Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 104740 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
S4831
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Uus Usman
"Bentuk dasar strategi kebijakan luar negeri Turki yang tertuang dalam program kerja pemerintahan koalisi DSP-MI-IP-ANAP maupun pemerintahan AKP sebagai penggantinya tetap mengutamakan kebijakan politik luar negeri yang bebas dan aktif serta diorientasikan untuk berintegrasi dengan negara-negara Barat. Prinsip dasar "peace at home, peace in the world" yang merupakan motto Bapak pendiri Turki Kemal Ataturk secara konsisten tetap menjadi landasan utama dalam implementasi kebijakan politik luar negerinya tersebut. Dalam hal ini, Turki telah mengalami sejarah yang cukup panjang dalam hal kerjasama dengan negara-negara Barat dan Amerika. Seperti pada awal terjadinya krisis di kawasan Teluk, Turki telah mengambil sikap yang tegas sejalan dengan sikap negara-negara barat dan Amerika.
Selain itu, AS secara intensif turut membantu dalam hal menekan negara-negara Eropa terhadap proses keanggotaan Turki di EU dan berusaha memfasilitasi proses perdamaian dalam persengketaan di Pulau Siprus, serta membantu Turki dalam upaya menekan aksi-aksi pemberontakan suku Kurdi (PKK) di perbatasan. Gambaran situasi tersebut di atas mengindikasikan bahwa bentuk kebijakan politik luar negeri yang dihasilkan oleh pemerintahan Turki dan AS mengarah pada sebuah bentuk konformitas dan saling memberikan dukungan pada politik luar negeri masing-masing kedua negara.
Akan tetapi, perbedaan pendekatan dalam menyikapi masalah krisis Irak yang semakin menonjol pada akhir tahun 2002 lalu, menjadi titik balik dalam hubungan kedua negara. Kampanye perang AS terhadap Irak yang ditanggapi secara hati-hati oleh pemerintah baru Turki (AKP), semakin memperlebar jurang pemisah dalam hubungan strategis kedua negara. Seperti diketahui, parlemen Turki menolak membuka front utara dari Turki bagi pasukan AS untuk kepentingan penyerangan ke Irak.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan faktor-faktor yang mempengaruhi para pembuat kebijakan Turki (Parlemen) hingga memutuskan untuk menolak draft penempatan pasukan AS di wilayah Turki untuk kepentingan invasi ke Irak ketimbang mendukungnya. Gambaran tentang pergeseran arah kebijakan politik luar negeri tersebut di atas ditinjau dari sisi persepsi sebagian besar anggota Parlemen sebagai sekelompok pemegang kebijakan, yang memberikan tanggapan dan penilaian pada realitas invasi AS sesuai dengan apa yang mereka ketahui.
Temuan dalam tesis ini antara lain menyebutkan bahwa dengan Keputusan Parlemen Turki (TGNA) yang menolak kedatangan 62.000 pasukan militer AS yang akan ditempatkan di tapal batas dengan Irak, merupakan sebuah akibat dari persepsi negatif yang terbentuk dikalangan mayoritas anggota Parlemen terhadap rencana invasi Amerika. Terbentuknya persepsi negatif tersebut disebabkan oleh serangkaian citra tentang realitas invasi yang ternyata dianggap telah melanggar nilai-nilai dan prinsip-prinsip Dewan Keamanan PBB, tidak sesuai dengan sikap mayoritas mayarakat Turki yang menentang perang, memperbesar kekhawatiran akan terjadinya destabilisasi suku Kurdi di wilayah perbatasan serta membangkitkan kembali kenangan masa lalu dimana Turki mengalami kerugian ekonomi setelah bersekutu dengan Amerika Serikat pada krisis Teluk Persia 1991.

Basic strategy of the Turkish foreign policy mentioned in its action plan of coalition government among Democratic Left Party (DSP) Nationalist Movement Party (MI-IP) Motherland Party (ANAP) as well as Justice and Development Party (AKP)'s government as the subsequent administration mainly exercises "Free and Active" policy and western-orientation. "Peace at home, peace in the world" as the basic principle developed by Turkish founding father, Kemal Attaturk, consistently remains the major foundation in implementing its foreign policy. In this regard, Turkey has a long history in building a close relationship with West and United States of America (US). At the beginning of the taking place a crisis in Gulf region, for the example, Turkey adopted a firm behavior, which was in harmony with the policy taken by West countries and US.
In addition, US intensively supports Turkey in giving pressure toward European Union (EU) related with Turkey's membership in EU and mediates peace process concerning Cyprus dispute as well as helps Turkey to press rebel actions of Kurds in the border line. The condition mentioned above indicates that resulting foreign policy between Turkey and US tends to form conformity one and support each other.
However, different approach in responding Iraqi crises dominantly at the end of 2002 became a turning point in the relationship of both countries. War campaign of US against Iraq responded carefully by the new administration in Turkey (AKP) widened some discrepancy concerning a strategic relationship of the countries. As we know, Turkish parliament refused to provide its land for US troops to attack Iraq from north front.
This research aims to describe factors influencing the decision makers of the Turkish parliament so that it decided to refuse a draft of the US troop deployment in Turkish Land for the sake of attacking Iraq rather than supporting it. The writer describes that shift in Turkish foreign policy from the perception of major Turkish parliament member's point of view as a group of decision makers providing respond and judgment on US invasion.
Findings of his research conclude that Decision of Turkish Parliament (TGNA) opposing the deployment of 62.000 US military troops positioned in Turkey's border line with Iraq was a result of negative perception of Turkish Parliament member majority regarding US attack plan. That perception is due to a set of images on US invasion having been regarded in violation of US Security Council values and principles, disagreement with the majority of Turks aspiration who opposed the invasion, enlarging fear of destabilization among Kurds in the border line as well as reviving past experience in which Turkey got a loss when the country allied US during Gulf Crises of 1991.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T14770
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chairil Patria
"Hubungan yang strategis antara Turki dan Amerika Serikat telah terjalin sejak Perang Dunia II. Akan tetapi pada waktu tertentu, kebijakan Turki mengalami perubahan atau pasang surut di dalam merespons kebijakan Amerika Serikat. Seperti misalnya dalam Perang Teluk I tahun 1991, Turki sangat mendukung kebijakan Amerika Serikat dalam serangan ke Irak, akan tetapi pada Perang Teluk tahun 2003, Turki tidak mendukung bahkan menentang kebijakan Amerika Serikat untuk menyerang Irak. Meskipun dijanjikan hal yang sama seperti dalam Perang Teluk 1 yaitu paket bantuan ekonomi yang besar dari Amerika Serikat ke Turki, sikap Turki pada Perang Teluk tahun 2003 sangat berbeda dengan sikap Turki pada tahun 1991. Tesis ini disusun untuk meneliti permasalahan bagaimana kebijakan Turki merespons Perang Teluk yang terjadi baik pada tahun 1991 maupun 2003 dimana terdapat perbedaan yang besar di antara kedua peristiwa tersebut baik dilihat dan segi penyebab maupun cara serangan yang dilakukan terhadap Irak.
Metode yang digunakan dalam penulisan ini disusun dari segi pengumpulan data dan analisanya. Dari segi pengumpulan data, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan, sedangkan dari segi analisa data, metode yang digunakan adalah analisa eksplanatif. Sedangkan konsep yang dipakai dalam penelitian ini adalah kebijakan luar negeri yang menggunakan teori K.J. Holsti sebagai rujukan ulama seperti yang ditulis dalam bukunya Inlernalional Polities : A Framework for Analysis. Lebih lanjut menurut K.J. Holsti, dari sebuah kebijakan luar negeri, terdapat dua faktor yang mempengaruhi yaitu faktor eksternal/sistemik dan faktor internal/domestik. Selain teori Holsti, penulis juga memaparkan teori-teori lain mengenai kebijakan luar negeri sebagai pendukung.
Penulis menemukan banyak hal penting dalam melakukan studi ini dimana kebijakan Turki terhadap serangan Amerika Serikat ke Irak tahun 2003 adalah sebuah dilema. Hal ini disebabkan faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri Turki berubah. Serangan yang dilakukan Amerika Serikat ke Irak antara tanggal 20 Maret sampai dengan 1 Mei 2003 itu dinilai seharusnya mendapat dukungan Turki sebagai salah satu sekutu dekatnya di kawasan tersebut namun di lain pihak, karena adanya penolakan dari negara-negara Uni Eropa seperti Jarman dan Perancis terhadap rencana serangan tersebut, menjadi mempengaruhi pemikiran elite Turki terutama jika dikaitkan dengan pengalaman buruk Turki dengan Amerika Serikat pasca Perang Teluk tahun 1991. Selain itu, keinginan kuat Turki untuk menjadi anggota Uni Eropa menambah kebingungan Turki dalam mengambil sikap ke arah mana kebijakan luar negeri Turki : pro Amerika Serikat atau pro Eropa ? Berdasarkan hasil analisa penulis, sikap ketidakikutsertaan Turki dengan menolak wilayahnya dijadikan basis pangkalan militer Amerika Serikat untuk menyerang Irak pada tahun 2003 merupakan sebuah pengecualian dari hubungan persekutuan yang strategis antara Amerika Serikat dan Turki selama ini. Dan beberapa faktor yang ada, faktor internal/domestiklah yang merupakan faktor dominan yang mempengaruhi kebijakan Turki terhadap serangan Amerika Serikat ke Irak khususnya karena kondisi perekonomian Turki yang dilanda krisis parah sejak tahun 2001.
Sebagai penutup, setelah serangan ke Irak terjadi dan rezim Saddam Hussein jatuh pada bulan Mei 2003, sikap Turki menjadi inkonsisten karena kemudian Turki membantu Amerika Serikat mengerahkan pasukannya ke Irak pada bulan Oktober 2003 dengan tujuan untuk stabilisasi di Irak. Kenyataan bahwa meskipun Amerika Serikat banyak dikecam oleh rakyat Turki atas langkah-langkah yang dilakukannya terhadap Irak, Turki tetap masih bergantung kepada Amerika Serikat dengan alasan Amerika Serikat adalah sekutu dekatnya dan sebagai negara super power di dunia baik di bidang ekonomi maupun di bidang militer. Kembalinya dilihan Turki kepada Arnerika Serikat -setelah penolakan Parlemen Turki kepada rencana serangan Amerika Serikat tidak lain adalah karena ketergantungan Turki yang besar secara ekonomi dan keamanan kepada Amerika Serikat. Pengiriman pasukan Turki ke Irak tersebut kembali dilakukan setelah adanya Perjanjian Keuangan antara Turki dan Amerika Serikat tanggal 22 September 2003 dimana Amerika Serikat menyediakan pinjaman uang kepada Turki sebesar 8,5 milyar dollar AS untuk membantu reformasi ekonomi di Turki. Di lain pihak, terdapat keinginan Turki yang kuat untuk menjadi anggota Uni Eropa seperti yang ditegaskan dalam tujuan utama kebijakan Turki. Hal ini juga dimaksudkan Turki untuk segera menuntaskan krisis ekonominya sehingga timbul kesan Turki ingin meraih kedua tujuan tersebut padahal sikap Eropa dan Amerika Serikat pada saat serangan Amerika Serikat ke Irak pada tahun 2003 sangat bertolak belakang dimana Eropa menentang penanganan masalah Irak secara sepihak oleh Amerika Serikat."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14100
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sagala, Hasan Basri
"Walaupun hingga hari ini bukti bahwa tuduhan Pemerintahan Amerika Serikat dibawah Presiden Geroge Walker Bush yang menuduhkan negara Irak memiliki dan mengembangkan persenjataan pemusnah massal belum terbukti, namun isu inilah yang dijadikan pemerintahan Amerika Serikat dan sekutunya untuk tetap melakukan invasi terhadap Irak sekaligus mengganti pemerintahan otoriter Saddam Husein dan membentuk pemerintahan "demokratis" AS. Berbagai kecaman dan dukungan pada awalnya mengalir dari berbagai negara ketika invasi akan digelar tidak terlepas pada rakyat AS sendiri. Inggris yang merupakan negara sekutu AS berada paling depan untuk mendukung aksi ini, sementara Perancis, Jarman dan Rusia juga sebagian besar negara Uni Eropa menginginkan diutusnya kembali tim inpeksi untuk menyelidiki tuduhan tersebut. Beberapa Tim Inpeksi telah diturunkan baik yang dibentuk oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan pihak AS sendiri. Hasilnya Irak tidak terbukti sedang memiliki dan mengembangkan persenjataan pemusnah massal seperti yang dituduhkan pemerintahan AS.
Berdasarkan pada teori kebijakan luar negeri yang mengatakan bahwa faktor pemimpin sangat berperan dalam pembuat kebijakan luar negeri (foreign policy decision making), maka permasalahan utama yang penulis angkat dalam penelitian ini adalah faktor-faktor internal dan eksternal apa saya yang mendukung Pemerintahan AS terutama bagi George W Bush sehingga tetap memilih langkah penyelesaian dengan cara perang untuk memusnahkan persenjataan pemusnah massal Irak. Padahal hat itu jelas belum terbukti. Penelitian dalam tesis ini adalah penelitian kualitatif (Qualitative Research) dengan jenis case studies. Paradigma penelitian yang digunakan adalah kontruktivisme, sementara data-data yang ambit adalah data-data primer dan sekunder yang diperoleh dari domukentasi. Penelitian ini dianalisa dengan menggunakan metode hermeneutic interpretative. Sementara tingkat analisa yang dilakukan yaitu analisa reduksionis dan korela sionis.
Dari berbagai data yang dimunculkan, terdapat beberapa faktor yang mendorong pemerintahan AS dibawah George W Bush dalam menginvasi Irak. Diantaranya, perrama, sejarah masa lalu pemerintah AS pada masa George Bush (Bush Senior) belum berhasil menjatuhkan pemerintahan Saddam Husein sehingga George W Bush (Bush Junior) berupaya mewujudkan impian ayahnya itu. Kedua, secara geopolitik Presiden Saddam Husein diyakini masih menjadi ancaman serius bagi hegemoni AS di Timur Tengah khususnya bagi Negara Israel. Pengalaman Perang Teluk memberikan pelajaran berharga bagi mereka. Ketiga, Secara ekonomi, Irak diyakini memiliki cadangan minyak terbesar kedua setelah Arab Saudi, hat ini menjadi daya tarik tersendiri untuk menguasai Irak. Keempat, Kampanye perang melawan jaringan terorisme internasional masih menjadi isu aktual tintuk memelihara posisi AS sebagai polisi dunia atau setidaknya menjadikan negaranya masih dianggap perlu dalam menjaga perdamaian dunia.

Up till now, even though the evidence of accusations of US government under it's president George Walker Bush that accuse Iraq owns and develops weapons of mass destruction hasn't been proved,However because of this issue, U.S and it's allied not only keep doing the invasion to Iraq but also alter the authoritarian government of Saddam Hussein and fond U.S democratic government. Many criticism and endorsements come from many countries when this invasion will be done,even U.S societies them selves. England is as U.S allied country stays in the front side to back up this action, while France, German and Russia also most Europe of Union Countries are eager to be redelegated the inspection team to investigate the accusation. Some inspections team have been dropped both formed bay united nation organization (UNO) and U.S it self As the result Iraq wasn't proved that it owns and develops weaponry of muss distruction as accused by U.S government.
Based on the foreign policy theory said that leader factor has a role in foreign policy decision making, so the main problem that writer discusses in this research is what the internal and external factors thack back up us government mainly for George W. Buch, so that he keeps choosing the problem solving by war to annihilate Iraq weaponry of muss distruction, whereas the case hasn't been proved. The research of this thesis is qualitative research by using case study. Contructivism is used by research paradigm. While the data are primer and seconder data that gained from documentation. This research is analyzed by using hermeneutic interpretative method while the grade that done is reductions and correlation analysis."'
From the data that gained, some factors support us Government under it's George Walker Bush in Invasion to Iraq. First, the past history U.S Government under it's George Bush (senior Bush) hadn't succeeded to over throw the Saddam Hussein Government. so that George W Bush (Junior Bush) gets effort to realize his father's dream. Second, Geopolitically President Saddam Hussein is still assumed as serious threat for U.S hegemony in Middle East Especially for Israel. The experience of Gulf War gives them the valuable lesson. Third, Economically, Iraq is assumed owns the biggest oil reserve after Saudi Arabia, this becomes the power anntraction to colonialist Iraq. Fourth, the war campaign against international terrorism network still to be actual issue to keep U.S position as world policy, at least makes the country still considered to be able to keep world peace.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T15095
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irfan Maulana
"Politik luar negeri Iran pada masa Presiden Khomeini memang menarik untuk dibahas. Iran di bawah kepemimpinannya ingin memainkan peranan yang besar di kawasan Teluk Persia, dan berusaha untuk terus meningkatkan hubungannya dcngan negara-negara lain. Terlebih ketika ketika aksi Amerika menyerang Irak pada Maret 2003.
Secara geografis, Iran diapit oleh negara-negara pro-AS. sedangkan hubungan Iran-AS sendiri kian memanas. Satu sisi lain, Irak sebagai kaum sesama Arab, tapi juga musuh lama Iran. Dengan demikian, politik luar negeri Iran pada Perang Teluk II bersikap netral dan tidak memihak pada satu pihak tertentu. Posisi Iran yang serba dilematis membuat politik luar negeri Iran bersikap demikian. Uniknya, politik luar negeri Iran sangat bergantung dari faktor internal Iran sendiri.
Tulisan ini berusaha mengeksplorasi politik luar negeri Iran di kawasan Timur Tengah pada umumnya, dan terhadap serangan AS ke Irak secara khusus. Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana politik luar negeri Iran terhadap serangan AS ke Irak pada tahun 2003, dan faktor-faktor apa yang secara signifikan mempengaruhi politik luar negeri Iran terhadap serangan AS ke Irak pada tahun 2003.
Kerangka pemikiran yang digunakan untuk menjelaskan semua ini adalah teori kebijakan luar negeri dan konsep kepentingan nasional. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa Iran bersikap netral terhadap serangan AS ke Irak. Hubungan Iran dengan negara tetangga dan Uni Eropa membaik, kecuali dengan AS yang kian meruncing. Dalam tesis ini juga dibahas tentang faktor-faktor internal yang banyak mempengaruhi politik luar negeri Iran, dan faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi sikap politik luar negeri Iran terhadap serangan AS ke Irak."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T22649
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Septiana Pratiwi
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai Politik Luar Negeri George Walker Bush: Studi Kasus Invasi Amerika Serikat terhadap Irak 2003. Penelitian ini adalah penelitian sejarah politik. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi dengan menggunakan sumber- sumber tertulis. Hasil dari penelitian ini menjelaskan bahwa peristiwa invasi Irak ke AS yang dimulai pada 19 Maret 2003 merupakan upaya AS untuk menjaga kepentingan politik nasional maupun internasional AS di kawasan Timur Tengah, khususnya Irak. Selain itu, dalam penelitian ini juga membahas bagaimana proses perencanaan penyerangan AS ke Irak yang didukung oleh kelompok neokonservatif, hawkish, inggris, dan organisasi lobi seperti AIPAC. Proses perencanaan hingga terjadinya penyerangan AS untuk menginvasi Irak banyak dilakukan oleh CENTCOM salah satunya melalui OPLAN 1003. Penelitian ini juga menitikberatkan pada dampak adanya peristiwa Invasi AS terhadap Irak pada tahun 2003 terhadap masalah ekonomi, politik, dan sosial.

ABSTRACT
This study discusses the Foreign Policy of George Walker Bush: A Case Study on United States Invasion Towards Iraq in 2003. This research is a study of political history. The method used in this study is historical methods, namely heuristics, criticism, interpretation, and historiography using written sources. The results of this study explain the invasion of Iraq which began on March 19, 2003 is an effort for national and international political interests in the Middle East region, specifically Iraq. In addition, in this study also discussed how to plan US attacks on Iraq supported by neoconservative, hawkish, British and lobby organizations such as AIPAC. The planning process to spend US attacks on invading Iraq was mostly carried out by CENTCOM, one of them through OPLAN 1003. This research also focused on when it involved the participation of the US invasion of Iraq in 2003 on economic, political and social issues."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Agustina
"Invasi Amerika Serikat atas Irak mendapat dukungan penuh dari Inggris. Walaupun mendapat banyak kecaman dari kalangan domestik Inggris maupun internasional, tetapi Inggris tetap mempertahankan dukungan tanpa mengindahkan kecaman tersebut. Sehingga yang menjadi pokok permasalahan adalah mengenai alasan Inggris dalam mendukung invasi AS. Penelitian ini bertujuan menemukan data yang signifikan yang dapat menggambarkan dukungan Inggris dalam invasi ke Irak dan untuk mengetahui bagaimana sesungguhnya hubungan antara AS dan Inggris. Pertanyaan dalam penelitian ini adalah mengapa Inggris khususnya PM Tony Blair tetap bersikeras mendukung AS dalam invasi AS ke Irak Maret 2003.
Penelitian ini menggunakan teori mengenai analisis kebijakan luar negeri,di mana kebijakan luar negeri Inggris tentang Perang Irak itu dipengaruhi oleh empat variabel yaitu variabel individu, peran, pemerintahan dan sistemik atau eksternal. Metode Penelitian yang digunakan menggunakan metode penelitian eksplanatif, di mana berusaha menjelaskan tentang dukungan Inggris dalam invasi AS ke Irak. Sedangkan format penelitian yang digunakan dalam meneliti dukungan Inggris tersebut menggunakan studi kasus.
Dari berbagai data yang dimunculkan, terdapat beberapa faktor yang mendorong pemerintahan Inggris dibawah Tony Blair dalam mendukung invasi AS ke Irak. Secara domestik, Blair bermaksud mengurangi kritik Partai Konservatif yang selama ini dekat dengan AS, kepentingan Inggris dalam bisnis dan kepentingan mengenai minyak juga merupakan faktor pendorong. Selain itu, Blair juga menjadikan dukungan tersebut sebagai kesempatan untuk tampil lebih aktif dalam kancah politik internasional sehingga memperkuat pengaruh Inggris dalam dunia internasional.
Sedangkan secara faktor eksternal, dukungan Inggris karena dipengaruhi oleh perubahan tata dunia pasca 11 september 2001 dimana terorisme dinyatakan sebagai ancaman global. Doktrin Bush yang bersifat unilateral juga membuat Inggris mengambil kebijakan untuk turut serta dalam invasi. Terakhir, Adanya lobi zionis dalam realisasi perang Irak ikut menjadi faktor yang mendorong Inggris ikut serta dalam invasi AS ke Irak.

The invasion of the United States of America over Iraq has obtain full support from England, even though it gets a lot of objections from domestic circles in England as well as internationally. But England still maintains its support without paying any attention to those objections. Therefore the subject matter is about the reason by England in supporting US invasion. This research is aimed to find out significant data that can picture out the support of England in invasion to Iraq and to find out how in reality the relation between US and England. The question in this research is why England, particularly the Prime Minister Tony Blair still insists on supporting US in its invasion to Iraq on March 2003.
This research uses theory on foreign policy analysis, whereas the foreign policies of England on that Iraq War is affected by four variables namely the variable of individual, role, governance and systematic or external. The research method used is by using explanative research method, whereas this tries to explain on England?s support on US invasion to Iraq. As for research format used in researching that England?s support uses study case.
From various data withdrawn upon, there are several factors that encourage the governance of England under Tony Blair in supporting US invasion to Iraq. Domestically, Blair intends to reduce conservative party criticisms thus far so close to US, England?s interests in business and the interests on oil is also the supporting factor. Besides that, Blair also makes that support as an opportunity to rise up more actively in international political area thus strengthening England?s influences in international world.
As for the external factor, England?s support is affected by the world structural changes post September 11, 2001, whereas terrorism is certified as global threat. Bush doctrine, which is unilateral, also makes England taking the policies to follow suit in the invasion. Finally, the existence of Zionist lobby in the realization of Iraq War also has become the factor encouraging England participating in US invasion to Iraq."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2007
T22727
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Tahrul Anam
"Penelitian ini dilatar belakangi oleh kontroversi kasus Irak yang bersumber dari sikap Amerika Serikat yang berambisi menjatuhkan pemerintahan Irak di bawah Presiden Sadam Hussein. Berbagai argumentasi dan bukti tentang keterlibatan Irak dalam terorisme dan senjata pemusnah masal terus disampaikan oleh Amerika Serikat guna mendapatkan dukungan masyarakat internasional. Perdebatan tentang perlu tidaknya tindakan militer atas negara Irak terus berlanjut baik di media massa maupun di forum-forum resmi di Perserikatan Bangsa Bangsa. Perdebatan tentang perlu tidaknya invasi tersebut juga berkembang di negara-negara Uni Eropa yang selama ini dikenal sebagai anggota NATO di bawah Amerika Serikat. Negara senior yang sangat berpengaruh seperti Jerman dan Prancis dengan tegas menolak rencana invasi militer atas Irak. Permasalahan yang perlu dijawab dalam penelitian ini adalah 1) apa kepentingan Amerika Serikat menggulingkan Presiden Sadam Husein? dan 2) mengapa Uni Eropa menentang invasi militer terhadap Irak? Serangan terhadap Irak adalah bagian dari kepentingan Amerika Serikat untuk menjamin keamanan sumberdaya minyak bumi dan dominasinya terhadap kawasan Timur Tengah dengan cara mengganti pemerintahan yang dianggap tidak mendukung Amerika Serikat. Timur Tengah yang selama ini menjadi daerah instabilitas harus berada di bawah kontrol Amerika Serikat. Pada saat yang sama, Jerman dan Francis atas nama Uni Eropa juga mempunyai kepentingan untuk meningkatkan pengaruhnya di kawasan Timur Tengah melalui kerjasama-kerjasama ekonomi dan peran diplomatiknya dalam menyelesaikan damai terhadap masalah konflik antara Israel dan negara-negara di Timur Tengah. Konsisten dengan langkah damai melalui perlucutan senjata Irak melalui Resolusi PBS 1441, Jerman dan Prancis menentang Amerika Serikat yang mengesampingkan resolusi tersebut dengan menginvasi Irak secara sepihak. Berdasarkan hasil-hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa Jerman dan Prancis dengan Amerika Serikat mempunyai kepentingan yang sama yaitu peningkatan pengaruh terhadap kawasan Timur Tengah. Penolakan Jerman dan Prancis terhadap invasi militer atas Irak berangkat dari keinginan Jerman dan Prancis meningkatkan peran-peran diplomatiknya di Timur Tengah.

This research attempts to explain the different policy of European Union and US on Iraqi war H. Since 11 September attack, US government believed that radical Moslem terrorist was behind on WTC case. For US, North Korea, Iran and Iraq are devil axis where terrorists are free to live and grow. Those countries must be under control the UN extremely for international stability reason. For Iraq, in particular, US government proposes to change Iraqi administration for world peace and democratization of Iraqi people. Under Saddam Husein, the peace process of Middle East has not been achieved. US have pushed the UN to take military action deal with Iraq. US said that Saddam Husein developed the weapon mass of destruction to fight Israel and occupy other Arabic land. Although the UN team did not find the weapon mass of destruction like US opinion, the Bush administration would like to change Saddam government. Meanwhile, European Union disagreed to US policy. For European Union both Germany and France as leading countries of Europe, diplomacy is much better way than a war. It is necessary to take some questions dealing with the European Union (Germany and France) and US policy on Iraq problem. First, Why US really wanted to change Saddam Husein government? Second, Why European Union (Germany and France) rejected US proposal for Iraq? There were opinions on European forum itself whether fighting Iraq military was need. Some of them did so, and the rest did not so. Germany and France as senior countries of Europe preferred to take diplomacy. European Union asked the UN to take pays more attention for Iraq problem. The point is that European Union has not wanted to US as sole power for Iraqi future. It is fact that some European Union countries are member of NATO, but it does not mean that all US policy will be supported. They have worried what US did would cause race and religious sentiment. The most important thing of combating Iraq is national interest of US. A natural resource of Iraqis the answer. Oil is a main of Iraq resource that is hunted. US have recognized that potential oil of Iraq is bigger than Sandia. If US could change Iraq government, most oil resource of Iraq would support US industry. US efforts have disturbed the bilateral economical relationship between Iraq and European Union. Politically, European Union wants to give more contribution for peace process in Middle East region. Without any political tension on that region, European Union will get many advantages. The Middle East countries those are disappointed to the US domination will tend to Europe. European Union for future time will have power and influence like US."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T15086
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Rizki
"Tesis ini membahas masalah dampak invasi Amerika Serikat ke Irak terhadap pasokan minyak Amerika Serikat. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui lebih jauh mengenai kebutuhan minyak dalam negeri Amerika Serikat. Penulis tertarik pada masalah invasi Amerika Serikat ke Irak yang dilakukan secara sepihak tanpa persetujuan dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), sehingga AS dapat dikatakan melanggar Piagam PBB untuk memenuhi kepentingan nasionalnya.
Unit analisa yang digunakan dalam tesis ini adalah negara (state) yang merupakan bagian dari perspektif malls. Kerangka berpikir dalam tesis ini berupa kerangka berpikir konseptual. Berdasarkan persoalan penelitian, maka konsep yang digunakan adalah energy security, security of supply, economic security, dan oil dependency. Dengan demikian, tesis ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data berupa studi dokumen.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa AS memiliki ketergantungan terhadap minyak yang besar untuk jangka panjang terutama dikawasan Timur Tengah. Sedangkan untuk jangka pendek, AS tidak tergantung pada minyak dari Timur Tengah secara langsung karena AS dapat mengimpor minyak dari negara-negara tetangga seperti Canada, Venezuela, Meksiko dan Inggris.
Sejak awal invasi Amerika Serikat ke Irak hingga terbentuknya pemerintahan sementara di Irak, pemerintah AS selalu berubah-ubah dalam memberikan alasan pembenaran / justifikasi untuk menyerang Irak. Mulai dari alasan mencari senjata pemusnah massal (Weapons of Mass Destruction), menumbangkan rezim Saddam Hussein, membebaskan rakyat Irak, hingga alasan demokratisasi di Irak.
Sejak pemerintah Irak menasionalisasi industri minyaknya pada tahun 1972, perusahaan-perusahaan minyak AS tidak diizinkan untuk melakukan eksplorasi minyak di Irak. Monopoli terhadap harga minyak dunia dikuasai oleh negara-negara anggota OPEC (Organization of Petroleum Exporting Countries) yang kesemuanya berasal dari negara-negara berkembang. Sedangkan negara-negara industri maju seperti Amerika Serikat, sangat membutuhkan minyak untuk keperluan transportasi, industri, perumahan dan perdagangan.
Terdapat tiga peristiwa penting yang berkaitan dengan masalah minyak dunia, yaitu embargo minyak Arab Saudi terhadap AS pada tahun 1973, perang Irak - Iran tahun 1980, dan invasi Irak Ke Kuwait pada tanggal 2 Agustus 1990. Peristiwa-peristiwa tersebut telah membuat harga minyak dunia melonjak tajam. Beberapa bulan sebelum peristiwa tragedi 11 September 2001, tepatnya pada bulan Mei 2001, pemerintah AS telah mengeluarkan kebijakan keamanan energi nasionalnya. Dalam laporan tersebut dikatakan bahwa Amerika Serikat pada tahun 2001 telah mengalami masalah kekurangan energi paling serius sejak embargo minyak tahun 1970-an.
Adanya kebutuhan yang sangat besar terhadap suplai minyak dan keamanan energi nasional, telah membuat pemerintahan Presiden George W.Bush melakukan tindakan secara sepihak yang kemudian mendapat kecaman dunia internasional. Invasi Amerika Serikat ke Irak jelas telah melanggar Piagam PBB terutama pasal 2 (ayat 1, ayat 3, ayat 4 dan ayat 7) dan pasal 51. Sesungguhnya pemerintah AS saat itu dapat menghindari terjadinya invasi yang telah banyak memakan korban jiwa dikedua belah pihak jika pemerintah George W.Bush mau menjalankan upaya-upaya diplomasi melalui lembaga-lembaga internasional."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13891
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tuah Arieyanda Setiawan
"Skripsi ini menceritakan tentang kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap Irak dalam kasus perang Irak-Iran 1980-1988"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2009
S12598
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>