Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 101716 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Gregorius Budi Rooseno Putro
2004
S3439
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Mahendra
"Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran preferensi kepribadian MBTI pada pengguna kartu kredit dengan tingkat ekonomi menengah ke atas di wilayah Jabodetabek. Penelitian ini menggunakan desain penelitian ex post field facto study dengan jumlah partisipan sebanyak 161 orang. Partisipan berasal dari tingkat ekonomi menengah ke atas yang merupakan pengguna kartu kredit dan berusia minimal 17 tahun serta tinggal di wilayah Jabodetabek. Pembagian tingkat ekonomi didasarkan pada penggolongan kelas sosial ekonomi A.C. Nielsen. Minimal partisipan harus memenuhi kriteria golongan B yaitu memiliki pengeluaran lebih dari Rp. 1.750.000. Hasil dalam penelitian ini menunjukkan bahwa preferensi kepribadian MBTI yang dominan diantara pengguna kartu kredit yang mengikuti penelitian ini adalah extraversion, intuiting, feeling, dan judging.

The purpose of this research is to study the MBTI personality preferences among credit card users whom in Middle to Upper Social Economy Class in Jabodetabek Area. This research is using an ex post field facto study design with 161 samples who come from middle to upper social economy class, credit card users, minimum age 17 years old and live at Jabodetabek Area. The social economy status used is based on A.C. Nielsen classification. The result shows that the MBTI personality preferences which dominant among credit card users are extraversion, intuiting, feeling, and, judging."
Depok: Universitas Indonesia, 2009
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Soesilorini
"Perbankan di Indonesia sebagai jantung perekonomian masyarakat telah
mengalami krisis yang menjadi salah satu sebab krisis ekonomi yang kita alami saat ini. Sebab utama adalah kesalahan, kecurangan, atau pelanggaran yang dilakukan oleh orang dalam bank-bank itu sendiri. Dinyatakan juga oleh POLRI 95% kejahatan bidang perbankan dilakukan oleh orang dalam atau setidaknya memberi informasi pada orang luar. Pelanggaran-pelanggaran atau kecurangan-kecurangan tersebut mengindikasikan integritas moral pengelola bank masih
diragukan padahal bank adalah lembaga kepercayaan tempat orang menitipkan uangnya.
Penelitian ini dimaksudkan untuk mempelajari Seberapa jauh hubungan antara nilai-nilai personal dan tipe-tipe kepribadian dengan pertimbangan dan intensi moral dalam pekerjaan di bidang perbankan.
Dengan dilakukannya penelitian ini maka diharapkan dapat disumbangkan cara-cara atau pikiran untuk memperbaiki kondisi perbankan di masa yang akan datang dari sudut moral atau etika. Selain itu diharapkan dapat merupakan sumbangan dalam bidang ilmu psikologi terutama nilai, kepribadian, dan perilaku moral serta
sumbangan dalam pengembangan studi etika bisnis.
Penelitian dilaksanakan pada para bankir yang sedang mengikuti kursus di Institut Bankir Indonesia. Data dikumpulkan melalui kuesioner dengan menggunakan Rokeuch Value Survey, Profil kepripadian OMNI Berkeley untuk Indonesia, dan skenario dilema moral atau etika dilingkungan perbankan di Indonesia
Hasil penelitian yang diketemukan adalah (I) Ada beberapa nilai terminal dan nilai instrumental yang mcnunjukkan hubungan bermakna dengan pertimbangan moral maupun intensi moral (2) Tidak ada hubungan bermkna anrara tipe-tipe kepribadian dengan pertimbangan moral (3)Ada hubungan bermakna antara tipe kepribadian "Conscientious? dengan intensi moral (4) nilai personal bersama-sama dengan tipe kepribadian merupakan prediksi yang baik untuk pertimbangan moral maupun intensi moral.
Saran-saran yang dapat dianjurkan adalah (1) melakukan penelitian
lanjutan tentang perilaku moral baik dilingkungan perbankan maupun lingkungan pekerjaan lain untuk memberikan sumbangan pada pengembangan etika di Indonesia (2) melakukan pelatihan untuk meningkatkan nilai-nilai personal dan tipe-tipe kepribadian yang mendukung pertimbangan dan intensi moral antara lain
dengan metode self-confrontation terutama bagi para bankir. (3) Dalam
menempatkan pejabat pada posisi yang rawan pelanggran etika atau moral dapat dipilih orang yang memiliki nilai-nilai personal dan tipe-tipe kepribadian yang mendukung pcrilaku moral yang baik
"
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2000
T38307
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Seta Wicaksana
"ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran tipe kepribadian Generasi Y jika dilihat dari dimensi Big Five Personality. Responden pada penelitian ini adalah 1286 orang yang meliputi karyawan dan mahasiswa Indonesia dengan rentang usia 18-37 tahun (generasi Y). Alat pengumpul data yang digunakan adalah NEO-PI-R Costa & McCrae (1992) yang dikembangkan olleh Humanika Consulting (2004). Nilai koefisien reliabilitas alat ukur NEO-PI-R Costa yang dikembangkan Humanika Consulting adalah sebesar 0,5 sampai 0,6. Analisis data menggunakan metode kuantitatif deskriptif. Hasil analisis menunjukkan bahwa tipe kepribadian Generasi Y berada pada kategori rendah jika dilihat dari extraversion, openness to new exprience, agreeableness dan conscientiousness. Sedangkan jika dilihat dari tipe kepribadian neuroticism berada pada kategori rata-rata"
Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Pancasila, 2017
150 MS 8:1 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Arga Rizkiyatsa
"Isu sosial seperti ekstrimisme, radikalisme, atau terorisme menjadi isu yang cukup besar di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Namun penelitian terkait isu ini masih terbilang jarang dilakukan, terkhusus di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk melihat lebih jauh hubungan antara kepribadian (DT), motif, dan pola pikir ekstrimis militan (MEM), serta peranan motif sebagai mediator antara hubungan kepribadian gelap (DT) dengan pola pikir ekstrimis militan (MEM). Partisipan penelitian berjumlah 304 orang, terdiri dari 121 laki-laki (39.8%) dan 183 perempuan (60.2%) dengan rentang umur berkisar dari (18-40 tahun). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepribadian gelap berkorelasi positif dengan pola pikir ekstrimis militan (r = .230, p < .01). Lebih lanjut, ditemukan motif thrill (β = .063, SE = .028, CL[.014, .124]) dan revenge (β = .088, SE = .030, CL[.034, .152]) memiliki efek mediasi (secara penuh) yang signifikan. Dapat dikatakan, penelitian ini mengindikasikan bahwa ciri kepribadian gelap dapat memprediksi kerentanan individu untuk mengadopsi pola pikir ekstrimis. Kemudian, hubungan tersebut juga dimediasi oleh motif seseorang untuk balas dendam dan mencari excitement. Penelitian ini melengkapi hasil penelitian terkait hubungan antara kepribadian gelap terhadap pola pikir ekstrimis militan dengan motif sebagai mediator. Temuan ini memberikan implikasi berupa petunjuk lebih lanjut mengenai bagaimana seseorang dapat/rentan mengadopsi pola pikir ekstrimis dari lajur kepribadian.

Social issues such as extremism, radicalism or terrorism are quite big issues in various countries, including Indonesia. However, research related to this issue is still relatively rare, especially in Indonesia. This research aims to look further at the relationship between dark personality (DT), motives, and militant extremist mindset (MEM), as well as the role of motives as a mediator between the relationship between dark personality (DT) and militant extremist mindset (MEM). There were 304 research participants, consisting of 121 men (39.8%) and 183 women (60.2%) with an age range of (18-40 years). The results showed that dark personality was positively correlated with militant extremist mindset (r = .230, p < .01). Furthermore, it was found that the motives of thrill (β = .063, SE = .028, CL[.014, .124]) and revenge (β = .088, SE = .030, CL[.034, .152]) have a significant mediating effect on the relationship between DT and MEM. That said, this research indicates that dark personality traits can predict an individual's susceptibility to adopting extremist mindset. Furthermore, this relationship is also mediated by a person's motive for revenge and seeking excitement. This research complements research results regarding the relationship between dark personality and militant extremist mindset with motives as mediators. These findings provide implications in the form of further clues regarding how someone can/is susceptible to adopting extremist mindset from the personality path."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kristiyabudi Purwo Hananto
"Manusia bekerja karena mereka memerlukan aktivitas yang berguna untuk memenuhi segala kebutuhannya, tidak hanya untuk kebutuhan fisik dan materiil melainkan juga mempunyai fungsi psikologis. Namun tidak selamanya manusia dapat bekerja, walaupun ia ingin selalu aktif dan produktif. Batas dimana seseorang tidak diharapkan untuk bekerja atau tidak bekerja lagi disebut pensiun.
Individu yang mulai memasuki masa pensiun pada umumnya memiliki karakteristik khas karena mereka harus memerankan jobless role, sementara selama bertahun-tahun mereka bekerja dan menemukan makna hidupnya melalui kerja. Hal umum yang biasanya terjadi pada mereka setelah berhenti bekerja adalah perasaan-perasaan tidak berdaya, merasa tidak dibutuhkan lagi oleh orang lain. Sehingga logis jika dikatakan bahwa pensiun merupakan salah satu peristiwa besar dalam hidup seseorang (major life event) yang menimbulkan stres. Hal ini didukung pula oleh Lazarus dan Cohen (1977), Lazarus dan Folkman (1984) dalam Feldmen (1989) yang mengatakan bahwa adanya perubahan dalam kehidupan merupakan salah satu stressor pada diri seseorang. Dalam menghadapi transisi hidup yang penuh ketegangan-ketegangan emosional, individu akan termotivasi untuk meredusirnya; dan hal inilah yang disebut perilaku coping.
Menurut Folkman dan Lazarus (1980, dalam Carver et.al, 1989) terdapat dua jenis umum perilaku coping: yang pertama problem-focused coping, dan yang kedua adalah emotion-focused coping. Nalaupun pada hampir semua stressor kedua jenis coping ini selalu ditampilkan, jenis perilaku coping yang pertama akan lebih digunakan, jika seseorang merasa bahwa sesuatu yang konstruktif dapat dilakukan untuk mengatasi masalah / situasi yang menimbulkan stres; sementara emotion-focused akan dipakai jika situasi yang menimbulkan stres yang mau tidak mau harus diterima karena tidak dapat dirubah (unchangeable).
Individu dengan tipe-A mempunyai karakteristik yang khas. Mereka adalah individu-individu yang memiliki keterlibatan tinggi pada pekerjaan, kompetitif, berorientasi pada pencapaian suatu hasil (achievement-oriented) serta selalu dalam kondisi terburu-buru / sangat mementingkan waktu (time-urgency), akan mengalami kesulitan dalam menghadapi kondisi waktu senggang seperti itu. Mereka menempatkan kerja sebagai sesuatu yang sentral dalam hidupnya. Karena itu, maka masa pensiun mungkin akan dipandang sebagai peristiwa yang mengancam diri mereka karena dengan berhenti bekerja berarti kehilangan aktivitas penting yang sulit untuk digantikan dengan kegiatan lainnya.
Tuntutan untuk segera menyesuaikan diri terhadap lingkungan serta peran barunya tersebut akan timbul agar tercapai rasa puas dan akhirnya integritas pada individu. Diener (dalam Floyd, 1992) mengatakan bahwa hal yang utama bagi pencapaian kesejahteraan diri seseorang adalah penilaian dirinya terhadap kualitas dan kepuasan hidupnya, yang merupakan perbandingan antara kondisi hidup secara kongkrit dengan suatu standar yang telah dibuat.
Bagi semua individu, tidak terkecuali individu tipe-A, masa pensiun merupakan peristiwa yang tidak mungkin dihindarkan karena suatu saat mereka pasti akan tiba pada tahap akhir siklus kerjanya. Karena merupakan peristiwa utama dalam hidup (major life event), mereka mau tidak mau harus melakukan seeuatu untuk menghadapinya. Sejauh ini perilaku coping mereka terhadap situasi yang menekan (dalam bekerja) adalah dengan bekerja cepat, kompetisi dan menampilkan tingkah laku agresif atau bermusuhan. Dengan memasuki masa pensiun berarti mereka tidak lagi memiliki banyak kesempatan untuk menampilkan pola perilaku yang sudah terinternalisasi tersebut, walaupun berada dalam situasi yang menekan lainnya (dalam hal ini pensiun) karena situasi tersebut tidak sama dengan situasi ketika mereka bekerja.
Dari sebuah penelitian longitudinal ditemukan bahwa satu tahun setelah pensiun, mereka menampilkan TABP (Type A Behavior Paterrn) yang lebih rendah dibanding menjelang pensiun (Howard et.al, 1986, dalam Sarafino, 1994). Bagaimanapun juga mengingat karakteristik individu dengan tipe kepribadian-A, maka mereka akan cenderung menggunakan perilaku coping yang problem-focused seperti coping aktif dan langsung menghadapi stressor serta mengabaikan perasaan-perasaan negatif yang menyertai masalah atau situasi yang menganggu (Hattews et.al, 1976, dalam Carver et.al, 1989).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa para responden yang memiliki perbedaan tipe kepribadian, menampilkan juga adanya perbedaan dalam pemilihan perilaku coping-nya. Responden yang memiliki tipe kepribadian-A (TABP), cenderung lebih menampilkan problem-focused coping. Sebaliknya para pensiunan dengan tipe kepribadian-B (TBBP) tampak lebih mempergunakan strategi Coping emotion-focused. Individu dengan tipe kepribadian-B (TBBP) memiliki kepuasan hidup masa pensiun yang lebih tinggi dibanding subyek dengan tipe kepribadian-A. Kelompok problem-focused ternyata memiliki tingkat kepuasan hidup masa pensiun yang lebih rendah dibandingkan kelompok emotional-focused Sebagai rangkuman dari seluruh penelitian ini diperoleh hasil bahwa tipe kepribadian tertentu (tipe-A, maupun tipe-B) memang mempunyai pengaruh terhadap tinggi rendahnya kepuasan hidup pada masa pensiun. Namun efek variabel perilaku coping (problem-focused atau emotional-focused) tidak banyak berpengaruh terhadap terbentuknya kepuasan dalam masa pensiun."
Depok: Fakultas Psikologi Unversitas Indonesia, 1995
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salsabila Mayang Sari
"Dalam menjalani perkuliahan, mahasiswa dituntut mandiri saat dihadapkan dengan berbagai pilihan dan permasalahan yang mampu menghambat proses pendidikannya. Mahasiswa membutuhkan kemandirian belajar yang merupakan dorongan dan motivasi internal untuk mengarahkan diri menyelesaikan berbagai permasalahan secara mandiri (Song, 2007). Kemandirian belajar ini pada dasarnya dipengaruhi oleh conscientiousness dan extraversion yang merupakan personality traits. Bateman dan Crant (1993) menemukan bahwa conscientiousness dan extraversion merupakan personality traits yang disebut sebagai kepribadian proaktif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kepribadian proaktif dan kemandirian belajar pada mahasiswa Universitas Indonesia. Penelitian ini menggunakan Proactive Personality Scale untuk mengukur kepribadian proaktif, sedangkan Student Self-Directed Learning Questionnaire untuk mengukur kemandirian belajar. Dalam penelitian ini, ditemukan bahwa terdapat hubungan antara kepribadian proaktif dan kemandirian belajar dengan r= 0,546 signifikan pada P < 0,01 (2-tailed). Artinya, ada hubungan antara kepribadian proaktif dan kemandirian belajar pada mahasiswa Universitas Indonesia.. Implikasi dari penelitian ini agar perguruan tinggi menyadari pentingnya mahasiswa mengetahui peran kepribadian proaktif dan kemandirian belajar dalam keberhasilan studi mahasiswa.

When in studying, student needs independently to choose from another options and solve the problem that inhibit the process academic success. Student needs self-directed learning that is internal drive and motivation to solve problem independently (Long, 2007). Self-directed learning is influenced by conscientiousness and extraversion as personality traits. Bateman dan Crant (1993) found that conscientiousness and extraversion as personality traits which named proactive personality. This research aim to see correlation between proactive personality and self-directed learning among undergraduates students in Universitas Indonesia. Proactive personality was measured using Proactive Personality Scale and self-directed learning was measured using Student Self-Directed Learning Questionnaire. This research found that significant correlate between proactive personality and self-direceted learning with r= 0,546, P < 0,01 (2-tailed). There is correlation between proactive personality and self-directed learning among undergraduates students in Universitas Indonesia. The implication of this research is University give information to undergraduates students that need proactive personality and self-directed learning in order success in their studies."
Depok: Universitas Indonesia, 2015
S60456
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Ayu Ambarwati
"Lebih jauh jika merujuk pada prevalensi penderita dispepsia di seluruh dunia yang grafiknya terus meningkat (antara 7 hingga 41 persen per tahun) maka penelitian Muth yang menggunakan sampel kecil kurang bisa memberi gambaran secara umum tentang trait kepribadian dan kecemasan penderita dispepsia fungsional. Menurut data terakhir yang diperoleh pada penelitian tertutup di RSCM disebutkan dari 100 pasien dengan keluhan dispepsia, 80 persen mengalami dispepsia fungsional. Fakta-fakta ini mendorong penulis melakukan penelitian ulang dari penelitian Muth dengan menggunakan dua metode penelitian secara berurutan. Metode penelitian kuantitatif digunakan untuk memperoleh gambaran umum tentang trait kepribadian dan kecemasan penderita dispepsia fungsional di DKI Jakarta sedangkan metode penelitian kualitatif dengan menambahkan variabel stres dan strategi coping digunakan untuk melihat keunikan yang tergambar pada masing-masing kasus dispepsia fungsional.
Penelitian kuantitatif dengan sampel 90 orang penderita dispepsia fungsional dilakukan di RSCM dan beberapa klinik di Jakarta. Penelitian ini mempergunakan cara penyebaran angket yang diadaptasi dari NEO P1-R buatan McCrae dan Costa (1990) dan Beck Anxiety Inventory buatan Beck (1985). Hasilnya ternyata trait neuroticism dan trait extraversion masing-masing memiliki pengaruh yang cukup kuat pada penderita dispepsia fungsional. Jika dibandingkan per subgrup dispepsia fungsional terlihat kalau pasien-pasien pada subgrup dysmotility-like dyspepsia cenderung lebih dipengaruhi trait extraversion dan pasien-pasien dari subgrup ulcer-like dyspepsia serta non-specific dyspepsia cenderung lebih dipengaruhi trait neuroticism. Mengenai kecemasan, 90 persen pasien memiliki kecemasan yang tinggi, dengan urutan pasien-pasien dari subgrup non-specific dyspepsia kecemasannya paling tinggi, disusul dengan pasien-pasien dari subgrup ulcer-like dyspepsia dan pasien-pasien dari subgrup dyrmotility-like dyspepsia.
Selanjutnya dari hasil penelitian kualitatif yang dilakukan dengan cara depth interview dan observasi terlihat bahwa pengaruh trait neuroticism membuat penderita menjadi sosok yang selalu worrying, emotional, insecure, dan inadequate; sedangkan pengaruh trait extraversion-introversion membuat penderita terlalu personal-oriented, aloof; quiet, retiring, unsociable, inexuberant, dan over optimistic. Mengenai gambaran kecemasan terlihat bahwa kecemasan yang tinggi berhubungan dengan riwayat stres berkepanjangan. Stres umumnya disebabkan daily hassl, namun pada sebuah kasus stres disebabkan oleh major life event. Selain itu stres ini pun berhubungan dengan: cognitive appraisal.
Tentang gambaran strategi coping, seluruh sampel cenderung memilih emotional focus coping. Tetapi bila dilihat dari kronologis cerita di masa lalu terungkap bahwa dua orang sampel pernah mencoba melakukan problem focus coping hanya saja hasilnya tidak memuaskan hingga kemudian lebih memilih emotional focus coping. Sayangnya emotional focus coping yang dikembangkan oleh seluruh sampel masih kurang efektif dikarenakan mereka juga mengembangkan perilaku coping yang bersifat destruktif, yaitu: giving up, striking out at others, indulging self blaming self, dan defensive coping. Hal ini menyebabkan seluruh sampel masih terus mengalami dispepsia fungsiona."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
T18611
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Henny Heryatni
"ABSTRAK
Musik menipakan suatu karya seni yang dapat dinikmati oleh siapa saja, kapan saja
dan dimana saja. Musik menimbulkan respons pada pendengamya. Respons terhadap
musik berdasarkan domain afektif dan estetis terdiri dari tiga tahap, yaitu respons
emosional, respons berdasarkan preferensi, dan respons berdasarkan selera musik.
Ketiga respons ini tidak dapat saling dipisahkan, melainkan merupakan suatu proses
yang berkelanjutan, yang sejalan dengan proses intemalisasi dari Krathwohl, Bloom,
dan Masia (dalam Abeles dan Chung, 1996). Beberapa peneliti mengatakan bahwa
pendengar memilih untuk mendengar musik tertentu karena memiliki karakteristik
kepribadian tertentu. Hal ini menimbulkan ketertarikan untuk dilakukannya penelitian
yang menggambarkan kepribadian dari penikmat musik. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui ciri khas kepribadian pada individu yang menyukai musik klasik,
jazz, dan dangdut.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif, dengan membuat daftar
pertanyaan berdasarkan teori respons terhadap musik dari Abeles dan Chung (1996)
dan kepribadian dari Allport (1961). Selanjutnya dilakukan wawancara terhadap 2
orang penikmat musik klasik, 2 orang penikmat musik Jazz, dan 2 orang penikmat
musik dangdut. Dari hasil wawancara didapat gambaran mengenai respons terhadap
musik dan gambaran kepribadian dari setiap subyek. Kemudian dilakukan
perbandingan dari keenam subyek untuk dibuat kesimpulan.
Saran yang diberikan adalah untuk mengembangkan penelitian ini lebih lanjut pada
subyek dengan seleia musik selain musik klasik. Jazz, dan dangdut. Hal ini
dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran kepribadian dari penikmat jenis musik
selain yang dipaparkan dalam penelitian ini."
2004
S2812
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Didy Indriani Haryono
"ABSTRAK
Selama seperempat abad terakhir ini, peranan sumber daya manusia dalam proses pembangunan masyarakat di berbagai negara semakin disadari, sehingga upaya-upaya pemeliharaan, pemanfaatan dan pengembangannyapun terus ditingkatkan.
Sebagai negara berkembang yang memasuki era industrialisasi, pola pembangunan Indonesia juga menekankan pentingnya peranan potensi sumber daya manusia yang merupakan modal dasar dan aset bagi proses pertumbuhan dan peningkatan taraf hidup masyarakat (Pola umum pelita IV, 1984).
Pengembangannya secara makro dilandasi asumsi bahwa, sumber daya manusia (termasuk angkatan kerja) yang merupakan sumber daya terbanyak dinegara berkembang belum sepenuhnya dimanfaatkan dengan efektif dan optimal. Juga sebagian besar upaya-upaya pengembangannya masih jauh dibawah potensi dan kualitas yang diharapkan. (Gunawan Wardana, 1980; Knudson, 1967).
Pada tingkat organisasi (mikro), proses pengembangan sumber daya manusia dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi dan pertumbuhan, sedangkan pada tingkat individu dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan pelaksanaan kerja dan pencapaian kepuasan kerja. Dalam pencapaian tujuan pembangunan dan maksud pengembangan tersebut, maka kontribusi nyata sumber daya manusia sebagai subyek utama penggerak pertumbuhan diberbagai sektor adalah aktivitas kerja, usaha dan karyanya (Departemen Tenaga Kerja RI, 1925).
Adalah suatu kenyataan bahwa bekerja merupakan aktivitas sentral manusia, oleh karenanya "kerja" menjadi titik pusat perhatian dalam pengalaman hidup sehari-hari. (Rambo, 1982; Seeman, 1974; Davies dan Shackleton, 1975; Hackman dan Suttle, 1978; Warr, 1971; Davis, 1965).
Pada hakekatnya makna "kerja" berkaitan erat dengan "aktivitas" dan "ruang". Sebagai "aktivitas", maka "kerja" melibatkan unsur tugas-tugas yang akan mengungkapkan kemampuan dan energi seseorang, serta karakteristik kepribadian dan identitas dirinya. Sebagai "ruang", makna kerja menyangkut lingkungan sosial dan interpersonal serta organisasi tempat aktivita berlangsung. (Rambo, 1982; Super, 1957; Holland, 1966).
Dari kenyataan tersebut, konsekuensi logisnya adalah bahwa terdapat interaksi yaitu saling berhubungan, antara faktor-faktor individu (dengan segala aspek yang melekat padanya), tugas pekerjaan yang dilaksanakannya serta lingkungan kerja/organisasi kerjanya.
Karena itulah seperti dinyatakan oleh Gunawan Wardana, 1982; dan Hidayat, 1979; Sondang Siagian, 1985; Udai Pareek 1984, bahwa berbagai fenomena dan permasalahan yang timbul dalam lingkup individu dan lingkungan/organisasi kerja, mendukung berkembangnya pemikiran dan penelitian-penelitian sumber daya manusia, khususnya perilaku individu dalam organisasi.
Lagi pula aspek individu dalam organisasi merupakan unsur terpenting sehingga pendekatan-pendekatan perilaku perlu di lakukan, sebab perilaku individu dalam organisasi itulah yang akan menentukan berhasil tidaknya organisasi mencapai tujuan. Pembentukan sikap dan perilaku dalam organisasi, menurut Duncan (1981) merupakan perpaduan antara pengalaman masa lampau, dan pengaruh lingkungan masa kini, yang meliputi: lingkungan kelompok kerjanya, nilai-nilai kerja serta aspirasi individu terhadap pekerjaan.
Para ahli dibidang organisasi dan perilaku, juga berpendapat senada tentang adanya kaitan erat antara sikap perilaku individu dengan lingkungan organisasi, bahkan keduanya saling mempengaruhi. (Howell, 1976; Shackleton, 1975; Wexley dan Yuki, 1977; Davies, 1985; Hackman, 1978). Aktivitas kerja dan peranan kerja bagi individu-individu anggota masyarakat tidak hanya berlaku dalam arti ekonomis, tapi justru yang lebih mendasar adalah peranannya sebagai sarana sekaligus wahana pemenuhan kebutuhan psikologis. Dan hal ini nampak tercermin dalam sikap, dan persepsi individu terhadap pekerjaannya. Secara spesifik, sikap dan persepsi tersebut dinyatakan dalam berbagai bentuk reaksi/respons. (Roe, 1978; Kendall dan Hulin, 1969; Gibson dan Klein, 1971; Rambo, 1982).
"
1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>