Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 166496 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Pristine Rulyta
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran proses dukacita
(grief) dan dukungan sosial vang terjadi pada ibu vang mengalami kematian
anaknya. Hal ini menarik karena kematian anak bagi orangtua dianggap sebagai
sesuatu yang mengejutkan dan traumatik. Harapan yang biasa timbul dari
orangtua adalah anak akan hidup lebih lama daripada mereka. Dalam hal ini,
keberadaan anak sangat diharapkan untuk melanjutkan keabadian dari
orangtuanya. Bagi ibu ekspresi kehilangan terhadap anak lebih terlihat dan lebih
ekspresif sifatnya. Penelitian mengatakan bahwa reaksi emosional ibu terhadap
kematian anaknya besar atau lebih besar dibandingkan dengan reaksi akibat
kehilangan pasangan. Pada saat seseorang mengalami tekanan, terutama
menghadapi kematian seseorang yang disayangi atau orang terdekat, orang
tersebut memerlukan cara untuk mengatasi hal tersebut. Ibu akan berpaling pada
orang lain untuk mendapatkan pertolongan, dukungan, kenyamanan dan
mengekspresikan rasa sedihnya saat berada di bawah tekanan.
Penelitian yang dilakukan terhadap tiga orang partisipan ini menggunakan
pendekatan kualitatif yaitu studi kasus. Data yang telah berhasil dikumpulkan
melalui wawancara yang mendalam (in-depth interview) dianalisis dengan menggunakan berbagai teori tentang kematian dan proses dukacita, nilai seorang
anak bagi ibu, dan dukungan sosial.
Proses dukacita yang terjadi pada partisipan dalam penelitian ini adalah
numbness, realization, yearning, disorganization & despair, dan reorganization.
Hal ini tidak berbeda dengan yang ditemukan pada penelitian lain. Namun
perbedaan antar subyek tampak dalam ekspresi dan perilaku mereka Pada tahap
numbness, perbedaan yang terjadi adalah munculnya anticipatory grief, yaitu rasa
duka yang telah muncul sebelum kematian terjadi pada seorang yang dikasihi
pada partisipan M. Pada tahap realization, semua partisipan menyadari bahwa
anak tidak akan dapat hidup kembali, dan kematian itu merupakan hal yang nyata
dan harus dihadapi. Pada tahap yearning, tingkah laku yang muncul pada ketiga
partisipan adalah mengumpulkan barang-barang kepunyaan anak yang telah
meninggal, rasa marah kepada Tuhan yang telah memanggil anak mereka, juga partisipan. Pada V dan Y timbul pikiran yang jauh kemana-mana (wandering
mind), balikan Y seakan-akan melihat dan mendengar suara anaknya. Sedangkan
pada M timbul penyakit fisik yaitu lever yang sudah lama dideritanya dan tekanan
darah yang menurun. Pada tahap disorganizalion and despair, ketiga partisipan
menghadapi perasaan longing, rasa sakit karena rindu kepada anak mereka yang
telah meninggal. Namun reaksi yang terjadi dalam menghadapi perasaan itu
berbeda-beda. Di tahap reorganization, ketiga partisipan mulai kembali
bersosialisasi dengan masyarakat. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses
dukacita ibu, pertama adalah penyebab kematian anak, kedua adalah nilai anak
bagi ibu, faktor terakhir adalah dukungan sosial. Keseluruhan faktor ini saling
berkaitan mempengaruhi proses dukacita yang teijadi pada ibu.
Dalam penelitian selanjutnya sebaiknya melakukan wawancara juga
dengan orang-orang terdekat {significant others) seperti orang-orang yang tinggal
bersama dengan partisipan yaitu suami dan anak-anak, serta orang-orang dari
lingkungan sekitar/tetangga untuk mendapat gambaran proses dukacita yang
terjadi dan dukungan sosial pada ibu yang mengalami kematian anaknya dapat
menyeluruh, lengkap dan jelas; menggunakan teori yang merupakan hasil-hasil
penelitian para ahli yang digunakan sebagai sumber data dalam penelitian
metaanalisis;cakupan penelitian yang lebih sempit dengan memfokuskan pada
faktor dan dampak tertentu akan membuat pengumpulan dan analisis data dapat
lebih mendalam. Penelitian secara khusus yang dapat diteliti pada penelitian
selanjutnya adalah konsekuensi/dampak grief pada seorang ibu ataupun ayali yang
kehilangan anaknya. Kehilangan di sini dapat dikarenakan kematian, penculikan,
atau menyerahkan ke panti asuhan."
2004
S3347
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Geraldine Abigail Theophilus
"Anak merupakan peristiwa traumatis yang sangat menyakitkan bagi orang tua yang ditinggalkan. Perjuangan dalam memaknai peristiwa kehilangan tersebut dapat memunculkan pertumbuhan positif atau post-traumatic growth pada beberapa orang tua. Tidak semua individu yang melalui peristiwa traumatis pasti mengalami post-traumatic growth sehingga pemahaman akan faktor sosial dan faktor individual yang memengaruhi kemunculan post-traumatic growth menjadi penting. Penelitian ini melihat peran persepsi dukungan sosial dan forgiveness dalam memprediksi post-traumatic growth pada orang tua yang mengalami kematian anak. Responden penelitian ini adalah 38 orang tua yang mengalami kematian anak dalam enam tahun terakhir. Responden diminta untuk mengisi alat ukur Heartland Forgiveness Scale (HFS), Multidimensional Scale of Perceived Social Support (MSPSS), dan Post-traumatic Growth Inventory (PTGI). Hasil analisis metode regresi berganda antara persepsi dukungan sosial dan forgiveness terhadap PTG menunjukkan hasil yang signifikan (R2 = 0,223, p < 0,05). Dari kedua prediktor, hanya persepsi dukungan sosial (β = 0,448, F(2, 35) = 5,034, p < 0,01) yang secara signifikan memprediksi post-traumatic growth, sedangkan forgiveness (β = 0,087, F(2, 35) = 5,034, p > 0,05) tidak signifikan dalam memprediksi post-traumatic growth. Persepsi dukungan sosial yang positif dapat membantu orang tua untuk memaknai kehilangan yang dialami secara lebih efektif dan berdampak pada kemunculan

The death of a child is a traumatic experience for the parents of the deceased. Nevertheless, the struggle to make meaning out of the loss experienced may induce positive changes, known as post-traumatic growth, among some bereaved parents. Post-traumatic growth does not happen in all individuals after encountering a traumatic event, hence effort to understand the social and individual factors which influence post-traumatic growth is much needed. This study aims to investigate the role of perceived social support and forgiveness in predicting post-traumatic growth among bereaved parents. A total of 38 parents who experienced child loss in the last six years completed the Heartland Forgiveness Scale (HFS), the Multidimensional Scale of Perceived Social Support (MSPSS), and the Post-traumatic Growth Inventory (PTGI). Multiple regression analyses showed that perceived social support and forgiveness significantly predicted post-traumatic growth (R2 = 0,223, < 0,05). Among the two predictors, perceived social support significantly predicted post-traumatic growth (β = 0,448, F(2, 35) = 5,034, p < 0,01), whereas forgiveness did not (β = 0,087, F(2, 35) = 5,034, p 0,05). It is found that higher perceived social support helps parents to cope with the loss more effectively and effects the emergence of post-traumatic growth."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dinda Tasya
"Penerapan sistem pembelajaran jarak jauh sebagai upaya pencegahan penularan COVID-19 memberikan pengaruh terhadap kesehatan jiwa remaja. Selama pembelajaran jarak jauh, remaja seringkali mengalami jenuh; malas melakukan aktivitas; tugas yang terlalu banyak; sulit berkonsentrasi; cemas; bahkan stres yang nantinya berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan jiwa. Dukungan sosial dari orang disekitarnya terutama orang tua yang merupakan orang terdekat bagi remaja akan memberikan pengaruh positif kepada remaja terutama selama pembelajaran jarak jauh ini. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui gambaran dukungan sosial orang tua pada remaja selama pembelajaran jarak jauh. Sampel penelitian ini adalah 313 siswa SMP Negeri 5 Depok dengan teknik pengambilan sampel simple random sampling. Penelitian ini menggunakan instrumen Child and Adolescent Social Support Scale (CASSS) (r = 0,962) hanya mengukur pada Sub Skala Dukungan Sosial Orang Tua. Hasil penelitian menunjukkan selama pembelajaran jarak jauh remaja memperoleh dukungan sosial orang tua yang tinggi. Diperlukan adanya promosi kesehatan terkait pentingnya dukungan sosial orang tua bagi perkembangan dan kesehatan jiwa remaja terutama selama melaksanakan pembelajaran jarak jauh.

The application of the distance learning system as an effort to prevent the transmission of COVID-19 has an impact on the mental health of adolescents. During distance learning, adolescents often experience boredom; are lazy to do activities; have too many tasks; difficulty concentrating; anxiety; and even stress that has the potential to cause mental health problems. Social support from the people around them, especially parents who are the closest people to adolescents, will have a positive influence on adolescents, especially during distance learning. This study is a quantitative study with a descriptive design that aims at the description of parent social support to adolescents during distance learning. The sample in this study was 313 students of SMP Negeri 5 Depok with a simple random sampling technique. This study used the Child and Adolescent Social Support Scale (CASSS) instrument (r = 0.962) only to measure the Parental Social Support Sub Scale. The results showed that during distance learning, adolescents received high parental social support. There is a need for health promotion related to the importance of parental social support for the development and mental health of adolescents, especially during distance learning."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Melani Aprianti
"ABSTRAK
Pernikahan bukanlah hal yang abadi. Perpisahan dapat teijadi karena
bercerai ataupun kematian. Kehilangan pasangan hidup akibat kematian
merupakan perubahan besar dalam hidup seseorang. Reaksi kematian pasangan
atau anak adalah kehilangan yang paling traumatis pada orang dewasa
(Aiken,1994). Terutama pada kematian yang bersifat tiba-tiba dimana individu
yang ditinggalkan tidak memiliki persiapan sama sekali. Kehilangan pasangan
merupakan hal yang berat bagi wanita yang ditinggalkan. Mereka harus
menghadapi bereavement dan juga masalah-masalah baru sebagai janda.
Bereavement adalah suatu rasa kehilangan akibat kematian. Bereavement
terdiri dari grief dan mourning. Grief adalah reaksi internal dari kehilangan dan
mourning adalah pengekspresian dari rasa kehilangan tersebut. Parkes dalam Hall
& Perlmutter (1985) menyatakan dalam menghadapi grief itu sendiri melewati
empat proses yaitu emptiness (kekosongan) dan numbness (kekakuan), yearning
(kerinduan), disorientasi dan reorganisasi. Hal lain yang dihadapi seorang wanita
paska suami adalah Masalah-masalah sebagai janda. Masalah-masalah yang harus
dihadapi wanita yang menjanda menurut Hurlock (1986) adalah masalah
ekonomi, masalah rumah tangga, masalah tempat tinggal, masalah sosial, masalah
seksual dan masalah praktis.
Dalam menghadapi hal-hal diatas, diperlukan suatu keyakinan akan
kemampuan diri untuk menghadapinya dan dukungan dari orang lain. Self efficacy
disebutkan oleh Parkes dalam Encyclopedia of marriage and the family (1995)
sebagai salah satu faktor utama yang mempengaruhi tingkat kesulitan yang
dialami seorang janda. Dukungan sosial memiliki peran penting pada bereavement
dan berfungsi sebagai pelindung pada kejadian hidup yang stresful ( encyclopedia
of marriage and the family, 1995). Penelitian ini ditujukan untuk mendapatkan gambaran self efficacy dan dukungan sosial dalam menghadapi proses grief dan
masalah-masalah pada wanita paska kematian suami.
Untuk menggali lebih dalam tentang gambaran self efficacy dan dukungan
sosial maka penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Dengan tekhnik
pengambilan data utama adalah wawancara. Selain analisis intra kasus pada
masing-masing subjek juga dilakukan analisis antar subjek. Subjek pada
penelitian ini adalah tiga orang dengan kriteria kematian suami bersifat tiba-tiba,
lama menjanda dibawah 4 tahun, berusia antara 18-46 tahun ketika suami
meninggal dan memiliki anak.
Kesimpulan yang didapat pada penelitian ini adalah pada awal proses
grief self efficacy ketiga subjek dapat digolongkan rendah dan self efficacy
mereka mulai muncul karena anak. Masalah-masalah yang dihadapi masingmasing
subjek berbeda-beda dan self efficacy muncul sesuai dengan tuntutan
hidup yang subjek anggap paling penting.
Cohen dan Wills (1998) menyebutkan bahwa dukungan sosial terdiri dari
esteern support, informational support, social companionship dan instrumental
support. Ketiga subjek dalam penelitian ini mendapatkan keempat bentuk
dukungan sosial tersebut. Kehadiran seseorang yang mendengarkan dan
memberikan nasihat cukup membantu proses grief yang dialami subjek( esteern
support, social companionship dan informational support ). Terlepas dari kondisi
ekonomi subjek, instrumental support dan informational support membantu
subjek dalam menghadapi tuntutan hidup."
2003
S3191
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erynda Trihardja
"Kecemasan sosial pada anak usia sekolah perlu mendapatkan penanganan. Penelitian ini menggunakan desain single-case untuk mendapatkan gambaran penerapan intervensi Theraplay dalam mengatasi masalah kecemasan sosial dan Parent-Child Relational Problems pada anak. Partisipan penelitian adalah anak perempuan berusia sembilan tahun dengan masalah kecemasan sosial dan didiagnosis parent-child relational problems, bersama dengan kedua orangtuanya. Sesi terapi dilakukan sebanyak delapan sesi selama ±60 menit setiap sesinya.
Hasil yang diperoleh penelitian ini adalah kecemasan sosial pada K sudah dapat diatasi namun belum sepenuhnya. Berdasarkan Child?s Behavior Checklist, terjadi penurunan skor pada skala masalah perilaku internalizing dan pada aspek anxious/depressed. Berdasarkan Social Anxiety Scale for Children Revised, terjadi penurunan skor total dan skor pada komponen fear of negative evaluation. Interaksi orangtua-anak yang teramati melalui Marschack Interaction Method pada dimensi structure, engagement, nurture, dan challenge meningkat lebih positif.

Social anxiety in middle childhood needs immediate treatment. This study conducted a single-case research in order to get an overview of the application of Theraplay in treating child?s social anxiety and parent-child relational problems. A nine year old girl with social anxiety and is diagnosed with parent-child relational problems was selected as participant along with her parents. A total of eight treatment sessions for ±60 minutes each were conducted in this study.
The result indicated that Theraplay could be applied to treat social anxiety in child with parent-child relational problems. The score of internalizing and anxious/depressed problem scales in Child?s Behavior Checklist were decreased. The total score and the score of fear of negative evaluation component in Social Anxiety Scale for Children Revised was decreased as well. Parent-child interaction, measured with Marschack Interaction Method, was found to increase according to its four dimensions, which is structure, engagement, nurture, and challenge.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2016
T46572
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yeni Kuswarini
"Setiap pasangan suami isteri yang telah menikah tentunya rnengharapkan memiliki anak yang sehat, namun apabila ternyata anak yang mereka menderita suatu penyakit kronis tertentu, seperti leukemia, hal ini merupakan suatu situasi yang tidak dapat mereka hindari. Memiliki anak yang cacat atau menderita penyakit yang kronis, telah diketahui sejak lama dapat menjadi sumber stres dalam keluarga (Kazak, 1989). Banyak hasil penelitian yang menyatakan bahwa pengaruh yang negatif ini terutama dirasakan oleh ibu. Kondisi anak menciptakan perasaan-perasaan negatif pada ibu, seperti perasaan tidak berdaya, ketakutan, terlalu melindungi anak, dan perasaan yang berlebihan akan tanggung jawab (Silver, bauman, & Ireys, 1995). Dari keadaan ini terlihat bahwa ibu dari anak yang menderita penyakit kronis, merupakan individu yang berhadapan dengan situasi yang dievaluasi sebagai penuh ancaman dan tuntutan. Keadaan seperti ini oleh Lazarus (1976) dinamakan stres.
Individu yang menghadapi situasi yang dinilai mengandung stres, kemudian mengevaluasi sumber-sumber daya yang dimilikinya baik dari dalam diri dan diluar diri individu. Sumber-sumber daya ini kemudian membantu individu menampilkan perilaku yang ditujukan untuk menghadapi situasi stres. Perilaku ini dinamakan coping. Coping tampil baik berupa tingkah laku nyata ataupun berupa kegiatan kognitif (Lazarus & Folkman, dalam Kaplan dkk, 1993). Secara umum coping terbagi dalam dua jenis. Yang pertama, coping terpusat masalah (problem-focused coping),yaitu suatu tindakan yang diarahkan kepada pemecahan masalah atau dengan mengubah situasi. Yang kedua, coping terpusat emosi (emotion-focused coping), yaitu coping yang ditujukan untuk mengatur respon emosional terhadap situasi stres. Oleh Caver & Scheier (1989), masing-masing jenis coping dibedakan dalam lima variasi.
Individu yang melakukan coping tidak terlepas dari pengaruh orang-orang dan lingkungan dimana ia berada. Orang-orang ini dapat memberikan dukungan bagi individu yang berfungsi sebagi penahan (buffer) yang mereduksi akibat dari stres. Dukungan-dukungan seperti ini dinamakan dukungan sosial (Smet, 1994). Bentuk dukungan sosial ada lima, yaitu dukungan informasi, dukungan instrumentalmateri, dulcungan emosi, dukungan penghargaan, dan dukungan persahabatan (Oxford, 1992). Sedangkan sumber dukungan sosial dapat dibagi dari kalangan profesional, non profesional (significant others), dan kelompok dukungan social (social support group). Persepsi dari individu terhadap tersedianya dukungan sosial di lingkungan disekitarnya merupakan salah satu sumber daya yang dapat digunakan dalam menghadapi situasi stres.
Dengan demikian terlihat bahwa dukungan sosial dapat mempengaruhi perilaku coping yang ditampilkan. Dukungan sosial dapat menjadi sumber daya bagi ibu untuk menampilkan perilaku coping. Maka penting untuk mengetahui gambaran dukungan sosial yang didapat ibu dan gambaran perilaku coping yang ditampilkan ibu dalam menghadapi anak yang menderita leukemia, serta gambaran pengaruh dukungan sosial yang didapat terhadap tampilnya perilaku coping ibu. Sebelumnya juga perlu dillhat bagaimana gambaran stres yang dialami ibu.
Penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif Keabsahan penelitian dijaga dengan menggunakan triangulasi analis, yaitu menggunakan analis lain selain peneliti untuk menganalisis hasil penelitian, dan triangulasi data, yaitu menggunakan observasi selain wawancara dalam mengumpulkan data. Sedangkan keajegannya dijaga dengan dibuatnya pedoman wawancara. Subyek yang digunakan sebanyak 5 orang, yaitu para ibu yang memiliki anak penderita leukemia yang dirawat di RSCM Jakarta.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu yang memiliki anak yang menderita leukemia, menghadapi beberapa kondisi dan situasi yang dinilai sebagai sumber stres. Ibu menampilkan kedua jenis perilaku coping. Coping terpusat masalah dilakukan bila menghadapi situasi yang dapat dicari pemecahannya atau dapat diubah, sedangkan perilaku coping terpusat emosi ditampilkan dalam menghadapi emosi negatif. Semua bentuk dukungan sosial pemah didapatkan ibu. Hanya kelompok dukungan sosial sebagai sumber dukungan yang tidak didapat para ibu. Selain itu juga didapat hasil bahwa dukungan sosial memiliki peran yang cukup penting terhadap munculnya perilaku coping pada ibu.
Berdasarkan hasil penelitian ini juga diketahui bahwa para ibu memiliki harapan yang besar untuk mendapatkan infomaasi yang lengkap dan jelas dari dokter. Mempertimbangkan hal ini maka disarankan dari kalangan profesional, seperti dokter dan paramedis agar dapat meluangkan waklunya untuk memberikan masukan yang jelas dan lengkap sesuai tingkat pemahaman para ibu. Juga disarankan untuk membentuk kelompok dukungan yang dipandu oleh kalangan profesional. Melalui kelompok ini para ibu dapat saling bertukar pengalaman dan berbagi perasaan, sehingga akhirnya diantara mereka dapat saling memberikan dukungan sosial. Peran ayah dalam menghadapi anak yang menderita leukemia juga nampaknya cukup berat. Selain ikut membantu ibu merawat anak, para ayah juga memiliki tanggung jawab dalam mencari nafkah untuk membiayai pengobatan anak. Dengan memperhatikan hal ini, menjadi sangat menarik bagi yang hendak mengembangkan penelitian sejenis, untuk melakukan studi perhandingan dengan subyek para ayah."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1998
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian L. Izwar
"ABSTRAK
Masa remaja adalah masa peralihan dari masa anak-anak menuju masa dewasa yang
ditandai dengan pembahan secara fisik, kognitif dan sosial emosional (Santrock, 1990).
Masa ini dikenal juga sebagai masa pubertas yang ditandai terutama dengan perkembangan
karakteristik seks primer dan sekunder (Turner & Helms, 1987). Masa pubertas ini secara
intrinsik berkaitan dengan seksualitas (Tolan & Cohler, 1993) sehingga pada masa ini remaja
mulai tertarik pada Iawan jenisnya. Dalam perkembangan psikososial, remaja mulai memasuki
tahap heterosociality dimana ia mendapatkan kesenangan dalarn berhubungan dengan
teman dari jenis kelamin yang sama atau lawan jenisnya (Rice, 1990). Dalam salah satu
tugas perkembangan yang dikemukakan oieh Havighurst (dalam Turner & Helms, 1987)
remaja juga diharapkan untuk dapat membina hubungan yang lebih matang baik dengan
teman Iaki-laki maupun dengan perempuan dan mempersiapkan diri untuk menikah. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa hubungan antara remaja pria dan wanita merupakan hal
yang wajar.
Dewasa ini fenomena pacaran pada remaja awal yang berusia antara 12-15 tahun
semakin sering ditemui. Beberapa remaja putri yang masih duduk di bangku SLTP
mengatakan bahwa mereka telah punya pacar. Pada penelitian ini batasan pacaran yang
digunakan adalah hubungan yang tetap antara remaja putri dan remaja putra yang ditandai
dengan adanya kegiatan-kegiatan yang dilakukan bersama namun belum ada komitmen
untuk menikah. Rice (1990) mengemukakan tujuh tujuan pacaran, yaitu rekreasi, persahabatan tanpa adanya tanggung jawab untuk menikah, status dan prestasi, sosialisasi,
memperoleh pengalaman dan kepuasan seksual, memilih teman hidup dan mendapatkan
keintiman. Sementara kegiatan pacaran pada penelitian ini dlkelompokkan menjadi kegiatan
bersama hanya dengan pasangan, kegiatan bersama pasangan dalam kelompok dan
kegiatan yang mengarah pada tingkah Iaku seksual.
Masalah yang kemudian muncuI adalah pandangan orang tua yang berbeda terhadap
masalah pacaran ini. Penelitian Gunawan (1983) menunjukkan bahwa para ibu tidak setuju
jika remaja putri mereka yang berusia antara 12-15 tahun berpacaran. Sementara penelitian
Winarini (1980) mengemukakan bahwa masalah yang paling banyak dialami remaja dalam
hubungan heteroseksual adalah tidak punya pacar. Tema mengenai hubungan seksual ini
juga merupakan tema yang sering muncul dalam fantasi anak usia puber berdasarkan
penelitian Soegiharto (1986). Dari ketiga penelitian ini dapat dikatakan bahwa ibu umumnya
tidak setuju remaja putri mereka berpacaran sedangkan remaja ingin punya pacar. Mengingat
persepsi menentukan bagaimana individu harus menghadapi lingkungannya dan
mendefinisikan situasi yang ada maka perlu diketahui bagaimana persepsi ibu dan remaja
putri mengenai pacaran ini agar konflik-konflik yang mungkin timbul dapat dihindari. Yang
dimaksud dengan persepsi di sini adalah kategorisasi dan interpretasi terhadap suatu stimulus
yang dilakukan secara selektif oleh individu untuk memberi makna pada Iingkungannya.
Dengan demikian masalah pada penelitian ini adalah : Bagaimanakah persepsi ibu dan
remaja putri usia 12-15 tahun terhadap tujuan dan bentuk tingkah Iaku pacaran yang
dilakukan oleh remaja putri usia 12-15 tahun ?
Penelitian ini bersifat deskriptif dan alat pengumpul data yang digunakan adalah
itemized rating scales unluk mengukur persepsi terhadap tujuan dan bentuk tingkah Iaku
pacaran pada 50 orang ibu dengan pendidikan minimal SLTA dan 50 orang remaja putri usia
12-15 tahun.
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa baik ibu maupun remaja putri mempersepsi
tujuan pacaran dan remaja putri usia 12-15 tahun adalah untuk belajar mengenai aturan-
aturan sosial dan bagaimana berhubungan dengan orang lain. Di samping itu bagi remaja
putri kegiatan pacaran juga merupakan salah satu sarana bagi remaja putri untuk memenuhi
keinginan berada bersama-sama dengan Iawan jenis, menerima afeksi dan cinta,
mengembangkan keterbukaan, saling percaya dan saling menghargai. Ibu maupun remaja
putri tidak mempersepsi bahwa tujuan remaja putri usia 12-15 tahun berpacaran adalah untuk memilih teman hidup. Sementara itu baik ibu maupun remaja putri tidak mempersepsi
kegiatan bersama hanya dengan pasangan, kegiatan bersama pasangan dalam kelompok
dan kegiatan yang mengarah pada tingkah Iaku seksual sebagai bentuk tingkah laku pacaran
yang dilakukan oleh remaja putri usia 12-15 tahun. Hasil yang menarik adalah remaja putri
yang pernah punya pacar mempersepsi bahwa kegiatan hanya bersama dengan pasangan
dan kegiatan bersama pasangan dalam kelompok merupakan kegiatan remaja putri usia 12-
15 tahun pada waktu berpacaran sementara remaja putri yang belum pernah punya pacar
tidak mempersepsi demikian. Hasil Iain menunjukkan bahwa hampir semua ibu
mengemukakan bahwa putri mereka yang saat ini berusia antara 12-15 tahun belum punya
pacar dan hampir semua ibu tidak mengizinkan putri mereka tersebut untuk punya pacar saat
ini.
Sehubungan dengan hasil di atas hal-hal yang dapat disarankan adalah ibu dapat
lebih peka terhadap perilaku putrinya, khususnya yang berkaitan dengan hubungan pria dan
wanita serta membuka komunikasi dengan putrinya dan dapat menerima perasaan-perasaan
remaja tersebut sehingga remaja putri dapat memperoleh arahan untuk menghadapi berbagai
hal yang ditemuinya dalam menginjak masa remaja. Pendidikan seks yang benar dan orang
tua diharapkan dapat rnembantu individu Iebih siap untuk memasuki masa remaja. Untuk
kepentingan ilmu pengetahuan dapat dilakukan penelitian Ianjutan mengenai tujuan dan
bentuk kegiatan pacaran yang dilakukan oleh remaja pada sampel yang Iebih Iuas sehingga
dapat diperoieh gambaran yang menyeluruh mengenai kegiatan pacaran yang mereka
Iakukan."
1996
S2849
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mardiana
"Pernikahan poligami merupakan pernikahan antara seorang laki-laki dengan lebih dari satu perempuan. Dalam agama Islam, seorang pria yang berpoligami harus berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya. Untuk melakukan poligami yang benar (sesuai ajaran Isalam) bukanlah hal yang mudah karena akan timbul masalah-masalah, di antaranya pertengkaran antara istri-istri, anak-anak yang terlantar, kesulitan dalam berlaku adil terhadap semua anak dan istn, dan lain-lain. Masalah-masalah ini dapat mempengaruhi suami atau ayah dalam menjalankan perannya di keluarga.
Penelitian ini berfokus pada istri pertama dan anaknya. Dimana istri pertama adalah istri yang terdahulu dinikahi sehingga ia adalah orang yang pertama kali merasa dimadu (diduakan). Masalah-masalah yang timbul dalam keluarga tentunya akan berdampak pada seluruh anggota keluarga. Lalu bagaimanakah nasib istri pertama yang diduakan dan anak-anaknya. Seorang istri akan merasa trauma jika teijadi poligami (Soewondo, 2001). Sementara itu, anak sebagai pihak yang tidak dapat menolak keputusan ibu untuk mau dimadu, biasanya merasa terpaksa menerima semua itu. Ibu dan ayah kemungkinan menghadapi berbagai masalah sehingga menganggu pelaksanaan peran mereka, terutama yang ditujukan pada anak-anak. Anak-anak akan terpengaruh oleh kondisi keluarga yang seperti itu. Istri pertama dan anaknya harus menyesuaikan diri dengan keadaan ini.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui alasan-alasan yang membuat seorang istri mau dimadu; masalah-masalah yang hadapi oleh istri pertama dan anaknya; serta penyesuaian dan diri mereka. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif agar didapatkan data-data yang bersifat mendalam sehingga dapat diketahui apa yang mereka rasakan secara menyeluruh.
Dari penelitian ini diketahui bahwa alasan-alasan seorang istri mau dimadu adalah karena ketergantungan pada suami, kesejahteraan pribadi, pandangan konvensional tentang pernikahan dan status pentingnya bapak bagi anak, ketergantungan emosi, menjaga nama baik keluarga, dan adanya harapan perubahan perilaku pada diri suami. Masalah-masalah yang dihadapi oleh istri pertama adalah masalah keuangan, hubungan dengan istri muda, hubungan dengan anak, gangguan dalam menjalankan peran sebagai ibu, perasaan tidak nyaman, dan masalah keadilan. Sedangkan masalah anak adalah adanya perasaan sedih dan kecewa karena bapak menikah lagi, timbulnya perilaku destruktif, rasa malu, hubungan yang tidak sehat dengan ibu tiri, turunnya konsentrasi dan semangat dalam mengembangkan diri, dan masalah keuangan. Sementara itu, dalam hal penyesuaian diri, tiga subyek ibu dapat menyesuikan diri secara aktif, sedangkan satu subyek menyesuaikan diri secara pasif. Sementara itu, tiga subyek anak menyesuaikan diri secara aktif, dan membawa mereka pada aktualisasi diri. Sedangkan satu subyek anak merasa tidak berdaya dalam menghadapi semua ini (penyesuaian diri pasif). Dari ibu yang dekat dengan anaknya memperlihatkan penyesuaian diri yang lebih baik daripada yang tidak dekat dengan anak."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
S3278
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shafira Asiva Suri
"Partisipasi perempuan di pasar tenaga kerja Indonesia mencapai 48,65% pada tahun 2022, menunjukkan peningkatan selama satu dekade terakhir. Partisipasi perempuan di pasar tenaga kerja, terutama ibu yang bekerja, menimbulkan tantangan baru, seperti jam kerja yang panjang, karena mereka bertanggung jawab mengurus pekerjaan rumah tangga dan kantor yang membuat mereka berisiko mengalami burnout. Oleh karena itu, penelitian ini menyelidiki peran moderasi dukungan sosial dalam hubungan antara tuntutan kuantitatif dan burnout pada Ibu bekerja. Penelitian menggunakan sampel sebanyak 148 partisipan di Indonesia dengan karakteristik karyawan wanita yang sudah atau pernah menikah, berusia 21-55 tahun, memiliki anak dan bekerja minimal enam bulan di perusahaan tersebut. Penelitian ini menggunakan Oldenburg Burnout Inventory (OLBI) sebagai alat ukur burnout, Copenhagen Psychosocial Questionnaire (COPSOQ) sebagai alat ukur dukungan tempat kerja dan tuntutan tenaga kerja kuantitatif, dan Family Support Scale sebagai alat ukur dukungan keluarga. Analisis data dengan menggunakan macro process Hayes model 1 regresi moderasi pada program SPSS menunjukkan bahwa dukungan sosial keluarga memiliki efek moderasi terhadap hubungan antara tuntutan kerja kuantitatif dan ketidakterlibatan, sedangkan dukungan sosial tempat kerja memiliki efek moderasi terhadap hubungan antara tuntutan kerja kuantitatif dan kelelahan pada Ibu bekerja hybrid atau WFH. Ibu hybrid/WFH memiliki risiko kelelahan yang lebih rendah saat mendapatkan dukungan sosial tempat kerja yang lebih tinggi, dan Ibu hybrid/WFH memiliki risiko ketidakterlibatan yang lebih rendah saat mendapatkan dukungan sosial keluarga yang lebih tinggi . Oleh karena itu, penting untuk mendapat dukungan dari tempat kerja, baik dari atasan dan rekan kerja maupun dari keluarga dan kerabat dekat.

Women's participation in the Indonesian labor market reached 48.65% by 2022, indicating an increase over the last decade. Women's participation in the labor market, especially working mothers, raises new challenges, such as long working hours, as they are responsible for caring for household and office work that puts them at risk of burnout. Therefore, the study investigates the role of moderation of social support in the relationship between quantitative demands and burnout among working mothers. The study used a sample of 148 participants in Indonesia with the characteristics of married women employees aged 21-55 who had children and worked at least six months at the company. The work background and company background are not limited to the participant sample. This study used the Oldenburg Burnout Inventory (OLBI) as a burnout measurement tool, the Copenhagen Psychosocial Questionnaire (COPSOQ) as a workplace support and quantitative labor demands measuring tool, and the Family Support Scale as a family support measure. Data analysis using the macro process Hayes model 1 moderation regression in the SPSS program showed that family social support has a moderating effect on the relationship between quantitative demands and disengagement, while workplace social support had a moderate impact on the relationship between quantitative demands and exhaustion on hybrid or WFH mothers. Hybrid/WFH mothers have a lower risk of exhaustion when obtaining higher workplace social support, and hybrid /WFH mothers have a smaller risk of disengagement when getting higher family social support. Therefore, it is important to get support from the workplace, both from your superior and colleagues as well as from family and close relatives."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kaihatu, V.A.M.
"Dietary diseases adalah penyakit yang merupakan hasil dari malnutrisi yang diderita individu, sedangkan infectious diseases adalah penyakit akibat masuknya benda berbahaya atau mikroorganisme asing di dalam tubuh individu (Sarafino, 1990). Hipertensi termasuk dalam dietary diseases dan kini makin banyak dialami oleh individu dalam masyarakat. Prevalensi hipertensi berkisar antara 10 sampai dengan 20 persen penduduk dewasa Indonesia. (Kumala, 2000). Ada 2 jenis hipertensi, yaitu hipertensi sekunder (secondary hypertension) dan hipertensi esensial (essential hypertension). Essential hypertension adalah jenis hipertensi yang penyebab utamanya tidak dapat diketahui secara pasti, namun faktor-faktor yang mungkin menjadi pemicunya adalah obesitas, elemen-elemen pola makan (diet), konsumsi alkohol yang berlebihan, ketidakaktifan fisik, sejarah hipertensi dalam keluarga dan juga faktor-faktor psikososial, misalnya: stres dan perilaku emosional (Sarafino, 1990).
Tiap individu memiliki respon yang berbeda-beda terhadap stres. Variasi ini sering kali muncul sebagai hasil dari faktor psikologis dan faktor sosial yang memodifikasi pengaruh stresor terhadap individu. Salah satu cara individu untuk berespon terhadap stresor adalah dengan melakukan coping. Coping merupakan cara yang dapat dilakukan dalam mengatasi stres (Sarafino, 1990). Coping yang dilakukan individu untuk mengatasi situasi stres mungkin bervariasi dan tidak selalu memberikan penyelesaian. Namun selain untuk memperbaiki atau mengatasi masalah, coping juga dapat menolong seseorang untuk mengubah pemahaman akan suatu masalah, melakukan toleransi atau menerima akibat yang ditimbulkan oleh masalah, bahkan untuk menghindari situasi tersebut (Lazarus &Folkman, 1984b; Moos & Schaefer, 1986, dalam Sarafino, 1998).
Coping memiliki dua dimensi luas (Lazarus & Folkman dalam Sarafino, 1990), yaitu problem-focused coping dan emotional-focused coping. Cara lain untuk memodifikasi stres sehingga mengurangi pengaruhnya terhadap kesehatan adalah dengan memunculkan dukungan sosial (social supporf) kepada individu. Dukungan sosial menurut Cobb, Gentry & Kobasa, Walston, Alagna, DeVellis & DeVellis, Wills (dalam Sarafino, 1990) merujuk pada adanya perasaan nyaman, perhatian, kepercayaan, dukungan moral dan bantuan yang diperoleh individu dari orang atau kelompok lain.
Dukungan-dukungan ini dapat berasal dari berbagai pihak seperti significant others yang dimiliki individu atau rekan kerja, dokter maupun komunitas organisasi yang diikuti oleh individu. Lima klasifikasi dasar dari dukungan sosial (social supporf) yang dikemukakan oleh Cohen & McKay, Cutrona & Russel, House, Schaefer, Coyne & Lazarus (dalam Sarafino, 1990) adalah emotional supporf, esteem supporf, tangible atau instmmental supporf, informational supporf dan network supporf. Penekanan dalam penelitian ini adalah pada dukungan sosial berupa emotional supporf. Dukungan ini diberikan dalam bentuk ekspresi empati, caring dan kepedulian terhadap individu yang bersangkutan. Berdasarkan latar budaya yang ada di Indonesia, tugas dan kewajiban perempuan masih sangat erat dikaitkan dengan pengelolaan, pemeliharaan dan perawatan keluarga. Sehubungan dengan hal ini, fungsi perempuan dalam rumah tangga masih mendominasi bagian pengaturan pemenuhan kebutuhan keluarga.
Dengan demikian, pemilihan gaya hidup dan pola nutrisi keluarga juga diserahkan pada perempuan, khususnya pada ibu rumah tangga. Pengaturan mengenai makanan dan minuman menjadi tanggung jawab mereka sehingga pada akhirnya mempengaruhi kondisi kesehatan keluarganya. Bila seorang ibu rumah tangga menderita hipertensi, maka ia harus mengubah pola makannya dan mengikuti diet tertentu untuk mempertahankan tekanan darahnya di posisi normal. Hal ini berarti pola makannya berbeda dengan pola makan keluarganya. Peneliti kemudian tertarik untuk melakukan penelitian terhadap ibu rumah tangga yang menderita hipertensi sehingga harus mengubah pola makannya, namun harus tetap mengatur pola makan keluarganya.
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui gambaran stres, coping dan dukungan sosial yang diterima oleh ibu rumah tangga penderita hipertensi. Penelitian ini menggunkan metode kualitatif dengan dua cara pengumpulan data yaitu wawancara dan observasi. Subyek penelitian terdiri dari empat orang ibu rumah tangga yang tinggal dengan minimal seorang anak yang mengikuti pola makan ibunya.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa masing-masing subyek umumnya memiliki pola stres dan coping yang sama. Mereka mengalami tahapan yang sama dalam mempersepsikan kondisi sakitnya, menilai sumber-sumber daya coping yang dimiliki dan pada akhirnya menggunakan strategi-strategi coping sesuai sumber daya yang mereka miliki. Keempat subyek memiliki dukungan sosial yang lengkap, mencakup lima klasifikasi dasar dari dukungan sosial yang dikemukakan oleh Cohen & McKay, Cutrona & Russel, House, Schaefer, Coyne & Lazarus (dalam Sarafino, 1990). Namun demikian, dukungan emosional yang diberikan oleh anak subyek dalam bentuk mengikuti pola makan yang sama ternyata tidak memiliki pengaruh yang besar terhadap keadaan stres dan coping subyek dalam menghadapi penyakit hipertensi yang dideritanya.
Saran yang dapat diberikan pada penelitian ini adalah mengenai kelengkapan data tentang faktor penyebab penyakit hipertensi yang diderita oleh masing-masing subyek. Untuk itu perlu diadakan penelitian dengan pendekatan yang lebih menyeluruh terhadap subyek penelitian sehingga faktor-faktor yang berpengaruh dapat diteliti lebih lanjut. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif sehingga data yang diperoleh dapat saling melengkapi. Selain itu, penelitian juga dapat dikembangkan untuk meneliti stres dan coping yang dialami oleh individu yang anggota keluarganya menderita hipertensi."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
S3209
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>