Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 78819 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ketut Wiradnyana
"Prasejarah merupakan babakan masa yang sangat panjang, sekaligus mengawali manusia dan kebudayaan. Hampir setiap kebudayaan di dunia ini diawali dengan babakan masa itu, sehingga babakan masa prasejarah sangat penting dalam kontribusinya bagi kebudayaan di masa-masa selanjutnya."
Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia , 2011
930.1 KET p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Santoso Soegondho
"Penelitian ini berusaha merekonstruksi cara-cara hidup manusia masa lalu, melalui sisa-sisa budaya materialnya, yaitu wadah keramik tanah liat. Rekonstruksi kehidupan manusia masa lalu adalah salah satu tujuan arkeologi, di samping penyusunan sejarah kebudayaan dan penggambaran proses budaya (Binford, 1972: 80-89)1. Adapun objek dari arkeologi ialah sisa-sisa peninggalan masa lampau yang tidak berupa keterangan tertulis seperti: reruntuhan bangunan, alat-alat, perlengkapan kehidupan, karya seni dan lain-lain, yang oleh pembuatnya tidak dimaksudkan sebagai keterangan tentang suatu peristiwa sejarah (Piggott, 19-59: 2; 1965: 2; Chang, 1972: 185). Peninggalan-peninggalan semacam itu merupakan bukti-bukti arkeologi yang dapat memberikan keterangan sejarah melalui interpretasi dan dengan bantuan ilmu-ilmu lain.
Untuk mendapatkan informasi sejarah yang lengkap dari bukti-bukti arkeologi tersebut, dibutuhkan bantuan-bantuan dari ilmu-ilmu lain. Adapun ilmu-ilmu lain yang banyak membantu arkeologi adalah: geologi, palinologi, zoologi, biologi, antropologi, sosiologi, ethnografi, geografi, dan ekologi (Hole, 1973: 22). Bantuan dari ilmu-ilmu lain tersebut diperlukan mengingat adanya kekurangan-kekurangan di dalam arkelogi sendiri.
Kekurangan itu antara lain kurang lengkapnya bukti-bukti arkeologi yang sampai ke tangan peneliti. Menurut Hole (1973: 22) bukti-bukti arkeologi adalah suatu dokumen yang tidak lengkap tentang aktifitas manusia. Bahkan menurut Piggott bukti-bukti arkeologi ialah bukti yang tanpa disadari (unconscious evidence) (1959: 2) dan tidak jelas (inevident) {1965: 2). Kekurangan lainnya adalah sedikitnya laporan arkeologi yang dapat digunakan, sehingga sulit dipakai untuk pengambilan kesimpulan maupun untuk kajian statistik (Hole, 1973: 23). Selain itu oleh Hole jugs dinyatakan bahwa arkeologi itu dapat lebih efisien, apabila dalam pelaksanaan penelitiannya digunakan metode pengambilan sampel, sistem ekskavasi dan analisis yang baik dan tepat (Hole, 1973: 23).
Arkeologi di Indonesia memfokuskan perhatiannya pada dua bidang kajian, yaitu kajian sejarah kuno (ancient history) dan masa prasejarah (prehistory). Masa sejarah kuno, yaitu masa yang sudah meninggalkan keterangan-keterangan tertulis tetapi masih berupa tulisan kuno, masih menjadi bagian dari kajian arkeologi, sebab sebagian besar peninggalan-peninggalan yang berupa keterangan tertulis dari masa itu seperti prasasti, umumnya tidak menerangkan tentang suatu peristiwa melainkan hanya merupakan peringatan tentang suatu kejadian. Sebaliknya kajian tentang masa prasejarah di Indonesia jelas merupakan bagian dari arkeologi, karena kajian ini mempelajari riwayat kehidupan manusia dari masa yang belum mengenal tulisan, yang hanya meninggalkan benda-benda."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1993
D327
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iman Toto K. Rahardjo
"Sejak zaman prasejarah, sudah ada suku suku bangsa yang mendiami wilayah yang dikenal dengan nama Indonesia. Penduduk asli ini adalah bangsa yang merdeka dan berdaulat yang telah memiliki kebudayaan sendiri pada tingkat peradaban yang cukup tinggi pada masanya sehingga mampu berinteraksi dengan bangsa bangsa pendatang dengan kesetaraan dan mendapat manfaat. Budaya baru dari luar diserap untuk meningkatkan ilmu pengetahuan dan memperluas wawasan budaya (penyuburan). Interaksi budaya tersebut dimungkinkan karena penduduk asli leluhur bangsa Indonesia telah memiliki nilai nilai luhur yang mendasari peripikir dan perilakunya. Nilai nilai luhur itu adalah suka damai, saling menghormatimenghargai, saling memberi dan menerima, musyawarah, jujur, toleransi dan tanggung jawab. Keunggulan keunggulan itu menjadikan Sriwijaya dan Majapahit menjadi negara besar dan mampu mempersatukan wilayah Nusantara di bawah kekuasaannya. Tetapi oleh karena motif dan cara mempersatukan tidak didasari nilai nilai luhur itu, lebih karena dorongan ekspansionis imperialistik, menjadikan negara Sriwijaya dan Majapahit sangat rapuh terhadap goncangan goncangan dari dalam ataupun luar yang pada akhirnya menjadi sebab keruntuhannya. Masuknya Islam melalui persamaan agama (Islam) sesungguhnya merajut kembali persatuan Indonesia dan budaya Indonesia menjadi makin kaya lahir dan batin karena nilai nilai luhur yang ada mendapatkan penguatan religius. Kolonialisme Barat masuk dengan membawa nilai nilai yang bertentangan dengan nilainilai luhur Bangsa Indonesia. Nilai nilai luhur inilah yang pada hakikatnya menjadi dasar dan menjiwai seluruh perlawanan menentang penjajahan. Para Pejuang Kemerdekaan, Pahlawan dan Founding Fathers berhasil membangun persatuan di atas nilai nilai luhur tersebut. Bisa dikatakan tokohtokoh Pejuang Bangsa ini sebagai pencipta pencipta kebudayaan baru dan modern Indonesia. Persatuan yang dijiwai dan dilandasi nilai nilai luhur itu yang melahirkan Bangsa Indonesia (Sumpah Pemuda), rumusan Pancasila, Proklamasi 1945 dan Negara Indonesia Merdeka. Karena nilai nilai luhur tersebut tidak lain adalah unsur unsur budaya unggul bangsa, maka seluruh sejarah lahirnya Bangsa dan Negara Indonesia Merdeka pada hakikatnya berlangsung dalam suatu proses kebudayaan. Sudah semestinya pengelolaan negara Bangsa Indonesia seterusnya tetap dilandasi dan dibimbing oleh nilai nilai luhur budaya seperti yang telah dirumuskan dalam Pancasila sebagai fondasi utama peradaban Indonesia."
Jakarta: Lembaga Pangkajian MPR RI, 2018
342 JKTN 008 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Dimas Ramadani
"Tradisi tembikar merupakan tradisi yang termasuk tua dalam perkembangan kebudayaan manusia di dunia ini. Manusia mulai mengenal tembikar sejak dikenalnya tradisi bercocok tanam di daerah pedalaman dan tradisi mencari hasil laut di daerah pantai pada masa prasejarah lebih dari 10.000 tahun yang lalu. Sejak saat itu tembikar menjadi salah satu perlengkapan kehidupan manusia yang panting, terutama karena kemampuan dan kegunaannya. Adapun jenis jenis tembikar yang dikenal dalam tradisi tembikar prasejarah di Indonesia, adalah jenis wadah (vessel) dan jenis yang bukan wadah. Jenis jenis wadah yang dikenal dari tradisi tembikar prasejarah di Indonesia antara lain, periuk, cawan (mangkuk), piring, kendi, tempayan, dan lain-lain. Tembikar sebagai data arkeologi menurut Para ahli dapat mencerminkan beberapa aspek kehidupan manusia pendukungnya. Masalah-masalah yang diajukan terhadap tembikar dari Situs Gua Pondok Selabe-1, antara lain adalah, bagaimanakah bentuk-bentuk yang dihasilkan, teknik buat apa yang dipakai, ragam bisa apa sajakah yang terdapat pada tembikar tersebut dan teknik apa yang bisa dipakainya, bagaimanakah karakteristik tembikar tersebut serta keterhubungan antara temuan tembikar dengan temuan lainnya. Dan permasalahan yang telah diuraikan tersebut, tujuan yang hendak dicapai adalah segala permasalahan tersebut dapat terjawab. Lewat analisis yang diterapkan pada tembikar ini dapat diharapkan mengetahui tipologi tembikar Situs pondok Selabe-1, Sumatra Selatan. Selain itu, untuk mengungkapkan ragam bias yang terdapat pada tembikar tersebut, teknik hias yang dipakai, teknik pembuatan dan penghalusan (jika memang terdapat indikatornya) yang telah dikenal oleh manusia pendukungnya. Tujuan penulisan ini juga diharapkan memberi gambaran bagaimana tembikar tersebut memainkan peranan dalam masyarakat pendukung kebudayaan itu. Tahap pertama untuk memudahkan penelitian ini adalah studi kepustakaan, observasi dan dilanjutkan dengan deskripsi untuk mendapatkan gambaran tentang tembikar tersebut. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis khusus dan klasifikasi yang dilakukan adalah klasifikasi taksonomi. Setelah melakukan klasifikasi, menghasilkan enam buah bentuk wadah tembikar, yaitu: periuk dibagi dalam 2 jenis dan tipe, cepuk dibagi 2 tipe, buli-buli dibagi 3 tipe, mangkuk dibagi 2 tipe, piring dibagi 2 tipe. Teknik bias yang digunakan adalah teknik teraltekan, gores, cungkil, slip, dan tempel yang menghasilkan ragam bias yang berupa motif bias berdiri sendiri, serta kombinasi lebih dari satu motif."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2004
S11573
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R. Cecep Eka Permana, 1965-
"Penelitian ini mengenai gambar tangan yang banyak terdapat pada gua-gua prasejarah di daerah Pangkep dan Maros Sulawesi Selatan. Gambar tangan yang banyak tersebut menunjukkan persamaan dan perbedaan baik bentuk maupun keletakannya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pola gambar tangan pada gua-gua prasejarah di daerah Pangkep dan Maros, Serta perbedaan antara gambar tangan di daerah Pangkep dan Maros yang menunjukkan dua subkebudayaan. Penelitian ini didasarkan atas pandangan normatif dari kebudayaan (normative view of culture), bahwa perilaku manusia itu berpola. Pola-pola itu ditentukan oleh kebudayaan dan bersifat normatif, yakni menunjukkan ketaatan pada suatu perangkat aturan-aturan dan norma-norma yang berlaku yang diturunkan dari generasi ke generasi. Adapun gambar tangan yang dianalisis berjumlah S49 gambar dari 745 gambar yang teridentitikasi pada 36 situs gua dari 101 gua yang disurvei.
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan diketahui bahwa terdapat pola gambar tangan pada gua-gua prasejarah tersebut. Terdapatnya pola tersebut menunjukkan adanya norma-norma yang sama yang rnengarahkan dan menjadi landasan perilaku masyarakat di daerah Pangkep dan Maros pada masa Ialu dalam membuat gambar tangan dan penempatannya dalam gua-gua mereka. Pola gambar tangan di wilayah Pangkep-Maros itu ditunjukkan dengan bentuk negative hand stencil berupa telapak kiri atau kanan yang berorientasi ke atas, memiliki limajari, berukuran besar, dan berwarna cokelat. Seiain itu, diketahui pula terdapat dua pola penggambaran bentuk gambar tangan yang berbeda; di daerah Pangkep berdasarkan bagian guanya terbanyak terdapat pada bagian belakang gua, sedangkan di daerah Maros terbanyak terdapat pada bagian depan gua. Sementara itu, berdasarkan biclang guanya terbanyak di daerah Pangkep diternukan di langit-langit gua, sedangkan di daerah Maros terbanyak ditemukan di dinding gua. Pola yang berbeda tersebut diperkirakan merupakan dua subkebudayaan (subculture) dalarn satu wilayah kebudayaan yang sama (Sulawesi Selatan)."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2008
D853
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Cut Inong Mutia
"Agama Kristen masuk ke Jepang sejak tahun 1549, yaitu pada saat seorang misionaris Katolik Roma bernama Francis Xavier tiba di daerah Kagoshima. Memasuki zaman Edo (1603-1867), pada awalnya Tokugawa Ieyasu sebagai pemimpin pertama pemerintahan bakufu Edo, tidak menunjukkan keberatannya terhadap penyebaran agama Kristen dan keberadaan para misionaris di Jepang.Pada tanggal 1 Februari 1614, pemerintah bakufu Edomengeluarkan dekrit pertama pelarangan agama Kristen. Alasan utamadikeluarkannya dekrit tersebut adalah bahwa pemerintah Tokugawa ingimenciptakan suatu pemerintahan yang absolut di Jepang dan agamaKristen dianggap sebagai ancaman bagi persatuan bangsa Jepang. Selaindikeluarkannya dekrit pelarangan agama Kristen, sebagai bagian dari pelaksanaan pelarangan penyebaran agama Kristen, pemerintah bakufuEdo juga melaksanakan politik sakoku (politik penutupan negara) dansistem danka. Menurut Okuwa Mitoshi dalam bukunya yang berjudul Jidanno Shiso, dijelaskan bahwa pengertian dari danka adalah keluarga yangmelaksanakan upacara kematian pada kuil Budha tertentu danbertanggung jawab untuk melakukan pemeliharaan terhadap kuil tersebut. Dengan diterapkannya sistem danka, maka setiap keluargadiwajibkan untuk menjadi anggota kuil Budha tertentu dan penganutKristen diharuskan meninggalkan agamanya tersebut. Selain adanyapenganut Kristen yang meninggalkan agamanya, juga ada penganutKristen yang tetap bertahan dengan keyakinannya selama masapenerapan sistem danka tersebut dan disebut dengan kakure kirishitan. Permasalahan dalam skripsi ini adalah sistem danka sebagai salah satu faktor penyebab munculnya kakure kirishitan.Permasalahan dalam skripsi ini adalah sistem danka sebagai salah satu faktor penyebab munculnya kakure kirishitan.Permasalahan dalam skripsi ini adalah sistem danka sebagai salah satu faktor penyebab munculnya kakure kirishitan.Kesimpulan yang dapat diambil dari penulisan skripsi Sistem Danka dan kehidupan Kakure Kirishitan Pada Zaman Edo di Jepang {1603-1867) di Jepang adalah_ Dengan diterapkannya sistem danka pada zaman Edo, para penganut Kristen terpaksa meninggalkan agamanya tersebut. Namun, selain adanya penganut Kristen yang meninggalkan agamanya, ada juga para penganut Kristen yang tetap bertahan dengan keyakinannya tersebut dan disebut dengan kakure kirishitan._ Di satu sisi, para penganut Kristen pada zaman Edo berusaha untuk tetap bertahan dengan keyakinannya, sedangkan di sisi lain mereka berusaha untuk menuruti perintah yang dikeluarkan oleh pemerintah bakufu Edo untuk menjadi anggota danka._ Dengan diterapkannya sistem danka, pemerintah bakufu makin mempertegas pelarangan terhadap penyebaran agama Kristen sehingga agama Kristen tidak dapat berkembang luas di Jepang._ Pelaksanaan sistem danka juga melahirkan perpaduan (sinkrstisme) antara tiga agama, yaitu Budha, Shinto, dan Kristen. Hal ini disebabkan karena seluruh masyarakat Jepang pada zaman Edo, baik yang beragama Budha, Shinto, ataupun Kristen, wajib untuk menjadi anggota danka."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2002
S13528
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdur Rahim
"ABSTRAK
Manusia prasejarah memanfaatkan alam sekitar untuk bertahan hidup. Salah satu
sumber daya yang dimanfaatkan adalah moluska. Tulisan ini bertujuan untuk
menjelaskan pemanfaatan moluska pada situs Gua pawon. Informasi taksonomi,
jumlah spesimen teridentifikasi, dan jumlah minimum individu menunjukkan
bahwa moluska pada situs Gua Pawon dimanfaatkan sebagai bahan makanan
(Sulcospira) dan sebagai perhiasan (Pelecypoda). Moluska yang dimanfaatkan
dianalisis dengan cara melihat tipe-tipe kerusakan pada cangkang, diperkuat
dengan analogi etnografi untuk menjelaskan proses pemanfaatan moluska, sejak
dikumpulkan sampai dikonsumsi. Moluska yang dimanfaatkan sebagai perhiasan
dianalisis dengan melihat jejak buat pada lubang untuk mengetahui teknik
pembuatannya.

ABSTRACT
Prehistoric community exploited their environment to survive. One of the natural
resources exploited is molluscs. This thesis is intended to fully explain the
exploitation of molluscs at Gua Pawon. Based on taxonomy, Number of Identified
Specimens (NISP), and Minimal Number of Individuals (MNI), molluscs that
were exploited are Sulcospira as dietary consumption and Pelecypoda as
ornament. Utilized molluscs are analyzed through types of shell damage, and
supported with ethnographic analogy to explain utilization process of molluscs
from collection through to consumption. Ornament molluscs are analyzed by
observing the modification trace of the hole to understand its technology."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2014
S57461
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Tondi Mirzano
"Gambar pada gua prasejarah atau gambar cadas merupakan salah satu data arkeologi. Skripsi ini membahas mengenai bentuk motif figuratif gambar cadas pada Situs Sasere Oyomo, Kaimana, Papua Barat. Jumlah motif figuratif yang diteliti dalam penelitian ini adalah 72 motif. Komponen analisis yang digunakan dalam tipologi bentuk motif ini adalah atribut yang paling menonjol dari setiap motif. Secara keseluruhan, penelitian ini menghasilkan lima tipe dan 28 varian motif figuratif. Berdasarkan hasil analisis, dapat diketahui bahwa setiap penggambaran motif figuratif memiliki bentuk dan variasi masing-masing yang menjadi ciri khas dari setiap penggambaran motif.

Pictures on prehistoric cave or rock art is one of the archaeological data. This research discusses the form of figurative motifs on Sasere Oyomo Site, Kaimana, West Papua. The number of figurative motifs which are used in this research are 72 motifs. The components of analysis which are used in this form typology of this motifs is the depiction of the attribute. Overall, this research produced five types and 28 forms from the basic shape of the figurative motifs. Based on the analysis, it can be seen that each depiction of rock art motif has the variety which are become the characteristic of every depiction motif."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2016
S63700
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Novi Warini
"Gua Pawon merupakan salah satu situs prasejarah di Jawa Barat penghasil alat tulang. Jejak pakai yang berbeda dapat memberikan informasi penggunaan yang berbeda pula. Oleh sebab itu, penelitian ini mempertanyakan ragam bentuk dan penggunaan alat tulang di Gua Pawon. Tujuan penelitian ini untuk menunjukkan secara detail bentuk alat tulang dan ciri bekas penggunaannya yang dapat menunjukkan fungsinya yang beragam berdasarkan jejak pakainya dan diharapkan dapat memperkaya khazanah pengetahuan tentang alat tulang di Indonesia, khususnya Jawa Barat. Penelitian ini dilakukan dengan pengamatan bagian tajaman alat tulang dengan alat bantu berupa mikroskop dengan pembesaran yang berbeda guna menunjukkan detail bentuk dari jejak pakai. Bentuk jejak pakai yang tampak dibandingkan dengan penelitian para ahli mengenai penggunaan alat tulang dan etnografi. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa sebuah alat tulang tidak hanya dapat digunakan untuk satu aktivitas, tetapi dapat juga digunakan untuk beberapa aktivitas dan beragam material.

Pawon Cave is one of the prehistoric sites in West Java producing bone tools in the late Pleistocene-early Holocene. Different use traces can provide information on different uses. Therefore, this study questions the various forms and uses of bone tools at Pawon Cave. The purpose of this study is to show in detail the shape of bone tools and the characteristics of their use that can show their diverse functions based on use traces and are expected to enrich the treasury of knowledge about bone tools in Indonesia, especially West Java. This study was conducted by observing the sharp part of the bone tool with a microscope with different magnifications to show the detailed shape of the use trace. The shape of the visible use trace was compared with expert research on the use of bone tools and ethnography. The results of the study show that a bone tool in Pawon Cave is not only used for one activity, but can also be used for several activities and various materials. These activities are cutting, carving, hole punching, drilling, scraping, and rubbing. While the materials are plants, bark, animal skin, and soil."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fira Rafini
"Latar Belakang: Perbaikan jaringan periodontal pasca splinting dapat ditinjau secara klinis atau radiografis. Evaluasi penyembuhan pada jaringan keras pada penelitian ini dianalisis dengan radiografis periapikal digital. Splinting periodontal adalah terapi pendukung perawatan periodontal untuk melindungi jaringan selama repair dan regenerasi pada terapi periodontal.
Tujuan: Analisis kehilangan dan kepadatan tulang alveolar serta keutuhan lamina dura setelah tiga bulan splinting pada gigi anterior mandibula dengan diagnosis periodontitis kronis dan kriteria kehilangan tulang alveolar 2/3 serviks secara radiografis digital.
Metode: Delapan puluh empat sisi sampel proksimal (mesial dan distal) dilakukan pengambilan radiografi periapikal digital dan di evaluasi perubahan keadaan tulang alveolarnya setelah di splinting (hari ke 1 dan 91).
Hasil: Hasil analisis statistika pada evaluasi setelah tiga bulan splinting untuk perubahan kehilangan-kepadatan tulang alveolar dan keutuhan lamina dura adalah 0,44; 0,256 dan 0,059 (p<0,05).
Kesimpulan: Tidak terdapat perubahan kehilangan dan kepadatan tulang alveolar serta keutuhan lamina dura pasca tiga bulan splinting pada gigi anterior mandibula dengan periodontitis kronis yang kehilangan tulangnya sampai 2/3 serviks.

Background: The healing of periodontal splinting can be detected both with clinical and radiographic examination. In this study, the alveolar bone was evaluated by radiographic digital periapical analysis. Periodontal tooth splinting is periodontal support theraphy used to prevent periodontal injury during repair and regeneration of periodontal theraphy.
Objective: Radiographic digital periapical analysis of alveolar bone in the mandibular anterior region with chronic periodontitis and 2/3 cervical bone loss after three months periodontal splinting.
Methods: Eighty four proximal site (43 mesial and 41 distal) from 16 patients were examined by taking periapical digital radiographic and the bone loss, bone density and utility of lamina dura were detected after splinting (day 1 and 91).
Results: The statistical analysis after three months evaluation using T-test for bone loss, Wilcoxon sign rank test for bone density and utility lamina dura showed no significantly differences(p<0,05)(p=0,44, 0,256 and 0,059).
Conclusion: No radiographic change in bone loss, bone density and utility of lamina dura from chronic periodontitis with 2/3 alveolar bone loss after three months splinting.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2013
T34994
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>