Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 88572 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rika Martawati
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1991
S5591
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1991
S7953
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1993
S5603
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1991
S7954
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Rezki Meylan Rachmawati
"Peristiwa Gerakan Demokratisasi Gwangju telah menjadi gerakan titik balik dari demokratisasi Korea Selatan yang dinilai mampu dan berhasil membuka perubahan dalam pemerintahan di Korea Selatan. Pada sisi lain, terdapat fakta penyensoran pada media massa yang berhubungan dengan pemberitaan Gerakan Demokratisasi Gwangju. Penelitian ini menganalisis mengenai bagaimana media massa yang memuat informasi-informasi terkait dengan peristiwa Gerakan Demokratisasi Gwangju 1980 mengalami penyensoran di bawah pemerintahan Chun Doo-hwan yang otoriter. Dengan menerapkan teori pers otoriter dalam analisis, penelitian ini bertujuan untuk mengungkap bagaimana akhirnya peristiwa Gerakan Demokratisasi Gwangju 1980 diketahui dunia melalui peran wartawan asal Jerman bernama Jürgen Hinzpeter. Dari hasil analisis diperoleh kesimpulan bahwa penyensoran media massa yang terjadi berupa pengendalian pers dan manipulasi berita oleh pemerintah Korea Selatan. Penyensoran tersebut membuktikan karakter kediktatoran yang ada pada kepemimpinan Chun Doo-hwan. Diketahui bahwa pelarangan meliput berita di Gwangju tidak hanya terjadi pada media Korea Selatan saja, namun juga pada media asing. Dengan hal ini, maka dapat dikatakan bahwa media massa pada pemerintahan militer di Korea Selatan selama pemerintahan Chun Doo-hwan menjadi komponen yang turut berkuasa dalam menekan masyarakat Korea Selatan.

The Gwangju Democratization Movement has become a turning point movement from the democratization of South Korea which is considered capable and successful in opening changes in the South Korean government. On the other hand, there is a fact of censorship in the mass media related to the news of the Gwangju Democratization Movement. This study analyzes the mass media containing information related to the Gwangju Democratization Movement 1980 that underwent censorship under the authoritarian Chun Doo-hwan government. By applying authoritarianism media theory in the analysis, this study aims to uncover how the Gwangju Democratization Movement 1980 was finally known to the world through the role of a German journalist named Jürgen Hinzpeter. From the analysis, it was concluded that media censorship occurred in the form of press control and news manipulation by the South Korean government proved the character of the dictatorship that existed in the leadership of Chun Doo-hwan. It is known that the ban on covering news in Gwangju does not only occur in South Korean media but also in foreign media. With this, it can be said that the mass media in the military government in South Korea during the Chun Doo-hwan period became a component that had the power to suppress the South Korean society."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2020
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Zakiah Ruhulaini
"Demokrasi yang menjadi dasar sistem pemerintahan Republik Korea adalah ideologi asing yang diadopsi rakyat Korea Selatan menjadi dasar sistem pemerintahan negara yang telah melalui pertumpahan darah. Peristiwa menegakkan demokrasi yang dikenal dengan Demokrasi Gwangju 1980 berhasil membuat perubahan besar dalam ranah pemerintahan di Korea Selatan. Pada masa tersebut, kebijakan presiden Republik Korea Chun Doo-hwan, yang berasal dari kelompok militer, banyak mengundang protes dari kalangan masyarakat. Banyak warga sipil terutama mahasiswa-mahasiswi yang memprotes kebijakannya dan melakukan Gerakan Demokratisasi di beberapa wilayah Gwangju dan Jeonnam. Gerakan pro demokrasi yang terjadi menyebabkan pasukan militer di bawah pemerintahan Chun Doo-hwan melakukan persekusi terhadap warga sipil. Amerika Serikat yang merupakan sekutu juga ikut berperan dalam menangani kejadian di Gwangju. Berhubungan dengan persekusi oleh pemerintahan Chun Doo-hwan, muncul satu pertanyaan penelitian yang penting untuk dikaji, yaitu apa peran Amerika di balik persekusi militer di masa pemerintahan Chun Doo-hwan? Melalui metode deskriptif-analisis, penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana peran Amerika Serikat terhadap perlawanan militer Chun Doo-hwan dalam Demonstrasi Gwangju 1980. Kesimpulan dari penelitian ini adalah peran Amerika Serikat dalam perlawanan militer Chun Doo-hwan yaitu menyetujui dan mendukung pemerintah Korea Selatan untuk mengerahkan pasukan gabungan Korea Selatan-Amerika Serikat untuk mengakhiri kekacauan dalam Demonstrasi Gwangju 1980.

Democracy is a foreign ideology adopted by the South Korean people as the basis form of the South Korean’s government system which has been through bloodshed. The event to uphold democracy, known as the 1980 Kwangju Democracy Movement, succeeded in making major changes in the realm of governance in South Korea. At the time, the policies made by the president of the Republic of Korea Chun Doo-hwan, who came from the military group, garnered many protests from the public. Many civilians, especially students, protested against his policies and carried out the Democratization Movement in some areas of Kwangju and Jeonnam. The pro-democracy movement that occurred caused the military forces under Chun Doo-hwan's government to persecute civilians. The United States, which is an ally, played a role in resolving the situation that occurred in Kwangju. Due to the persecution by Chun Doo-hwan's regime, one important research question arises, namely, what was America's role behind the military persecution in Chun Doo-hwan's reign? Through descriptive-analysis method, this study aims to explain what the United States' role in Chun Doo-hwan's military resistance in the 1980 Kwangju Demonstration is. The conclusion of this study is the United States' role in Chun Doo-hwan's military resistance was to approve and support the South Korean government to deploy joint ROK-US troops to end the chaos of the 1980 Kwangju Demonstrations."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Lorentius Oky Pratama
"Penelitian ini mencoba memaparkan aksi gerakan Kaum Sangha di Vietnam yang memicu aksi protes dan penggulingan pemerintahan Presiden Ngo Dinh Diem dari kekuasaan. Paparan dimulai dengan menjelaskan pengaruh gagasan pembaharuan Buddhisme dari berbagai negara Buddha terutama China terhadap gerakan Kaum Sangha di Vietnam. Peran Kaum Sangha yang terutama adalah memberikan pencerahan agama kepada setiap orang di manapun berada. Namun pada masa pemerintahan Presiden Ngo Dinh Diem, kebebasan untuk beribadah tidak diberikan kepada penganut Buddha, hanya Katolik yang mendapat tempat utama. Pada akhirnya penelitian ini mengungkapkan tiga hal. Pertama, Presiden Ngo Dinh Diem tidak memberikan kebebasan beragama kepada penganut Buddha. Kedua, aksi bakar diri Thich Quang Duc pada tahun 1963 memunculkan dukungan dari masyarakat dunia, untuk memaksa Amerika Serikat berlaku keras kepada Ngo Dinh Diem. Ketiga, ketidakpuasan Kaum Sangha terhadap pemerintahan menjadi dasar legitimasi aksi kudeta menggulingkan Ngo Dinh Diem dari kekuasaan.

This research tries to explain the Sangha’s movement in Vietnam which triggered protest action and down falling Ngo Dinh Diem’s authority as a president. The description begins with an explanation about the effect of Chinese centered Buddhism revival idea on Sangha’s movement. The Sangha’s main role was giving religious enlightenment to everyone. Unfortunately, religious liberty wasn’t given to the Buddhist because of the only priority given to the Catholics. Ultimately the research reveals of three things. First, Ngo Dinh Diem as a president didn’t give freedom worship to the Buddhist. Then, self immolation done by Thich Quang Duc in 1963 had created world supports to have USA determine a harder attitude toward Ngo Dinh Diem. And the last, Sangha’s discontentment toward government became legitimation of coup d’état on overthrowing Ngo Dinh Diem’s power."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2011
S119
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Chong Wa Dae
Seoul: The Secretariat for the President , 1987
951.950 43 CHO n
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Hasibuan, Muhammad Umar Syadat
"Disertasi ini menjelaskan studi tentang gerakan politik mahasiswa. Disertasi ini menggunakan studi kasus untuk menganalisa dua tipe polarisasi gerakan mahasiswa. Pertama, polarisasi gerakan mahasiswa pada masa pemerintahan B.J. Habibie. Kedua, polarisasi gerakan mahasiswa pada pemerintahan Abdurahman Wahid. Lebih jauh lagi, studi ini menjelaskan gerakan politik mahasiswa yang menggunakan pernyataan politik moral force sebagai kekuatan politik. Penelitian dari disertasi ini menggunakan pendekatan kualitatif dan analisa deskriptif. Data dari studi ini diperoleh dengan cara wawancara mendalam dan sumber data sekunder. Beberapa teori digunakan sebagai kerangka analisa.
Pertama, teori demokrasi dari Maswadi Rauf dan Larry Diamond. Kedua, teori konflik dari Maswadi Rauf. Ketiga, teori gerakan massa dari Eric Hoffer. Keempat, teori elit dari Suzane Keller. Disertasi ini juga menggunakan tipologi gerakan politik mahasiswa dari Philip G. Altbach dan Burhan D. Magenda untuk memperkaya kajian gerakan mahasiswa di Indonesia. Kerangka teori ini sangat berguna untuk menganalisa gerakan politik mahasiswa dalam disertasi ini.
Beberapa penemuan dari disertasi ini adalah pertama, polarisasi gerakan mahasiswa pada masa pemerintahan B.J. Habibie adalah antara HMI, KAMMI kontra FORKOT, FKSMJ. Gerakan mahasiswa ini dapat dikategorikan sebagai gerakan politik mahasiswa ekstra universiter. Sementara itu pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid polarisasi gerakan mahasiswa adalah antara BEMI kontra BEMSI yang dapat disebut sebagai gerakan politik mahasiswa intra universiter. HMI, KAMMI dan FORKOT, FKSMJ pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid berada dalam payung organisasi BEMI dan BEMSI. Dengan demikian polarisasi pada masa pemerintahan B.J. Habibie adalah organisasi ekstra vs ekstra universiter sementara pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid adalah organisasi intra universiter vs intra universiter. Kedua, polarisasi gerakan mahasiswa tersebut disebabkan oleh perbedaan persepsi terhadap figur kepemimpinan B.J. Habibie dan Abdurrahman Wahid. Di satu sisi, HMI, KAMMI percaya bahwa B.J. Habibie adalah tokoh muslim dan telah memenuhi tuntutan reformasi. Sementara itu FORKOT, FKSMJ berpendapat bahwa B.J. Habibie merupakan kroni Soeharto. Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, BEMI pendukung Abdurrahman Wahid berpendapat bahwa Abdurrahman Wahid bukan hanya sukses menyelesaikan agenda reformasi, tetapi adalah tokoh reformis dan pemimpin pluralis. Sementara BEMSI penentang Abdurrahman Wahid, selain menganggap Abdurrahman Wahid terlibat dalam Buloggate dan Brunaigate, juga menganggap tidak serius menyelesaikan agenda reformasi yaitu memberantas KKN dan menganggap Abdurrahman Wahid sebagai anti demokrasi dan anti Islam. Ketiga, disertasi ini menemukan bahwa gerakan mahasiswa HMI, KAMMI, FORKOT, FKSMJ, BEMI dan BEMSI merupakan gerakan politik. Gerakan mahasiswa ini mendapat dukungan politik, ekonomi dan psikologi dari elit politik. Dengan demikian gerakan mahasiswa memiliki kesamaan kepentingan dengan elit politik baik secara politik dan ideologis.
Studi ini mengajukan perspektif teoritis baru dalam konteks gerakan politik mahasiswa, yaitu: (1) polarisasi gerakan mahasiswa tidak dapat dihindari karena adanya perbedaan kepentingan politik dan ideologi di antara aktivis mahasiswa. (2) Gerakan mahasiswa di Indonesia selalu menggunakan pernyataan politik moral force, sehingga moral force ini dijadikan dasar legitimasi politik mahasiswa untuk memperluas dukungan politiknya. (3) Relasi kekuasaan elit politik dengan gerakan mahasiswa karena keduanya memiliki kepentingan ideologi dan politik yang sama. (4) Polarisasi gerakan mahasiswa diakibatkan oleh dasar legitimasi moral dan dukungan elit politik.
Studi ini menegaskan bahwa untuk mempertahankan gerakan mahasiswa sebagai kekuatan moral harus dibebaskan dari ketergantungan finansial dari elit politik walaupun secara ideologi dan psikologi antara aktivis mahasiswa dan elit tidak dapat dipisahkan.

This disertation examines the study of the students political movements. This disertation uses case study to analysis two types of polarization of the students movements. First, polarization of student movements during B.J. Habibie government. Second, the polarization of student movements during Abdurahman Wahid government.
Furthermore, this study explains the trends of the students movements from political statement of moral force into a real political force.
The research of this disertation uses qualitative approach and discriptive analysis. The data for this study collected by indepth interview and secondary resources. Some theories are used as analytical framework. First, theory of democracy from Maswadi Rauf, Larry Diamond, Juan J. Linz and Alfred Stepan. Second, Theory of conflict from Maswadi Rauf. Third, social movement theory from Eric Hoffer. Fourth, elite theory of Gaetano Mosca and Suzane Keller, Harold D. Laswell, Gabriel A Almond and Roberth Dahl. This thesis is also used the study of students movement from Philip G. Altbach, Arbi Sanit, Suwondo and Muridan to enrich the analysis on student movements in Indonesia. This theoretical framework are valuable for analysing the student movements in this disertation. Several findings of this disertation are firstly, the polarization of student movement in B.J. Habibie era was between HMI, KAMMI vs FORKOT, FKSMJ. This students organization is categorise as the extra-universiter organization. While in Abdurrahman Wahid government, polarization of student movements was between BEMI and BEMSI which called the intra universiter student governments. HMI, KAMMI and FORKOT, FKSMJ in Abdurrahman Wahid government were under the the umbrella of BEMI and BEMSI category. In other words, the polarization of student movements in Abdurrahman Wahid government was using the intra-universiter organisation such as BEMI. Therefore, the polarization of student movements during the B.J. Habibie government was extra organization and during Abdurrahman Wahid government was intra organization. Secondly, the polarizations of students movements are caused by the perception towards the leadership figure of B.J. Habibie and Abdurahman wahid. In one hand, HMI, KAMMI believe that B.J. Habibie as Muslim leader and already tackle the reformation demands. However, on the other hand, FORKOT, FKSMJ considered B.J. Habibie as a cronie of President Soeharto. While in Abdurrahman Wahid Era, BEMI as supporter of Abdurrahman Wahid believe that his government has been succeded to comply with most of the reformation agenda. He was also consider as a reformist and pluralist leader. However, BEMSI found that Abdurrahman Wahid was involved in the Bullogate and Brunaigate. He was also not seriously tackling the KKN, consider as anti democracy and anti Islam. Thirdly, the study is also suggested that students movements moved from moral force into the political movement. the students movements supported by political elites through the logistic support, financial and psychological support. Therefore, the political elites have the similar interests politically and ideologically.
This study is also propose a new theoretical perspective in the student political movement, that are: (1) polarization of student movement can not ovoid it because of the differences of the political and ideological interest among students activist.(2) Student movements in Indonesia always use political moral force, so that moral force is used as legimaticy basis of the students to enlarge their political support. (3) the power relation between political elite and student movement because of both of them have a similar ideological and political interests.(4) the polarization of students movement are caused by moral legitimacy basis and the support from political elites.
This study suggested that to maintain the moral force of the students movements have to liberated from the financial dependency from the political elites. Even though ideologically and psychologically between the students activist and the elites cannot be separated.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2010
D00918
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1993
S7295
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>