Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 173450 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ridhwan Effendi
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1995
S5665
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohamad Fadlilah
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
S5767
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Attia Nur
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
S6110
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Mizan dan LIP-FISIP UI, 1997
324 EVA
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Riyono Asnan
"Maksud dan tujuan penelitian mengenai Sirkulasi Elite Partai GOLKAR Pasca Orde Baru adalah pertama, untuk rnenggambarkan seperti apa sirkulasi atau pergantian elite Partai GOLKAR pasea Orde Baru. Kedua, untuk mengetahui perbedaan bentuk sirkulasi elite GOLKAR ketika semasa Orde Baru yang tergantung restu elite dalam hal ini Ketua Dewan Pembina GOLKAR Soeharto dan semasa reformasi, apakah mengalami perubahan seiring tuntutan reformasi yang disuarakan oleh mahasiswa. Ketiga, untuk mengetahui perubahan-perubahan yang texjadi di Partai GOLKAR sehingga rnenyebabkan organisasi ini tetap kukuh berdiri di tengah badai perubahan? Keempat, untuk mengetahui apakah sirkulasi elite dan perubahan-perubahan di Partai GOLKAR tersebut mempunyai dampak terhadap proses demokratisasi di tubuh GOLKAR.
Dalam penelitian ini digunakan teori elite yang dikemukakan oleh Gaetano Mosca, Vilfredo Paretto, C. Wright Mills dan Robert Michels. Konsep teori elite yang dikemukaan mereka pada dasarnya adalah bahwa setiap struktur sosial masyarakat pasti terdapat kelompok sosial yang mempunyai kemampuan, kekayaan dan kecakapan tertentu yang dapat membedakan mereka dengan kelompok lainnya. Kelompok masyarakat yang mempunyai kelebihan ini oleh para teoritisi elite disebut sebagai kelompok elite. Dalam struktur kekuasaan, kelornpok elite ini biasanya memegang peranan lebih besar dibanding kelompok lainnnya. Mereka biasanya menjadi pemimpin di dalam struktur kekuasaan. Sedangkan kelompok lainnya, yang berada diluar kekuasaan mengambil sikap oposisi atau sebagai kelompok yang mengkoreksi segala kebijakan yang dibuat oleh pemegang kekuasaan. Sebenarnya, kedua kelompok ini saling bersaing untuk memperebutkan kekuasaan.
Dalam proses Sirkulasi Elite di GOLKAR Pasca Orde Baru nampak sekali terjadi perubahan seiring perubahan politik di luar GOLKAR. Sirkulasi elite yang sebelumnya tergantung sepenuhnya kepada presiden Soeharto, telah mengalami perubahan mengikuti perkembangan politik di luar GOLKAR. Faksi-faksi yang ada di GOLKAR mempunyai kesempatan dan peluang yang sama untuk memperebutkan kekuasaan. Perubahan ini nampak terlihat saat GOLKAR menggelar Munaslub tahun 1998 dan Munas VII GOLKAR di Bali. Semua kelompok baik penguasa (Srigala) maupun oposisi (Singa) saling bersaing untuk mendapatkan dukungan dari arus bawah. Perubahan-perubahan ini telah menjadikan GOLKAR lebih demokratis dibanding semasa kekuasaan Orde Baru. Terjadi ledakan panisipasi yang cukup besar dari arus bawah (DPD I dan II) setelah jatuhnya presiden Soeharto.
Dari dua kali perubahan elite di GOLKAR, nampak kepentingan negara ikut mempengaruhi proses sirkulasi elite. Munaslub 1998 kepentingan negara terpersonifikasikan ke dalam diri B.J. Habibie. Habibie sangat berkepentingan untuk mernpertahankan kekuasaannya sehingga ia perlu menempatkan orang kepercayaannya untuk memimpin GOLKAR yalmi Akbar Tandjung. Sedangkan dalam Munas VII GOLKAR di Bali, kepentingan negara terwakili pada diri Jusuf Kalla. Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla sangat berkepentingan untuk menjinakkan sikap oposisi GOLKAR yang tergabung dalam koalisi kebangsaan. Langkah ini diambil untuk mengamankan kebijakan pemerintali agar mendapat dukungan dari parlemen. Dukungan dari parlemen ini sangat penting untuk memperkokoh kebijakan pemerintah dan untuk menjamin kelangsungan program pemerintah maka negara perlu menguasai Partai GOLKAR. Faktor lain yang mempengaruhi sirkulasi elite di GOLKAR adalah kharisma elite (pengaruh elite), idiologi dan kepentingan politik sesaat elite yang biasanya bersifat oportunistik.
Dari hasil penelitian tersebut, nampak sekali bahwa teori elite yang dikemukakan oleh Pareto, Mosca, Michels dan Mills jika diterapkan di GOLKAR tidak sesederhana yang mereka bayangkan. Perlu memperhatikan nilai-nilai lokal dimana organisasi itu berada. Hal ini wajar mengingat kondisi sosial politik saat teori ini muncul yakni di Italia dan Amerika Serikat berbeda dengan kondisi Indonesia. Masyarakat di Italia dan Amerika Serikat tentunya lebih maju dibanding dengan kondisi masyarakat Indonesia."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T21911
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dhuroruddin Mashad
Jakarta: Pustaka Cidesindo, 1998
345. 958 DHU k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Burhanuddin Muhtadi
"ABSTRACT
How many voters sell their votes in Indonesia, and how effective is it? Elaborated from a wide range of survey methods -whether individual, observational, or derived from the list-experiment, the proportion of voters participating in vote-buying in the 2019 election was between 19,4% and 33,1%. This range is comparatively high by international standards, with Indonesia's level of vote buying being the third largest in the world. Given that the list-experiment and the straight-forward survey questions result inconsistent findings, it can be concluded that vote buying is less likely to be stigmatized, and such practice has become a new normal during the election. This study also finds that Indonesia's open-list proportional system shapes the supply-side of vote buying. Under such an electoral system, candidates are forced to compete against co-partisans for personal votes. And because, according to the open-list system, a seat (or seats) secured by a party must be allocated to that party's candidates who obtained the most individual votes, candidates only need to win a small slice of the votes to defeat their co-partisans. To do so, they need to differentiate themselves from their party peers, including by buying votes."
Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2019
364 INTG 5:1 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Heriyandi Roni
"Perubahan politik nasional di Indonesia pada tahun 1998 adalah runtuhnya rejim Orde Baru. Perubahan tersebut membawa implikasi kepada Golkar. Implikasi positif adalah terjadinya perubahan dalam pengambilan keputusan partai. Pengambilan keputusan dalam penentuan calon presiden dan ketua umum partai tidak lagi didasarkan kepada kekuasaan seseorang sebagaimana terjadi selama Orde Baru tetapi menggunakan mekanisme bottom up, melalui pemilihan dan kewenangan suara untuk menentukan pilihan melibatkan unit-unit organisasi di Partai Golkar. Studi ini bertujuan untuk menjelaskan demokratisasi dalam proses pengambilan keputusan untuk menentukan caIon presiden dan ketua umum partai, khususnya di Munaslub 1993, Munas VII 2004 dan di Konvensi Partai Golkar.
Metode penelitian yang digunakan dalam studi ini adalah metode penelitian kualitatif dengan jenis studi kasus. Paradigma yang digunakan adalah paradigma kontruktivisme, dengan pengumpulan data digunakan melalui wawancara dan didasarkan kepada sumber-sumber lain. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis kualititatif.
Dalam menjelaskan proses demokratisasi yang berlangsung digunakan beberapa teori antara lain teori Demokrasi dan Demokratisasi, teori Partai Politik, dan Teori Elit. Temuan - temuan dalam studi ini dikemukakan sebagai berikut :
Pertama, penentuan ketua umum dalam masa transisi di Munaslub 1998, Munas VII 2004 dan penentuan calon presiden melalui model konvensi menggambarkan adanya proses demokratisasi internal di Pattai Golkar. Kedua, kasus pemilihan tersebut memberikan gambaran yang cukup kompleks tentang power strugle antar faksi di tingkat elit partai golkar. Peta faksi-faksi tersebut di setiap kasus berubah-ubah. Dalam studi ini, di kasus pemilihan ketua umum terlihat kelompok kepentingan pragmatis kekuasaan yang memenangkan power strugle tersebut. Ketiga, Dalam kasus Konvensi Partai Golkar, implementasi demokratisasi dalam proses pengambilan keputusan dengan cara pemilihan, dipercepat adanya kasus hukum Akbar Tanjung. Untuk menghindari perpecahan internal maka konvensi disepakati sebagai model untuk menentukan calon presiden dari Partai Golkar. Keempat, studi ini juga menemukan bahwa proses pelaksanaan konvensi partai meningkatkan citra (image building) Partai Golkar. Pada pemilihan umum legislatif 2004 di tengah kemorosotan perolehan suara partai-panai lain dilihat dari hasil pemilihan umum 1999, Partai Golkar berhasil mempertahankan perolehan suara.
Secara teoritis, studi ini menunjukan relevansi terhadap beberapa teori yang digunakan yaitu teori Larry Diamond, Juan Linz, Seymour M Lipset dan Jose Abueva tentang nilai-nilai demokrasi prosedural, teori Maswadi Rauf dan Anders Uhlin tentang adopsi nilai-nilai demokrasi sebagai proses dernokratisasi. Alan Ware tentang model keputusan organisasl, dan Gaetano Mosca tentang sirkulasi clit. Tetapi tcori Robert Michel tentang Oligarki dalam tingkat organisasi seeara luas bersifat terbatas dan perlu direvisi. Dalam sistem pengambilan keputusan yang semakin otonom di unit-unit organisasi, DPD I, DPD II dan Ormas-Ormas semakin berdaya menentukan pilihan sesuai dengan kepentingannya. Dengan demikian mekanisme demokrasi dalam proses pengambilan kepurusan dapat membatasi pengaruh dan intervensi pimpinan pusat partai."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
D810
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Tak lama lagi, Pemilu 1997 akan diselenggarakan. Ketiga orsospol peserta pemilu (OPP) kini tengah sibuk mempersiapkan dirinya masing-masing. Dibanding PPP dan PDI, agaknya Golkar-lah yang paling siap untuk itu. Memang sejak pertama kali mengikuti Pemilu pada tahun 1971, ia selalu berhasil mengumpulkan suara terbanyak. Terakhir pada Pemilu 1992, suara yang berhasil dikumpulkan Golkar menurun secara signifikan, meski posisinya sebagai single majority tak tergoyahkan. Tak heran kalau kini ia sangat berambisi meraih suara sebanyak mungkin. Sekitar 70,25% dan bahkan kalau bisa 80%, itulah target perolehan suara Golkar pada pemilu mendatang. Dan tentu saja ia sudah menyiapkan kiat-kiat penggalangan untuk itu. Salah satunya adalah melalui Korpri (Korps fegawai Negeri Republik Indonesia), yang jumlahnya kurang lebih enam juta orang. Tentang hal ini, Mendagri Yogie S.M. dalam Rakernas Korpri (25-9-1996) pernah menyatakan bahwa Golkar merupakan alat perjuangan politik para pegawai negeri. Bahkan Sekjen Korpri Waskito Reksosoedirjo, dengan mengacu pada keputusan Munas IV Korpri tahun lalu (22-9-1995), menegaskan bahwa pegawai negeri yang tidak memilih Golkar dalam pemilu diancam akan dikeluarkan dari Korpri, yang berarti pula berhenti menjadi pegawai negeri. Padahal, dalam UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar, tak ada ketentuan yang mengharuskan pegawai negeri sipil untuk menjadi anggota Golkar. Begitupun dalam PP No. 20 Tahun 1976 tentang Keanggotaan Pegawai Negeri Sipil dalam Parpol dan Golkar {Suara Pembaruan, 2-10-1996). Bahkan ormas saja seperti AMPI dan Kosgoro tidak hams menyalurkan suaranya kepada Golkar (lihat wawancara Media Indonesia Minggu 10-11-1996 dengan pakar politik Dr. Maswadi Rauf). Apalagi sebuah korps para pegawai tentunya. "
320 ANC 26:2 (1997)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Liddle, R. William
Jakarta: LP3ES, 1992
324.959 8 LID p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>