Konsep Smart Mobility sangat erat kaitannya dengan transportasi umum. Efektivitas operasional Trans Jakarta merupakan salah satu faktor penting dalam mewujudkan Smart Transportation di provinsi DKI Jakarta. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan waktu tempuh antar halte dan jumlah minimum bus yang dapat digunakan untuk penyusunan time table dan mengoptimalkan utilisasi atas kapasitas bus Trans Jakarta di Koridor 1. Analisa dilakukan atas beberapa data yang diperoleh, baik data primer maupun sekunder. Data primer meliputi wawancara dan observasi lapangan, yaitu jumlah halte, durasi lampu lalu lintas, dan area yang menjadi titik potensi hambatan. Data sekunder berasal dari perusahaan, yaitu meliputi jumlah penumpang, riwayat perjalanan bus, dan spesifikasi serta kapasitas bus. Dengan menggunakan metode time series dan linier programming, didapatkan hasil yang menunjukkan perbedaan waktu tempuh di beberapa periode waktu dan juga utilisasi yang belum optimal atas kapasitas bus yang tersedia.
The concept of Smart Mobility is very closely related to public transportation. Trans Jakarta's operational effectiveness is one of the important factors in realizing Smart Transportation in DKI Jakarta province. The purpose of this study is to obtain the terminal-to-terminal bus travel time and the minimum number of buses that can be used to design time table and optimize the utilization of Trans Jakarta bus capacity in Corridor 1. The analysis is done on some data obtained, both primary and secondary data. Primary data include interviews and field observations, ie the number of stops, the duration of traffic lights, and areas that point to potential obstacles. Secondary data comes from the company, which includes the number of passengers, bus travel history, and bus specifications and capacity. By using time series and linear programming methods, the result shows the differences of travel time in some time period and also not optimal utilization of available bus capacity.
"Tsunami di Palu, Sulawesi Tengah dan di Selat Sunda pada tahun 2018 merupakan dua bencana tsunami terbaru di Indonesia yang diakibatkan oleh longsor di laut. Longsor di laut dapat dipicu oleh aktivitas tektonik di sekitar lereng yang curam. Perairan di timur Pulau Siberut memiliki aktivitas tektonik yang tinggi. Oleh karena itu, penelitian mengenai longsor di dasar laut perlu dilakukan di wilayah ini. Penelitian dilakukan dengan mengidentifikasi struktur geologi dasar laut dari penampang 2D hasil pengolahan data seismik pada line-05 yang diakuisisi menggunakan kapal riset LIPI Baruna Jaya VIII pada ekspedisi kelautan Pre-Tsunami Investigation of Seismic Gap (PreTI-Gap) tahun 2008. Hasil interpretasi penampang seismik menunjukan adanya backthrust di lintasan tersebut. Data batimetri Badan Informasi Geospasial dan data batimetri survey laut digunakan untuk membuat grafik batimetri terhadap panjang lintasan dan peta kemiringan lereng. Analisis menggunakan penampang seismik 2D, data batimetri, dan peta kemiringan lereng menunjukan adanya zona terjal pada 3-5 km dari ujung barat daya lintasan seismik dengan selisih penurunan batimetri sebesar 180 m dan pada 15-16 km dari ujung barat daya lintasan seismik dengan selisih penurunan batimetri sebesar 300 m. Kedua zona terjal ini perlu diwaspadai, karena dapat memicu terjadinya longsor dan dikhawatirkan dapat menyebabkan tsunami.
Tsunamis in Palu, Central Sulawesi and Sunda Strait in 2018 were two most recent tsunami disasters in Indonesia caused by landslide in the ocean. Landslide in the ocean can be triggered by tectonic activity around seabed with steep slopes. The ocean at the east of Siberut Island has high tectonic activity. Therefore, research about seabed landslides needs to be done in this zone. The study identified the seabed geological structure from 2D seismic section, generated from seismic processing of Line-05. The seismic data were acquired using LIPI Baruna Jaya VIII research vessel on the Pre-Tsunami Investigation of Seismic Gap (PreTI-Gap) marine expedition in 2008. Seismic section interpretation shows the presence of backthrust on the line. The bathymetry data from the Geospatial Information Agency and marine survey are used to make bathymetry map, bathymetry charts, and slope map. Analysis using 2D seismic section, bathymetry data, and slope map shows steep zones at 3-5 km from the edge of seismic line in south west with 180 m bathymetry drop and at 15-16 km from south west with 300 m bathymetry drop. These steep zones must be watched because they can trigger submarine landslides and tsunami.
"