rakyat dari, krisis-krisis ekonomi dalam negeri serta untuk meredam konflik-konflik politik yang terjadi pada masa itu. Setelah mencanangkan Trikora (Tri Komando Rakyat) dalam rangka konfrontasi merebut Irian Barat, Presiden Sukarno mencanangkan konfrontasi berikutnya terhadap Malaysia. Kemudian ia pun memulai usahanya untuk membentuk badan dunia Baru sebagai tandingan PBB melalui Con_ference of the New Emerging Forces (Conefo) yang ditujukan bagi negara-negara di Asia, Afrika dan Amerika Latin yang baru memperoleh kemerdekaan serta negara-negara so_sialis Eropa. Presiden Sukarno menggolongkan negara-negara Asia, Afrika, Amerika Latin dan negara sosialis Eropa dalam kelompok yang disebut The New Emerging Forces (Nefo) se_bagai tandingan terhadap kekuatan-kekuatan lama yang te_lah mapan (Amerika Serikat dan Eropa Barat) yang disebut The Old. Established Forces (Oldefo). Menurut.Presiden Sukarno, kedua kelompok tersebut merupakan dua blok kekuaten raksasa di dunia yang saling bertentangan yang pada akhirnya akan muncul tatanan dunia baru (Nefo) yang akan menggantikan tatanan dunia lama (Oldefo). Usaha yang dilakukan oleh Presiden Sukarno untuk mempersatukan negara-negara Asia, Afrika, Amerika Latin dan negara sosialis Eropa menuju terlaksananya Conefo, adalah mengundang negara-negara tersebut untuk ikut da_lam pestsa olahraga international yang disebut Games of the New Emerging Forces (Ganefo). Ide diadakannys Ganefo dicetuskan oleh Presiden Sukarno setelah Indonesia diskora dan dikeluarkan sebagai anggota IOC (International, Olympic Committee) karena ketika menjadi tuan rumah pe_nyelenggaraan Asian Games IV di Jakarta pads tahun 1962, Indonesia tidak memperkenanken Israel dan Taiwan turut Beserta. Dengan terselenggaranya Ganefo di Jakarta pada ta_hun 1963, Presiden Sukarno berharap dapat mempersatu negara-negara Asia, Afrika, Amerika Latin dan negara sosialis Eropa yang digolongkan dalam Nefo untuk selanjutnya dapat melaksanakan Conefo, shingga. Pada akhirnya akan terbentuk organisasi internasional yang baru yang mampu menandingi PBB seperti yang diinginkannya. Ganefo dislenggarakan bertujuan pula dapat mengalihkan perhatian rakyat Indonesia dari akibat keadaan ekonomi yang merosot kepada timbulnya semangat revolusioner dan menampilkan kebanggaan terhadap bangsa dan negara. Maka dapat dikatakan bahwa Ganefo merupakan alat politik yang digunakan oleh Presiden Sukarno pada masa Demokrasi Terpimpin. Yang dimaksud Ganefo sebagai alat politik adalah bahwa Ganefo merupakan suntu kegiatan olahraga yang di gunakan sebagai alat bagi pencapaian tujuan-tujuan dan kepentingan-kepentingan politik tertentu oleh pemerintah dalam hal ini Presiden Sukarno. Keterkaitan antara olah_raga dengan politik memang sulit dihindarkan sejak zaman olimpiade kuno hingga olimpiade modern sekarang ini. Olahraga memang berkaitan erat dengan berbagai aspek ke - hidupan manusia seperti aspek sosial, budaya, ekonomi, termasuk juga aspek politik."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1993
S12619
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zesfi Febriani
"ABSTRAK
Front Nasional sebagai institusi kenegaraan yang dibentuk setelah dikeluarkannya Dekrit Presiden ini, sesuai dengan konsep dan ide Soekarno tentang massa aksi. Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila Front Nasional aktivitasnya lebih banyak di bidang pengerahan massa, seperti membentuk Tim Komando Rakyat, yang bertugas menampung para sukarelawan yang akan berjuang di Irian. Selain itu juga mengerahkan massa untuk menerima tamu negara, perayaan-perayaan hari bersejarah dan mengadakan kursus-kursus kader. Kursus-kursus kader ini dianggap penting karena merupakan usaha indoktrinasi yang paling ampuh.
Dalam mobilisasi massa yang memperoleh keuntungan fasi_litas dan politis adalah PKI. PKI menggunakan fasilitas Front Nasional untuk memperkuat dirinya. Bahkan PKI berhasil mendominasi Front Nasional sehingga tujuan Front Nasional semula, yaitu sebagai tempat penyatuan aspirasi semua golongan, pada akhirnya hanya dimonopoli golongan PKI saja.
Hal di atas membuat Front Nasional lemah dan oportunis. Terbukti ketika terjadi peristiwa G-30-S/PKI, Front Nasional menjadi lumpuh dan bersikap plin-plan. Oleh karena itu sebagian partai-partai politik menyatukan diri dalam Front Pancasila, yang kemudian mengadakan aksi secara gigih membantu ABRI dalam usaha memulihkan keamanan dan ketertiban dan sekaligus menumpas sisa-sisa G-30-S/PKI di ibukota dan seluruh Indonesia.
Pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan berupa buku-buku, surat kabar, artikel, majalah dan sumber-sumber yang tidak diterbitkan seperti arsip-arsip.
Dari hasil penelitian menunjukkan, bahwa latar belakang dibentuknya organisasi Front Nasional karena rasa tidak puas Soekarno terhadap FNPIB. Soekarno menganggap FNPIB paling sedikit minatnya terhadap perjuangan Irian Barat.

"
1990
S12623
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sylvia Yulita
"ABSTRAK
Bertitik tolak dari sebuah lagu yang dapat berfungsi sebagai channel untuk menyampaikan pesan tertentu, maka minat untuk mengkaji persoalan-persoalan dalam seni musik semakin besar. Apalagi setelah tahu tentang pengalaman pahit yang menimpa kelompok band Koes Bersaudara, yang ter_jadi dalam periode Demokrasi Terpimpin (1959 - 1965). Minat yang besar itu terdorong oleh keinginan untuk menemukan ja_waban tentang mengapa kelompok band Koes Bersaudara itu harus berurusan dengan hamba hukum. Guna memperoleh jawabannya, maka dengan segera harus bisa mendapatkan data-datanya, dan kemudian menganalisa, serta merekonstruksinya. Data-data itu didapatkan dari Per-pustakaan-perpustakaan Fakultas Sastra Universitas Indone_sia, LIPI, dan Institut Kesenian Jakarta, serta Dinas Doku_mentasi Pusjarah ABRI. Namun data-data yang telah didapatkan itu belum lengkap, sehingga perlu ditunjang oleh hasil wawancara dengan beberapa tokoh musik, seperti Praharyawan Prabowo, Lym Campay, Yok Koeswojo, dan Drs. Syoa_ib A. Ha_lim. Setelah persoalan yang menyangkut kelompok band Koes Bersaudara pada periode Demokrasi Terpimpin berhasil direkonstruksi, dengan demikian dapat ditarik kesimpulan, yaitu: pengalaman pahit yang menimpa kelompok band Koes Ber_saudara sebagai efek dari kebijakan budaya yang dilaksana_kan oleh Pemerintah Demokrasi Terpimpin.

"
1989
S15061
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
A. Syafi`i Maarif
Jakarta: Gema Insani Press , 1996
297.6 AHM i
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Susilo Endro Basuki
"Pembinaan Teritorial yang dilaksanakan beberapa waktu yang lalu, utamanya pada masa Orde Baru telah memberikan bekas yang mendalam bagi masyarakat, bahwa pada saat itu pembinaan teritorial telah menjadi kepanjangan tangan dari politik penguasa untuk melanggengkan kekuasaan. Hal ini menyadar-kan para pemimpin TNI untuk melakukan pembenahan ke dalam agar TNI yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat ini, tidak tercabut dari akarnya yaitu rakyat itu sendiri; untuk itu kemudian lahirlah berbagai upaya reformasi atau penataan kembali yang salah satunya kemudian lahirlah Undang-Undang Nomor 34/2004 tentang TNI. Berpedoman pada peraturan inilah kemudian TNI melaksanakan Pembinaan Teritorial, yang diharapkan dapat membantu pemerintah dalam penyiapan potensi pertahanan khususnya dan membantu meningkatkan ketahanan nasional pada umumnya.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan menganalisis peran pembinaan teritorial oleh satuan komando kewilayahan, mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan pembinaan teritorial (Binter) dan bagaimana sebaiknya pembinaan teritorial dimasa yang akan datang. Penelitian dilaksanakan dengan pendekatan kualitatif melalui studi dokumen yang diambil dari catatan, buku dan dokumen lainnya yang memuat data pelaksanaan pembinaan teritorial oleh Satuan Komando Teritorial dan dilengkapi dengan wawancara dengan beberapa nara sumber.
Melalui serangkaian analisis secara kualitatif dihadapkan pada prinsip ketahanan nasional menunjukkan bahwa terdapat kontribusi yang signifikan dari pelaksanaan pembinaan teritorial terhadap upaya peningkatan ketahanan nasional, walaupun tidak bisa dikatakan sebagai satu-satunya faktor yang mendorong meningkatnya ketahahan nasional. Dengan dilaksanakannnya pembinaan teritorial oleh TNI AD di berbagai daerah telah membuka peluang bagi meningkatnya kegiatan perekonomian serta meningkatnya kesejahteraan dan keamanan yang pada gilirannya akan menunjang ketahanan nasional. Berbagai kegiatan Binter telah memberikan kontribusi yang signifikan bagi meningkatnya ketahanan nasional.
Namun demikian dalam pelaksanaanya masih saja ada beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi terutama adalah masalah payung hukum atau undang-undang yang sampai saat ini belum ada yang mengatur, pembinaan teritorial belum tersosialisasi secara luas di kalangan masyarakat dan adanya rasa trauma dari sebagian kalangan atas pelaksanaan pembinaan teritorial pada masa lalu. Oleh sebab itu dimasa yang akan datang pembinaan teritorial, sebaiknya Binter direvitalisasi sehingga cocok dan sesuai dengan situasi dan kondisi saat ini. Binter agar dimasukkan menjadi bagian dari OMSP, dan dijalankan dengan menetapkan skala prioritas, misalnya untuk daerah konflik, daerah rawan konflik, daerah perbatasan dan daerah tertinggal/terbelakang, serta dengan menetapkan prioritas permasalahan dengan disertai jangka waktu pelaksanaan dan target yang akan dicapai sebagai ukuran keberhasilan serta harus memperhatikan aspek non militer di daerah.

Being the continuation of the rulers power politic during the New Order Era, pervasive image of territorial command has entrenched for quite sometime within the Indonesian society. Given this fact, leaders of TNI, clearly grasp the counter productive results of such legacy, have initiated internal reform within the institution. This particular reform is aimed at refurbishing the flawed image of TNI so that its original identity remain rooted as the soldiers of the people, originated from the people, manned by the people and devoted for the sake of the people. Subsequently, this endeavour leads to reformation and transformation within the TNI, which eventually grounded the passing of the National Legislation Act No.34/2000 on TNI. This very legislation eventually enacts as a legal umbrella for the TNI in performing territorial function in preparing the national defence potentials in particular and bolstering national resilience in more broad sense.
This research was held to provide, inter alia, clear-cut description and analysis to the role of territorial function executed by territorial command, firm comprehension of affecting factors during the process and possible best practice in the future. Further, this research was conducted through qualitative approach which drawn from numerous resources ranging from official notes, books a long with other form of documents containing data of territorial activities performed by territorial command, in addition to records of interviews with some subject matter expert figures.
Even tough territorial management does not deserve all the tribute of being the only factor held accountable for the rise of the level of national resilience, scores of qualitative analysis in term of national defence principles have clearly shown that territorial function does produce significant contribution toward the effort in strengthening national defence. The Indonesian Army territorial management, which has been conducted in some regions within the Indonesian territory, has opened the door of opportunity in stimulating economics activities which eventually boost up national prosperity and security in lead up to further enhancement in the level of national resilience. Equally, significant contribution in procurement of national resilience is resulted from series of territorial management?s efforts which cover several methods of approach, ranging from geography, demography, social condition, civic mission to social communication.
Some urgent issues which may affected the application of territorial management are the absence of legal umbrella and constitutional ground, limited dissemination of the idea of territorial management to the society and traumatic experience in some parts of the society for the possibility of abuse in the practice of territorial management as happen in the past. Given that, future territorial management should be revitalised to fit in to the present situation and condition. The territorial management, as part of Military operation Other Than War (MOOTW), is applied with clear scale of priority to give clear distinction in its practices, i.e., conflict zones, possible conflict zones, border zones, and less developed regions. Another way to further enhance the effectiveness of this effort is by setting problems? priority along with clear time frame and target to measure the level of success while still paying considerable attention toward non-military aspects in the regions."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2008
T25508
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Syenny Seftira Violeta
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas pengaruh politik terhadap perkembangan sastra Indonesia pada
masa Demokrasi Terpimpin 1959?1965. Sastra merupakan pencerminan masyarakat.
Melalui karya sastra, seorang pengarang mengungkapkan problema kehidupan yang
pengarang sendiri ikut berada di dalamnya. Karya sastra menerima pengaruh dari
masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat. Yang
dimaksud dengan politik yaitu segala sesuatu yang berhubungan dengan kekuasaan.
Seperti ideologi, partai, dan kebijakan pemerintah. Masa demokrasi terpimpin dimulai
sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden pada tanggal 5 juli 1959 hingga kejatuhan
Soekarno pada tahun 1966. Sejak dikeluarkan dekrit, di Indonesia dikenal semboyan
politik sebagai panglima, di mana segala sesuatu harus sesuai dengan kebijakan politik.

ABSTRACT
This thesis examines the political influence to the development of indonesian literary at
the time of Guided Democracy 1959-1965.Letters is the refflection of community.
Through the literarry works, the writter express the social problem in which the writer
itself deal with.Literrary works are affected by the people and influences the people at the
same time. Politics is all about the power such as ideology, party, and government
policy.The time of Demokrasi terpimpin was started from the dekrit presiden on July 5,
1959 to the end of Soekarno regime on 1966. Since dekrit was released, there was a
motto politics as as a leader, where all of the things must fit the political policy.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2012
S42364
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Bondan Kanumoyoso
"Nahdatul Ulama (NU) adalah salah satu organisasi Islam yang muncul sejak awal masa pergerakan nasional Indonesia. Organisasi ini merupakan wadah bagi kalangan Islam dalam memperjuangkan dan mengembangkan paham Ahlrrssunah Wa1 Jama'ah. Kemunculannya dipelopori oleh para Kiai Jawa yang menghimpun anggotanya dari kalangan pesantren. Dalam perkembangannya mengarungi zaman kolonial Hindia Belanda sampai dengan memasuki periode Demokrasi Terpimpin, kepemimpinan NU selalu berada di tangan para kiai. Walau mereka tidak mengecap pendidikan moderen, dengan mengacu kepada kitab kuning para kiai ternyata mampu menghadapi tantangan jaman. Dalam masa Demokrasi Terpimpin, NU berusaha tampil membawakan dirinya sebagai satu-satunya wakil umat Islam di kancah perpolitikan nasional, setelah partai Islam baru lainnya, Masyumi, dinyatakan terlarang pada tahun 1960. Di bawah kepemimpinan tokoh-tokoh PBNU (Pengurus Besar Nahdatul Ulama), NU turut memainkan peranan penting dalam mewujudkan gagasan Sukarno yang terangkum dalam semboyan NASAKOM, Nasionalis-Agama-Komunis. NU mewakili unsur agamanya, dan terpaksa harus bekerja sama dengan unsur Komunis yang diwakili oleh PKI. Karna pucuk pimpinan NU memiIiki hubungan yang hangat dengan Sukarno, maka pertentangan ideologi antara NU dengan PKI dapat diredam. Namun dalarn berbagai lapangan sosial-politik, NU menjalankan strategi pembendungan terhadap PKI. Yaitu dengan mencegah sebisa mungkin agar pengaruh PKI tidak meluas di kalangan rakyat. Terhadap Sukarno, NU bersikap sangat akomodatif. Dan dengan Angkatan Darat (AD), NU menjalankan kerja sama dalam rangka menghadapi PKI. Ketika menjelang masa akhir kekuasaan Sukarno, ker ja sama antara NO dan AD mempercepat berakhirnya periode Demokrasi Terpimpin. Kepemimpinan NU beralih didominasi oleh orang-orang NU yang anti Demokrasi Terpimpin."
1996
S12237
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marlaini
"Kelahiran Badan Pendukung Sukarnoisme (BPS) tidak terlepas dari kondisi politik: Indonesia pada masa Demok_rasi Terpimpin. Setelah tahun 1963, keberadaan PKI berangsur kukuh dan membuatnya menjadi bagian dari segitiga kekuasaan, yaitu : Presiden, Angkatan Darat, dan PKI. Pada awal bulan September 1964, lahirlah gerakan politik yang diprakarsai oleh kalangan pers anti-PKI untuk berusaha menandingi dan melawan dominasi ideologis PKI da lam kerangka Nasakom. Pada alijalnya Sukarnoisme tidak ditentang oleh Sukarno, karena bagaimanapun Sukarnoisme berasal dari gagasan--gagasannya di masa lalu dan juga sebagian pemimpin BPS adalah pendukung pribadinya. Perkembangan berikutnya, berbarengan dengan semakin condongnya politik Indonesia ke kiri, akhirnya BPS dibubarkan Sukarno. Pada bulan Desember, dengan Keppres No. 72IKOTI/1964, gerakan politik yang mendukung Sukarno tetapi anti-PKI ini dibubarkan."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1994
S12435
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>