Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 105585 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sali Rahadi Asih
"Autisma merupakan gangguan perkembangan yang muncul pada tiga tahun perkembangan pertama anak. Gangguan ini memiliki karakteristik anak tidak dapat mengembangkan kemampuan berhubungan dengan orang lain dan berkomunikasi secara verbal. Anak penyandang autisma memperlihatkan pola tingkah laku tertentu yang dipertahankan dan diulang-ulang. Kehadiran anak penyandang autisma membawa kesedihan bagi suami istri sebagai orang tua. Hasil diagnosa anak memunculkan masalah-masalah baru. Baik yang berhubungan langsung dengan anak maupun yang tidak berhubungan langsung. Masalahmasalah ini bila tidak teselesaikan dapat menimbulkan konflik yang akhirnya merenggangkan hubungan perkawinan suami istri. Sedangkan bila masalah terselesaikan dengan baik dapat mempererat hubungan perkawinan mereka.
Penelitian ini bertujuan mendapatkan gambaran kualitas hubungan perkawinan suami istri yang memiliki anak penyandang autisma. Kualitas hubungan perkawinan, menurut Benokraitis (1996) ditentukan berdasarkan 3 hal, yaitu sikap positif yang ditunjukkan oleh suami atau istri saat mengatasi masalah, komitmen suami atau istri dalam mengatasi masalah, komitmen perkawinan dan dukungan emosi yang diberikan oleh suami atau istri dalam mengatasi masalah. Juga ditanyakan masalah-masalah yang dihadapi oleh pasangan suami istri berkaitan dengan diagnosa anak sebagai penyandang autisma.
Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa masalah utama adalah keterbatasan anak mengungkapkan keinginan secara verbal dan mempertahankan konsentrasi. Diikuti dengan masalah tingkah laku stereotipi anak berupa mengetuk-ngetuk benda, berguling-guling di lantai dan memainkan alat kelamin. Masalah pendidikan mencakup kesulitan mendapatkan alat terapi, ketidakjelasan masa depan pendidikan anak dan kurangnya alternatif metode terapi yang ada di Indonesia. Juga kesulitan keuangan dan kesulitan menjelaskan gangguan anak kepada keluarga besar. Pada sikap positif, dua pasangan saling memperlihatkan sikap positif terhadap usaha-usaha mengatasi masalah. Sedangkan satu pasangan menunjukkan inkonsistensi sikap positif terhadap usaha-usaha yang dilakukan.
Seluruh pasangan memperlihatkan komitmen yang tinggi dalam mengatasi masalah-masalah yang timbul. Pada komitmen perkawinan, dua pasangan berpendapat bahwa kehadiran anak penyandang autisma meningkatkan komitmen perkawinan mereka dan satu pasangan berpendapat kehadiran anak penyandang autisma menurunkan komitmen perkawinan mereka. Satu pasangan saling memberi dukungan emosi saat berusaha mengatasi masalah. Sedangkan pada dua pasangan ditemukan inkonsistensi pemberian dukungan emosi yang berbeda intensitasnya.
Untuk penelitian lanjutan, disarankan memasukkan lebih banyak faktorfaktor yang mempengaruhi hubungan perkawinan agar mendapat gambaran lebih utuh. Perlu diteliti lebih lanjut persepsi keluarga besar terhadap kehadiran anak penyandang autisma. Juga perlu diteliti penyesuaian saudara kandung terhadap kehadiran anak penyandang autisma dalam keluarga."
Depok: Universitas Indonesia, 2002
S3122
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Astiliani
"Keterikatan karyawan terhadap perusahaan sangat diperlukan bagi perusahaan untuk dapat tetap bertahan pada dunia usaha saat ini yang telah mengalami perkembangan dan perubahan yang semakin cepat. Rendahnya keterikatan organisasi pada karyawan dapat membawa dampak negatif bagi perusahaan, yaitu tingginya tingkat absensi dan pergantian karyawan (turnover). Namun di pihak lain, tingginya keterikatan karyawan terhadap perusahaannya dapat membawa dampak negatif bagi karyawan terutama yang telah berkeluarga.
Waktu dan tenaga yang dicurahkan untuk perusahaan akan mengurangi interaksi individu dengan keluarganya, sehingga individu tidak sepenuhnya dapat memenuhi peran di dalam keluarganya. Hal ini terutama dialami olah pasangan bekerja yang memiliki anak usia balita. Kesulitan yang dihadapi pasangan bekerja tidak hanya terbatas pada pengurusan anak yang masih membutuhkan perhatian yang besar dari kedua orang tua, tetapi terbatasnya waktu yang diluangkan bagi pasangannya dan dalam penyelesain tugas-tugas rumah tangga.
Beberapa penelitian di negara Barat menunjukkan bahwa peran dalam keluarga berhubungan dengan perkembangan keterikatan organisasi seseorang. Suatu penelitian yang dilakukan terhadap karyawan yang memiliki anak usia balita menyatakan bahwa tingginya keterlibatan peran dalam keluarga berhubungan dengan tingginya keterikatan organisasi karyawan. Namun, terdapat pula penelitian yang menunjukkan bahwa rendahnya keterlibatan diri seseorang terhadap perannya di dalam keluarga berhubungan dengan tingginya keterikatan organisasi seseorang.
Dapat terlihat bahwa masih terdapat hasil yang kontradiksi dari penelitian- penelitian tersebut. Berdasarkan hal ini, maka pada penelitian ini ingin diketahui lebih jelas hubungan antara peran dalam keluarga dan keterikatan organisasi pada pria dan wanita bekerja yang memiliki anak usia balita, khususnya di Jakarta. Penelitian ini menggunakan pengumpul data berupa kuesioner yang terdiri dari dua alat ukur yang telah diadaptasi, yaitu Life Role Salience Scale dari Amatea et al. dan Commitment Organization Scale dari Allen dan Meyer. Subyek dalam penelitian ini adalah pria dan wanita yang merupakan suami istri bekerja, memiliki anak usia balita, berpendidikan minimal D3, dan telah bekerja di perusahaan minimal 15 bulan.
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signikan antara peran dalam keluarga dan keterikatan organisasi. Pada subyek wanita menunjukkan hubungan yang positif dan keterikatan yang tidak berhubungan dengan peran dalam keluarga adalah keterikatan afektif. Sedangkan pada pria, hubungan yang terjadi adalah hubungan negatif dan keterikatan yang tidak berhubungan dengan peran dalam keluarga adalah keterikatan kesinambungan.
Hasil tambahan menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada tingkat keterikatan organisasi. Namun berdasarkan komponennya, hasil menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada tingkat keterikatan afektif dan normatif antara pria dan wanita. Dalam hal keterlibatan terhadap peran dalam keluarga, pria dan wanita menunjukkan skor yang berbeda secara signifikan pada peran dalam keluarga dan dalam dimensi peran sebagai orang tua dan pengurus rumah tangga. Selain itu hasil menunjukkan bahwa pada wanita terdapat perbedaan tingkat keterikatan organisasi dan komponen kesinambungan berdasarkan jumlah pengeluaran. Hal ini tidak berbeda dengan pria, bahwa terdapat perbedaan skor rata-rata yang signiilkan pada keterikatan organisasi serta pada komponen afektif dan normatif berdasarkan jumlah pengeluaran untuk rnemenuhi kebutuhan anak dan keluarga. Hasil juga menunjukkan bahwa semakin besar gaji yang diterima oleh pria bekerja, maka semakin tinggi keterikatan organisasi, terutama keterikatan kesinambungannya."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1998
S2675
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Herlina
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2010
S3654
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Ariani Putri Maharani
"Berperan sebagai orang tua berarti memiliki peran penting dalam pengasuhan anak. Namun, mengasuh anak dapat menjadi faktor penyebab orang tua mengalami stres. Kondisi tersebut dapat diperparah ketika orang tua memiliki anak yang berkebutuhan khusus. Tingkat resiliensi yang rendah dapat menjadi salah satu faktor yang menyebabkan orang tua mengalami tingkat stres yang tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara resiliensi dan tingkat stres orang tua yang memiliki anak penyandang Autism Spectrum Disorder.
Metode penelitian ini menggunakan desain analitik korelatif dengan pendekatan cross sectional. Subjek penelitian ini adalah orang tua murid di Sekolah Mandiga Jakarta Selatan sebanyak 30 orang dengan menggunakan metode total sampling. Alat ukur penelitian yang digunakan adalah Brief Resilience Scale untuk variabel resiliensi, dan Parental Stress Scale untuk variabel tingkat stres orang tua. Analisis data yang digunakan adalah analisis univariat dan bivariat menggunakan uji korelasi gamma. Uji korelasi gamma digunakan untuk melihat adanya hubungan serta tingkat kekuatan hubungan pada dua variabel.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara resiliensi dan tingkat stres pada orang tua yang memiliki anak penyandang Autism Spectrum Disorder di Sekolah Mandiga Jakarta Selatan. Koefisien korelasi yang didapatkan adalah -0,701, sehingga hubungan bersifat kuat dan negatif. Promosi kesehatan mental bagi orang tua perlu dilakukan secara rutin untuk mempertahankan status kesehatan mental, meningkatkan resiliensi, serta mencegah terjadinya stres pada orang tua.

Playing the role as a parent means having an important role in parenting. However, taking care of children can be one of the factors causing parents to experience stress. This condition can be aggravated when parents have children with special needs. Low levels of resilience can be one of the factors that causes older people to experience high levels of stress. This study aims to determine the relationship between resilience and stress levels of parents who have children with Autism Spectrum Disorder.
This research method uses correlative analytic design with cross sectional approach. The subjects of this study were 30 students parents at the Sekolah Mandiga Jakarta Selatan and the study was carried out using the total sampling method. The research measuring instrument used was the Brief Resilience Scale for resilience variables, and the Parental Stress Scale for variable stress levels of parents. The data analysis used was univariate and bivariate analysis using the gamma correlation test. The gamma correlation test is used to see the relationship and the level of strength of the relationship between the two variables.
This study concludes that there is a strong relationship between resilience and stress levels in parents who have children with Autism Spectrum Disorder at Sekolah Mandiga South Jakarta. The correlation coefficient obtained is -0.701, so the relationship is strong and negative. Promoting mental health for parents needs to be done routinely to maintain mental health status, increase resilience, and prevent stress among parents.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fasya Farah Hernawan
"Penelitian ini mengenai remaja yang memiliki saudara kandung penyandang Autism Spectrum Disorder (ASD) yang dibahas dari disiplin ilmu Kesejahteraan Sosial. Latarbelakangnya karena kehadiran anak penyandang ASD dalam keluarga umumya menjadi fokus perhatian dari orang tua, dibandingkan saudara kandungnya yang memasuki masa remaja dan sedang mengalami perubahan besar-besaran dalam kehidupan yang sebenarnya membutuhkan perhatian besar. Menjadi penting untuk meneliti bagaimana resiliensi, sebagai kemampuan remaja mengelola kesulitan atau stress, pada remaja yang memiliki saudara kandung penyandang ASD agar menjadi jelas dan tidak terabaikan pemenuhan hak-hak asasi dan kebutuhan mereka. Penelitian dengan pendekatan kualitatif ini dilaksanakan pada September 2022 sampai dengan Juni 2023. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara bersama empat informan yang merupakan saudara kandung dari siswa di Lembaga Bimbingan Individu Autistik Lentera Asa dan tiga orang tua serta observasi di rumah masing-masing informan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masalah yang dialami oleh semua informan adalah munculnya emosi sebagai remaja dan tanggung jawab atas saudara kandung penyandang ASD. Sementara itu, masalah lain yang juga dialami meliputi perbedaan perlakuan dari orang tua, relasi yang terbatas dengan lingkungan, juga remaja merasa tidak nyaman karena penyandang ASD sedang dalam masa perkembangan seksual. Remaja informan yang paling sedikit mengalami masalah adalah informan H yang jarak usianya paling jauh dengan saudara kandung penyandang ASD. Dari tujuh dimensi resiliensi, semua informan berkembang dengan relatif baik pada dimensi regulasi emosi, analisis kausal, dan empati. Lalu, dimensi pengendalian impuls masih harus dikembangkan pada informan F. Sementara itu, informan Z masih harus mengembangkan kemampuan resiliensi dalam dimensi optimisme, efikasi diri, dan reaching out. Berdasarkan hasil penelitian, terdapat beberapa rekomendasi yang meliputi (1.) Untuk Lembaga Bimbingan Individu Autistik Lentera Asa, dapat menjadi referensi untuk melanjutkan program Sibling & support system hingga pada tahap implementasi dan menjadi landasan topik dalam forum tahunan orang tua murid; (2.) Untuk remaja yang memiliki saudara kandung penyandang ASD, sebaiknya mengembangkan resiliensi pada diri masing-masing dengan cara memperdalam informasi akan materi terkait melalui berbagai sumber, bergabung dengan komunitas pendukung, juga meminta bantuan ketika melakukan hal-hal yang berisiko negatif; (3.) Untuk orang tua, sebaiknya membantu remaja mengembangkan resiliensinya dengan mendekatkan diri, mempelajari isu-isu keluarga dengan ASD, serta membantu remaja mengakses bantuan professional jika diperlukan; dan (4.) Untuk penelitian selanjutnya, dapat meneliti terkait sumber resiliensi keluarga penyandang ASD dan meneliti juga terkait dampak perkembangan seksual penyandang ASD terhadap anggota keluarga lainnya.

This study discusses the problems experienced by adolescents who have siblings with Autism Spectrum Disorder (ASD). This research is motivated by conditions where the presence of children with ASD in the family is the focus of attention from parents. On the other hand, when siblings enter their teenage years, they are also going through major life changes that require big attention. In this case, resilience as the ability of adolescents to manage adversity or stress becomes very important. This study uses a qualitative approach by collecting data through interviews with four informants who are siblings of students at Lembaga Bimbingan Individu Autistik Lentera Asa and three of their parents, also observations at the homes of each informant. The results of this study indicate that the problems experienced by all informants are the emergence of emotions in adolescents and responsibility for siblings with ASD. Meanwhile, other problems that are also experienced are the differences in treatment from parents, limited relationships with the environment, also teenagers feel uncomfortable because the siblings with ASD are in a period of sexual development. Adolescents who experienced the fewest problems were informant H who was the farthest in age from siblings with ASD. Of the seven dimensions of resilience, all informants developed relatively well on the dimensions of emotion regulation, causal analysis and empathy. Then, the impulse control dimension still has to be developed in informant F. Meanwhile, informant Z still has to develop resilience skills in the dimensions of optimism, self-efficacy, and reaching out. Based on the results of the research, there are several recommendations which include (1.) For Lembaga Bimbingan Individu Autistik Lentera Asa, it can be a reference for continuing the Sibling & support system program up to the implementation stage and become the basis of the topic in the annual parent-student forum; (2.) For adolescents who have siblings with ASD, to develop resilience in each of them by deepening information on related topic through various sources, joining a support community, also asking for help when doing things that have a negative risk; (3.) For parents, it is better to help adolescents develop their resilience by getting closer to themselves, studying family issues with ASD, and helping adolescents to access professional help if needed; and (4.) For further research, it can examine the sources of resilience in families with ASD and also examine the impact of sexual development of people with ASD on other family members."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sunaryo
"Stroke merupakan salah satu penyakit akut yang paling besar menimbulkan ketidakmampuan (disabling) (Guccione dkk; dalam Sarafino, 1998). Ketidakmampuan (disabling) yang terjadi adalah adanya hambatan (handicap) dan kehilangan kemampuan untuk berbuat sesuatu yang seharusnya bisa dilakukan orang yang sehat seperti: tidak bisa jalan, menelan, dan melihat akibat pengaruh stroke (Misbach, 1999). Sutrisna (2001) mengatakan bahwa banyak penderita stroke menjadi cacat, invalid, tidak mampu lagi mencari nafkah seperti sedia kala, menjadi tergantung pada orang lain, dan tidak jarang menjadi beban bagi keluarganya. Beban ini dapat berupa beban tenaga, beban perasaan, dan beban ekonomi. Anggrahaeni (2003) mengatakan secara lebih gamblang bahwa perubahan yang teijadi akibat stroke juga mempengaruhi anggota keluarga yang lain. Mereka mengalami stress karena hidup mereka secara keseluruhan berubah. Mereka diharuskan menyesuaikan diri dengan tuntutan-tuntutan keadaan yang baru. Di samping itu, mereka juga masih harus dihadapkan dengan adanya tambahan tanggung jawab. Tanggung jawab itu tidak hanya sebatas mengurus dan melatih si penderita untuk kembali pulih, namun juga tanggung jawab atas pekeijaanpekeijaan yang tidak dapat dilakukan lagi oleh penderita. Seorang istri yang suaminya menderita stroke misalnya, bisa jadi terpaksa bekeija mencari tambahan penghasilan untuk menghidupi keluarga dan biaya pengobatan (Anggrahaeni, 2003). Oleh karenanya, kehidupan rumah tangga dengan salah satu pasangan menderita penyakit akut, seperti stroke, adalah kenyataan hidup yang pada dasarnya tidak diinginkan oleh setiap pasangan suami istri manapun. Kondisi ini tentunya akan berpotensi menimbulkan masalah dan juga mempengaruhi hubungan atau interaksi pasangan suami istri. Hal ini karena stroke tidak hanya berdampak bagi si penderitanya saja melainkan juga bagi lingkungan terdekatnya yaitu pasangan serta keluarganya (Walerby & Forsberg et al, 1999). Penyakit stroke yang diderita oleh salah satu anggota keluarga dapat mempengaruhi kesejahteraan emosional (emolional well-being) anggota keluarga lainnya. Anggola keluarga dari pasien stroke, biasanya akan mengalami kekacauan emosional (emotional turmoil) (Walerby & Forsberg et al, 1999). Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan gambaran secara mendalam mengenai kesejahteraan psikologis (psychological well-bing) pada istri yang memiliki suami penderita stroke. Secara lebih spesifik penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran keenam dimensi kesejahteraan psikologis yang mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Ryff (1995) yaitu: dimensi penerimaan diri, dimensi hubungan positif dengan orang lain, dimensi otonomi, dimensi penguasaan lingkungan, dimensi tujuan hidup, dan dimensi pertumbuhan pribadi. Penelitian dilakukan terhadap 4 orang istri yang memiliki pasangan terserang stroke. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang lebih dapat menggambarkan proses yang kompleks dan menyeluruh dibandingkan penelitian lain. Jenis penelitian kualitatif yang digunakan adalah studi kasus. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam karena peneliti ingin mengetahui pengalaman subyektif subyek. Untuk melengkapi data hasil wawancara, dilakukan observasi terhadap subyek selama proses berlangsungnya wawancara. Kesimpulan yang didapatkan dari hasil penelitian ini adalah bahwa kesejahteraan psikologis pada istri yang memiliki pasangan terserang stroke pada penelitian ini tampaknya menunjukkan keragaman kondisi. Secara umum dengan karakteristik demografis yang berbeda, gambaran seluruh dimensi kesejahteraan psikologis 3 subyek menunjukkan kondisi yang relatif sama baiknya. Sedangkan 1 subyek lainnya berbeda dengan ke 3 subyek lainnya pada dimensi hubungan positif dengan orang lain, otonomi, dan pertumbuhan peribadi. Namun secara umum terlihat kecenderungan bahwa situasi stroke beserta dampak-dampaknya pada awalnya (beberapa minggu setelah kejadian) memberikan tekanan-tekanan psikologis sehingga mereka perlu berproses untuk mendapatkan kesejahteraan psikologis yang saat ini dirasakannya. Para subyek akhirnya menilai pengalaman menjalani kehidupan dengan suami yang terserang stroke dengan suatu pandangan yang positif. Faktor demografis dan klasifikasi sosial ternyata tidak berpengaruh dalam pembentukan kondisi kesejahteraan psikologis para subyek melainkan faktor: karakteristik pribadi, religiusitas (keberagamaan) (Koenig, Kvale, & Ferrel dalam Mardhianto, 1997), dukungan sosial (Robinson 1991), dan evaluasi terhadap pengalaman hidup (Ryff 1995) adalah faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pembentukan kondisi kesejahteraan psikologis para subyek. Sehubungan dengan hasil penelitian ini disarankan kepada para istri yang bersuami terkena stroke sebagai orang terdekat penderita untuk dapat mencapai kesejahteraan psikologis yang baik, memaknai peristiwa tersebut dengan penilaian yang positif, dan lebih memberikan dukungan psikologis untuk pemulihan suami yang komprehensif.
Stroke is one of the most severe acute diseases that causes disability (Guccione et al; in Sarafino, 1998). The disability that occurs is the presence of handicap and loss of ability to do something that healthy people should be able to do such as: not being able to walk, swallow, and see due to the effects of stroke (Misbach, 1999). Sutrisna (2001) said that many stroke sufferers become disabled, invalid, no longer able to earn a living as before, become dependent on others, and often become a burden for their families. This burden can be in the form of physical burden, emotional burden, and economic burden. Anggrahaeni (2003) said more clearly that the changes that occur due to stroke also affect other family members. They experience stress because their lives as a whole change. They are required to adjust to the demands of new circumstances. In addition, they also still have to face additional responsibilities. The responsibility is not only limited to taking care of and training the patient to recover, but also the responsibility for the jobs that the patient can no longer do. A wife whose husband has a stroke, for example, may be forced to work to find additional income to support the family and medical expenses (Anggrahaeni, 2003). Therefore, household life with one partner suffering from an acute illness, such as a stroke, is a fact of life that is basically not desired by any married couple. This condition will certainly have the potential to cause problems and also affect the relationship or interaction of the husband and wife. This is because stroke not only affects the sufferer but also the closest environment, namely the partner and family (Walerby & Forsberg et al, 1999). Stroke suffered by one family member can affect the emotional well-being of other family members. Family members of stroke patients usually experience emotional turmoil (Walerby & Forsberg et al, 1999). The purpose of this study was to obtain an in-depth description of psychological well-being in wives whose husbands had strokes. More specifically, this study aims to see the description of the six dimensions of psychological well-being that refer to the theory proposed by Ryff (1995), namely: the dimension of self-acceptance, the dimension of positive relationships with others, the dimension of autonomy, the dimension of environmental mastery, the dimension of life goals, and the dimension of personal growth. The study was conducted on 4 wives who had partners who had strokes. This study used a qualitative approach that could better describe complex and comprehensive processes compared to other studies. The type of qualitative research used was a case study. The data collection technique used was in-depth interviews because the researcher wanted to know the subjective experiences of the subjects. To complete the interview data, observations were made of the subjects during the interview process. The conclusion obtained from the results of this study is that the psychological well-being of wives who had partners who had strokes in this study seemed to show a variety of conditions. In general, with different demographic characteristics, the description of all dimensions of psychological well-being of the 3 subjects showed relatively equally good conditions. While 1 other subject was different from the other 3 subjects in the dimensions of positive relationships with others, autonomy, and personal growth. However, in general, there is a tendency that the stroke situation and its impacts initially (several weeks after the incident) provide psychological pressures so that they need to process to obtain the psychological well-being that they currently feel. The subjects finally assessed the experience of living with a husband who had a stroke with a positive view. Demographic factors and social classification turned out to have no effect on the formation of the psychological well-being of the subjects, but factors: personal characteristics, religiosity (religiousness) (Koenig, Kvale, & Ferrel in Mardhianto, 1997), social support (Robinson 1991), and evaluation of life experiences (Ryff 1995) are factors that influence the formation of the psychological well-being of the subjects. In connection with the results of this study, it is suggested that wives whose husbands have had a stroke as the closest people to the sufferer can achieve good psychological well-being, interpret the event with a positive assessment, and provide more psychological support for their husbands' comprehensive recovery."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
S3423
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bety Diana
"ABSTRAK
Gangguan autis adalah suatu gangguan perkembangan kompleks yang gejalanya mulai tampak pada tiga tahun pertama (Simpson, 2005). Gangguan ini khususnya ditandai dengan adanya kesulitan dalam interaksi sosial, hendaya pada kemampuan berbahasa dan komunikasi, serta tidak dapat disembuhkan. Kehadiran seorang anak autis seringkali membawa kesedihan bagi suami-istri tersebut. Hasil diagnosis anak juga akan memunculkan banyak masalah baru. Selain itu menurut Powers (1989), pasangan suami-istri yang mempunyai anak autis harus melakukan beberapa perubahan yang signifikan dalam kehidupan mereka. Mereka akan memperoleh banyak tambahan tugas rumah tangga (domestic tasks), seperti menyediakan lebih banyak waktu untuk mengurus dan mengawasi perilaku anak mereka, memikirkan bentuk pengobatan atau terapi yang diperlukan, memikirkan permasalahan seputar pendidikan yang akan diberikan bagi anak autis mereka, dan masih banyak lagi. Semua ini menuntut ekstra waktu, perhatian, dan tenaga, serta memerlukan kerja keras dan adaptasi yang besar. Perjuangan yang terus menerus dari orangtua seringkali dapat membuat mereka lupa menjaga keseimbangan hidupnya dan hubungannya dengan orang lain, khususnya dengan pasangan. Ekstra perhatian dan investasi waktu yang diberikan oleh orangtua kepada anak autisnya secara pasti akan berdampak pada pola interaksi di antara pasangan suami-istri tersebut. Misalnya pada frekuensi interaksi, komunikasi, pembagian peran, cara penyelesaian konflik, kedekatan fisik maupun emosional (keintiman), kehidupan seksual, dll yang pada akhirnya akan mempengaruhi kepuasan pernikahan pada masing-masing pasangan. Kepuasan pernikahan adalah suatu evaluasi subjektif mengenai keseluruhan aspek pernikahan dari individu yang bersangkutan (www.charismatest.comlresearch141what-is marital-satisfaction,1999). Menurut Rosen-Grandon, Myers, & Hattie (2004) kepuasan pernikahan ini dapat dilihat dari 6 (enam) pola interaksi yang terjalin di antara pasangan suami-istri. Berdasarkan fenomena di atas maka penelitian ini dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran yang utuh dan mendalam mengenai kepuasan pernikahan pada pasangan suami-istri yang mempunyai anak autis. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode wawancara dan observasi. Subjek penelitian yang digunakan terdiri dari 2 (dua) pasang suami-istri yang diambil dengan menggunakan metode "snowball". Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa kehadiran anak autis sedikit banyak akan mempengaruhi pola interaksi yang terjalin di antara pasangan suami-istri dan seringkali menambah keragaman konflik yang terjadi. Pada satu pasangan, kehadiran anak autis menyebabkan menurunkya kepuasan pernikahan mereka. Kehadiran anak autis cukup menyita waktu mereka sehingga waktu yang diberikan kepada pasangan semakin berkurang. Pada akhirnya hal ini akan mempengaruhi keintiman dan kemesraan (ekspresi afeksi) di antara mereka, komunikasi juga menjadi memburuk. Sedangkan kehadiran anak autis pada satu pasangan lainnya tidak menurunkan kepuasan pernikahan mereka. Waktu dan perhatian yang mereka berikan untuk pasangan masing-masing tidak jauh berbeda dari sebelumnya sehingga keintiman di antara mereka tetap terjaga. Pada akhirnya keintiman yang terjalin juga akan mempengaruhi kehidupan seksual mereka dan pola interaksi yang lain. Perbedaan penghayatan kepuasan pemikahan di antara kedua pasangan ini dapat disebabkan oleh perbedaan mereka dalam menghayati kehadiran anak autis. Kemungkinan lainnya juga dapat disebabkan karena urutan anak yang menderita autis pada kedua pasangan responden ini berbeda sehingga besarnya stres atau tekanan yang dialami oleh kedua pasangan juga berbeda. Oleh karena itu kedua hal di atas perlu dipertimbangkan untuk dikontrol atau diteliti pada penelitian selanjutnya."
2006
T18092
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yunda K. Rusman
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
S3526
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>