Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 131983 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Pohan, Lifina Dewi
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2000
S2971
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Theresia Maharini
"Dari berbagai kehilangan yang djumpai di usia lanjut, salah satunya yang terberat adalah kehilangan pasangan melalui kematian. Secara umum, kematian pasangan mendatangkan tekanan yang amat berat bagi individu yang mengalaminya terbukti dari dijumpainya peristiwa ini pada peringkat pertama dari skala penyesuaian diri atas sejumlah peristiwa dalam kehidupan, yang disusun oleh Hoimes & Rahe (1967). lndividu yang ditinggal mati pasangannya dapat dikatakan mengalami bereavement, yaitu situasi dimana individu kehilangan orang yang dicintainya melalui kematian.
Berbagai Iiteratur yang ada menunjukkan bahwa wanita lebih mampu bertahan dalam menghadapi kehidupan sendiri setelah ditinggal mati pasangan, dibandingkan dengan pria. Pada pria umumnya ataupun pria Ianjut usia khususnya, dijumpai masalah-masalah yang berkisar dari kehilangan peran sebagai pasangan, masalah rumah tangga, dan perubahan jaringan sosial. Mengingat penyesuaian terhadap kematian pasangan merupakan salah satu tugas perkembangan yang harus dihadapi pada masa usia Ianjut (Turner & Helms, 1995), maka individu yang ditinggal mati pasangan harus melakukan upaya untuk menghadapi tuntutan ataupun kesulitan yang kemudian timbul dari peristiwa ini. Secara umum, upaya yang dilakukan individu untuk menghadapi tuntutan yang mendatangkan tekanan disebut coping (Lazarus, 1976).
Secara garis besar Lazarus & Folkman (1984) membagi coping menjadi 2 dimensi yaitu coping yang mengarah pada masalah, dan coping yang mengarah pada emosi. Untuk setiap dimensi, coping dapat terjadi pada taraf kognitif, perilaku, maupun secara bersamaan. Lebih lanjut Mikulincer & Florian (1996) mengembangkan klasirikasi respon coping khusus pada situasi bereavement, dengan diferensiasi pada coping yang mengarah pada emosi yang telah dikemukakan oieh Lazarus & Folkman, yaitu meliputi strategi berfokus pada masalah, reappraisal atau penilaian ulang, reorganisasi, dan penghindaran. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana lanjut usia pria rnengatasi kesulitan yang timbul akibat kematian pasangan. Dengan menggunakan metode studi kasus, dilakukan wawancara terhadap empat Ianjut usia pria yang ditinggal mati istri dalam kurun waktu maksimal dua tahun, sesuai perkiraan Iamanya individu pulih dari bereavement menurut Cook & Dworkin (1992).
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa jenis coping disesuaikan dengan karakteristik masalah. Untuk masalah-masalah praktis (separti masalah rumah tangga, pendamping dalam menghadiri acara sosial), coping perilaku yang mengarah pada masalah banyak dijumpai. Sedangkan untuk masalah-masalah emosi (rasa sedih), subyek banyak menggunakan upaya kognitif untuk meredakannya. Coping yang menonjol dari para subyek dalam menghadapi emosi yang menekan adalah berpaling pada keyakinan religius. Strategi berfokus pada masalah dengan melakukan tindakan tertentu juga efektif meredakan emosi yang menekan. Strategi reappraisai atau penilaian ulang banyak dijumpai dalam bentuk pengarahan atensi secara selektif terhadap informasi positif seputar peristiwa kematian istri. Keempat subyek sudah menunjukkan upaya reorganisasi dengan berbagai pengalaman positif maupun negatif selama menjalani masa kehilangan. Adapun faktor yang berperan dalam membantu mengatasi kesulitan pada masa bereavement dapat dibedakan menjadi faktor dari dalam diri subyek dan dari Iuar. Faktor dari dalam berupa iman, karakteristik kepribadian, dan pengalaman terlibat dalam tugas kerumahtanggaan, sedangkan faktor dari Iuar meliputi dukungan sosial serta masih adanya kesibukan rutin untuk dijalani. Dari hasil penelitian ini, disarankan untuk mengembangkan pusat penanganan masalah bagi para Ianjut usia yang mengalami kehilangan pasangan. Penelitian lanjutan dapat diarahkan untuk mengetahui perbedaan pengaruh dukungan sosial yang diperoleh lanjut usia berdasarkan sumber dukungan (dari pihak keluarga ataukah teman-teman), maupun bentuk-bentuk dukungan sosial yang diperiukan Ianjut usia sesuai dalam tahapan waktu tertentu selama menjalani masa kehilangan pasangan."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1997
S2618
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sophia Rini Hapsari
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1999
S2662
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuni Kurniasih
"
ABSTRAK
Masa Remaja adalah masa peralihan dari kanak-kanak menjadi dewasa,
dimana terjadi berbagai perubahan yang cepat dan dramatis dalam berbagai aspek
kehidupan individu. Salah satu perubahan yang paling menonjol adalah perubahan
fisik, yaitu tercapainya kematangan organ-organ seksual yang menuntun pada
perubahan beberapa aspek yang lain, seperti aspek sosial, emosional , dan
kepribadian.
Kematangan organ seksual menyebabkan perubahan perilaku seksual,
yaitu mulai terjalinnya hubungan khusus antar jenis atau yang lazim disebut
?pacaran?. Pacaran pada remaja, meskipun mempunyai dampak yang positif
(merupakan salah satu tugas perkembangan remaja), seringkali juga membawa
masalah-masalah bagi remaja itu sendiri. Masalah yang dihadapi remaja
berpacaran tidak jarang menimbulkan tekanan bagi remaja yang bersangkutan
yang menuntut mereka untuk dapat mengatasinya. Masalah pacaran pada remaja
akhir, memiliki pengaruh yang lebih besar dibandingkan pada masa remaja
sebelumnya karena pada masa ini pacaran merupakan masalah yang serius bagi
remaja dengan telah dilibatkannya komitmen ke arah pernikahan. Kegagalan dan
keberhasilan remaja akhir dalam mengatasi masalah pacaran, selain dapat
mempengaruhi kesehatan mental remaja pada masa ini, juga dapat mempengaruhi
interaksi sosial atau hubungan dengan lawan jenis pada masa selanjutnya. Dengan
demikian, perilaku coping remaja dalam mengatasi masalah pacaran merupakan
hal yang perlu mendapatkan perhatian.
Carver (1989) membagi coping dalam tiga jenis, yaitu coping ?terpusat
pada masalah? , coping ?terpusat pada emosi, dan coping yang maladaptif (tidak
efektif). Ada berbagai faktor yang mempengaruhi efektivitas coping yang
dilakukan individu, salah satunya adalah dengan tersedianya dukungan sosial bagi
remaja yang sedang mengalami masalah/tekanan. Melalui dukungan sosial remaja
dapat belajar bagaimana cara mengatasi masalah. Selain itu, dukungan sosial itu
sendiri juga dapat meningkatkan perasaan positif pada diri remaja karena remaja
merasa dihargai dan diperhatikan oleh orang lain. Perasaan positif ini telah terbukti membantu individu dalam menghadapi dan mengatasi situasi yang
membangkitkan stres.
Dalam kehidupan sehari-hari, dukungan sosial ini dapat terwujud melalui
suatu komunikasi interpersonal yang efektif karena komunikasi ini mengandung
empat aspek, yaitu sikap asertif, empati, kemampuan mendengar aktif, dan
kesediaan untuk membuka diri (Pearson, 1983). Keempat aspek komunikasi ini
jika dapat terjalin antara remaja dengan orang tuanya dapat menciptakan
kedekatan remaja pada orang tua dan menimbulkan perasaan berharga, berarti dan
disayangi pada diri remaja. Komunikasi yang efektif antara remaja dengan orang
tua mengenai masalah pacaran, dapat membantu remaja dalam menghadapi
situasi yang menekan akibat masalah pacaran yang mereka hadapi sehingga
diharapkan remaja dapat memilih perilaku coping yang efektif.
Komunikasi Interpersonal dan perilaku coping tersebutlah yang akan
diteliti dalam peneltian ini. Penelitian ini dilakukan terhadap 55 orang remaja
akhir yang dipilih secara insidental. Alat yang digunakan berupa kuesioner
"Coping Scale " dari Caver, et.al. (1989) dan kuesioner yang menggali keempat
aspek komunikasi interpersonal seperti tersebut di atas.
Dari hasil penelitian diperoleh bahwa komunikasi remaja-ayah cenderung
kurang efektif kecuali pada aspek ?sikap asertif? (tergolong cukup baik).
Sedangkan komunikasi antara remaja-ibu cenderung cukup efektif kecuali pada
aspek ?mendengar aktif' (tergolong kurang efektif). Coping yang sering digunakan
remaja untuk mengatasi masalah masalah pacaran merupakan jenis coping yang
efektif, yaitu coping ?terpusat pada masalah? dan coping ?terpusat pada emosi.
Sedangkan coping yang maladaplif (tidak efektif) merupakan perilaku coping
yang jarang dipilih remaja untuk mengatasi masalah pacaran. Komunikasi remaja-
ibu mempunyai hubungan yang signifikan dengan ketiga jenis coping yang
dilakukan remaja untuk mengatasi masalah pacaran. Sebaliknya., komunikasi
remaja-ayah tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan ketiga jenis coping
yang dilakukan remaja untuk mengatasi masalah pacaran.
Berkenaan dengan hasil penelitian tersebut maka diharapkan orang tua
(ayah dan ibu) untuk lebih meningkatkan kemampuan mendengar aktif, bersedia
meluangkan waktu untuk mendengar keluhan anak, tidak mendominasi
pembicaraa. Dan untuk ayah, diharapkan untuk lebih meluangkan waktu, lebih
mengakrabkan diri dengan anak remajanya dan mencoba untuk lebih memahami
serta mengerti apa yang dirasakan dan diinginkan anak dan menerima anak apa
adanya.
Pada penelitian selanjutnya, ada baiknya dilakukan penelitian serupa pada
sampel anak bermasalah. Untuk kuesioner komunikasi ada baiknya diteliti pula
persepsi orang tua mengenai komunikasi remaja-orang tua untuk mendapatkan
perbandingan persepsi orang tua dan remaja terhadap komunikasi remaja-orang
tua. Selain itu, baik pada coping maupun komunikasi pengambilan data sebaiknya
dilengkapi pula dengan wawancara agar diperoleh gambaran yang lebih
mendalam dan terinci pada ke dua variabel tersebut.
"
1998
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khafidah Kumala Sari
"Futterman dan Jones (1998) mengatakan bahwa banyak wanita mengeluhkan depresi tengah baya pada gaat perimenopause yang disebabkan oleh penuninan dan fluktuasi tingkat hormon dan perub^an tengah baya lainnya. Gejala-gejala perimenopause yang disebabkan adanya perubahan-perubahan dan fluktuasi tingkat hormon ovari tersebut antara lain adalah mood swings, kecemasan, irritability, mudah meneteskan air mata, menurunnya kemampuan untuk mengingat, hot flush, dll. Seorang wanita yang mengalami gejala-gejala di atas dan menganggap gejala-gejala tersebut sebagai sesuatu yang berbahaya atau mengancam serta menimbulkan perasaan terganggu dan tidak nyaman, tentunya akan termotivasi atau berbuat sesuatu untuk mengatasi efek yang ditimbulkan oleh gejala-gejala perimenopause tersebut. Hal inilah yang tercakup dalam coping. Masalah yang ingin diungkap dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran perilaku coping yang digunakan wanita untuk mengatasi stress yang ditimbulkan oleh gejala-gejala perimenopause.
Penelitian ini juga ingin mengungkapkan apakah ada perbedaan dalam jenis coping yang digunakan antara wanita yang bekeija dan yang tidak bekeija untuk mengatasi stress yang ditimbulkan oleh gejala-gejala perimenopause. Wanita yang bekeija diharapkan lebih banyak menggunakan problem focused coping. Selain itu penelitian ini juga ingin mengungkapkan perilaku coping apakah yang dirasakan paling efektif baik bagi wanita yang bekeija maupun yang tidak bekeija. Alat yang digunakan untuk melihat gejala-gejala perimenopause dibuat berdasarkan hasil elisitasi dan daftar gejala oleh Futterman & Jones dan Warga. Pilihan jawaban yang tersedia adalah ya dan tidak. Sedangkan untuk mengukur tingkat stress yang ditimbulkan oleh gejala digunakan skala l-7.Alat yang digunakan untuk mengukur perilaku coping adalah COPE inventory yang dikembangkan oleh Carver dan Scheier (1989). Alat ini terdiri dari 53 item yang terdiri dari 3 dimensi, yaitu problem focused coping, emotion focused coping dan perilaku coping tidak adaptif. Pilihan jawaban yang disediakan adalah ya dan tidak. Sedangkan untuk mengukur efektifitas coping. digunakan skala 1 sampai 7.
Subjek dalam penelitian ini adalah wanita bekerja dan yang tidak bekeija, yang berusia 45-55 tahun, yang sedang berada pada masa perimenopause. Jumlah subjek yang bekeija sebanyak 30 orang dan yang tidak bekerja beijumlah 32 orang. Untuk melihat gambaran perilaku coping dan efektifitas perilaku coping tersebut digunakan teknik statistik untuk mendapatkan rata-rata {mean). Sedangkan untuk melihat apakah ada perbedaan antara wanita yang bekeija dan yang tidak bekeija dalam penggunaan jenis coping digunakan rumus t-test. Uji reliabilitas dan analisis item dari alat coping menggunakan koefisien Cronbach alpha dan metode konsistensi internal dan. Dengan Koefisien Cronbach Alpha yang dihasilkan, maka dapat dikatakan reliabilitas coping ini sedang cenderung tinggi.
Dari hasil perhitungan rata-rata diketahui bahwa jenis emotion focused coping adalah jenis coping yang paling banyak digunakan baik pada wanita bekeija maupun yang tidak bekeija. Jenis coping yang dirasakan paling efektif adalah emotion focused coping. Dari hasil perhitungan t-test yang dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan bahwa ada perbedaan yang secara statistik signifikan ddam skor emotion focused coping antara wanita yang bekeija dan yang tidak bekeija, yang mana wanita yang tidak bekeija memiliki skor yang lebih besar. Hal ini berarti wanita yang tidak bekeija lebih banyak menggunakan jenis emotion focused coping dibandingkan dengan yang bekeija. Dari hasil perhitungan t-test yang dilakukan juga diketahui bahwa tidak ada perbedaan yang secara statistik signifikan dalam skor problem focused coping dan perilaku coping tidak adaptif antara wanita bekeija dan yanng tidak bekerja."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2001
S2887
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Dewi Ningsih
"Wanita Indonesia pada masa sekarang ini, khususnya di Jakarta kebanyakan tidak lagi tinggal dirumah sebagai pengurus rumah tangga dan anak, tetapi ikut aktif bekerja diluar rumah untuk meningkatkan karir dan penghasilan mereka. Wanitapun banyak memperoleh kesempatan untuk mengembangkan kemampuan intelektualnya serta mengaplikasikannya dalam kehidupan bermasyarakat. Namun di dalam masyarakat Indonesia seorang wanita yang bekerja tetap diharapkan untuk berperan sesuai dengan fungsi utamanya di dalam keluarga yaitu sebagai ibu rumah tangga dan sebagai istri. Oleh karena itu jika wanita mengkombinasikan perannya didalam pekerjaan dan juga keluarga, hal ini seringkali menimbulkan stres.
Salah satu bidang kerja yang seringkali terdapat banyak stafnya mengalami stres adalah perawat, oleh karena itu perawat sering dikatagorikan sebagai profesi yang menimbulkan stres. Dalam kondisi stres, dikhawatirkan perawat tidak dapat menjalankan perannya secara optimal, oleh karena itu perawat diharapkan dapat mengatasi stres yang dialami. Hal ini menyebabkan ia melakukan penyesuaian diri. Penyesuaian diri ini apabila ditujukan khusus pada keadaan atau situasi yang dirasakan menantang, mengancam, atau membebani sumber daya yang dimiliki seseorang serta menimbulkan emosi-emosi negatif maka penyesuaian diri ini disebut sebagai Coping.
Coping merupakan usaha dalam bentuk kognisi dan perilaku untuk mengatasi tuntutan eksternal dan internal yang dinilai melebihi sumber daya penyesuaian yang dimiliki seseorang. Coping dibedakan menjadi dua yaitu Problem Focused Coping merupakan usaha yang dilakukan seseorang untuk mengatasi atau meyelesaikan masalah yang dihadapi, sedangkan Emotion Focused Coping merupakan usaha yang dilakukan seseorang untuk mengurangi ketegangan dan perasaan yang tidak menyenangkan yang timbul dari kesulitan atau masalah yang sedang dihadapi.
Dari penelitian selanjutnya Coping berhasil dikembangkan menjadi delapan strategi baru dari Problem Focused Coping dan Emotion Focused Coping yaitu tiga strategi yang tergolong dalam Probel Focused Coping adalah Tindakan berhati-hati, Tindakan Instrumental, dan Negosiasi, kemudian empat strategi yang tergolong dalam Emotion Focused Coping adalah Melarikan diri, Minimization, Menyalahkan diri sendiri, dan Mencari makna, serta satu strategi yang merupakan kombinasi dari Problem Focused Coping dan Emotion Focused Coping adalah Mobilisasi dukungan. Namun pemilihan jenis Strategi Coping yang dilakukan seseorang dapat dipengaruhi oleh faktor Sosio Demografi, Tipe Kepribadian, dan faktor Kontekstual.
Penelitian ini dilakukan terhadap 155 orang perawat di RS. Fatmawati dan RS. Pondok Indah, untuk mengetahui Bagaimana pemilihan Strategi Coping wanita berperan ganda, khususnya perawat di dua Rumah Sakit Jakarta, serta hubungannya dengan faktor Sosio Demografi, Tipe Kepribadian, dan Faktor Kontekstual.
Hasil pengujian memperlihatkan bahwa faktor Sosio Demografi, Tipe Kepribadian, dan Faktor Kontekstual, berhubungan secara signifikan dengan pemilihan Strategi Coping wanita berperan ganda. Namun yang memberi sumbangan terbesar dari ketiga faktor tersebut adalah Faktor sosio demografi yaitu penghasilan dan pendidikan, kemudian Faktor Kontekstual, baru Tipe Kepribadian.
Selain itu penelitian ini menemukan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan dalam pemilihan Strategi Coping yang ditampilkan wanita berperan ganda di RS. Fatmawati dan RS. Pondok Indah. Responden di RS. Fatmawati umumnya cenderung menggunakan Strategi Emotion Focused Coping (EFC) yaitu Menyalahkan diri sendiri, dan mencari makna; serta kombinasi antara Problem Focused Coping (PFC) dan EFC yaitu melakukan dukungan mobilisasi. Sedangkan responden di RS. Pondok Indah cenderung menggunakan Strategi Problem Focused Coping (PFC) yaitu tindakan instrumen, tindakan berhati-hati, juga negosiasi; bahkan yang menarik di RS Pondok Indah cenderung pula menggunakan Strategi Emotion Focused Coping (EFC) yaitu Menyalahkan diri sendiri, dan mencari makna.
Berkaitan dengan hasil penelitian tersebut maka disarankan : (1) Sebaiknya dilihat pula gambaran stres yang dialami oleh wanita berperan ganda, agar diketahui jenis atau intensitas stressor yang dialaminya, sehingga pengukuran coping akan lebih terarah dan spesifik. (2) Bagi yang ingin melakukan penelitian yang sama disarankan untuk membuat alat ukur Strategi Coping yang lebih spesifik, dan mempertimbangkan karakteristik budaya masyarakat Indonesia. (3) bagi yang berminat melakukan penelitian lanjutan disarankan agar membandingkan dengan jenis pekerjaan lain sehingga terlihat variasi pemilihan Strategi Copingnya. (4) Bagi pengembangan Sumber Daya Manusia, dalam hal rekruitmen karyawan, khususnya wanita berperan ganda perlu diperhatikan penghasilan yang tinggi dan pendidikan tinggi , agar mereka dapat langsung memecahkan masalahnya yang berkaitan dengan peran gandanya, sehingga akan mempengaruhi efektiftas dan produktifitas kerjanya."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Atiyatun Homisah
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2001
S2908
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sawitri Sjah
"Dalam penelitian ini, yang dimaksud kekerasan domestik adalah tindak kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya. Di Indonesia, saat ini, masalah kekerasan domestik telah menjadi masalah sosial yang serius yang ditandai dengan semakin meningkatnya laporan statistik mengenai kasus tersebut, dan banyaknya pemberitaan di media massa yang mengungkap mengenai masalah kekerasan domestik.
Akibat dari kekerasan domestik tentu saja dialami oleh para istri yang menderita baik secara fisik maupun psikologis. Disamping itu, anak-anak merekapun tidak luput dari akibat kekerasan domestik tersebut. Namun demikian, banyak istri yang bertahan atau harus bertahan dalam perkawinan rnereka karena berbagai sebab. Untuk itu, mereka harus melakukan coping terhadap tindak kekerasan yang dilakukan oleh suami mereka.
Ada tiga belas jenis strategi coping yang dikembangkan oleh Carver, Scheier, dan Weintraub (1989) yang dapat digunakan oleh istri dalam menangani masalah kekerasan domestik tersebut, yang dapat dibagi atas strategi coping Problem- Focused Emotion-Focused (yang termasuk dalam strategi coping yang efektif) dan strategi coping maladaptif (yang mempakan strategi coping yang kurang efektif). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai perilaku coping istri dalam menghadapi tindak kekerasan yang dilakukan oleh suami.
Penelitian ini dilakukan dengan mewawancarai istri yang teIah mengalami tindak kekerasan fisik dari suaminya dan masih bertahan dalam perkawinannya. Pemilihan subyek penelitian menggunakan metode purposif sampling.
Dari penelitian kualitatif ini diperoleh hasil bahwa keempat orang istri dalam penelitian ini umumnya melakukan strategi coping yang termasuk dalam Problem-Focused Coping dan Emotion-Focused Coping. Namun pada awalnya, tiga orang istri sernpat melakukan strategi coping yang maladaptif selama beberapa waktu. Jadi ada berbagai macam cara yang dapat dilakukan oleh istri dalam menangani tindak kekerasan suami. Karena istri memutuskan untuk bertahan daiam perkawinannya, istri tetap dapat berusaha untuk mengurangi atau bila mungkin, menghentikan tindak kekerasan suami. Jadi istri tidak secara pasif menerima saja segala perlakuan suami tanpa berusaha mencari cara untuk menanganinya.
Penelitian lanjutan dapat dilakukan terhadap subyek istri yang mengalami kekerasan domestik dan masih bertahan dalam perkawinannya, dengan lebih memperhatikan jangkauan lapisan sosial ekonomi, sehingga diharapkan dapat lebih terlihat keanekaragaman cara penanganan yang dilakukan istri, yang mungkin berbeda-beda, karena adanya perbedaan status sosial ekonomi.
Dapat pula dilakukan penelitian terhadap pasangan (suami-istri) yang telah berhasil mengatasi masalah kekerasan domestik dalam rumah tangganya, untuk melihat tindakan-tindakan/langkah-langkah apa saja yang telah mereka lakukan dalam menangani rnasalah mereka, yang mungkin dapat ditiru/diikuti oleh pasangan-pasangan lain yang memiliki masalah yang sama."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1998
S2654
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maulida Zawir Simon
"Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan salah satu penyakit kronis yang menjadi penyebab kematian utama di negara-negara industri modern (Sarafino, 1990; Taylor, 1995). Khususnya di Indonesia, selain menduduki peringkat pertama sebagai penyebab kematian (Survey Rumah Tangga Departemen Kesehatan, 1992), PJK juga menyebabkan penurunan kualitas hidup bagi individu yang menderita PJK (Jatiputra, 1993).
Manifesfasi klinis dari PJK yang paling ditakuti adalah Infark Miokard Akut (IMA), karena serangan jantung yang terjadi mengakibatkan kematian pada otot-otot jantung (Hurst, 1990; Sarafino, 1990; Taylor, 1995). Individu yang dapat hidup setelah mengalami serangan jantung, disebut sebagai penderita pasca-IMA. Bagi penderita pasca-IMA, serangan jantung yang dialaminya akan menimbulkan berbagai masalah, meliputi masalah fisik, psikologis, dan sosial (Jatiputra, 1993). Masalah-masalah yang ada seringkali dirasakan mengganggu kehidupan penderita (Jatiputra, 1993) dan merupakan sumber stres baginya (Holahan & Moos, 1997). Dengan kata lain, penderita pasca-IMA mengalami stres.
Para ahli menemukan bahwa stres merupakan salah satu faktor risiko yang dapat memicu terjadinya serangan jantung (Perhimpunan Kardiologi Indonesia 1988; Taylor, 1995). Oleh karena itu, penting bagi penderita pasca-IMA untuk mengatasi stres agar tidak terkena serangan jantung kembali (Sarafino, 1990; Jatiptra, 1993; Taylor, 1995). Usaha mengatasi stres dikenal dengan istilah coping. Dalam melakukan usaha. coping, penderita pasca-IMA dapat memecahkan masalah secara aktif (coping terpusat masalah) dan/atau dengan mengatur perasaannya (coping terpusat emosi).
Akan tetapi, penderita pasca-IMA mungkin saja melakukan coping secara tidak efektif karena kekuatan fisik dan mentalnya terbatas. Dengan demikian, penderita pasca-IMA membutuhkan faktor dari luar dilinya yang dapat membzmtunya untuk mengatasi masalah-masalahnya, yaitu dukungan sosial. Dukungan sosial dapat memberikan efek positif terhadap kesehatan dan kesejahteraan individu, serta membantu individu coping terhadap masalah-masalahnya (Heller, dkk, 1986; Thoits, 1986; Sarafino, 1990; Pierce, Sarason, & Sarason, 1992; Taylor, 1995). Dukungan sosial disini Iebih berarti sebagai dukungan sosial yang dipersepsikan, bukan dukungan sosial yang dirasakan secara obyektif. Dukungan sosial yang dipersepsikan ini meliputi persepsi individu mengenai jumlah sumber dukungan yang tersedia dan tingkat kepuasan terhadap dukungan yang ada (Samson, dkk, 1983).
Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk melihat beberapa jauh hubungan antara dukungan sosial yang dipersepsikan dengan coping yang dilakukan oleh penderita pasca-IMA, khususnya hubungan antara jumlah sumber dukungan soaial maupun tingkat kepuasan terhadap dukungan sosial dengan coping terpusat pada masalah dan coping terpusat pada emosi.
Subyek penelitian ini adalah 30 orang penderita pasca-IMA dari Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta., yang diambil dengan menggunakan tehnik non probability sampling tipe incidental. Alat pengumpulan data menggunakan kuesioner Social Support Questionnaire (SSQ) dari Sarason, dkk (1983) yang mengukur jumlah number dukungan sosial yang dipersepsikan maupun tingkat kepuasan terhadap dukungan sosial dan Ways of Coping Questionnaire (WCQ) dari Folkman., dkk (1984) yang mengukur coping terpusat pada masalah dan coping terpusat pada emosi. Pengolahan data dilakukan dengan analisa deskriptif dan korelasi. Keseluruhan pengolahan data dilakukan dengan bantuan program SPSS.
Berdasarkan data yang diperoleh dari penelitian ini, diperoleh hasil bahwa penderita pasca-IMA menggunakan coping terpusat pada masalah dan coping terpusat pada emosi sama seringnya dalam mengatasi masalah-masalahnya. Selain mempersepsikan banyak sumber dukungan sosial, penderita pasca-IMA juga merasa puas terhadap dukungan sosial yang diterimanya. Dengan sendirinya, tidak ada hubungan yang bermakna antara banyaknya jumlah sumber dukungan sosial maupun besarnya tingkat kepuasan terhadap dukungan sosial dengan coping terpusat pada masalah dan coping terpusat pada emosi yang dilakukan oleh penderita pasca-WIA.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi yang berharga kepada pihak rumah sakit, penderita penyakit jantung dan keluarganya, mengenai pentingnya dukungan sosial bagi penderita jantung, khususnya penderita pasca- IMA. Selain itu, berdasarkan banyaknya jumlah sumber dukungan, dapat pula diketahui lingkungan sosial disekitar penderita pasca-IMA, baik yang berasal dari dalam maupun luar keluarga yang dipersepsikan sebagai sumber dukungan untuk membantunya dalam mengatasi masalah-masalahnya.
Saran untuk penelitian selanjutnya, sebaiknya digunakan metode wawancara yang lebih mendalam sehlngga dapat diketahui kepuasan terhadap dukungan sosial secara subyektif dan dianjurkan untuk mengikutsertakan variabel kepribadian yang juga berpengaruh pada coping yang dilakukan oleh penderita pasca-IMA."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1999
S2594
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitorus, Gloria Kanne
"Dewasa ini dalam sistem pembinaan rohani Kristiani dikenal model gereja sel. Secara umum kelebihan model gereja sel dari gereja yang bukan gereja sel adalah potensinya untuk meningkatkan jumlah anggota gereja dengan cepat sekaligus memelihara yang sudah ada di dalam. Hal ini terjadi karena struktur gereja sel yang terdiri dari kelompok-kelompok pembinaan rohani yang disebut kelompok-kelompok sel. Masing-masing kelompok dipimpin oleh seorang pemimpin kelompok sel.
Peningkatan jumlah anggota dalam gereja sel berasal dari penjangkauan anggota baru oleh kelompok-kelompok sel. Kemudian ketika suatu kelompok sel sudah terdiri dari 15 orang, kelompok tersebut membelah (bermultiplikasi) menjadi dua. Pemimpin kelompok sel sangat berperan dalam keseluruhan proses multiplikasi, belum ditambah fungsinya sebagai pembina kerohanian anggota-anggota kelompok.
Dari uraian di atas dapat dimengerti bahwa pemimpin Kelompok Sel adalah elemen penting karena dialah penggerak aktivitas dalam kelompoknya, terutama dalam proses menghasilkan kelompok baru. Mengingat deskripsi tugas dari seorang pemimpin kelompok sel yang cukup berat, dapat dipahami bahwa sejumlah pemimpin kelompok sel kemudian tidak masuk kategori berhasil karena gagal menghasilkan keiompok sel yang baru. Tetapi fakta juga menyatakan bahwa sebagian pemimpin kelompok sel berhasil mengatasi masalah dan dapat memultiplikasikan kelompok selnya.
Oleh karena itu peneliti kemudian tertarik untuk meneliti bagaimana gaya coping seorang pemimpin kelompok sel yang berhasil. Karena pemimpin kelompok sel adalah orang yang cukup berorientasi kepada hal-hal yang religius, maka peneliti bermaksud meneliti gaya coping religius apa yang dipakai di kalangan para pemimpin kelompok sel yang berhasil. Gaya-gaya coping religious ini dibagi menjadi tiga yaitu Arah-Diri, Kerjasama, dan Berserah. Masing-masing gaya merefleksikan derajat aktifitas yang berbeda dari manusia dan Tuhan dalam melakukan suatu proses penyelesaian masalah.
Dalam penelitian ini pendekatan masalah yang dipakai adalah deskriptif- eksploratif dimana data diambil dengan kuesioner RPS. Teknik penghitungan statistik yang digunakan adalah statistik deskriptif seperti mean, median, simpangan baku, nilai z, serta uji Mann-Whitney. Penelitian ini melibatkan 41 subyek yang diambil dari cabang-cabang gereja AM di Jakarta Pusat, Utara, Barat dan Timur.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa gaya Kerjasama adalah gaya yang paling banyak dipakai oleh para pemimpin kelompok sel yang berhasil. Penelitian tambahan mengenai perbedaan kecenderungan pemakaian gaya coping menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan pemakaian masing-masing gaya coping pada pengelompokan pemimpin sel berdasar jenis kelamin, status pekerjaan, pelatihan komunikasi interpersonal yang diperoleh, serta waktu yang dibutuhkan untuk bermultiplikasi. Hasil penelitian tambahan lainnya memberi arahan bahwa subyek dalam sampel ini cenderung mengelompokkan gaya coping menjadi gaya coping yang tidak melibatkan Tuhan dengan gaya coping yang melibatkan Tuhan.
Bagi penelitian selanjutnya disarankan untuk melakukannya pada sampel yang lebih besar, membandingkan penggunaan gaya coping pada pengelompokan lain seperti antar usia, meneliti coping religius pada pemimpin kelompok sel yang tidak berhasil serta bervariasi dalam usianya. Secara metode disarankan untuk memakai metode kualitatif guna deskripsi yang lebih detail dari gaya coping. Untuk masalah teoritis peneliti menyarankan umuk meneliti subyek dalam hal kompetensi dan religiusitas karena kedua hal ini memiliki kaitan erat dengan gaya coping religius. "
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2000
S2975
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>