Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8819 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rofiko Rahayu Kabalmay
2002
S3088
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iklilah Muzayyanah Dini Fariyah
"Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan perspektif perempuan yang menempatkan pengalaman perempuan sebagai fokus perhatian utama. Kajian ini dilakukan di lima kabupaten di Jawa Timur dengan melibatkan tujuh perempuan sebagai informan utama. Penelitian ini mengkaji dua hal; yaitu dasar hukum ijbar dalam kitab-kitab fikih dan pengalaman perempuan dengan metode wawancara mendalam dan observasi. Hasil penelitian ini berusaha menjawab pertanyaan bagaimanakah pembentukan konsep ijbar dalam hukum Islam dan apa implikasinya bagi kehidupan perempuan?
Penelitian ini menghasilkan tiga hal, pertama, konsep ijbar dalam perkawinan Islam telah menyimpang dari konsep ijbar yang ada dalam fikih muamalah serta jauh dari prinsip dasar ajaran Islam. Penyimpangan ini terjadi karena adanya kepentingan patriarkhi dan stereotipe perempuan yang masih menghegemoni pandangan ulama fikih. Kedua, praktik Ijbar pada perempuan dilakukan karena adanya kepentingan kuasa wali di baliknya, sehingga perempuan disubordinasi dan dijadikan "yang lain" dalam perkawinannya sendiri. Ketiga, Ijbar membawa dampak terjadinya berbagai tindak kekerasan terhadap perempuan dan disharmoni perempuan dengan keluarga. Selain itu IJbar berakibat pada hilangnya rasa percaya perempuan terhadap keadilan Allah.

This qualitative research has been completed using women's perspectives which based on women's experiences. This Research has been done in five districts in East Java, Indonesia involving seven women as the main informants and based on their experiences. Using field observation and depth interview, the research has been purposely made to analyze two main problems. There are: the legal base of concepts of Ijbar in Qur'an, hadits and yellow book (kitab kuning) and the implication to women's life related to the practice of ijbar.
The research leads to the answers of the problems which are first, the concepts of ijbar in Moslem marriage has been irrelevant from the nature of its concept we can see in mu'amalah fiqyh and irrelevant from the spirit of Islam. This is caused by patriarchal domination over women's life and the stereotype that has influenced fiqh ulama's point of views toward women. Secondly, the practice of Ijbar to women shows that guardian has power to intervene women's life which subordinate women and place women as "the other" in their own marriage. Finally, the practice of Ijbar often brings negative implications to women and this obviously violates women's right. The study also shows that the practice of Mbar could cause the disharmony between women and their family, and women often feel the lack of trust in God's justice."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2007
T20484
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sunaryo
"Stroke merupakan salah satu penyakit akut yang paling besar menimbulkan ketidakmampuan (disabling) (Guccione dkk; dalam Sarafino, 1998). Ketidakmampuan (disabling) yang terjadi adalah adanya hambatan (handicap) dan kehilangan kemampuan untuk berbuat sesuatu yang seharusnya bisa dilakukan orang yang sehat seperti: tidak bisa jalan, menelan, dan melihat akibat pengaruh stroke (Misbach, 1999). Sutrisna (2001) mengatakan bahwa banyak penderita stroke menjadi cacat, invalid, tidak mampu lagi mencari nafkah seperti sedia kala, menjadi tergantung pada orang lain, dan tidak jarang menjadi beban bagi keluarganya. Beban ini dapat berupa beban tenaga, beban perasaan, dan beban ekonomi. Anggrahaeni (2003) mengatakan secara lebih gamblang bahwa perubahan yang teijadi akibat stroke juga mempengaruhi anggota keluarga yang lain. Mereka mengalami stress karena hidup mereka secara keseluruhan berubah. Mereka diharuskan menyesuaikan diri dengan tuntutan-tuntutan keadaan yang baru. Di samping itu, mereka juga masih harus dihadapkan dengan adanya tambahan tanggung jawab. Tanggung jawab itu tidak hanya sebatas mengurus dan melatih si penderita untuk kembali pulih, namun juga tanggung jawab atas pekeijaanpekeijaan yang tidak dapat dilakukan lagi oleh penderita. Seorang istri yang suaminya menderita stroke misalnya, bisa jadi terpaksa bekeija mencari tambahan penghasilan untuk menghidupi keluarga dan biaya pengobatan (Anggrahaeni, 2003). Oleh karenanya, kehidupan rumah tangga dengan salah satu pasangan menderita penyakit akut, seperti stroke, adalah kenyataan hidup yang pada dasarnya tidak diinginkan oleh setiap pasangan suami istri manapun. Kondisi ini tentunya akan berpotensi menimbulkan masalah dan juga mempengaruhi hubungan atau interaksi pasangan suami istri. Hal ini karena stroke tidak hanya berdampak bagi si penderitanya saja melainkan juga bagi lingkungan terdekatnya yaitu pasangan serta keluarganya (Walerby & Forsberg et al, 1999). Penyakit stroke yang diderita oleh salah satu anggota keluarga dapat mempengaruhi kesejahteraan emosional (emolional well-being) anggota keluarga lainnya. Anggola keluarga dari pasien stroke, biasanya akan mengalami kekacauan emosional (emotional turmoil) (Walerby & Forsberg et al, 1999). Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan gambaran secara mendalam mengenai kesejahteraan psikologis (psychological well-bing) pada istri yang memiliki suami penderita stroke. Secara lebih spesifik penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran keenam dimensi kesejahteraan psikologis yang mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Ryff (1995) yaitu: dimensi penerimaan diri, dimensi hubungan positif dengan orang lain, dimensi otonomi, dimensi penguasaan lingkungan, dimensi tujuan hidup, dan dimensi pertumbuhan pribadi. Penelitian dilakukan terhadap 4 orang istri yang memiliki pasangan terserang stroke. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang lebih dapat menggambarkan proses yang kompleks dan menyeluruh dibandingkan penelitian lain. Jenis penelitian kualitatif yang digunakan adalah studi kasus. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam karena peneliti ingin mengetahui pengalaman subyektif subyek. Untuk melengkapi data hasil wawancara, dilakukan observasi terhadap subyek selama proses berlangsungnya wawancara. Kesimpulan yang didapatkan dari hasil penelitian ini adalah bahwa kesejahteraan psikologis pada istri yang memiliki pasangan terserang stroke pada penelitian ini tampaknya menunjukkan keragaman kondisi. Secara umum dengan karakteristik demografis yang berbeda, gambaran seluruh dimensi kesejahteraan psikologis 3 subyek menunjukkan kondisi yang relatif sama baiknya. Sedangkan 1 subyek lainnya berbeda dengan ke 3 subyek lainnya pada dimensi hubungan positif dengan orang lain, otonomi, dan pertumbuhan peribadi. Namun secara umum terlihat kecenderungan bahwa situasi stroke beserta dampak-dampaknya pada awalnya (beberapa minggu setelah kejadian) memberikan tekanan-tekanan psikologis sehingga mereka perlu berproses untuk mendapatkan kesejahteraan psikologis yang saat ini dirasakannya. Para subyek akhirnya menilai pengalaman menjalani kehidupan dengan suami yang terserang stroke dengan suatu pandangan yang positif. Faktor demografis dan klasifikasi sosial ternyata tidak berpengaruh dalam pembentukan kondisi kesejahteraan psikologis para subyek melainkan faktor: karakteristik pribadi, religiusitas (keberagamaan) (Koenig, Kvale, & Ferrel dalam Mardhianto, 1997), dukungan sosial (Robinson 1991), dan evaluasi terhadap pengalaman hidup (Ryff 1995) adalah faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pembentukan kondisi kesejahteraan psikologis para subyek. Sehubungan dengan hasil penelitian ini disarankan kepada para istri yang bersuami terkena stroke sebagai orang terdekat penderita untuk dapat mencapai kesejahteraan psikologis yang baik, memaknai peristiwa tersebut dengan penilaian yang positif, dan lebih memberikan dukungan psikologis untuk pemulihan suami yang komprehensif.
Stroke is one of the most severe acute diseases that causes disability (Guccione et al; in Sarafino, 1998). The disability that occurs is the presence of handicap and loss of ability to do something that healthy people should be able to do such as: not being able to walk, swallow, and see due to the effects of stroke (Misbach, 1999). Sutrisna (2001) said that many stroke sufferers become disabled, invalid, no longer able to earn a living as before, become dependent on others, and often become a burden for their families. This burden can be in the form of physical burden, emotional burden, and economic burden. Anggrahaeni (2003) said more clearly that the changes that occur due to stroke also affect other family members. They experience stress because their lives as a whole change. They are required to adjust to the demands of new circumstances. In addition, they also still have to face additional responsibilities. The responsibility is not only limited to taking care of and training the patient to recover, but also the responsibility for the jobs that the patient can no longer do. A wife whose husband has a stroke, for example, may be forced to work to find additional income to support the family and medical expenses (Anggrahaeni, 2003). Therefore, household life with one partner suffering from an acute illness, such as a stroke, is a fact of life that is basically not desired by any married couple. This condition will certainly have the potential to cause problems and also affect the relationship or interaction of the husband and wife. This is because stroke not only affects the sufferer but also the closest environment, namely the partner and family (Walerby & Forsberg et al, 1999). Stroke suffered by one family member can affect the emotional well-being of other family members. Family members of stroke patients usually experience emotional turmoil (Walerby & Forsberg et al, 1999). The purpose of this study was to obtain an in-depth description of psychological well-being in wives whose husbands had strokes. More specifically, this study aims to see the description of the six dimensions of psychological well-being that refer to the theory proposed by Ryff (1995), namely: the dimension of self-acceptance, the dimension of positive relationships with others, the dimension of autonomy, the dimension of environmental mastery, the dimension of life goals, and the dimension of personal growth. The study was conducted on 4 wives who had partners who had strokes. This study used a qualitative approach that could better describe complex and comprehensive processes compared to other studies. The type of qualitative research used was a case study. The data collection technique used was in-depth interviews because the researcher wanted to know the subjective experiences of the subjects. To complete the interview data, observations were made of the subjects during the interview process. The conclusion obtained from the results of this study is that the psychological well-being of wives who had partners who had strokes in this study seemed to show a variety of conditions. In general, with different demographic characteristics, the description of all dimensions of psychological well-being of the 3 subjects showed relatively equally good conditions. While 1 other subject was different from the other 3 subjects in the dimensions of positive relationships with others, autonomy, and personal growth. However, in general, there is a tendency that the stroke situation and its impacts initially (several weeks after the incident) provide psychological pressures so that they need to process to obtain the psychological well-being that they currently feel. The subjects finally assessed the experience of living with a husband who had a stroke with a positive view. Demographic factors and social classification turned out to have no effect on the formation of the psychological well-being of the subjects, but factors: personal characteristics, religiosity (religiousness) (Koenig, Kvale, & Ferrel in Mardhianto, 1997), social support (Robinson 1991), and evaluation of life experiences (Ryff 1995) are factors that influence the formation of the psychological well-being of the subjects. In connection with the results of this study, it is suggested that wives whose husbands have had a stroke as the closest people to the sufferer can achieve good psychological well-being, interpret the event with a positive assessment, and provide more psychological support for their husbands' comprehensive recovery."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
S3423
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
"This paper aims to explain female subjectivity reflected in Tempurung novel by Oka Rusmini by describing main character perception toward body and autonomy in the formation of female subjectivity ..."
305 JP 20 (3) 2015
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Novis Zeni Putri
"Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara kejadian dan waktu migrasi dengan perkawinan pada perempuan umur 15 tahun keatas di Indonesia. Studi ini menganalisis data Sakerti 2007 dan 2014 menggunakan Model Hazard Waktu Diskrit. Hasil penelitian menunjukkan kejadian perkawinan berhubungan signifikan dengan migrasi. Perempuan yang mengalami kejadian perkawinan cenderung lebih cepat bermigrasi (hazard migrasi lebih tinggi) dibandingkan perempuan yang melajang sepanjang periode pengamatan. Perbedaan hazard migrasi antara perempuan kawin dan melajang mengecil seiring dengan meningkatnya otonomi perempuan, sehingga perempuan bisa memutuskan untuk pindah jika hal itu dapat meningkatkan kesejahteraannya. Hubungan antara migrasi dan perkawinan tetap signifikan setelah dikontrol dengan dengan karakteristik individu, rumah tangga dan wilayah.

This study aimed to examine the relationship between the timing of marriage and event of migration among females aged 15 year and over in Indonesia. This study analyzed IFLS 2007 and 2014 using Discrete Time Hazard Model. The result shows that marriage timing is a significant predictor of migration among female in Indonesia. Married women are more likely to migrate (hazard migration is higher) than single women during the observation period. The difference of migration hazard decreases between married and unmarried women in line with the increasing of women autonomy. Women can decide to move if it can improve their welfare. The relationship between migration and marriage remained significant after controlling for the characteristics of individuals, households as well as regions."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syifa Rasyida Adriani
"Laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan kecenderungan gaya resolusi konflik yang
digunakan dalam menyelesaikan konflik perkawinan, dan hal tersebut dapat
mempengaruhi kepuasan perkawinan. Penelitian ini dilakukan untuk menguji apakah
terdapat pengaruh yang signifikan gaya resolusi konflik terhadap kepuasan perkawinan
pada laki-laki dan perempuan pada 5 tahun pertama perkawinan, serta mengetahui apakah
terdapat perbedaan yang signifikan tingkat kepuasan perkawinan dan penggunaan gaya
resolusi konflik pada kedua kelompok tersebut. Uji independent sample t test dan
multiple regression dilakukan kepada 625 partisipan (171 laki-laki dan 454 perempuan)
berusia 20 - 40 tahun yang sedang menjalani hubungan perkawinan dengan usia
perkawinan sama dengan atau kurang dari 5 tahun. Resolusi konflik diukur dengan CRSI
(Conflict Resolution Styles Inventory) dan kepuasan perkawinan diukur dengan QMI
(Quality of Marriage Index). Hasilnya, ditemukan perbedaan tingkat kepuasan
perkawinan dimana laki-laki memiliki tingkat kepuasan perkawinan yang lebih tinggi
dibandingkan perempuan. Selain itu, juga ditemukan perbedaan yang signifikan gaya
resolusi konflik yang cenderung digunakan laki-laki dan perempuan, dimana laki-laki
lebih sering menggunakan gaya positive problem solving dan compliance, sedangkan
perempuan lebih sering menggunakan gaya conflict engagement. Kemudian, juga
ditemukan terdapat pengaruh yang signifikan gaya resolusi konflik conflict engagement,
withdrawal, dan positive problem solving terhadap kepuasan perkawinan, dimana gaya
conflict engagement dan withdrawal berpengaruh secara negatif terhadap kepuasan
perkawinan, sedangkan gaya positive problem solving berpengaruh secara positif
terhadap kepuasan perkawinan. Lalu, gaya resolusi konflik yang paling dapat
memprediksi tingkat kepuasan perkawinan pada laki-laki maupun perempuan adalah
positive problem solving. Disarankan bagi individu yang telah menikah untuk
menerapkan gaya resolusi konflik yang memberikan pengaruh positif agar mereka dapat
mempertahankan atau meningkatkan kepuasan perkawinan mereka.

Men and women have differences in conflict resolution styles that tend to be used to
resolve their marital conflicts, and this can affect their marital satisfactions. This study
was conducted to examine whether there is a significant effect of conflict resolution
styles on marital satisfaction in men and women in the first 5 years of marriage, and also
to know whether there is a significant differences of level of marital satisfaction and the
use of conflict resolution styles between men and women. Independent sample t test and
multiple regression tests were conducted on 625 participants (171 men and 454 women)
aged 20-40 years who were in marital relationships with marital duration equal to or less
than 5 years. Conflict resolution was measured by CRSI (Conflict Resolution Styles
Inventory) and marital satisfaction was measured by QMI (Quality of Marriage Index). It
was found that there was a difference in the level of marital satisfaction that men have a
higher level of marital satisfaction than women. It was also found a significant difference
in conflict resolution styles that tend to be used by men and women, where men more
often use positive problem solving and compliance styles, while women more often use
conflict engagement styles. Then, it was also found that there was a significant effect of
conflict engagement, withdrawal, and positive problem solving style on the level of
marital satisfaction, where conflict engagement and withdrawal styles negatively affected
marital satisfaction, whereas positive problem solving style positively affected marital
satisfaction. Finally, conflict resolution style that can best predict the level of marital
satisfaction in both men and women was positive problem solving. It is recommended for
married individuals to apply a conflict resolution style that has a positive influence so that
they can maintain or increase their marital satisfaction
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Emilia Siswadi Naland
"Salah satu masalah yang dapat timbul dalam bubungan suami isteri adalah perselingkuhan di mana suami atau isteri terlibat dalam hubungan seksual dan terikat secara emosional dengan orang lain yang bukan pasangannys. Perselingkuhan meaimbulkan hetbsgai dampsk negatif dalam kehldupan berkeluarga karena suami atau isteri yang herselingkuh akan membagi babkan mengalihkan cinta kasih, perhatian, dana dan kebutuban keluarga yang lain dari pasangannya dan anak-anaknya, kepada orang ketiga yang menjadi pasangan selingkuhnya. Akibatnya kehldupan keluarga menjadi terganggu, suami-isteri kehilangan kepeccayaan tecbadsp pasangannya dan hubungan keduanya menjadi tidak harmonis. Perselingkuhan menurut catatan beheraps penelitian lebih banyak dilskukan oleh suami daripada baeri dan menimbulkan dampak lebih buruk pada isteri karena isteri memandang makna perselingkuhan dari sisi kesalahan ataupun kekurangan di dalam dirinya. Isteri akan merasa dirinya tidak berharga, kehilangan kasih sayang, perharian dan dulrungan dari suami sehingga mereka mudah menjadi depresi. Akibat lebih lanjut, isteri mungkin menjadi kurang mampu menjalankan fungsi-fungsi psilrologisnya dengan baik. Ia sendiri kurang dapat melihar kebaikan dirinya, enggan membina hubungan yang akrab dan bangat dengan orang lain, kurang mampu mengambil keputusan sendiri, sulit mengatur berbagai aktivitas yang hams dilakukannya, kehilangan minat untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya, bahkan dapat kehilangan makna dan tujuan hidupnya sehingga dapat dikatakan merasa tidak sejahtera secara psikologis. Penelitian ini mengkaji kesejahteraan paikologis isteri yang mempunyai pengalaman suami berseelingkuh dengan membedakan isteri usia dewasa muda dan isteri usia dewasa madya, mengingat karakteristik dan tugas perkembangan kedua tahapaa usia tersebut berhada. Hasil penelitian menunjukkan bahwa : Pada awal perselinglroban terungkap, kesejahteraan psikologis isteri terganggu baik pada isteri usia dewasa madya atau muda. Namun demikian, kesejahteraan psikologis dapat pulib kembali setelah mereka dapat menerima kenyataan yang terjadi, mengambil keputusan mangenai kelanjulan kehidupan perkawinan dan menyesuaikan diri dengan 'kehidupannya yang baru' yaitu tetap mempertahankan perkawinan alan bereerai. Empat responden dewasa madya dalam penelitian ini terdiri dari 2 responden yang telah bercerai dan 2 respnnden yang mempertahankan perkawinan merasa sejahtera secara psikologis Kedua responden dewasa madya yang memutuskan bercerai, secara umum memiliki kesejahteraan psikologis lebih baik dibandingkan dengan dua responden dewasa madya yang mempertahankan perkawinan. Hal ini antara lain disebabkan karena kedua responden yang mempertahankan perkawinan. belum dapat menyelesaikan masalah parselingkuhan suarni secara tuntas. Seorang responden, suarninya tetap berselingkuh dan seorang. yang Jain mempunyai anak di luar perkawinan mereka. Kadua responden dewasa muda merasa tidak sejahtera secara psikologis. Mereka berdua merasa kurang dapat menerima diri mereka dengan baik dan lebih banyak melihat kekurangan diri. Keduanya belum dapat mengambil keputusan mengenai kelanjutan parkawinan mereka apakah akan dipertahankan atau bereerai dan sedang mempertimbangkan berbagai konsekuensi yang menyenainya. Beberapa karakteristik dan tugas perkembangan dewasa madya tampaknya Jebih memudahkan untuk merasa sejahtera. Hal ini antara lain disebabkan karena semua responden dewasa madya mandiri secara ekonomi, mereka mempunyai peeghasilan atau pekerjaan yang dapat diandalkan. Dalam menjalankan peran sebagai orang tua atau ibu, dewasa madya khususnya mereka yang mempunyai anak sudah cukup besar tidak Jagi banyak disibukkan oleh tugas-tugas mengurus dan merawat anak sehingga mereka dapet melakukan berbagai aktivitas sebagaimana dibutuhkannya, termssuk bekerja tanpa banyak mengalami konflik peran. Selain itu, sebagian respondan dewasa madya mempunyai anak-anak yang sudah berusia remaja atau dewasa muda sehingga dapat memberikan dukungan kepada ibunya dalam bentuk saran, kerja sama dan saling tolong menolong memenuhi berbagai kebutuhan atau mengatasi kesulitan. Selanjutnya dikemukakan saran agar penelitian ini dapat dikembangkan dengan menambah responden yang bentda dalam kondisi lebih bervariasi. Seperti misalnya, panting ditelaah kesejabteraan psikologis responden dewasa madya yang tidak mempunyai pekerjaan atau penghasilan yang dapat diandalkan, responden dewasa muda yang bercerai agar dapat dipelajari cara mereke mengatasi masalah finansial dan kesibukan mengurus anak tetapi tetap mampu merasa sejahtera secara psikologis. Hasil penelitian akan lebih kaya apabila dilakukan pula penelitian terhadap kesejahteraan psikologis suami yang isterinya berselingkuh agar dapat diketabui pengaruh dari peran jender Selanjutnya dikemukakan juga saran praktis untuk isteri yang mempunyai pengalaman suarni berselingkuh agar tidak berlarut-Iarut tenggelarn dalarn depresi dengan membuka diri dalarn mengatasi berbagai masalah yang mungkin timbul dan segera menata diri kembali dengan kebidupan yang baru bersama atau tanpa suami. Isteri dewasa muda yang belum bekerja dapat segera membekali diri dengan ilmu dan keterampilan agar dapat memberdayakan diri dan tidak seterusnya bergantung kepada suarni, terutama hila perkawinan tidak dapat dipertabakankan Mendekatkan diri kepada Tuhan akan menambah ketegaran serta memberikan pengharapan dalam mengatasi kesulitan yang mungkin dihadapi."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2001
T37885
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayi Fatma Pratiwi
"Saat menjalani kehidupan pernikahan, dua individu tidak hanya dituntut untuk menyesuaikan diri dengan pasangannya tetapi juga menyesuaikan diri dengan berbagai macam situasi, sangat penting untuk individu memiliki kesiapan sebelum ia memutuskan untuk menikah. Ketidaksiapan dalam menghadapi pernikahan dapat memunculkan berbagai konflik, seperti keputusan penundaan pernikahan,  perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, dan lain-lain. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kesiapan menikah perempuan usia dewasa awal yang bekerja. Desain penelitian cross sectional dengan sampel sebanyak 427 perempuan berusia 20-40 tahun yang dipilih berdasarkan teknik quota sampling. Alat ukur berupa kuesioner karakteristik responden, kuesioner kepribadian IPIP-BFM-25 (International Personality Item Pool-Big Five Factor Marker 25), serta kuesioner modifikasi inventori kesiapan menikah. Analisis data dilakukan secara univariat. Penelitian ini kemudian menghasilkan gambaran kesiapan menikah perempuan usia dewasa awal paling banyak berada pada kategori sedang yaitu 50.6%. Hasil penelitian ini merekomendasikan perlunya pendekatan dan bimbingan khususnya kepada para perempuan yang bekerja baik yang sudah memiliki rencana untuk menikah, ataupun belum memiliki rencana untuk menikah,  untuk dapat memenuhi setiap aspek kesiapan menikah yang dimiliki.

In marriage, two individuals are not only required to adjust to their partner but also to various situations. It is very important for individuals to be prepared before deciding to marry. Lack of readiness in facing marriage can lead to various conflicts, such as marriage postponement, divorce, domestic violence, and more. This study aims to explore the marital readiness of working women in early adulthood. A cross-sectional research design was used with a sample of 427 women aged 20-40, selected through quota sampling technique. The measurement tools included a respondent characteristic questionnaire, the IPIP-BFM-25. International Personality Item Pool-Big Five Factor Marker 25) personality questionnaire, and a modified version of the marital readiness inventory questionnaire. Data analysis was conducted univariately. The study found that the majority of early adulthood women were in the moderate marital readiness category, with 50.6%. The results recommend the need for specific guidance, especially for working women, whether they have plans to marry or not, to ensure they are prepared in every aspect of marital readiness. "
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Misliharira Shaumi Putri
"Realitas gejala perkawinan anak mengekspos ketidaksetaraan gender yang dipertahankan melalui struktur patriarki yang mendominasi, memperkuat pola kekerasan struktural, dan menciptakan kerentanan perempuan terhadap viktimisasi berganda. Perkawinan anak masih menjadi isu yang signifikan, tidak terkecuali di Kota Semarang. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang memicu terjadinya kekerasan terhadap perempuan dalam konteks perkawinan anak dengan menggunakan perspektif kriminologi feminis radikal, serta peran multi-agensi di Kota Semarang yang dijelaskan dalam kerangka konsep the square of crime. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang menggunakan tinjauan pustaka dan wawancara untuk memahami realitas gejala perkawinan anak dan kekerasan terhadap perempuan. Hasil dari penelitian ini menggarisbawahi pentingnya pendekatan holistik yang mengintegrasikan upaya pencegahan, perlindungan, dan penegakan hukum untuk melindungi anak perempuan. Namun, selama dispensasi usia perkawinan masih dapat diajukan, upaya yang dilakukan oleh multi-agensi tidak akan sepenuhnya menghentikan praktik perkawinan anak. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang lebih tegas dan berpihak pada perlindungan anak serta penekanan pada upaya rekonstruksi sosial di masyarakat, sehingga perkawinan anak tidak lagi menjadi pilihan atau praktik yang dapat diterima dalam masyarakat.

The reality of child marriage exposes gender inequality within the dominating patriarchal structure, reinforces patterns of structural violence, and creating vulnerability for girls to multiple victimizations. Child marriage remains a significant issue, including in the city of Semarang. This research aims to analyze the factors causing violence against women in the context of child marriage using the perspective of radical feminist criminology, and the role of multi-agency in Semarang explained within the framework of the concept of the square of crime. This research is a qualitative study that uses literature review and interviews to understand the reality of the child marriage and violence against women. The findings of this study highlight the importance of a holistic approach that integrates prevention, protection, and law enforcement efforts to safeguard girls. However, as long as marriage age dispensations can still be requested, the efforts by multi-agency initiatives will not completely stop the practice of child marriage. Therefore, stricter policies are needed to protect girls by prioritizing child protection and emphasize social reconstruction efforts within the community, so that child marriage is no longer a choice or an acceptable practice in society."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>