Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 105984 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Avina Nadhila Widarsa
"Setelah terlibat konflik politik selama lebih dari enam dekade, Cina mengambil sebuah kebijakan yang fenomenal dalam hubungannya dengan Taiwan. Pada tanggal 29 Juni 2010 disepakati suatu kerangka kerjasama ekonomi yang ditandatangani oleh Association for Relations Across Taiwan Straits (ARATS) yang mewakili pemerintah Cina dan Strait Exchange Foundation (SEF) yang mewakili pemerintah Taiwan. Penandatanganan Cross Strait Economic Cooperation Framework Agreement (ECFA) ini menandai babak baru dalam hubungan lintas selat. Walaupun perjanjian tersebut bertujuan untuk meningkatkan kerjasama ekonomi yang resiprokal dan setara, dalam isi perjanjian ECFA justru lebih menguntungkan Taiwan daripada Cina. Dalam ECFA disepakati kedua pihak sepakat untuk menurunkan tarif pada produk - produk ekspornya hingga 0%. Cina bersedia menurunkan tarif bagi 539 produk impor dari Taiwan, sementara Taiwan hanya bersedia menurunkan tarif bagi 267 produk impor dari Cina. Jelas terdapat ketidakseimbangan dalam kesepakatan ekonomi tersebut. Menjadi pertanyaan yang menarik, mengapa Cina tetap mau menandatangani perjanjian yang sudah jelas merugikan baginya secara ekonomi Melalui kerangka pemikiran economic statecraft, penelitian ini mengidentifikasi bahwa Cina memiliki memiliki kepentingan di balik penandatanganan ECFA. Adapun kepentingan politik Cina dalam penandatanganan ECFA adalah sebagai tahap awal untuk mencapai reunifikasi secara damai dengan Taiwan dan sebagaim pembuktian upaya peaceful development yang dilakukan Cina di kawasan Asia Timur. Selain itu, Cina juga memiliki kepentingan ekonomi untuk menjaga aliran dana investasi langsung dari Taiwan yang menjadi salah satu penyumbang pertumbuhan ekonomi Cina.

After six decades full of hostility and political tension, China took an extraordinary action regarding her relation towards Taiwan. On June 29, 2010, an economic cooperation framework agreement was signed between Association for Relations Across Taiwan Straits (ARATS) as a representative of government of China and Strait Exchange Foundation (SEF) as a representative of government of Taiwan. The signing of Cross Strait Economic Cooperation Framework Agreement (ECFA) was marking the new era of cross strait relations. While looking to improve economic cooperation reciprocally and equally, this agreement is more favor Taiwan instead of China. China agreed to reduce tariffs until 0% for 539 Taiwan export goods, while Taiwan only agreed to reduce tariffs for 267 China export goods. It is likely that China will face economic disadvantages because of this agreement. Then, the question is why China wants to sign this agreement although it doesn't give maximum advantages to her economy. Through the analysis from economic statecraft and economic cooperation as conceptual framework, this research pointed out that China has political and economic interest within this agreement. This research identified China's interest on ECFA as initial step to achieve peaceful reunification with Taiwan and as a way for China to prove the peaceful development strategy in East Asia region. Moreover, China also has economic interest towards ECFA which is to make sure Taiwan's FDI still come to China."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hasna Alifa
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan dampak ketidakpastian terhadap fleksibilitas institusi internasional dalam kasus kerja sama perdagangan Cross-Strait Economic Cooperation Framework Agreement (ECFA) antara Tiongkok dengan Taiwan. Kerja sama antara Tiongkok dengan Taiwan menarik untuk diteliti karena kedua negara tersebut dapat menjalin kerja sama dalam sebuah institusi, meskipun hubungan politik antara keduanya kerap dipenuhi oleh ketegangan. Penelitian ini menggunakan teori rational institution design yang menjelaskan bahwa negara merancang institusi internasional sesuai dengan hambatan yang dimilikinya. Teori rational institution design menggagas bahwa ketidakpastian sebagai hambatan kerja sama menyebabkan terbentuknya institusi internasional yang fleksibel. Metode process-tracing digunakan untuk meraih penjelasan mengenai mekanisme kausal antara ketidakpastian dan fleksibilitas institusi internasional dalam proses pembentukan ECFA. Temuan pada penelitian ini menunjukkan bahwa ECFA dirancang dengan fleksibilitas untuk menghadapi ketidakpastian mengenai politik domestik di Taiwan, secara khusus adalah pergantian kekuasaan di Taiwan yang berdampak pada perkembangan hubungan lintas selat Taiwan. Melalui rangkaian negosiasi, Tiongkok dan Taiwan memilih untuk merancang ECFA dengan fleksibilitas sebagai perjanjian sementara yang tidak memiliki batas waktu penyelesaian serta memasukkan ketentuan pemutusan kontrak ke dalam rancangan ECFA. Rancangan institusi tersebut dipilih oleh Taiwan dan Tiongkok dengan mempertimbangkan perlawanan terhadap ECFA dari partai oposisi Taiwan, karena keduanya tidak dapat memastikan apa yang dilakukan oleh partai oposisi terhadap ECFA apabila partai oposisi berkuasa di Taiwan.

ABSTRACT
This thesis explains the impact of uncertainty on the flexibility of international institution within the case of trade cooperation between China and Taiwan in Cross-Strait Economic Cooperation Framework Agreement (ECFA). Cooperation between China and Taiwan is a considerably interesting subject, because they managed to establish a cooperation agreement despite their constrained political relations. I utilized rational institution design theory as an analytical framework in assessing how states design international institution based on the cooperation barriers they face. The theory suggested that uncertainty as cooperation barrier led to the formation of flexible institution. Process-tracing method was applied in this research to acquire explanation of causal mechanisms between uncertainty and the flexibility of ECFA. Findings in this research show that the flexibility possessed by ECFA is a response to uncertainty about Taiwans domestic politics, particularly power shift in Taiwan that gives significant impact on the development of cross-Strait relations. Throughout a series of negotiations, China and Taiwan decided to design ECFA with some degree of flexibility as an interim agreement that does not specify any deadline and ECFA also includes termination clause. The institutional design is chosen because China and Taiwan needs to consider resistance from Taiwanese opposition parties towards ECFA, as they are uncertain about what the opposition will do to ECFA once they are in power. "
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gabby Victoria
"Penelitian ini berusaha menjawab mengapa Pemerintah Taiwan tidak menindaklanjuti Economic Cooperation Framework Agreement ECFA dengan meratifikasi Cross-Strait Service Trades Agreement CSSTA dan melanjutkan perundingan Cross-Strait Goods Trade Agreement CSGTA , padahal data yang ada menunjukkan hasil yang positif. Sebagai penindaklanjutan ECFA, Pemerintah Taiwan dan Cina menandatangani CSSTA pada Juni 2013. Namun pada tahun 2014 CSSTA gagal diratifikasi dan negosiasi CSGTA mengalami stagnansi. Teori yang digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian adalah two-level games oleh Putnam, bertujuan untuk melihat interaksi antara level I tingkat internasional dan level II tingakat domestik . Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pemerintah Taiwan tidak menindaklanjuti ECFA karena ukuran win-set level II yang kecil dan tidak tumpang tindih. Secara lebih spesifik, Legislative Yuan belum berhasil menyelesaikan pembahasan dan mengesahkan RUU mengenai pengawasan hubungan lintas selat terinstitusionalisasi Cross-Strait Oversight Bill . Akibatnya, ratifikasi perjanjian yang tertunda belum bisa dilakukan dan negosiasi dengan Pemerintah Cina belum bisa dilanjutkan. Selain itu, pasca pemilihan presiden tahun 2016 yang dimenangkan oleh Tsai Ing-wen dari DPP, Pemerintah Cina membekukan jalur komunikasi resmi antara SEF dan ARATS. Hal tersebut dilakukan karena Pemerintah Taiwan tidak bersedia menyatakan pengakuan secara eksplisit terhadap 'konsensus 1992' mengenai prinsip 'satu Cina'. Dampaknya, negosiasi lintas selat terhenti dan Pemerintah Taiwan tidak bisa menindaklanjuti ECFA.

This research attempts to answer why Taiwanese government did not follow up Economic Cooperation Framework Agreement ECFA by ratifying Cross Strait Service Trade Agreement CSSTA and continuing the negotiation upon Cross Strait Goods Trade Agreement CSGTA , whereas the existing data showed a positive outcome. As a follow up of ECFA, Taiwan and China signed CSSTA in June 2013. However in 2014 CSSTA failed to be ratified and negotiation upon CSGTA stagnated. Two level games theory by Putnam is used to answer the research question, intended to see the interaction between level I international realm and level II domestic realm . This research shows that Taiwan did not follow up ECFA because the size of level II win set was small and not overlapped. To be more specific, Legislative Yuan has not finished the discussion and pass the legislation on Cross Strait Oversight Bill. As the result, ratification of pending agreement still cannot be done and negotiation with Chinese government still cannot be resumed. Moreover, after Tsai Ing wen of DPP win presidential election in 2016, China postponed formal communication channel between SEF and ARATS. It was done due to Taiwan unwillingness to state formal recognition to ldquo 1992 consensus rdquo regarding ldquo one China rdquo principle. As the consequences, cross strait negotiation was put on hold and Taiwan cannot follow up ECFA."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lestari Aysha Damayanti
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2010
S8293
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Gadis Dwi Sartika Habibie
"ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah soft power China dapat mempengaruhi pembentukan preferensi reunifikasi damai Taiwan. Ketika Taiwan mengalami resesi terburuk dalam sejarah oleh karena krisis ekonomi global pada tahun 2008, China menjadikan hal tersebut sebagai peluang untuk membantu permasalahan ekonomi Taiwan melalui Economic Corporation Framework Agreement (ECFA). Kerjasama ekonomi ini dimanfaatkan oleh China untuk mempengaruhi Taiwan melakukan apa yang diinginkan oleh China, yakni reunifikasi damai. Dalam penelitian ini, teori soft power Joshua Kurlantzick digunakan untuk membangun hipotesis, melakukan pengamatan sampai dengan menguji data. Penulis menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan melakukan analisa data sekunder. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa ECFA sebagai soft power China mampu mempengaruhi pembentukan preferensi reunifikasi damai Taiwan melalui pengakuan Taiwan terhadap prinsip One China. Dimana semakin ECFA memberikan manfaat bagi Taiwan, maka semakin tinggi pula preferensi reunifikasi damai Taiwan melalui pengakuan prinsip One China.

ABSTRACT
The study was conducted to determine whether China?s soft power may affect Taiwan's preferences of peaceful reunification. As Taiwan suffered the worst recession in history due to global economic crisis in 2008, China saw ​​it as an opportunity to help Taiwan's economic problems through Economic Corporation Framework Agreement (ECFA). The economic cooperation is used by China to influence Taiwan to do what is desired by China, peaceful reunification. In this study, Joshua Kurlantzick?s soft power theory was applied to build the hypotheses, conduct observations and test the data. The author applied descriptive qualitative method by analyzing secondary data. Results from the study showed that the ECFA as China?s soft power was able to influence Taiwan preferences of peaceful reunification by recognition of One China principle. The higher ECFA benefits Taiwan, the higher Taiwan?s preference to peaceful unification through recognition of One China Principle.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
T32959
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dzihnia Fatnilativia
"Skripsi ini membahas kepentingan Jepang dalam kesepakatan kemitraan ekonomi (economic partnership agreement) dengan Indonesia pada tahun 2007 dalam konteks paradigma realis dan teori perdagangan strategis. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan kepentingan Jepang dalam IJEPA meliputi kepentingan dalam konteks regional dan bilateral. Dalam konteks regional, Jepang berkepentingan mendorong liberalisasi pasar ASEAN dengan memanfaatkan eksistensi jaringan binis regionalnya untuk mengamankan kepentingan ekonominya di kawasan. Dalam konteks bilateral, Jepang berkepentingan mendorong liberalisasi pasar Indonesia dan mengamankan pasokan energi dari Indonesia. Penelitian ini juga menyarankan agar Indonesia meningkatkan kapasitas daya saing dalam menghadapi tantangan mengimplementasikan FTA dengan Jepang.

The focus of this study is Japan?s interest on Economic Partnership Agreement with Indonesia in 2007 in the context of realist paradigm and strategic trade theory. The purpose of this study is to explain Japan's regional and bilateral interest in EPA with Indonesia. In regional context, Japan?s interest is to liberalize ASEAN market with utilizing its regional production network in the region. In bilateral context, Japan's interests are to liberalize Indonesian market and protect the guarantee of energy resource supply from Indonesia. This study also suggests that Indonesia must increase its competitive capacity to implement FTA with Japan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Sonia Mustikasari
"Tesis ini menganalisis alasan yang melatarbelakangi proyek China-Myanmar Economic Corridor (CMEC) pada akhirnya disepakati oleh Myanmar. Pertanyaan penelitian dari tesis ini adalah mengapa Myanmar menandatangani kesepakatan proyek infrastruktur CMEC dengan Tiongkok pada tahun 2018. Tesis ini menggunakan pendekatan kualitatif dan metode penelitian eksplanatif (explanatory research). Dalam menjawab pertanyaan penelitian, tesis ini menggunakan teori model adaptif politik luar negeri oleh James N. Rosenau. Terdapat tiga alasan yang melatarbelakangi Myanmar menandatangani proyek CMEC. Alasan pertama, Myanmar beradaptasi dengan perubahan di lingkungan eksternal (external change), yaitu faktor great power structure, aliansi, dan situational factors. Alasan kedua, Myanmar beradaptasi pada perubahan di lingkungan internal (internal change), yaitu pembangunan ekonomi dan akuntabilitas politik. Terakhir, kedua variabel tersebut menjadi bahan pertimbangan dari pemerintah Myanmar dan Aung San Suu Kyi untuk menandatangani proyek CMEC dengan Tiongkok. Berdasarkan dua variabel tersebut, ditemukan bahwa Myanmar menerapkan pola acquiescent adaptation sebagai bentuk adaptasi yang sebagian besar dipengaruhi oleh ketergantungannya pada Tiongkok.

This study analyzes the reasons behind Myanmar signed the China-Myanmar Economic Corridor (CMEC) project with China. The research question of this study is why Myanmar signed the CMEC infrastructure project agreement with China in 2018. This study uses a qualitative methods and explanatory research techniques. In answering research questions, this study uses the theory of the adaptive model in foreign policy by James N. Rosenau. There were three reasons behind Myanmar signing the CMEC project. First of all, Myanmar adapted to changes in the external environment, which is the factors of great power structure, alliances, and situational factors. Secondly, Myanmar also adapted in the internal environment changes, which is economic development and political accountability. Lastly, these two variables were taken into consideration by the government of Myanmar and Aung San Suu Kyi to finally signed the CMEC project with China. Based on these two variables, it was found that Myanmar adopted an acquiescent adaptation pattern that was largely influenced by its dependence from China."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Trixsaningtiyas Gayatri
"Bagi Indonesia, IJEPA merupakan kebijakan perdagangan bebas bilateral pertama yang diambil Indonesia dalam rangka memenuhi kepentingan nasional bidang ekonomi khususnya perluasan akses pasar produk ekspor di pasar Jepang, mengembalikan investasi Jepang yang menurun dalam beberapa waktu terakhir dan juga sebagai kerangka bagi alih teknologi industri manufaktur Indonesia.
Secara politis IJEPA memberikan Indonesia kedudukan setara dengan negara lain yang telah terlebih dahulu menjalin kerjasama perdagangan bebas dengan Jepang. Sedangkan bagi Jepang, IJEPA merupakan kebijakan diplomasi perdagangan internasional yang merupakan komplementer dari kebijakan perdagangan internasional Jepang sebelumnya yang hanya menganut multilateralisme melalui WTO. Situasi global dengan semakin meningkatnya perjanjian perdagangan bebas regional/bilateral di berbagai kawasan mendorong Jepang untuk mengamankan pasarnya dan memenuhi kepentingan ekonominya khususnya di Asia Tenggara.
Secara khusus IJEPA bagi Jepang merupakan upaya untuk memenuhi kepentingan ekonomi antara lain perluasan akses pasar produk Jepang, mengamankan investasi, serta mengamankan pasokan energi dan sumber daya mineral sebagai kebutuhan utama bagi industrinya. Secara politis IJEPA pun memberikan Jepang peluang untuk tetap menjadi negara penjamin stabilitas ekonomi dan politik kawasan. Dengan semua asumsi dan hipotesis yang ditawarkan, tesis ini menyimpulkan bahwa IJEPA adalah suatu kebijakan luar negeri yang dibentuk atas dasar kepentingan ekonomi dan politik kedua negara.

As for Indonesia, The 2007 IJEPA was the first bilateral free-trade policy which was issued to meet its several domestic economical interests, particularly in regard to the economic expansion of market access for all Indonesia?s exported goods to Japan, restoring the Japan?s investment which has been declining for the last few years, and also as a technology transfer framework within Indonesia?s manufacturing industry as well.
The 2007 IJEPA politically put Indonesia at the same and equivalent position to other countries that have formed earlier freetrade partnership with Japan. While for Japan, The 2007 IJEPA was a kind of international trade diplomacy that also become a complementary to its international trade policy which previously only follow multilateralism through WTO. The situation inside the global world which provides an increase of either bilateral or regional free-trade agreement at various areas also encourages Japan to secure its market and economical interest, especially within the South-East Asian region.
Specifically for Japan, The 2007 IJEPA is sort of effort to meet its economical goal, among others, market expansion for products of Japan, to secure the investment, and also to secure the supplies of energy and mineral resource for its industry consumption. In the other hand, The 2007 IJEPA also politically gives Japan more opportunity to remain become one of the economic and political stabilizer countries within the region. Through all the hypothesis and assumptions presented in this thesis, it can be obviously concluded that The 2007 IJEPA is a kind of international policy that is established based on both economical and political interest between the two countries."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
T25101
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>