Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 59638 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tining Amalia Suryani
"ABSTRAK
Seiring dengan kemajuan wanita di berbagai sektor, pilihan bidang pekerjaan bagi kaum wanita semakin luas belakangan ini. Namun, tidak dapat dipungkiri kenyataan bahwa masih ada pemisahan bidang pekerjaan berdasarkan jenis kelamin, dimana pria dan wanita bekerja di bidang pekerjaan yang berbeda. Pemisahan bidang pekerjaan ini berasal dari sosialisasi streotipi peran jenis kelamin tradisional yang sudah diperkenalkan sejak masih kanak-kanak melalui keluarga, televisi, buku-buku dan sekolah. Stereotipi peran jenis kelamin adalah sekumpulan keyakinan masyarakat tentang karakteristik pribadi wanita dan pria. Sosialisasi stereotipi peran jenis kelamin ini kemudian mengarahkan wanita untuk memilih bidang pekerjaan yang dianggap sebagai bidang pekerjaan wanita, demikian pula sebaliknya bagi pria. Bidang pekerjaan tradisional wanita merupakan bidang pekerjaan yang dianggap sesuai dengan stereotipi peran jenis kelamin wanita sedangkan bidang pekerjaan non tradisional wanita adalah bidang pekerjaan yang dianggap tidak sesuai dengan Stereotipi peran jenis kelamin wanita (Unger dan Crawford, 1992).
Salah satu bidang pekerjaan non tradisional wanita adalah polisi (Unger dan Crawford, 1992). Pekerjaan sebagai polisi, menuntut wanita untuk memiliki kualitas pribadi yang sesuai dengan peran jenis kelamin pria seperti obyektif, memiliki kemampuan memimpin, tugas, rasional, fisiknya kuat, aktif, berorientasi pada tugas atau prestasi, ambisius, bersedia menerima resiko dan lain-lain. Tuntutan pekerjaan sebagai polisi yang tidak sesuai dengan stereotipi peran jenis kelamin wanita membutuhkan penyesuaian diri bagi individu yang menjalaninya. Jika para polisi wanita ini tidak dapat menyesuaikan diri dengan baik maka hal ini akan mempengaruhi kesejahteraan psikologis (psychofogical well-being)nya. Menurut Ryff (1989), kesejahteraan psikologis (psychofogical well-being) merupakan keadaan yang menunjukkan kemampuan individu dalam menerima dirinya apa adanya, memiliki hubungan positif dengan orang lain, memiliki otonomi, menguasai Iingkungan memiliki tujuan hidup dan mengembangkan pribadinya secara berkesinambungan.
Pendapatan yang lebih besar dan status pekerjaan yang lebih tinggi merupakan keuntungan-keuntungan yang didapat para wanita yang bekerja di bidang pekeraan non tradisional bila dibandingkan dengan apa yang diperoleh wanita yang bekerja di bidang tradisional [Unger dan Crawford, 1992). Namun, mereka juga harus menghadapi tantangan yang lebih besar untuk membuktikan kemampuan mereka karena stereotipi peran jenis kelamin yang tidak mendukung mereka dalam bekerja di bidang pekerjaan non tradisional (Pertmutter dan Hall, 1992).
Penelitian ini berusaha mengungkap perbandingan kesejahteraan psikologis (psychological well-being) antara wanita yang bekerja di bidang pekerjaan non tradisional (polisi wanita) dengan wanita yang bekerja di bidang pekerjaan tradisional (guru Sekolah Dasar}.
Penelitian ini dilakukan di DKI Jakarta dan Tangerang terhadap 86 responden dengan pengambilan sampel menggunakan tehnik incidental sampling. Sampel penelitian ini adalah para bintara polisi wanita dan guru Sekolah Dasar, berusia antara 20-55 tahun dan berpendidikan minimal SMU dan yang sederajat. Alat pengumpul data yang digunakan adalah Skala Psychological Well-Being dari Ryff (1989, 1995) yang telah dimodifikasi menjadi skala lima titik dengan pernyataan sejumlah 60 item.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara rata-rata Bintara Polisi Wanita dan Guru Wanita Sekolah Dasar memiliki kesejahteraan psikologis psychological well-being) yang memadai dan tidak ada perbedaan profil kesejahteraan psikologis (psychologiod well-being) wanita yang bekerja sebagai polisi (Bintara Polisi Wanita) dan Guru Sekolah Dasar di daerah sekitar DKI Jakarta dan Tangerang.
Untuk penelitian selanjutnya, disarankan untuk melakukan pengelompokkan polisi wanita yang lebih rinci berdasarkan fungsi-fungsi yang ada di lingkungan Kepolisian Republik Indonesia dengan sampel yang lebih besar agar lebih terlihat perbedaan profil kesejahteraan psikologis (psychological well-being) antara satu kelompok polisi wanita dengan kelompok polisi wanita lainnya. Sebaiknya dilakukan penelitian kelompok-kelompok subyek penelitian yang memiliki jenis pekerjaan yang berbeda dengan pengontrolan terhadap tiga variabel lainnya yang dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis (psychological well-being) yaitu usia, status sosial ekonomi dan budaya.

"
2000
S2973
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bagus Takwin
"Kota besar ditandai dengan populasinya yang padat, ruang terbatas, dan mobilitas tinggi. Riset terdahulu menunjukkan bahwa warga DKI Jakarta merasa cukup bahagia. Oleh karena itu perlu untuk meningkatkan kebahagiaan (subjective well-being) warga DKI Jakarta. Subjective well-being berkaitan dengan bagaimana individu mengelola dirinya dalam menjalankan berbagai kegiatan. Individu dengan
subjective well-being yang baik cenderung untuk terlibat dalam aktivitas bernilai produktif tinggi. Riset ini bertujuan untuk memahami peran manajemen-diri dalam subjective well-being warga DKI Jakarta. Sejumlah 638 warga DKI Jakarta (laki-laki = 329, perempuan = 309; usia rata-rata = 36) berpartisipasi dalam studi ini. Data dikumpulkan melalui lima set kuesioner, yaitu Skala Kepuasan Hidup (SWLS),
Skala Afek Positif dan Negatif Skala (PANAS), Skala Ranah Kepuasan, Kuesioner Manajemen-Diri, dan Kuesioner Demografi. Analisis data menggunakan regresi berganda mengkonfirmasi bahwa mana
jemen-diri secara positif berhubungan dengan kepuasan hidup (R = 0,391, p = 0,05) dan afek positif (R = 0,108, p = 0,05).

Abstract
Big cities are characterized by their dense population, limited
space, and high mobility. Past research has shown that the
citizens of DKI Jakarta feel quite unhappy. Therefore it is necessary to improve the happiness (subjective well-being)
level of DKI Jakarta?s population. Subjective well-being relates to how an individual self-manages his/her activities.
Individuals with good subjective well-being tend to engage in
activities of high productive values. This research aims to
understand the role of self-management in the subjective we
ll-being of the population of DKI Jakarta. 638 citizens of
DKI Jakarta (males = 329, females = 309; mean age = 36) participated in the study. Data was collected through five sets of questionnaires, i.e., the Satisfaction With Life Scale
(SWLS), the Positive Affect and Negative Affect Schedule Scale
(PANAS), The Domains of Life Satisfaction Scale, Self-Management Questionnaire, and the Demograhic Questionnaire. Analysis of data using multiple regression confirmed that self-management is positively associated with life satisfaction (R = 0.391, p = 0.05) and positive affects (R = 0.108, p = 0.05). "
[Fakultas Psikologi Universitas Indonesia; Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat UI;Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat UI, Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia], 2012
J-pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Mutiara Pratiwi,author
"Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa keluarga memegang peranan penting bagi perkembangan individu dari anak-anak sampai dewasa. Seorang anak yang tumbuh di keluarga yang bahagia dan dibesarkan dengan penuh kasih sayang akan lebih siap untuk bergaul dengan orang lain, punya rasa percaya diri dan mampu memperhitungkan kebutuhan orang lain (Landis& Landis, 1970). Namun demikian, karena terdapat masalah-masalah tertentu dalam sebuah keluarga (baik dalam diri anak, atau karena masalah keluarga lainnya), ada anak-anak yang tidak dapat dibesarkan dalam lingkungan keluarga sendiri, tapi harus dibesarkan di luar lingkungan keluarga, misalkan dalam keluarga angkat atau dalam panti asuhan. Panti asuhan sebagai sebuah lembaga untuk mengasuh anak-anak'bertujuan agar anak asuh bisa berkembang secara wajar dan memiliki keterampilan sehingga ia bisa terjun ke masyarakat bila ia sudah dewasa dan bisa hidup layak serta punya rasa tanggung jawab pada dirinya, keluarga dan masyarakat (Dinas Sosial, 1985).
Pada setiap panti asuhan terdapat batas usia anak asuh. Biasanya, bila anak sudah mencapai usia dewasa (sekitar usia duapuluh tahun) anak asuh berakhir statusnya sebagai anak asuh sehingga harus keluar dari panti untuk kembali ke orang tua atau terjun ke masyarakat. Pada usia ini individu mulai berada pada tahap dewasa muda, sehingga sebagai manusia' individu tersebut juga menghadapi tugas perkembangan, yaitu untuk membina karier, membina kehidupan yang mandiri, serta membina hubungan intim baik dengan teman atau calon pasangan hidup (Tumer & Helms, 1995). Untuk dapat berhasil memenuhi tugas perkembangan itu, individu dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman yang terjadi pada tahap-tahap perkembangan sebelumnya, yaitu anak-anak dan remaja (Conger, 1991). Pada individu yang pernah tinggal di panti asuhan, pengalaman ini termasuk pengalamannya sewaktu menjadi anak panti asuhan.
Anak panti asuhan sering dianggap sebagai anak yang sulit untuk berfungsi secara optimal, malas, nakal dan sulit diatur. Hal ini dapat berpengaruh pada penilaian individu akan dirinya. Whittaker (dalam Baily, & Baily, 1983) mengatakan bahwa anak panti asuhan sering memandang dirinya sebagai manusia yang jelek, berbeda, bodoh, dan tidak mampu untuk berubah. Penilaian diri ini selain dapat mempengaruhi tingkah laku individu, juga akan berpengaruh pada bagaimana ia merealisasikan potensi dirinya (kesejahteraan psikologis, selanjutnya disebut PWB). Individu tersebut akan sulit berfungsi secara optimal dalam masyarakat.
Konsep PWB dikemukakan oleh RyfF (1989) sebagai konsep yang menekankan pada kemampuan seseorang untuk menjalankan serta merealisasikan fungsi dan potensi yang ia miliki. Fungsi dan potensi tersebut terdiri dari enam dimensi, yaitu dimensi otonomi, dimensi penguasaan lingkungan, dimensi pertumbuhan diri, dimensi hubungan positif dengan orang lain, dimensi tujuan hidup, dan dimensi penerimaan diri. Keadaan PWB dapat terbentuk oleh pengaruh beberapa faktor, yaitu : faktor demografis dan klasifikasi sosial; faktor dukungan sosial; faktor daur hidup keluarga; faktor evaluasi individu akan pengalaman hidupnya; serta faktor kepribadian, seperti kontrol internal dan eksternal.
Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menggambarkan keadaan PWB individu dewasa muda yang pernah menjadi anak panti asuhan, dengan mengacu pada pengalaman indiviu selama menjadi anak panti asuhari dan pengaruh faktor-faktor dalam pengalaman individu tersebut terhadap keadaan PWBnya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan teknik wawancara untuk mengumpulkan data. Selain itu, agar diperoleh gambaran PWB yang akurat, penelitian juga menggunakan alat ukur PWB (The Scales of Psychological Well-Bemg, atau SPWB) yang berbentuk kuesioner sebagai data penunjang. Subyek penelitian terdiri dari tiga orang individu dewasa muda yang pernah atau masih menjadi anak panti asuhan. Setelah data selesai dikumpulkan, dilakukan analisis kualitatif terhadap wawancara.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan gambaran PWB pada dewasa muda yang pernah menjadi anak panti asuhan, antara gambaran di SPWB dengan yang terungkap dalam wawancara. Dari hasil perolehan skor tiga subyek dalam SPWB, tergambar keadaan PWB yang cukup baik, sedangkan dari wawancara dan observasi terungkap adanya beberapa aspek dari subyek yang tidak sebaik di SPWB dan masih harus dikembangkan.
Pada penelitian ini didiskusikan beberapa hal yang menurut peneliti menarik, yaitu tentang tempat tinggal subyek penelitian; sebab subyek masuk panti asuhan dan hubungan subyek dengan keluarga aslinya; hubungan jenis kelamin dengan PWB; adanya tumpang tindih dalam dimensi-dimensi PWB; proses perolehan subyek penelitian; dan penggunaan dua buah metode, yaitu wawancara dan kuesioner. Saran untuk penelitian lanjutan meliputi dilakukannya wawancara dengan orang-orang dekat subyek; cara perolehan subyek yang efektif dan tidak melibatkan otoritas; dilakukannya penelitian dengan membandingkan jenis panti asuhan (asrama dan keluarga) serta penelitian dengan subyek yang benar-benar sudah keluar dari panti asuhan; dan kriteria sampel yang sesuai dengan kriteria subyek penelitian. Sedangkan saran praktis pada penelitian ini lebih mengenai pandangan pihak masyarakat luas terhadap anak panti asuhan."
Depok: Universitas Indonesia, 2000
S2974
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farras Elmira Zein
"Kepuasan pengguna pada siswa pengguna SCELE-UI salah salah satu indikator untuk menilai keberhasilan e-learning di Universitas Indonesia. Faktor yang paling mempengaruhi kepuasan pengguna adalah manfaat yang dirasakan dan faktor intrinsik individu itu sendiri, salah satunya adalah kebutuhan akan kognisi. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan antara manfaat yang dirasakan dan kepuasan pengguna dengan kebutuhan kognisi sebagai moderator pada pengguna SCELE-UI. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yang dilakukan pada 236 mahasiswa menggunakan SCELE-UI. Hasil studi menemukan bahwa manfaat yang dirasakan (M=19.72, SD=4.80) memiliki hubungan yang positif dan signifikan (r = .761, p < .01, two tails) dengan kepuasan pengguna (M=16.40, SD=4.33). Hasil lain yang ditemukan dalam penelitian ini adalah perlunya kognisi yang tidak memiliki pengaruh moderasi yang signifikan terhadap kepuasan pengguna dengan nilai t = 0,75; p = 0,45. Perlu perbaikan dalam hal penampilan SCELE-UI dan penambahan fitur notifikasi tugas akan mempengaruhi kepuasan pengguna yang akan mengarah pada niat menggunakan SCELE-UI dan meningkatkan motivasi belajar pengguna.
User satisfaction on SCELE-UI user students is wrong one of the indicators to assess the success of e-learning at the University of Indonesia. The factors that most influence user satisfaction are the perceived benefits and the individual's own intrinsic factors, one of which is the need for cognition. This study aims to identify the relationship between perceived benefits and user satisfaction with cognitive needs as a moderator of SCELE-UI users. This research is a quantitative research conducted on 236 students using SCELE-UI. The results of the study found that perceived benefits (M=19.72, SD=4.80) had a positive and significant relationship (r = .761, p < .01, two tails) with user satisfaction (M=16.40, SD=4.33). Another result found in this study is the need for cognition which does not have a significant moderating effect on user satisfaction with a value of t = 0.75; p = 0.45. Need improvement in the appearance of SCELE-UI and the addition of the task notification feature will affect user satisfaction which will lead to the intention to use SCELE-UI and increase user learning motivation.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fatchuri
"ABSTRAK
Modernisasi yang berlangsung di Jakarta memberikan dampak perubahan terhadap kehidupan masyarakat Betawi sebagai penduduk asli Jakarta. Arus urbanisasi yang kemudian berlangsung membuat populasi penduduk di Jakarta terus bertambah. Muncullah kemudian masalah-masalah sosial yang menimpa kota Jakarta seperti kepadatan penduduk, pemukiman, kesempatan kerja, dan masalah-masalah lain yang biasa terdapat di kota besar. Perubahan-perubahan tersebut dapat mempengaruhi kondisi psikologis individu- individu dalam masyarakat Betawi. Berkembangnya Jakarta menjadi kota metropolitan mengubah kehidupan kota Jakarta menjadi kota yang masyarakatnya saling tak mengenal, acuh tak acuh terhadap orang lain, individualis, dan berorientasi kepada materi. Hal ini dapat berdampak kepada kehidupan masyarakat Betawi yang biasa hidup dalam lingkungan sosial yangbaik, saling menolong, dan memiliki ikatan sosial yang kuat.
Untuk mengetahui Iebih jauh tentang bagaimana kondisi psikologis masyarakat Betawi saat ini, dapat dilakukan penelitian dengan menggunakan konsep psychological well-being (PWB) yang dikemukakan Carol D. Ryff (1989). PWB mengukur bagairnana penilaian subjektif individu terhadap pencapaian- pencapaian potensi-potensi dirinya. Konsep ini mempunyai kelebihan dibandingkan teori-teori tentang well-being sebelumnya karena memperhatikan
faktor-faktor kesehatan mental positif yang digunakan dalam teori-teori humanistik seperti pertumbuhan dan perkembangan pribadi. PWB seseorang menurut Ryff (1989) dapat dilihat dari 6 dimensi yaitu dimensi penerimaan diri, otonomi, penguasaan lingkungan, hubungan positif dengan orang Iain, tujuan hidup, dan partumbuhan pribadi. Dalam konteks masyarakat Betawi, dapat diketahui dimensi mana yang dianggap penting oleh mereka saat ini.
Mengingat bahwa masyarakat Betawi merupakan masyarakat yang religius, maka penilaian subjektifnya terhadap pancapaian potensi-potensi dirinya dapat dipengaruhi oleh pandangan-pandangan mereka yang dibentuk oleh agama, dalam hal ini Islam. Maka, penelitian ini ingin melihat Iebih jauh hubungan antara PWB dengan keberagamaan. Penelitian-penelitian selama ini telah membuktikan adanya hubungan antara keberagamaan dengan well-being.
Dari beberapa konsep keberagamaan yang sering digunakan untuk mengukur religiusitas, peneliti menggunakan teori komitmen beragama yang dikemukakan oleh Charles Glock (1962). Dipilihnya teorl ini untuk mengetahui keberagamaan masyarakat Betawi adalah karena konsep ini dapat melihat keberagamaan dari berbagai dimensi sehingga dapat menghasilkan gambaran keberagamaan secara Iebih luas. Aspek-aspek keberagamaan yang penting dalam Islam seperti aqidah, pemahaman agama, ibadah dan penghayatannya, serta muammalah (kehidupan sosial) dapat lebih tergali dengan manggunakan konsep ini.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Sebelum penelitian dilakukan, terlebih dahulu dilakukan pengujian validitas dan reliabilitas alat ukur yang digunakan. Dalam memproses data yang telah masuk, dilakukan analisa statistik dengan perhitungan mean, korelasi model Pearson product moment, dan analisa varians.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dimensi pertumbuhan pribadi dan tujuan hidup merupakan 2 dimensi yang dianggap penting oleh masyarakat Betawi; sementara dimensi otonomi manempati urutan terakhir dalam pandangan mereka. Pentingnya dimensi pertumbuhan pribadi dalam pandangan masyarakat Betawi menggambarkan bahwa nilai-nilai budaya barat yang mengutamakan pertumbuhan pribadi warganya sudah terserap dalam kehidupan masyarakat Betawi. Meskipun demlkian, dalam hal tujuan hidup, masyarakat Betawi masih dapat mempertahankannya dibandingkan masyarakat Hindu di Denpasar Bali seperti yang ditemukan Mardhianto (1997). Rendahnya dimensi otonomi juga menunjukkan bahwa ikatan sosial di kalangan masyarakat Betawi masih kuat.
Dalam hal komitmen beragama, dimensi ideologis memiliki nilai tertinggi dan dimensi ritual berada pada urutan terakhir. Hal ini berarti bahwa masyarakat Betawi memiliki keyakinan yang kuat terhadap kebenaran ajaran-ajaran agama islam tetapi di sisi Iain keyakinan tersebut tidak selalu terefleksi dalam pelaksanaan ibadah sehari-hari. Hasil ini juga memperlihatkan adanya pergeseran dalam kehidupan beragama mengingat dalam budaya keagamaan masyarakat Betawi dahulu, langgar dan masjid tak bisa dilepaskan dalam kehidupan mereka. lndividu yang jarang ke langgar dan masjid untuk beribadah dapat dikucilkan oleh masyarakat (Junaidi dalam Melalatoa, 1997).
Perhitungan korelasi antara dimensi-dimensi PWB dengan dimensi-dimensi komitmen beragama menunjukkan bahwa di antara dimensi-dimensi kedua variabel terdapat korelasi yang signifikan. Dimensi penerimaan diri berhubungan dengan komitmen beragama pada dimensi ritual, eksperiensial, dan konsekuensial. Hubungan positif dengan orang Iain berhubungan dengan dimensi ritual, eksperiensial, dan konsekuensial. Otonomi berhubungan dengan dimensi konsekuensial dan ideologis. Penguasaan Iingkungan berhubungan dengan dimensi ritual, eksperiensial, dan konsekuensial. Tujuan hidup berhubungan dengan dimensi ritual, eksperiensial, konsekuensial, dan ideologis. Dimensi pertumbuhan pribadi berhubungan dengan dimensi ritual, konsekuensial, ideologis dan intelektual.
Karakteristik subjek juga mempunyai hubungan dengan beberapa dimensi PWB maupun komitmen beragama. Pria terbukti lebih otonom dibandingkan wanita. Tapi dalam komitmen beragama, wanita lebih baik pada dimensi ritual, eksperiensial. dan intelektual. Subjek yang sudah menikah lebih baik dalam dimensi ritual, eksperiensial, dan ideologis tetapi Iebih rendah pada dimensi tujuan hidup dan hubungan positif dengan orang Iain dibandingkan mereka yang belum menikah. Tingkat pendidikan subjek berhubungan dengan dimensi ideologis dan konsekuensial. Jenis pekerjaan juga berhubungan dengan penerimaan diri, otonomi, dan tujuan hidup. Penerimaan diri yang paling baik adalah kelompok wiraswasta; kelompok ini juga memiliki tujuan hidup yang paling jelas. Dimensi otonomi tertinggi ada pada kelompok pegawai negeri. Kelompok subjek yang masih menganggur memiliki nilai paling rendah pada hampir semua dimensi PWB dan juga pada hampir semua dimensi komitmen beragama.

"
2000
S2959
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vania Lauditta Chairunnisa
"ABSTRAK
Isu kesetaraan hak gender telah berkembang di masyarakat dunia selama beberapa dekade terakhir ini, yang membuat kini lebih banyak perempuan yang mampu menyelesaikan pendidikan tinggi serta semakin adilnya kesempatan kerja antara pria dan wanita. Hal ini pun menyebabkan adanya pergeseran peran pada wanita, seperti lebih banyak bekerja di rumah tangga, memiliki lebih sedikit anak, dan menunda pernikahan. Namun, hal ini menimbulkan masalah baru berupa timbulnya double burden wanita dalam rumah tangga serta motherhood wage penalty di tempat kerja. Di beberapa negara, fenomena ini memiliki korelasi terhadap penurunan tingkat kebahagiaan wanita secara absolut maupun secara relatif dibandingkan dengan laki-laki. Di Indonesia, sebanyak 73% wanita yang berstatus menikah juga aktif mencari nafkah. Jika partisipasi wanita menyebabkan turunnya tingkat kebahagiaan wanita di Indonesia, tentu hal ini bisa menjadi masalah. Dengan menggunakan data yang diperoleh dari Indonesia Family Life Survey, penulis melakukan analisis Ordered Probit untuk menganalisis apakah status ketenagakerjaan mempengaruhi tingkat kebahagiaan wanita di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa status ketenagakerjaan mempengaruhi tingkat kepuasan hidup wanita menikah di Indonesia secara negatif. Penelitian juga menemukan bahwa anak merupakan faktor yang penting dalam menentukan kebahagiaan wanita menikah, serta persepsi tentang bagaimana sang individu mengartikan hidupnya dan bersyukur juga menjadi faktor yang penting dalam menentukan kepuasan hidupnya.

ABSTRACT
The issue of gender equality has developed over the past decades, which makes women now have more equal opportunities in career and education compared to men. Because of this, women roles in the household are now shifting; more women now are working outside the household, having less children, and also postponing marriage. However, this phenomenon leads to some new problems for women, such as facing double burden in the household and also motherhood wage penalty in the workplace. In some countries, this phenomenon has caused womens happiness level to decrease both absolute and relative to men. In Indonesia, about 73% of married women are also actively working outside the household. If working also causes womens happiness level decreases in Indonesia, this will lead to bigger problems. Using data from Indonesia Family Life Survey, the author conducted Ordered Probit analysis to see whether employment status decreases married womens happiness level in Indonesia. The result of the study shows that employment status does decrease the happiness level of married women in Indonesia. It is also found that children is an important factor in determining happiness level of married women; as well as perceptions about their life."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Debia Nur Epita
"Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai hubungan antara Psychological Well-being dan kepuasan kerja pada PNS Organisasi Pemerintahan. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif dengan pengumpulan data melalui kuesioner. Pengukuran Psychological Wellbeing menggunakan alat ukur Ryff’s Scale of Psychological Well Being dan pengukuran kepuasan kerja menggunakan Job Satisfaction Survey (Spector, 1994). Responden dalam penelitian ini berjumlah 141 PNS dari sembilan kantor pemerintahan di Yogyakarta.
Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan positif yang signifikan antara psychological well-being dan kepuasan kerja pada PNS Organisasi Pemerintahan (r = 0.283; p = 0.001, signifikan pada L.o.S 0.05). Hasil tersebut dapat diartikan, semakin tinggi tingkat psychological well-being maka semakin tinggi pula tingkat kepuasan kerja PNS Organisasi Pemerintahan.

This research was conducted to find the correlation between psychological wellbeing and job satisfaction among civil servant. This research is using quantitative approach by collecting data through questionnaires. Psychological well-being was measured by instrument named Ryff’s Psychological Well Being Scale, which is adopted from previous research by a research team of psychological well-being in 2012. Job satisfaction was measured by instrument named Job Satisfaction Survey (Spector, 1994). The participants of this research are 141 civil servants from nine government offices in Yogyakarta.
The main result of this study show that psychological well-being positively correlated significantly with job satisfaction (r= 0.283; p = 0.001, significant at L.o.S 0.05). Intepretation from the result is, higher psychological well-being, the higher job satisfaction.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S52460
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Asri Legowati
"Berdasarkan hasil survey yang dilakukan PT X pada tahun 2020, terdapat penurunan indikator Kepuasan Kerja Karyawan. Apabila tidak ditindaklanjuti dengan tepat, situasi ini akan berdampak buruk bagi kelangsungan organisasi ke depannya. Penelitian tesis ini bertujuan untuk mengetahui peran moderasi Kesejahteraan Psikologis terhadap hubungan antara Modal Psikologis dengan Kepuasan Kerja, serta efektivitas intervensi pelatihan untuk meningkatkan Modal Psikologis pada Karyawan PT X. Partisipan dalam penelitian ini adalah 207 Karyawan PT X yang bergerak di usaha pertambangan batubara di Indonesia. Alat ukur yang digunakan adalah Psychological Well Being Scale (Ryff et al., 1995), Psychological Capital Questionnaire (Luthans et al., 2007), dan Michigan Organization Assessment Questionnaire Sub Scale Job Satisfaction (Camman et al., 1983).
Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan terdapat hubungan positif dan signifikan antara Modal Psikologis dengan Kepuasan Kerja, Modal Psikologis dengan Kesejahteraan Psikologis  dan antara Kesejahteraan Psikologis dengan Kepuasan Kerja. Namun hasil penelitian menunjukkan bahwa Kesejahteraan Psikologis tidak mempunyai pengaruh moderasi terhadap hubungan Modal Psikologis dengan Kepuasan Kerja. Intervensi pelatihan Modal Psikologis diberikan kepada para Karyawan untuk meningkatkan Modal Psikologis mereka. Evaluasi terhadap pelatihan yang dilakukan di dalam penelitian ini yaitu sampai pada tahap pengetahuan Modal Psikologis. Hasil uji Wilcoxon Signed Ranks Test menunjukkan bahwa terdapat peningkatan pengetahuan Karyawan terkait dengan Modal Psikologis. Oleh karena itu, perusahaan dapat menggunakan pelatihan Modal Psikologis sebagai alat pengembangan diri untuk meningkatkan kepuasan kerja Karyawannya.

Based on survey result conducted by PT X in 2020, there is a decrease in Employee Job Satisfaction indicators. If not followed up appropriately, it will have a negative impact on the continuity of the organization in the future. This thesis research aims to determine the moderating role of Psychological Well-Being on the relationship between Psychological Capital and Job Satisfaction, as well as the effectiveness of training interventions to increase Psychological Capital in PT X. The measuring instruments used were the Psychological Well Being Scale (Ryff et al., 1995), the Psychological Capital Questionnaire (Luthans et al., 2007), and the Michigan Organization Assessment Questionnaire Sub Scale Job Satisfaction (Camman et al., 1983).
The results of the Pearson correlation test show that there is a positive and significant relationship between Psychological Capital and Job Satisfaction, between Psychological Capital and Psychological Well-Being, and between Psychological Well-Being and Job Satisfaction. However, the research results show that Psychological Well-Being does not have a moderating influence on the relationship between Psychological Capital and Job Satisfaction. Psychological Capital training interventions are provided to employees to increase their Psychological Capital. Evaluation of the training carried out in this research reached the Psychological Capital knowledge stage. The results of the Wilcoxon Signed Ranks Test show that there is an increase in employee knowledge related to Psychological Capital. Therefore, companies can use Psychological Capital training as a self-development tool to increase their employees' Job Satisfaction.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Neni Asrianita
"Kepuasan pasien adalah salah satu indikasi fungsi perbedaan kinerja yang di rasakan dengan yang di harapkan.dan dapat digunakan sebagai umpan balik bagi pemberi pelayanan. Saat ini BL PKM, sebagai salah satu UPTD Dinas Kesehatan Propinsi NAD mempunyai poliklinik umum yang memisahkan pasien wanita dari pasien pria. Jumlah pasien di poli wanita di puskesmas ini ternyata lebih banyak dari pada jumlah pasien di poli lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan rata-rata kepuasan pasien wanita di poli umum yang memisahkan pria dari wanita dan poli umum yang tidak memisahkan pasien pria dari wanita serta faktor karakteristik (umur, pendidikan, pekerjaan dan biaya pengobatan) yang diduga sebagai pengganggu terhadap tingkat kepuasan itu.
Penelitian cross sectional dengan pendekatan kuantitatif dilakukan terhadap 100 orang pasien poli wanita BL-PKM sebagai poli yang memisahkan pasien wanita dari pria dan 100 orang pasien wanita pada poli umum Puskesmas Kuta Alam sebagai poli yang tidak memisahkan pasien wanita dari pria. Skor kepuasan (0-100) dihitung dengan menjumlahkan skor maksimal pelayanan, keterampilan perawat/petugas, kesopanan dan keramahan dokter, kesopanan dan keramahan perawat, fasilitas dan sarana, privacy/kenyamanan, kebersihan ruang pelayanan, kerapian ruang pelayanan dan kebersihan lingkungan puskesrnas. Perbedaan tingkat kepuasan pasien wanita antara kedua jenis poli dan hubungan karakteristik responder sebagai pengganggu terhadap tingkat kepuasan pasien wanita diuji dengan t test independent.
Hasil uji menunjukkan bahwa ada perbedaan rata-rata tingkat kepuasan pasien wanita terhadap pelayanan kesehatan poli umum yang memisahkan (70,98) dengan rata-rata tingkat kepuasan pasien wanita terhadap pelayanan kesehatan poli umum yang tidak memisahkan pria dari wanita (68,64). Secara statistik perbedaan ini bermakna menurut kepuasan terhadap pelayanan (p = 0,001), kesopanan dan keramahan dokter (p = 0,047), kesopanan dan keramahan perawat (p = 0,021) dan privasi dan kenyamanan (p = 0,001). Pekerjaan merupakan variabel pengganggu terhadap kepuasan pasien, sedangkan umur, pendidikan dan biaya pengobatan bukan merupakan variabel pengganggu terhadap kepuasan pasien wanita. Disimpulkan bahwa pemisahan pasien wanita dari pasien pria di poliklinik umum mampu meningkatkan tingkat kepuasan pasien wanita terhadap pelayanan kesehatan.
Daftar bacaan : 27 (1979 - 2002)

Satisfaction Difference of Female Patient of Female-Male Separating (BL-PKM) and Female-Male Unseprating General Polyclinic (Kuta Alam Health Center), Banda Aceh Minicipality, 2003Patients satisfaction is one of health services indicator which functioned as performance difference between experienced and expected services and, therefore, can be used as feedback to health provider, Currently, Balai Latihan clan Pusat Kesehatan Masyarakat (BL-PKM) of Banda Aceh Municipality, a health center technical unit of health services of NM) Health Province Office, operates polyclinic services by separating female patients from male patients. Female patients of this health center are obviously higher than those of other polyclinics. Based on this phenomenon, a research has been conducted to know the difference of patrients'satisfaction between those who served in separated polyclinic and in unseparated polyclinics. This research is also aimed to explore patient characteristics which may confound his/her satisfaction.
A cross-sectional study was carried out involving 100 female patients of separated polyclinic (BL-PKM) and 100 female patients of unseparated polyclinic (Kuta Alam health center). Total scores of satisfaction, ranging from 0 to 100, were calculated by computing maximum individual scores of nursing services, nursing practices, politeness and hostility of doctor and for nurses, privacy and comfortless, facilities, cleanliness and tidiness of service room, and environmental cleanliness. Satisfaction difference between the two female patients and association of their characteristics (age, education, job, and medical cost) as confounding factors with satisfaction were tested statistically using independent t-test.
Data analysis shows that female patients served by separated polyclinic have higher satisfaction score (70,98) than those of unseparated polyclinic (68,64). Statistically, this difference is significance in terms of satisfaction to nursing services (p = 0,001), politeness and hostility of doctor (p w 0,047), politeness and hostility of nurses (p = 0,021), and privacy and comfortless (p 0,001). It also indicates that only the patients' job confounds the satisfaction and not by age, education, and medical cost. It is concluded, therefore, that separating female patients from male patients in general polyclinic improve female satisfaction to the health services.
References : 27 (1979-2002)
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2003
T12744
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kurniasih Mufidayati
"ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk menjawab inti permasalahan, sejauh manakah hubungan yang terjalin antara iklim organisasi dan motivasi dengan kepuasan kerja tenaga kependidikan pada SDIT Nurul Fikri, ini berarti ada 3 variabel yang akan diteliti, yaitu iklim organisasi (X1), motivasi (X2) dan kepuasankerja (Y).
Penulis melakukan penelitian ini, karena melihat pertumbuhan jumlah SD yang sangat cepat dan pesat sejak digalakkan program WAJARDIKDAS 9 tahun, namun pertumbuhan ini kurang diimbangi dengan peningkatan kualitas. Oleh karena itu, penatalaksanaan sistem dan pengembangan sekolah perlu dibarengi dengan pelembagaan dan pembudayaan sikap dan perilaku semua anggota organisasi sekolah. Agar misi dan tujuan sekolah dapat tercapai semaksimal mungkin, tenaga kependidikan, adalah pihak yang berperan besar dalam hal tersebut. Maka kepuasan kerja mereka harus diperhatikan. Jika kepuasan kerja mereka tinggi, mereka akan bekerja secara optimal untuk peningkatan kualitas sekolah. Maka organisasi dan motivasi adalah faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kepuasan kerja. Oleh karena itu penelitian terhadap 3 hal tersebut sangat penting dilakukan sebagai bekal dalam upaya peningkatan kualitas SDM dan lembaga sekolah itu sendiri.
Dalam pengumpulan data, digunakan kuesioner yang disebarkan pada 40 sampel dan populasi sejumlah 50 orang tenaga kependidikan pada SDIT Nurul Fikri. Pengambilan sampel menggunakan teknik `Cluster Sampling'.
Penelitian ini bertujuan membuktikan 4 hipotesis mengenai hubungan iklim (XI) dan motivasi (X2) masing-masing dengan kepuasan kerja (Y), iklimn(Xi) dengan motivasi (X2) serta hubungan iklim (Xi) dan motivasi (X2) secara bersamaan dengan kepuasan kerja (Y). Untuk uji hipotesis ini ditetapkan nilai taraf signifikan a < 0,05. Ho yang menyatakan tidak ada hubungan ditolak jika a < 0,05.
Untuk hubungan Xi (iklim) dengan X2 (motivasi) diperoleh nilai r = 0,312 pada a = 0,05 dan r2 = 9,7%. Maka Ho ditolak, tingkat hubungan rendah dan pengaruh iklim pada motivasi sebesar 7,9%. Untuk hubungan Xi dengan Y diperoleh r = 0,581 pada a = 0,00 dan r2 = 33,7%. Matra Ho ditolak, tingkat hubungan sedang dan pengaruh iklim pada kepuasan kerja sebesar 33,7%. Untuk X2 dengan Y diperoleh r = 0,038 pada a = 0,815 dan r2 = 0,1%. Maka Ho diterima dan hubungan tidak signifikan, pengaruh motivasi pada kepuasan kerja hanya 0,1%. Karena itu dilakukan pengolahan dengan korelasi parsial di mana Xi menjadi variabel kontrol. Ternyata terjadi perubahan nilai r = - 0,185 pada a = 0,260. Kemudian untuk hubungan X, dan X2 dengan Y digunakan teknik regresi ganda, hasilnya nilai R = 0,6 pada a = 0,00, dan R2
36%. Maka Ho ditolak, tingkat hubungan kuat dan pengaruh iklim secara bersamaan dengan motivasi terhadap kepuasan kerja 36%.
Terakhir, teknik regresi digunakan untuk mendapat model persamaan yang akan memprediksi pengaruh hubungan antar variabel. Dari hasil pengolahan data, diperoleh model yang berarti dan layak digunakan, yaitu : Y = 13,740 + 0,598 . Xl untuk hubungan X1 dengan Y.
"
1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>