Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 208258 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nurul Qomaril Arifin
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
S5846
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Madjid Sallatu
"ABSTRACT
Representation of women in the legislature is important. The presence
of women members of parliament (MPs) does not only balance the
number of parliamentarians (gender balance), but also encourages
womens issues to be a priority, so that various gender sensitive policies are born. This study focuses on women legislator in nine regencies/cities of Eastern Indonesia, namely: Maros Regency, Bone Regency, Tana Toraja Regency, Parepare City, Mataram City, East Lombok Regency, Kendari City, Belu Regency and Ambon City. This study looks at women legislators portraits in nine research areas, obstacles in implementing main tasks and functions as women legislator and relations with various related groups. This study applies a phased mixed method design that focuses on qualitative studies. Data collection is done througt document review, surveys, and in-depth interviews. This research found that in order to guarantee the struggle for womens political agenda, capacity building was needed for Parliamentary Members of Women in Eastern Indonesia."
Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2019
305 JP 24:2 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Faridah
"Golkar adalah organisasi politik di Indonesia yang selalu menempati urutan tertinggi dalam perolehan suara pada setiap Pemilu. Hal ini selain karena Partai Golkar didukung oleh struktur organisasi dan kelembagaan yang sudah mapan, juga karena telah memiliki pengala man yang cukup matang dalam pemenangan suara dalam setiap pelaksanaan Pemilu. Namun, kesuksesan tersebut belum didukung oleh penerapan kebijakan yang lebih responsif gender yang berakibat pada rendahnya tingkat keterwakilan perempuan dalam kepengurusan Partai Golkar dan di parlemen. Jadi, permasalahan penelitian ini adalah bagaimana kebijakan Partai Golkar dalam meningkatkan keterwakilan perempuan di Parlemen pada periode kepengurusan 1999 - 2004.
Penelitian ini terkait erat dengan teori budaya patriarki dari Gorda Lerner dan Aristoteles, teori gender dari Arid Budiman dan Nunuk P Murniati, teen Kuota dari Drude Dahlerup, teori kebijakan dari Friedrick dan Anderson, teen demokrasi dari Robert Dahl, serta mempunyai signifikansi dengan pengembangan teori Partai Politik yang terkait erat dengan fungsi Partai Politik dan Miriam Budiarjo.Dari teori tersebut, terdapat signifikansi praktis dalam upaya untuk mendorong keterwakilan perempuan di kepengurusan Partai Golkar khusiisnya dan di Parlemen umumnya.
Fokus analisis penelitian ini adalah pada Partai Golkar dengan variabel yang diamati adalah kebijakan dan fungsi Golkar sebagai Partai politik, sosialisasi politik , dan sistem rekruitmen dalam partai Golkar.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Data penelitian bersumber dari hasil wawancara mendalam (dept interview) terhadap 15 orang informan kunci (key informant). Teknik penentuan informan kunci dengan metode snow ball. Data sekunder meneakup studi kepustakaan dan publikasi ilmiah serta laporan lembaga resin yang terkait dan dapat dipertanggungjawabkan secara akadeniik.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagai Partai, Golkar memiliki kebijakan politik yang jelas, dengan mekanisme (struktur dan kerangka) organisasi dan pengkaderan yang modem, terstruktur dan sistematis dengan poly rekruitmen kader yang baik. Tapi, budaya patriarki sebagaimana teori yang dikemukakan oleh Gorda Lerner dan Aristoteles masih mengakar kuat di tubuh Partai Golkar yang berimplikasi pada rasionalisasi penempatan pengurus perempuan dalam struktur partai menjadi tidak signifikan dengan jumlah kader perempuan Partai Golkar dan kurangnya peningkatan keterwakilan perempuan di Parlemen. Partai Golkar juga belum maksimal dalam menjalankan fungsinya secara lebih "demokratis" sebagaimana teori Robert Dahl, yang berimplikasi pada kebijakan yang bias gender yang mengakibatkan rendahnya keterwakilan perempuan di Parlemen, yalmi hanya berhasil menempatkan 16 orang kader perempuan atau 11,76% dari 136 kursi yang diperoleh Partai Golkar dalam Pemilu 1999 lalu..rumlah yang jaub dari target kuota yang disarankan dalam UU Partai Politik.

Golkar is a political organization in Indonesia which always in the highest position in every election. It is not only because the party is supported by an establish structure of organization and institution, but also its vivid experience in winning the elections. However, its success has not been supported by more responsive politic implementation on gender which causes lower-level women representative ness in the board of the organization and in the parliament. Thus, the problem of the research is that how is the policy of the party in increasing women representative ness in parliament in the period of 1999-2004.
This research has a strong attachment with theory of culture of patriarchy from Gerda Lerner and Aristoteles, theory off gender from Arief Budiman and Nunuk P Murniati, theory c; quota from Drude Dahlerup, theory of policy from Friedrick and Anderson, theory of democracy from Robert Dahl, theory and relates to development theory of political party from Miriam Budiardjo. From the theories, there is a practical significance of efforts in endorsing women representative ness in the board of the party and in parliament in general,
The focus of the research is on Golkar Party and variables of the research are policy and function of the party as a political party, political socialization, and recruitment system in the party. The research applies a qualitative approach. Data resources of the research are from in=depth interview on 15 key informants using snowball technique. Secondary data includes literature study, scientific publication, and also official reports from related institutions,
The result of the research shows that as a party, Golkar has a clear policy, with its mechanism (structure and framework) of organization and modern, structured and systematic forming of cadre with good recruitment system. However, culture of women in its board and representative in parliament. The party has also less afford in implementing its function to be more democratic. It implicates to bias gender policy and lower-level of women representative ness in parliament. The party only got 16 representatives or 11, 76% from 136 seats of the party in parliament a results of 1999 election and less then quota targeted by the law of Political Party.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T21723
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amalia Sevatita
"Pemerintah menetapkan kebijakan kuota pencalonan perempuan di parlemen atas kesadaran bahwa perempuan masih sering mengalami banyak tantangan ketika ingin memasuki area politik. Kebijakan kuota perempuan pada dasarnya baik untuk mendorong partisipasi perempuan di parlemen, tetapi pertanyaan penting yang mesti diangkat adalah apakah perempuan di parlemen saat ini telah mampu membawa perubahan pada lingkungan parlemen yang didominasi oleh laki-laki. Pada studi ini, penulis menguji apakah perempuan di parlemen memiliki pengaruh pada level korupsi dan anggaran untuk bantuan sosial, menggunakan data panel sebanyak 363 kabupaten/kota tahun 2009-2017 and menggunakan metode fixed effects dan model logit.
Studi sebelumnya pada umumnya menemukan hasil yang tidak konsisten dan lebih banyak menggunakan unit analisis antar-negara. Secara umum, penulis menemukan bahwa di Indonesia proporsi perempuan di parlemen tidak memiki pengaruh pada korupsi, tetapi perempuan memiliki pengaruh secara positif pada anggaran untuk bantuan sosial di pulau non-Jawa. Apabila dilihat secara komposisi berdasarkan jenis partai dan pulau, ditemukan hasil yang berbeda. kabupaten/kota dengan alokasi kursi untuk partai Islam yang lebih besar di parlemen mengalami korupsi anggaran yang lebih sedikit, sementara hal yang sebaliknya terjadi pada kabupaten/kota dengan alokasi kursi yang lebih banyak untuk partai nasionalis.

The gender quota in parliament was implemented in response to the realization that women have often experienced inclusion from formal political processes. While the gender quota is in itself a good policy, one question that must be raised is whether women in parliament can make a substantive difference in a male-dominated network in a legislative body. In this study, I investigate whether the ratio of female in parliament is related with lower corruption and bigger spending on social assistance, utilizing panel data of about 363 districts/cities from 2009-2017 and employing fixed effects method and logit model.
Previous studies results are generally mixed, not universal, and mostly employ cross-country level. In general, I find that in Indonesia the share of women in parliament is not associated with less corruption, but in terms of social assistance spending, their participation can influence government spending to allocate the budget more for social assistance in non-Java island. Breaking down the result to women from Islamic parties, Java and non-Java, the pattern yields interesting result. Localities with greater votes for Islamic parties in local parliament experience lower budget corruptions, while the reverse is the case for nationalist secular parties.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Widyastanti
"Indonesian women representation in parliament is indeed a dilemma that has lasted a long time. The number of members elected legislature since the 1995 election until the 2009 election has not even produce a legislative member of the women in large numbers."
Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2011
342 JK 2:1 (2011)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Wirdanengsih
"Penelitian ini mengunakan metode observasi partisipasi yang didukung oleh studi literatur, wawancara, dan pengamatan. Tesis ini menjelaskan keberadaan perempuan dibidang politik menunjukan bahwa dengan didukung oleh kemampuan individu mulai dari tingkat pendidikan perempuan yang umumnya relatif tinggi, pengalaman organisasi yang dimiliki serta latar belakang pekerjaan dan kondisi sosial ekonomi mereka yang memadai menjadikan mereka dapat bertahan menjadi anggota DPR RI.
Namun ada faktor lain yang lebih mempengaruhi keberadaan perempuan di DPR RI tersebut, seperti hubungan keluarga, hubungan pertemanan dan ikatan primordial yang merupakan suatu jaringan yang dapat digunakan dan dimanfaatkan untuk mencapai tujuan politik perempuan DPR R.I. Dengan demikian hubungan sosial yang terbentuk tidak semata-mata hubungan antar individu tapi melampaui batas garis keturunan dalam rangka memperoleh dan mempertahankan kekuasaan yang ada.
Adanya proses rekrutmen politisi perempuan yang dipengaruhi oleh jaringan yang dimiliki juga akan mempengaruhi peran sebagai anggota parlemen dimana perempuan parlemen tersebut dalam perannya sehari-hari, bias gender masih mempengaruhi mereka karena memang awal rekrutmen mereka tak lepas adanya campur tangan kekuasaan laki-laki . Kemudian jaringan sosial yang mereka miliki tidak semata-mata jaringan yang terbentuk atas kekuatan mereka melainkan juga atas kekuatan yang dimiliki oleh pihak lain namun ada juga sebaliknya bahwa perempuan tersebut itulah yang memiliki pengaruh dalam suatu jaringan sehingga tercapai tujuan yang dimaksud."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T9731
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
jakarta: LIPI,
328.3 Par p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta : Yayasan Jurnal Perempuan , 1999
329 PER
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
S4825
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sibarani, Ramadhanya Elwinne Huzaima
"Keterwakilan perempuan di parlemen merupakan salah satu aspek penting dalam meningkatkan kesetaraan gender di sebuah negara. Per pemilihan anggota parlemen 2019, keterwakilan perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) baru mencapai 21.4%. Angka tersebut berada jauh di bawah Timor-Leste dan Finlandia yang masing-masing memiliki 40% dan 47% keterwakilan perempuan di parlemen nasionalnya. Dalam rangka meningkatkan angka keterwakilan perempuan di parlemen, terdapat sebuah konsep yang disebut dengan kuota pemilihan perempuan. Untuk itu, penelitian ini mencoba membandingkan bagaimana kuota pemilihan perempuan diatur di Indonesia, Timor-Leste, dan Finlandia. Selain itu, penelitian ini juga meninjau kondisi keterwakilan perempuan di parlemen ketiga negara. Tujuannya adalah untuk melihat faktor-faktor yang dimiliki oleh Timor-Leste dan Finlandia, namun tidak dimiliki oleh Indonesia, yang menyebabkan kedua negara tersebut mampu memiliki keterwakilan perempuan di parlemen yang mumpuni. Penelitian ini menggunakan metode studi pustaka dan wawancara dalam pengumpulan data. Kemudian, teori utama yang digunakan untuk analisis adalah Teori Keterwakilan yang dicetuskan oleh Hanna Pitkin, secara spesifik mengenai keterwakilan deskriptif dan substantif. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa dari segi keterwakilan deskriptif, Indonesia kekurangan karena kuota pemilihan perempuan dalam bentuk nomor urut tidak berjalan dengan maksimal; serta partisipasi politik perempuan yang kurang, terutama karena partai politik di Indonesia tidak menerapkan party quotas. Sementara, dari segi keterwakilan substantif, Timor-Leste dan Finlandia sama-sama unggul disebabkan oleh berjalannya komunikasi dengan masyarakat sipil dan kuatnya peran kaukus perempuan parlemen. Dari sana, dirumuskan beberapa strategi dalam rangka peningkatan keterwakilan perempuan di DPR RI, yakni peningkatan partisipasi politik perempuan, pembenahan kuota pemilihan perempuan berupa nomor urut, pembukaan ruang komunikasi yang besar antara anggota parlemen perempuan dengan masyarakat sipil, dan penguatan peran kaukus perempuan parlemen di dalam DPR RI. Terakhir, strategi yang tidak kalah penting adalah dengan memberikan edukasi politik terhadap perempuan di seluruh negeri.

Women’s representation in parliament is an important aspect in improving gender equality in a country. As of the 2019 parliamentary elections, women’s representation in the Parliament of the Republic of Indonesia (DPR RI) has only reached 21.4%. This figure is far below Timor-Leste and Finland, which respectively have 40% and 47% representation of women in their national parliaments. In order to increase the number of women’s representation in parliament, there is a concept called women's electoral quota. For this reason, this study attempts to compare how women’s electoral quotas are regulated in Indonesia, Timor-Leste and Finland. In addition, this study also reviews the condition of women’s representation in the parliaments of the three countries. The aim is to look at the factors that are owned by Timor-Leste and Finland, but not owned by Indonesia, which causes these two countries to be able to have adequate women’s representation in parliament. This research uses literature study and interview methods in collecting data. Then, the main theory used for analysis is the Representative Theory initiated by Hanna Pitkin, specifically regarding descriptive and substantive representation. The results of this study indicate that in terms of descriptive representation, Indonesia is lacking because the women’s electoral quota in the form of serial numbers does not work optimally; and women’s less political participation, especially because political parties in Indonesia do not apply party quotas. Meanwhile, in terms of substantive representation, Timor-Leste and Finland are both superior due to ongoing communication with civil society and the strong role of the women’s parliamentary caucus. From there, several strategies were formulated in the context of increasing women’s representation in the DPR RI, namely increasing women’s political participation, reforming women’s election quotas in the form of serial numbers, opening large communication spaces between women parliamentarians and civil society, and strengthening the role of women’s parliamentary caucus in DPR RI. Finally, an equally important strategy is to provide political education to women throughout the country."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>