Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 151062 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nadia Miranty V.
"Penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian kepustakaan. Pengeluaran Pedoman KPPU tentang Pengecualian Penerapan Undang-Undang Persaingan terhadap Perjanjian yang Berkaitan dengan Waralaba sudah tepat. Klausula dalam perjanjian yang memberi pengaruh buruk bagi persaingan tidak dikecualikan dari Undang-Undang Persaingan supaya tidak bertentangan dengan tujuannya. Ada klausula yang dikecualikan karena esensial untuk menjaga reputasi jaringan waralaba. Perjanjian Waralaba Kebab Turki Baba Rafi mengandung tiga klausula yang berpotensi bermasalah: 1)klausula pembatasan pasokan yang tidak dapat dikecualikan; 2) klausula pembatasan wilayah yang dapat dikecualikan; dan 3)klausula larangan melakukan usaha yang sama setelah berakhirnya perjanjian yang tidak dapat ditentukan dikecualikan atau tidak karena ketidakjelasan indikator waktu.

This thesis uses literature research method. Issuing KPPU Guidelines on Implementation of the Exemption of Competition Law on Agreements Related to Franchise is right. Clauses giving competition bad effect cannot be exempted by Competition Law due to not conflicting its purposes. Clauses that are essential to franchise network can be exempted. Kebab Turki Baba Rafi Franchise Agreement contains three potentially problematic clauses: 1)restriction of supply that cannot be exempted; 2)restriction of area that can be exempted; 3)prohibition to conduct the same business after the agreement ends that cannot be determined to be exempted or not because obscurity of time indicator."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S1285
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Made Indra Sukma Adnyana
"Skripsi ini membahas terkait perbandingan Praktik Monopoli dalam kegiatan usaha Waralaba di negara Indonesia, Amerika Serikat, dan Belanda dengan menganalisis peraturan perundang-undangan yang berlaku, antara lain Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Waralaba, serta peraturan perundang-undangan terkait Waralaba dan Praktik Monopoli di Amerika Serikat dan Belanda. Pembahasan permasalahan dalam skripsi ini berfokus terhadap peninjauan perbandingan pengaturan Waralaba, penyebab terjadinya Praktik Monopoli, dan penanganan Praktik Monopoli yang terjadi di dalam kegiatan usaha Waralaba dengan peninjauan melalui metode yuridis normatif dan penulisan deskriptif. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Praktik Monopoli dapat terjadi dalam kegiatan usaha Waralaba, baik di Indonesia, Amerika Serikat, maupun Belanda berdasarkan kepada perjanjian-perjanjian dalam kegiatan usahanya yang memiliki potensi untuk disalahgunakan sehingga memberikan kerugian dan menciptakan persaingan usaha tidak sehat kepada kompetitornya melalui penyalahgunaan posisi dominan yang dimiliki perusahaan atau pelaku usaha. Oleh sebab tersebut, perlu adanya klausul-klausul yang dapat memitigasi dari adanya unsur-unsur Praktik Monopoli dalam Perjanjian Waralaba yang dibuat para pihak dengan memperhatikan syarat-syarat yang diatur maupun dari adanya pengungkapan terhadap informasi-informasi seputar dugaan Praktik Monopoli yang pernah dialami oleh Penerima Waralaba.

This thesis discusses the comparison of Monopolistic Practices in Franchising business activities in Indonesia, the United States, and the Netherlands by analyzing applicable laws and regulations, including Law Number 5 of 1999 concerning Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business Competition, Government Regulation Number 42 of 2007 concerning Franchising, Minister of Trade Regulation Number 71 of 2019 concerning Franchising, as well as laws and regulations related to Franchising and Monopolistic Practices in the United States and the Netherlands. The discussion of the problems in this thesis focuses on the comparative review of Franchising arrangements, the causes of Monopolistic Practices, and the handling of Monopolistic Practices that occur in Franchising business activities by reviewing through normative juridical methods and descriptive writing. The results of this study show that Monopolistic Practices can occur in Franchising business activities, both in Indonesia, the United States, and the Netherlands based on agreements in business activities that have the potential to be misused to provide losses and create unfair business competition to competitors through the abuse of dominant positions owned by companies or business actors. Therefore, it is necessary to have clauses that can mitigate the existence of elements of Monopolistic Practices in the Franchise Agreement made by the parties by paying attention to the regulated conditions as well as from the disclosure of information about alleged Monopolistic Practices that have been experienced by Franchisees."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Herbayu Yambo
"Usaha waralaba di bidang restoran sudah berkembang pesat sejak tahun 1990 sampai dengan tahun 2002. Semakin banyak restoran waralaba, terutama waralaba asing dapat dilihat dengan melihat merek-merek baru masuk seperti Popeyes Restaurant dan Hartz Chicken Buffet, disamping restoran-restoran waralaba yang sudah eksis
seperti Mc. Donald?s dan Wendy?s Old Fashioned Hamburger. Dengan adanya waralaba asing yang masuk tersebut di atas, maka pengaturan di bidang waralaba sangat penting untuk melindungi penerima waralaba Indonesia dari ketidakseimbangan hak dan kewajiban dalam perjanjian waralaba."
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T16256
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ken Annisa
"Bentuk perjanjian waralaba internasional antara pihak asing dengan pihak Indonesia berdasarkan peraturan tentang waralaba, yaitu adalah perjanjian tertulis. Perjanjian tertulis tersebut dibuat dalam bahasa Indonesia dan terhadapnya berlaku hukum Indonesia. Hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam perjanjian waralaba internasional adalah melaksanakan hak dan kewajiban yang terdapat dalam perjanjian tertulis yang diadakan oleh para pihak Para pihak dalam perjanjian waralaba internasional juga melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta asas-asas yang mendasari perjanjian waralaba. Penyelesaian sengketa terhadap permasalahan yang terjadi dalam perjanjian waralaba internasional antara Kentucky Fried Chicken International Holdings Inc. dengan PT. Fastfood Indonesia Tbk. pada dasarnya akan diselesaikan berdasarkan musyawarah. Apabila musyawarah tersebut tidak mencapai kata sepakat, maka para pihak sepakat untuk membawa sengketa teresebut kepada Singapore International Arbitration Center (SIAC)."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16337
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Monica Kusumadevi
"Kegiatan waralaba diawali dengan dibuatnya perjanjian waralaba secara tertulis yang ditandatangani oleh para pihak. Pembuatan perjanjian waralaba ini menerapkan asas kebebasan berkontrak yang berarti para pihak dapat menentukan isi perjanjian tetapi tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan, hal ini merupakan implemantasi dari syarat sebab yang halal yang merupakan salah satu syarat sahnya perjanjian. Sebagai pelaku usaha yang tujuannya untuk mencari keuntungan, para pihak dalam perjanjian waralaba juga harus tunduk pada hukum persaingan usaha. Namun, sistem waralaba ini dikecualikan untuk tunduk terhadap UU No. 5 Tahun 1999 ini, hal ini dicantumkan dalam Pasal 50 huruf b. Kemudian dalam praktiknya, terdapat klausul-klausul dalam perjanjian waralaba yang berpotensi mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat, maka dibuat Pedoman Pasal 50 huruf b UU No. 5 Tahun 1999 mengenai pembatasan terhadap pengecualian Pasal 50 huruf b, tetapi pedoman ini tidak dapat mengikat secara umum karena dibuat bukan berdasarkan perintah perundang-undangan yang lebih tinggi. Menurut pedoman ini klausulklausul dalam perjanjian waralaba yang dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat tidak dikecualikan untuk tunduk pada UU No. 5 Tahun 1999. Untuk menghindari adanya persaingan usaha yang tidak sehat, perjanjian waralaba tetap harus berpedoman pada UU No. 5 Tahun 1999. Pendekatan dalam skripsi ini dilakukan dengan menggunakan analisis berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku, serta membandingkannya dengan peraturan waralaba yang berlaku di Inggris. Inggris tidak memiliki peraturan yang secara spesifik mengatur mengenai waralaba, hanya terdapat kode etik yang dibuat oleh organisasi nirlaba yang bergerak di bidang waralaba. Setelah melakukan perbandingan, kemudian dilakukan analisis suatu perjanjian waralaba antara PT SAT dan HM untuk menilai klausul-klausul yang terdapat di dalamnya apakah sesuai dengan prinsip persaingan usaha atau tidak. Berdasarkan analisis perjanjian waralaba PT SAT dan HM tidak melanggar prinsip persaingan usaha.

Franchise business activities are started from the making of a written franchise agreement that is signed by both or more of the parties. The writing of this agreement puts forth the principle known as freedom of contract, which means the parties are free to determine the body of the contract as long as it does not contradict with the law, general order, and moral decency. This principle is an implementation towards the good cause as one of the condition for the licit agreement. As an entrepreneur who aims for profit, the parties involved should binds themselves to competition law. But, franchise itself is an exception for Law No. 5 Year 1999, as ruled in article 50 letter (b). And also in practice, there are clauses that could potentially cause an unfair practice in the franchise agreement, so therefore an Implementing Guidelines for Article 50 letter (b) Law No. 5 Year 1999 regarding boundaries for the exception ruled out in article 50 letter (b). But this implementing guideline can?t bind in general because it is made not from command of the higher law. According to this guidelines, the clause in a franchise agreement that may cause an unfair practice is not an exception to bind to Law No. 5 Year 1999. To avoid an unfair practice, the franchise agreement must be in accordance to Law No. 5 Year 1999. This thesis is approached by analyzing governing law, and by comparing it with the British franchise regulation. The British did not have any regulation that is specifically governs franchising, but there are only code of ethics that is created by a non-profit organization that moves in the franchising field. After the comparison, an analysis to a franchise agreement between PT. SAT and HM is done to assess the clauses that is in the body of the agreement, whether or not it is in accordance to competition law principle or not. According to the analysis, the franchise agreement between PT. SAT and HM did not violate the competition law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S42339
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Fahira Zahara Ghassani
"Sebelum menjalankan bisnis waralaba, para pihak harus membuat perjanjian waralaba dalam bentuk tertulis yang bertujuan untuk melindungi kepentingan para pihak dan dapat digunakan sebagai alat bukti apabila para pihak adan yang melakukan wanprestasi. Namun, masih terdapat pelaku usaha waralaba yang membuat perjanjian dalam bentuk tidak tertulis atau lisan, meskipun PP 42/2007 dan Permendag 71/2019 menghendaki perjanjian dalam bentuk tertulis. Hal inilah yang menjadi pertentangan diantara franchisor dan para franchisee yang terlibat dalam bisnis waralaba sebagaimana hal tersebut dituangkan dalam Putusan No. 52/Pdt.G/2019/Pn. Jkt. Pst jo. Putusan No. 396/PDT/2021/PT DKI. Selain itu, perjanjian waralaba tersebut melibatkan pihak asing sebagai franchisor dan pihak di Indonesia sebagai franchisee. Akan tetapi selama kegiatan usaha waralaba berlangsung, para pihak juga telah membuat suatu perjanjian term sheet yang hanya ditulis dalam bahasa Inggris, meskipun hal tersebut bertentangan dengan UU 24/2009. Hal inilah yang memicu pertentangan mengenai keabsahan dari perjanjian waralaba dan perjanjian yang hanya dibuat dalam bahasa asing. Selain itu, franchisor dalam kasus ini melakukan pemutusan kerjasama secara sepihak tanpa meminta pembatalan melalui permohonan di pengadilan yang merugikan franchisee . Oleh karena itu, perlu meneliti mengenai keabsahan perjanjian waralaba yang menjadi dasar bagi perlindungan hukum franchisor dan franchisee.

Franchising is a business system that makes it easy for entrepreneurs to expand their marketing. Therefore, before running a franchise business, the parties must make a franchise agreement that aims to protect the interests of the parties properly. A franchise agreement made in written form can be the basis or evidence if one of the parties defaults. However, there are still franchise businesses that make agreements in the form of unwritten or verbal actors, even though PP 42/2007 and Permendag 71/2019 require written agreements. This is what becomes between the franchisor and the franchisees involved in the franchise business as stated in verdict No. 52/Pdt.G/2019/Pn.Jkt.Pst jo. verdict No. 396/PDT/2021/PT DKI. In addition, the franchise agreement involves a foreign party as the franchisor and a party in Indonesia as the franchisee. However, during the franchise business activity, the parties have also made a term sheet agreement which is only written in English, even though this is contrary to Law 24/2009. This only applies to the validity of agreements and agreements made in foreign languages. In addition, the franchisor in this case terminates the cooperation unilaterally without asking for a request through the court which is detrimental to the franchisee. Therefore, it is necessary to examine the validity of the franchise agreement which is the basis for the legal protection of franchisors and franchisees."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Angel Brigitta SR
"ABSTRAK
Perjanjian franchise adalah suatu bentuk kerjasama di bidang bisnis antara dua pihak yaitu franchisor (pihak pemberi hak franchise) dan franchisee (pihak penerima hak franchise). Perjanjian franchise tidak diatur dalam KUHPerdata melainkan timbul dari kebutuhan masyarakat dan praktek kebiasaan. Buku III KUHPerdata merupakan hukum pelengkap atau optional law yang artinya pasal- pasal dalam hukum perjanjian boleh dikesampingkan apabila para pihak yang membuat perjanjian dan ingin membuat ketentuan sendiri menyimpang dari ketentuan pasal-pasal hukum perjanjian. Mengenai kedudukan pihak franchisee didalam perjanjian franchise adalah tidak dapat disejajarkan dengan kedudukan penerima kuasa dalam suatu perjanjian pemberian kuasa (Pasal 1792-1819 KUHPerdata).

ABSTRACT
Franchise agreement is a form of business co-operation between two parties which are franchisor (the party of the franchise right giver) and franchisee (the party of franchise right receiver). Franchise agreement is not regulated on Indonesia civil code, but emerged by society's needs and customs. The 3rd book of Indonesia Civil Code is an optional law that the articles may be excluded if the parties make the provisions personally deviant from the provisions of Law of contract. Concerning the position of franchisee in franchise agreement shall not be compared with the position of the mandate receiver (Articles 1792-1819 Indonesia Civil Code)."
Depok: [Fakultas Hukum Universitas Indonesia, ], 2010
S21110
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
"[Penulisan ini menelaah tentang perlindungan hukum kepada Franchisee terhadap klausula perjanjian yang dibuatnya dengan franchisor dengan menggunakan contoh kasus analisis perjanjian waralaba antara PT Pioneerindo Gourmet International Tbk dengan PT Artisan Wiraversa. Dalam waktu yang sangat singkat Penulis mencoba untuk membahas mengenai pemberlakuan perjanjian baku, antara PT Pioneerindo Gourmet International Tbk selaku franchisor untuk kemudian diberlakukan kepada PT Artisan Wiraversa selaku Franchisee. Keadaan bahwa berakhirnya perjanjian berdasarkan jangka waktu telah berakhir tetapi juga dapat diakibatkan oleh pemutusan perjanjian oleh salah satu pihak. Namun demikian dalam kondisi-kondisi tertentu franchisor telah mempersiapkan klausula-klausula baku yang berupaya untuk memberikan perlindungan terhadap kepentingan bisnisnya, sebagai contoh apabila perjanjian telah berakhir oleh sebab jangka waktu yang telah terlampaui dimana pihak Franchisee berkeinginan untuk memperpanjang perjanjiannya. Franchisee dalam keadaan seperti ini tidak memiliki bargaining yang sepadan dengan pihak franchisor, manakala franchisor menyatakan menolak untuk memperpanjang perjanjian. Penolakan tersebut meskipun dalam perjanjian ditentukan untuk menyebutkan alasannya tetapi dalam prakteknya franchisor dapat mengemukakan berbagai macam alasan yang pada intinya adalah tetap menolak permohonan Franchisee untuk memperpanjang perjanjian tersebut. Selama ini dalam perjanjian Franchise lebih memberikan kewenangan hak untuk pemutusan hubungan oleh franchisor dengan alasan alasan tertentu. Uraian tersebut hanyalah merupakan salah satu contoh dan bentuk pengakhiran perjanjian Franchise yang lazim diketahui dan oleh karenanya penulis mencoba untuk melakukan telaah dengan berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pengaturan perjanjian Franchise ini. Sampai saat ini terdapat beberapa ketentuan umum yang menjadi referensi pengaturan Franchise di Indonesia, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2007 tentang Waralaba (Franchise); Kitab Undang-Undang Hukum Perdata; Undang-undang Nomor 15 tahun 2001 tentang Merek; Undang-undang Nomor 2 tahun 1992 tentang Usaha Asuransi; dan Peraturan Menteri Perdagangan Republik
Indonesia Nomor 53 tahun 2012 tentang Waralaba. Penulis dalam hal ini mencoba untuk menggali secara lebih dalam dengan mengkhususkan diri dalam pembahasan bidang hukum keperdataan dengan menelaah konsekuensi secara praktis antara isi dari perjanjian Franchise yang telah dibuat oleh pars pihak dengan realitas keberimbangan substansi perjanjian bagi pars pihak, atau dengan kata lain sejauh mana fairness yang diberikan oleh perjanjian kepada Franchisee. Penelahaan ini hanya dikhususkan pada perlindungan hukum kepada Franchisee, dan juga melihat keberimbangan antara hak dan kewajiban Franchisee.
Franchisee memiliki harapan dan keinginan akan profit tetapi apakah hal ini sama dengan keinginan franchisor. Atas dasar perbedaan kepentingan ini, maka dalam penelitian ini penulis berupaya untuk menganalisis secara lebih dalam perspektif pembahasan yang bersifat normatif yuridis.
, It analyzes the writing of legal protection to the franchisee the clause agreements
made by the franchisor with examples from the analysis of the franchise agreement between PT Pioneerindo Gourmet International Tbk and PT Artisan Wiraversa. In a very short time the author tries to discuss the application of standard agreements, in particular the clause agreements previously been 'prepared by PT Pioneerindo Gourmet International Tbk, the franchisor's then applied to PT Artisan Wiraversa as a franchisee. State that the expiration of the agreement based on the period has expired but can also be caused by the termination of
the agreement by either party. However, under certain conditions, the franchisor has prepared standard clauses that seek to provide protection against business interests, for example, if the agreement had expired and therefore the elapsed time period in which the franchisee wishes to extend the agreement. Franchisees in this state does not have a bargaining commensurate with the franchisor, the franchisor when states refuse to extend the agreement. The rejection although the agreement is determined to say why, but in practice the franchisor can express a variety of reasons that are essentially fixed franchisees rejected the request to extend the agreement. During this time the franchise agreement is the right to authorize termination by the franchisor with specific reasons. The description is just one example of the shape of the termination of the franchise agreement commonly known and therefore the authors are trying to do with the study based on the laws and regulations related to setting the franchise agreement. Until now, there are some general rules that references the franchise arrangements in Indonesia, namely Government Regulation No. 42 of 2007 on Franchise (Franchise); Code of Civil Law; Law No. 15 of 2001 on Marks; Act No. 2 of 1992 on Insurance Business; and Regulation of the Minister of Trade of the Republic of Indonesia Number 31 of 2008 on Franchise. The author in this case trying to dig deeper to specialize in the field of civil law discussion by reviewing the consequences of praxis between the contents of the franchise agreement that has been made by the parties to the reality of a balance in the substance of the agreement for the parties, or in other words the extent of fairness granted by the agreement to the franchisee. Is solely devoted to the review of legal protection to the franchisee, and also see a balance between the rights and obligations of the franchisee. Franchisees have the hope and the desire for profit but whether it is the same with the franchisor wishes. On the basis of the difference in interest in addressing the state of the termination of this agreement, then in this study the authors attempted to analyze in a deeper perspective of normative juridical discussion.]"
Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>