Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 169854 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yuni Nijmah
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
S3271
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Susi Novasari
"Kekerasan yang terjadi dalam lingkungan keluarga adalah realita yang dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Berdasarkan data statistik, wanita dan anak-anak adalah dua kelompok yang paling sering menjadi sasaran kekerasan dalam rumah tangga: Namun, penelitian mengenai hal tersebut lebih banyak dilakukan oleh para profesional di luar negeri, khususnya negara-negara Barat. Sedangkan di Indonesia sendiri belum terlalu banyak penelitian yang dilakukan untuk mengupas tema kekerasan dalam lingkungan keluarga, khususnya kekerasan terhadap anak. Berangkat dari beberapa pandangan teoritis yang mengatakan bahwa korban kekerasan di masa kanak-kanak akan berpotensi untuk membina relasi interpersonal -khususnya relasi intim romantis heteroseksual- di masa dewasanya kelak, peneliti kemudian tertarik untuk melakukan penelitian mengenai gambaran konflik dan strategi coping dalam relasi intim romantis heteroseksual pada dewasa muda yang pernah mengalami kekerasan di masa kanak-kanaknya.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif analitis. Metode yang digunakan dalam proses pengumpulan data adalah wawancara terfokus dan observasi. Selama proses pengumpulan data, peneliti berhasil mendapatkan 3 orang subyek (1 orang laki-laki dan 2 orang perempuan), yaitu para dewasa muda yang mengalami kekerasan di masa kanak-kanaknya, serta sedang atau pernah menjalani relasi intim heteroseksual. Setelah melakukan penelitian, hasil yang didapat oleh peneliti adalah bahwa dari ketiga orang subyek dewasa muda yang mengalami kekerasan di masa kecilnya, ternyata hanya 1 orang subyek yang meneruskan rantai kekerasan dengan melakukan tindakan agresivitas terhadap pasangannya.
Subyek laki-laki dan perempuan ternyata juga memiliki orientasi yang berbeda dalam relasi intim heteroseksualnya. Pada subyek laki-laki, keintiman fisik dan emosional yang dapat diwujudkan melalui aktivitas-aktivitas seksual menjadi prioritas terpenting dalam hubungannya. Di sisi lain, ia tidak ingin merasa terikat oleh adanya komitmen dengan pasangan. Pada salah seorang subyek perempuan, ia memiliki kebutuhan yang sangat besar terhadap afeksi dan kasih sayang dari pasangannya. Namun di sisi lain, ia juga memiliki kebutuhan akan power dan dominasi yang juga sama kuatnya. Pada salah seorang subyek perempuan yang lain, kebutuhan akan afeksi dan penghargaan menjadi aspek terpenting yang mewarnai hubungannya. Jika kedua hal tersebut tidak berhasil didapatkannya dari hubungan yang dijalaninya, maka ia pun akan dengan sangat mudah mengambil jalan pintas untuk segera mengakhiri hubungan tersebut.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian ini adalah bahwa semua bentuk kekerasan yang dialami masing-masing subyek di masa kanak-kanaknya menggoreskan luka psikologis yang mendalam pada diri mereka. Namun, dari ketiga bentuk penyiksaan fisik, emosional, dan seksual yang mereka terima, kekerasan emosionallah yang paling meninggalkan luka traumatis bagi diri mereka. Kedua orang subyek perempuan mengatakan bahwa mereka memiliki trauma atas pengalaman kekerasan seksualnya di masa kanak-kanak, sedangkan pada subyek laki-laki hal tersebut tidak dialaminya. Konflik yang terjadi dalam relasi intim heteroseksual pada masing-masing subyek dilatarbelakangi oleh pengalaman traumatis mereka di masa kecil. Strategi coping yang dilakukan tiap subyek pun bersifat unik dan menunjukkan ciri khas karakter dari masing-masing individu."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
S3512
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Waheeda B. Abdul Rahman
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kebahagiaan wanita dewasa muda yang dibesarkan dalam keluarga poligami. Selain itu, untuk mengetahui keutamaan dan kekuatan yang dimiliki dan bagaimana mereka mengaplikasikannya di dalam kehidupan mereka untuk meraih kebahagiaan. Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif dengan disain deskriptif. Kuesioner VIA-IS juga digunakan untuk mengenal keutamaan dan kekuatan subjek penelitian.
Subjek penelitian terdiri dari empat wanita dewasa muda yang dibesarkan dalam keluarga poligami. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam, sedangkan analisis dilakukan dengan merujuk pada hasil dari kuesioner VIA-IS, standar dan pendapat peneliti.
Dari analisis terhadap hasil wawancara dan perhitungan nilai dari kuesioner VIA-IS, disimpulkan bahwa: 1) gambaran poligami yang dilakukan ayah adalah rata-rata mereka hidup harmonis walaupun ada konflik tetapi tidak terlalu serius, hanya iri-irian; 2) gambaran penghayatan terhadap poligami yang dilakukan ayah adalah tidak mempermasalahkan perilaku tersebut; 3) semua subjek secara keseluruhan bahagia dengan kehidupan mereka karena hubungan interpersonal yang baik.; 3a) gambaran kebahagiaan mengenai masa lalu yang berpengaruh adalah emosi positif pride, gratitude dan forgiveness; 3b) gambaran kebahagiaan masa depan hanyalah emosi positif hope; 3c) gambaran kebahagiaan saat ini pleasure dan gratifikasi yang disesuaikan dengan keadaan di pondok pesantren; 4) gambaran penghayatan subjek mengenai keterkaitan antara poligami yang dilakukan ayah dengan kebahagiaan adalah pada awal mereka terpengaruh tetapi dengan berjalannya waktu, tidak terpengaruh; 5) keutamaan dan kekuatan yang dimiliki subjek adalah Forgiveness and Mercy dan Gratitude.
Hasil penelitian menyarankan data harus dari beberapa sumber; melakukan penelitian kuantitatif; mengacu pada teori yang khusus untuk kekuatan gratitude bersama forgiveness and mercy; meneliti gambaran proses pembentukan dan aplikasi kekuatan gratitude dan forgiveness and mercy; subjek penelitian diganti dengan mereka yang berada di luar pondok pesantren; melakukan penelitian cross-sectional untuk membandingkan kebahagiaan mereka yang dibesarkan di dalam keluarga bercerai dan keluarga poligami.

The focus of this study was to understand the authentic happiness among young adulthood women in polygamous families; as well as to identify their virtues and strengths and how they applied them in their lives to gain authentic happiness. This was a qualitative descriptive interpretive study. Questioner VIA-IS was also used to identify the virtues and strengths of the subjects in this study.
The subjects in this study were four young adulthood women from polygamous families. The data was acquired through deep interview and analysis was done referring to the results from questioner VIA-IS; and the standards and opinions set by the researcher.
From the analysis of the results of the interviews and the questioner VIA-IS, the conclusions were: 1) the descriptions of polygamous families were generally harmonious even though there were some minor conflicts mainly jealousies; 2) there were no hard feelings generated from the polygamies committed by their fathers; 3) all subjects were generally happy in their lives because of very good interpersonal relationships; 3a) positive emotions like pride, gratitude and forgiveness influenced their authentic happiness about the past; 3b) only hope influenced their authentic happiness towards the future; 3c) pleasure and gratification were adapted to their lives in a boarding school; 4) they were at first influenced by the polygamies but later accepted them; 5) Forgiveness and Mercy with Gratitude were the strengths that they made used of in their lives.
Suggestions made from the results of the study were that data should be from a few sources; quantitative research should be undertaken; must concentrate on specialized theories based on the strengths gratitude with forgiveness and mercy; research on the descriptive process of the formation and application of the strengths gratitude with forgiveness and mercy; subjects can be replaced with those not living in a boarding school; conduct a cross-sectional study to compare the authentic happiness of young adulthood women from divorced families and polygamous families."
2007
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Octavia
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
S3315
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Dini Susilowati
"Merokok merupakan salah satu dari kebiasaan atau gaya hidup yang kurang baik karena memberikan resiko atau dampak yang tinggi terhadap penurunan kesehatan atau bahkan menjadi penyebab kematian. Studi WHO menunjukan kematian akibat merokok sekitar 30 juta orang setahun, 10 kali lebih tinggi dari angka kematian akibat kecelakaan berlalulintas. Di Indonesia sendiri perokok aktif mencapai 70 % dari total penduduk atau sebesar 141,44 juta orang. Dan kecenderungan perokok di kalangan wanita dan remaja pada usia 15-18 tahun mengalami peningkatan (http://www.koalisi.org). Sedangkan penelitian di Jakarta menunjukkan bahwa 64,8% pria dan 9,8% wanita dengan usia di atas 13 tahun adalah perokok (Tandra, 2003).
Berbagai alasan yang melatarbelakangi mulai maraknya kebiasaan merokok di kalangan wanita, salah satunya adalah gaya hidup. Persepsi tersebut dipicu oleh gencarnya iklan yang ditayangkan media massa, yang mencitrakan wanita modem dengan kebiasaan merokok. Realita ini berbeda dengan kondisi puluhan tahun lalu dimana wanita perokok distereotipkan sebagai wanita "nakal" alias tidak baik. Komponen yang paling berbahaya dari merokok dengan membakar tembakau adalah nikotin, carbon monoxide, yang dikenal sebagai carcinogens. Efek jangka panjang dari merokok adalah kanker paru, emphysema, kanker larynx dan esophagus dan sejumlah penyakit cardiovascular (Davison & Neale, 2001). Pada wanita yang merokok terdapat dampak-dampak khusus yang ditimbulkan oleh rokok antara lain masalah-masalah pada organ reproduksi wanita (diantaranya menurunkan kesuburan), meningkatkan jumlah kehamilan ektopik, aborsi spontan, kelahiran prematur, menopause dini, serta meningkatkan resiko kanker leher rahim.
Informasi mengenai dampak buruk dari rokok terhadap kesehatan tersebut di atas, menjadi salah satu alasan untuk berhenti merokok. Kaplan, Sallis dan Patterson (1993) mengatakan bahwa perokok berhenti atau mencoba berhenti merokok untuk berbagai alasan, antara lain: masalah kesehatan, masalah penerimaan sosial, usia, serta alasan untuk menjadi contoh yang baik. 50% dari usaha untuk berhenti merokok adalah membuat keputusan untuk berhenti. Terkadang sangat sulit bagi perokok untuk memutuskan berhenti merokok. Berbagai pertimbangan dilakukan seorang perokok dalam memutuskan berhenti merokok Karenanya penelitian ini bermaksud memperoleh gambaran proses pengambilan keputusan yang terjadi pada seorang mantan perokok beserta faktor-faktor yang mempengaruhi proses pengambilan keputusannya. Selain itu diteliti pula strategi ketika memutuskan untuk berhenti merokok.
Penelitian ini mengacu pada teori pengambilan keputusan yang dikemukakan oleh Janis & Mann (1977). Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Oleh karena itu dalam pengumpulan data peneliti melakukan wawancara dan observasi. Subyek penelitian berjumlah 4 orang dengan kriteria wanita usia dewasa muda yang dulu pernah merokok tetapi telah berhenti minimal 6 bulan.
Hasil penelitian menujukkan hanya satu subyek yang terlihat melalui kelima tahap. Subyek umumnya tidak melalui tahap kedua (mencari alternatif). Faktor yang paling berpengaruh adalah faktor circumstances dan preferences. Hal ini menunjukkan bahwa selain merupakan proses internal, pengambilan keputusan untuk berhenti merokok juga sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosial. Sedangkan strategi yang digunakan dalam situasi berhenti merokok ini adalah safe strategy (memilih alternatif yang paling aman dan membawa keberhasilan) atau escape strategy (memilih alternatif yang paling memungkinkan untuk menghindar dari hasil yang buruk)."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
S3394
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meidiati Sekarsari
"Pesatnya perkembangan dunia hiburan memungkinkan kita untuk mengetahui lebih jauh akan kehidupan sehari-hari selebriti favorit. Dengan kesempatan tersebut, kita kemudian merasa mengenal dan memiliki hubungan dengan selebriti favorit, yang disebut dengan perilaku parasosial. Beberapa karakteristik individu yang memiliki kecenderungan untuk melakukan perilaku parasosial adalah individu yang kurang dalam interaksi sosialnya dan memiliki self-esteem rendah. Kedua karakteristik tersebut ternyata juga merupakan karakteristik personal dari individu yang sering mengalami loneliness.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah loneliness berhubungan dengan kuatnya perilaku parasosial seseorang. Peneliti menggunakan UCLA Loneliness Scale ver 2. untuk mengukur loneliness dan Celebrity Attitude Scale untuk mengukur perilaku parasosial. Sampel dalam penelitian ini adalah 84 orang wanita dewasa muda yang berusia antara 20 - 40 tahun. Hasil penelitian yang didapatkan menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara loneliness dan perilaku parasosial pada wanita dewasa muda.

The rapid change in the entertainment world give us the opportunity to know the daily lives of the celebrity. With that opportunity, we could then feel that we know the celebrity and have a relationship with that person, which can be called as parasocial. Some of the characteristics of an individual who have the tendency to do a parasocial behavior are having a lack of social interaction and low self-esteem. Both of those characteristics are also a personal characteristics of an individual who tend to experience loneliness.
The aim of this research is to know if loneliness would be linked to the strenght of one's parasocial behavior. The researcher used UCLA Loneliness Scale ver. 2 to measure loneliness and Celebrity Attitude Scale to measure paraosical behaviors. The sample of this research was 84 young adulthood women in the age range between 20-40 years old. The result of this research shown that there are significant positive relationship between loneliness and parasocial behavior in young adulthood women.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2009
155.92 MEI h
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rengganis Lenggogeni Biran
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
S3189
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
L. Mawar Nusantari
"ABSTRAK
Ketika seseorang menginjak usia 18-22 tahun, ia memasuki masa transisi
dari remaja menuju dewasa muda (Kail & Cavanaugh, 2000; Smolak, 1993). Menurut
Smolak (1993), seseorang pada usia ini bukan anak-anak, dan dianggap bukan remaja
lagi, namun mereka juga belum memiliki kriteria dewasa. Banyak ahli yang meyakini
bahwa krisis pembentukan identitas terjadi pada masa remaja, namun studi cross
sectional dan longitudinal menunjukkan bahwa krisis identitas terjadi pada masa
transisi ini (Smolak, 1993). Kail & Cavanaugh (2000) mengemukakan bahwa transisi
itu tergantung pada faktor kebudayaan dan beberapa faktor psikologis. Pada budaya
timur, patokan yang dipakai untuk menentukan apakah seseorang menjadi dewasa
lebih -jelas daripada budaya barat. Pada kebudayaan timur, pernikahan menjadi
determinan yang paling penting dalam status kedewasaan (Schlegel & Barry, 1991).
Berbicara mengenai menikah dan kemudian memiliki anak akan dikaitkan dengan
kematangan dan tanggung jawab seseorang. Oleh karena itu untuk memasuki
pernikahan seseorang akan dipertanyakan apakah ia sudah cukup matang atau apakah
ia sudah cukup dewasa.
Badan Pusat Statistik DKI Jakarta (BPS, 2002) menunjukkan bahwa, kurang
lebih 11 % dari penduduk yang berusia 18-22 tahun telah menikah. Data tersebut
menunjukkan bahwa banyak orang yang memutuskan untuk menikah di usia muda.
Padahal setelah menikah mereka akan dihadapkan pada masalah baru ketika mereka
mempunyai anak. Menjadi orang tua juga merupakan krisis dalam hidup, karena
menyebabkan perubahan besar dalam sikap, nilai, dan peran seseorang. Mempunyai
anak juga berarti mendapatkan tekanan untuk terikat pada tingkah laku peran jender
sebagai ayah dan ibu (Carstensen, dalam Kail & Cavanaugh, 2000). Oleh karena itu
untuk menjadi orangtua diperlukan persiapan yang matang baik secara finansial,
mental, maupun emosional.
- Laki-laki yang berperan sebagai ayah dituntut untuk bertanggung jawab yang
besar sebagai pemimpin keluarga serta bertanggung jawab sebagai pencari nafkah
utama dalam keluarga sehingga memerlukan perlu persiapan yang matang untuk
memasuki jenjang perkawinan.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana seorang pria yang berada
pada usia transisi dewasa muda (18 - 22 tahun) yang telah menikah dan memiliki
anak menghayati perannya sebagai seorang ayah. Penghayatan yang dimaksud dalam penelitian ini termasuk alasan seorang pria berusia transisi dewasa muda memutuskan
untuk menikah, pemahaman tentang peran ayah, bagaimana mereka menghayati
tuntutan perannya sebagai seorang ayah, serta interaksi yang mereka lakukan dalam
memenuhi tugasnya sebagai seorang ayah, serta bagaimana penghayatan peran
sebagai ayah tersebut mempengaruhi perkembangan kepribadian mereka. Teori yang
digunakan dalam penelitian ini adalah teori perkembangan usia transisi dewasa muda,
teori peran dikhususkan pada teori peran ayah dalam keluarga.
Peneliti mengambil 5 orang sampel dengan kriteria seorang pria, berusia 18 -
22 tahun, telah menikah dan memiliki anak, serta pendidikan minimal SMU atau
sederajat untuk diwawancara secara mendalam. Sampel berasal dari kota Jakarta dan
Cirebon.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Sebagian besar subjek, yaitu 4 dari 5
orang subjek penelitian ini menikah di usia muda karena terpaksa. Karena melakukan
pacarnya terlanjur hamil, maka subjek pun bertanggung jawab untuk menikahi
pacarnya. Maka menjalani peran sebagai seorang ayah pun tidak dapat dihindari,
walaupun mereka mengaku merasa belum siap menjadi seorang ayah. Menjalani
peran sebagai seorang ayah memerlukan tanggung jawab yang besar dan memerlukan
kesiapan baik secara materi maupun mental. Walaupun subjek merasakan adanya
tuntutan peran sebagai ayah dari lingkungan namun yang berperan lebih besar dalam
tingkah laku subjek dalam menjalani peran sebagai ayah adalah tuntutan peran yang
ada dalam diri subjek sendiri. Tuntutan peran yang ada dalam diri subjek tersebut
diperoleh dari konsep subjek mengenai ayah yang ideal serta berpatokan pada tingkah
laku dan pendidikan orangtuanya dulu, terutama ayah mereka. Walaupun subjek
merasa belum sesuai dengan konsep ayah yang ideal tersebut, namun mereka semua
berusaha menuju ke arah sana. Sebagian besar subjek penelitian ini sudah menyadari
betapa penting perannya sebagai ayah terhadap perkembangan anak. Dalam
penelitian ini terlihat bahwa selain melakukan aktivitas mendidik dan bermain,
mereka juga merasa bertanggung jawab untuk ikut terlibat dalam aktivitas merawat
anaknya terutama kegiatan memandikan, menina-bobokan, serta melindungi saat anak
bermain. Mereka menyadari bahwa dalam aktivitas merawat tersebut merupakan saat
yang tepat untuk membangun kedekatan emosional dengan anak mereka. Setelah
menikah dan memiliki anak, banyak perubahan yang terjadi pada diri subjek, terutama
mengenai cara subjek memandang tentang hidup. Subjek yang sebelumnya
merupakan orang-orang yang selalu berorientasi pada kesenangan diri sendiri dan
selalu mengikuti hati nurani dalam bertindak. Setelah menikah dan memiliki anak,
timbul rasa tanggung jawab yang besar pada diri mereka, mereka mulai berpikir
bahwa hidup tidak selamanya santai dan ada yang perlu diperjuangkan, terutama
mengenai anak. Mereka mulai berpikir panjang sebelum bertindak dan mulai berpikir
tentang masa depan. Selain itu mereka juga merasa hidupnya lebih baik dan lebih
teratur serta lebih termotivasi dalam melakukan sesuatu."
2003
S3219
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Rozandi Suhaidi
"Penelitian ini ingin mengetahui perbedaan strategi regulasi emosi pada individu dengan kecenderungan locus of control internal dan individu dengan kecenderungan locus of control eksternal pada pria dewasa muda. Strategi regulasi emosi yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebanyak 9 strategi yang digunakan oleh Gamefski (2001) pada penelitiannya yaitu self-blame, other-blame, acceptance, refocus on planning, refocus positive, rumination or focus on thought, positive reappraisal, putting into perspective, dan catastrophizing. Subyek penelitian adalah sebanyak 232 pria dewasa muda. Data untuk mengukur regulasi emosi diperoleh melalui kuesioner the cognitive emotion regulation questionnaire (CERQ) dan alat ukur locus of control menggunakan Rotter I-E scale. Uji validitas alat ukur dilakukan dengan menggunakan konsistensi internal, sedangkan perhitungan reliabilitas alat ukur menggunakan metode Cronbach alpha. Metode analisis yang digunakan untuk mengukur perbedaan penggunaan strategi adalah t-test, dan analisis faktor untuk mendapatkan pengelompokkan data.
Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan strategi regulasi emosi pada individu dengan kecenderungan loc internal dan individu dengan kecenderungan loc eksternal pada pria dewasa muda. Hasil lain yang diperoleh adalah adanya perbedaan yang signifikan pada pengguna strategi refocus positive ditinjau dari kecenderungan loc individu dengan nilai koefisien signifikansi 0,009. Dan strategi regulasi emosi yang banyak digunakan oleh pria dewasa muda adalah rumination or focus on thought. Saran yang diajukan peneliti adalah, (1) untuk meyakinkan nilai reliabilitas dan validitas, maka sampel yang dipergunakan dalam penelitian diperbanyak dan instruksi harus diberikan sejelas-jelasnya kepada responden (2) melakukan penelitian lanjutan dengan menambah variabel penelitian lain, agar penelitian ini dapat lebih bermanfaat bagi dunia psikologi."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
S3481
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ferdinandus Adri Pradhana
"Tujuan: Kondisi obesitas berpotensi menyebabkan kondisi stres oksidatif dalam tubuh. High Intensity Interval Training (HIIT) diyakini dapat membantu memperbaiki kondisi stres oksidatif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas HIIT terhadap penanda stres oksidatif dan persentase lemak tubuh pada laki-laki dewasa muda dengan obesitas.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain eksperimental dengan uji pre-post pada satu kelompok perlakuan. Subjek penelitian adalah laki-laki obesitas berusia antara 18-30 yahun yang tidak melakukan latihan fisik rutin selama 6 bulan terakhir. Subjek mendapat intervensi HIIT selama 12 minggu dan diperiksa kadar SOD, MDA, serta komposisi tubuh pada awal dan akhir intervensi.
Hasil: Terdapat peningkatan SOD dan penurunan MDA namun tidak memperlihatkan perubahan yang signifikan (p=0,674 dan p=0,562). Kemudian terdapat penurunan persentase lemak namun tidak signifikan (p=0,086).
Kesimpulan: Pemberian program HIIT pada subjek laki-laki dewasa muda dengan obesitas selama minimal 12 minggu dapat menurunkan rerata kadar MDA sebesar 0,27µM, meningkatkan rerata kadar SOD sebesar 8,43U/mL, dan menurunkan persentase lemak tubuh sebesar 2,26% namun perubahan tersebut tidak signifikan. Tidak ditemukan hubungan antara perubahan persentase lemak dengan perubahan kadar MDA dan SOD setelah intervensi.

Objective: Obesity has the potential to cause oxidative stress in the body. High Intensity Interval Training (HIIT) is believed to help improve oxidative stress conditions. This study aims to determine the effectiveness of HIIT on oxidative stress, markers and body fat percentage in young adult men with obesity.
Methods: This study used an experimental design with pre-post tests in one treatment group. The research subjects were obese men aged between 18-30 years who had not done regular physical exercise for the last 6 months. Subjects received HIIT intervention for 12 weeks and had SOD, MDA and body composition levels checked at the beginning and end of the intervention.
Results: There was an increase in SOD and a decrease in MDA but did not show significant changes (p=0.674 and p=0.562). Then there was a decrease in fat percentage but it was not significant (p=0.086).
Conclusions: Giving the HIIT program to young adult male subjects with obesity for a minimum of 12 weeks can reduce the average MDA level by 0.27µM, increase the average SOD level by 8.43U/mL, and reduce the percentage of body fat by 2.26%, but these changes not significant. No relationship was found between changes in fat percentage and changes in MDA and SOD levels after the intervention.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>