Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 127763 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Edwina Dian Rianti
"Salah satu sumber yang dapai mendatangkan masalah yang seringkali menjadi momok bagi pasangan beda agama adalah kehadiran seorang anak (Blood&Blood, 1978). Seperti yang diketahui, agama mempunyai peran penting dalam kehidupan anak. Agama yang diturunkan orangtua pada anak akan menentukan apa yang akan diseleksi oleh anak dari pengaruh lingkungan yang diterimanya, juga akan memberikan identitas diri yang dibutuhkan oleh anak (Barns, 1997). Dalam keluarga beda agama, pasangan tersebut harus memutuskan bagaimana mereka akan membesarkan anak tersebut, dengan aturan agama siapa anak akan dibesarkon, berpartisipasi, dan diidentifikasikan (Blood & Blood, 1978). Keputusan yang akan dibuat oleh pasangan beda agama ini bukanlah suatu hal yang mudah untuk dilakukan. Pada dasarnya, individu, baik pihak ayah maupun ibu, selalu ingin agar anaknya dibesarkan menurut agamanya masing-masing, karena bagaimanapun juga agama merupakan bagian yang sangat mendasar dalam identitas tiap pihak orangtua, dan sangatlah sulit untuk melepaskan identitas diri seseorang (Heins, 2001 dolom vvww.parentkidsright.com). Belum lagi bila keluarga besar dan tiap pasangan ikut campur dan memberi tekanan pada individu agar anaknya dibesarkan sesuai dengan agamanya masing-masing. Dengan melihat keadaan diatas, dapat dikatakan bahwa individu yang menikah beda agama dalam menentukan agama anaknya dapat mengalami konflik. Kontlik ini dapat menimbulkan stress, penderitaan hingga mengganggu aktivitas individu. Atas dasar itu peneliti tertarik untuk mengetahui gambaran konflik yang dialami individu dalam proses menentukan agama anak.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam dan observasi sebagai penunjang. Penelitian dilakukan terhadap tiga orang subyek, dan dianalisa berdasarkan data yang didapat dari hasil wawancara.
Hasil penelitian menunjukkan ketiga subyek mempunyai keinginan agar anak beragama sama dengan dirinya, Adapun tipe konflik yang dialami para subyek adalah konflik antara own need forces dengan Induced froces, dan konflik antara driving forces dengan restraining forces. Proses konflik yang dialami para subyek berbeda-beda, dan penyelesaian konflik dapat dilakukan dengan cara leaving the field, meruntuhkan induced forces dan menunggu induced forces melemah dengan sendirinya. Selain itu difemukan beberapa faktor yang turut mempengaruhi konflik ang dialami para subyek baik secara langsung maupun tidak, yaifu: faktor agama (penghayatan agama, pola asuh terutama disiplin dalam pendidikan agama yang diterapkan keluarga), faktor historis ada/tidaknya pasangan beda agama dalam keluarga, faktor penolakan keluarga terhadap perkawinan beda agama, dan faktor proses terjadinya kesepakatan (ada/tidaknya campur tangan orang lain, proses pembahasan, dan hasil kesepakatan).
Temuan lain adalah konflik tampaknya tidak terlalu terasa pada ketiga subyek pada saat kesepakatan dibuat. Konflik muncul kepermukaan pada saat kehadiran anak mulai dirasakan (saat kehamilan dan kelahlran). Konflik juga dapat menimbulkan kebimbangan, marah, stress hingga reaksi psikosomatis seperti sesak nafas."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
S2779
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dinda Annisa paramitha
"Tingginya mobilitas dan interaksi manusia memungkinkan dua orang yang berbeda agama untuk bertemu, menjalin hubungan, dan kemudian melakukan perkawinan dimana masing-masing tetap mempertahankan agamanya. Dengan segala hambatan, anjuran, bahkan larangan untuk tidak melakukan perkawinan beda agama, masih banyak pasangan yang tetap memutuskan untuk melakukannya. Berdasarkan sebuah penelitian, baik di Amerika atau Indonesia, jumlah pasangan yang melakukan perkawinan beda agama semakin meningkat. Berbagai masalah dapat timbul dalam kehidupan perkawinan beda agama karena perbedaan agama dapat menyebabkan perbedaan nilai, perilaku, dan cara pandang. Masalah tersebut dapat menimbulkan ketegangan dan ketidakharmonisan hubungan, sehingga pasangan akan berusaha menyelesaikan permasalahan yang ada. Salah satu penyelesaiannya adalah melalui penyesuaian perkawinan.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat masalah-masalah yang muncul pada perkawinan beda agama serta penyesuaian perkawinan yang dilakukan untuk masalah tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif melalui studi kasus. Pengumpulan data dilakukan melalui metode wawancara dan didukung dengan metode observasi. Wawancara dan observasi tersebut dilakukan kepada delapan orang subyek, empat laki-laki dan empat perempuan. Subyek tersebut telah menikah secara beda agama lebih dari tujuh tahun dan masih berbeda agama sampai dilakukannya wawancara, mempunyai anak dengan usia anak tertua minimal enam tahun, beragama Islam dan Kristen Protestan, berpendidikan minimal SMU, dan berdomisili di wilayah Jabotabek.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa masalah yang timbul dalam perkawinan beda agama dirasakan dalam bentuk dan intensitas yang berbeda-beda pada setiap subyek. Masalah lingkungan dialami oleh satu subyek, masalah keluarga oleh dua subyek, masalah ibadah oleh tujuh subyek, masalah anak oleh lima subyek, masalah kehidupan sehari-hari menyangkut makanan oleh satu subyek dan menyangkut pakaian oleh tiga subyek, masalah saat menghadapi waktu sulit oleh lima subyek, dan tidak ada subyek yang mengalami masalah menyangkut seksualitas. Selain itu empat subyek merasa berdosa telah melakukan perkawinan beda agama dan tiga orang tua subyek tidak menyetujui perkawinan subyek. Penyesuaian perkawinan yang dilakukan oleh setiap subyek berbeda-beda untuk setiap masalah, walaupun ada cara penyesuaian perkawinan yang lebih dominan digunakan oleh beberapa subyek. Satu subyek menggunakan cara pasif dan aktif akomodatif secara seimbang, dua subyek lebih banyak menggunakan cara pasif, dua subyek lebih sering menggunakan cara pasif walaupun menggunakan cara aktif akomodatif di masalah tertentu, dan dua subyek lainnya lebih sering menggunakan cara aktif akomodatif walaupun menggunakan cara pasif di masalah tertentu.
Untuk penelitian selanjutnya peneliti menyarankan agar dilakukan wawancara terhadap pihak lain yang dekat dengan kehidupan perkawinan, seperti anak subyek; dilakukan wawancara suami dan istri pada saat bersamaan; menggunakan jumlah subyek yang lebih banyak; dan menggunakan gabungan antara metode kualitatif dan kuantitatif. Bagi pasangan perkawinan beda agama hendaknya sejak awal menyadari bahwa perkawinan beda agama membawa masalah yang cukup banyak, membuat perjanjian sebelum perkawinan, mengembangkan sikap toleransi, dan lebih banyak melakukan penyesuaian secara aktif."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
S2855
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dinda Annisa paramitha
"Tingginya mobilitas dan interaksi manusia memungkinkan dua orang yang berbeda agama untuk bertemu, menjalin hubungan, dan kemudian melakukan perkawinan dimana masing-masing tetap mempertahankan agamanya. Dengan segala hambatan, anjuran, bahkan larangan untuk tidak melakukan perkawinan beda agama, masih banyak pasangan yang tetap memutuskan untuk melakukannya. Berdasarkan sebuah penelitian, baik di Amerika atau Indonesia, jumlah pasangan yang melakukan perkawinan beda agama semakin meningkat. Berbagai masalah dapat timbul dalam kehidupan perkawinan beda agama karena perbedaan agama dapat menyebabkan perbedaan nilai, perilaku, dan cara pandang. Masalah tersebut dapat menimbulkan ketegangan dan ketidakharmonisan hubungan, sehingga pasangan akan berusaha menyelesaikan permasalahan yang ada. Salah satu penyelesaiannya adalah melalui penyesuaian perkawinan.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat masalah-masalah yang muncul pada perkawinan beda agama serta penyesuaian perkawinan yang dilakukan untuk masalah tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif melalui studi kasus. Pengumpulan data dilakukan melalui metode wawancara dan didukung dengan metode observasi. Wawancara dan observasi tersebut dilakukan kepada delapan orang subyek, empat laki-laki dan empat perempuan. Subyek tersebut telah menikah secara beda agama lebih dari tujuh tahun dan masih berbeda agama sampai dilakukannya wawancara, mempunyai anak dengan usia anak tertua minimal enam tahun, beragama Islam dan Kristen Protestan, berpendidikan minimal SMU, dan berdomisili di wilayah Jabotabek.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa masalah yang timbul dalam perkawinan beda agama dirasakan dalam bentuk dan intensitas yang berbeda-beda pada setiap subyek. Masalah lingkungan dialami oleh satu subyek, masalah keluarga oleh dua subyek, masalah ibadah oleh tujuh subyek, masalah anak oleh lima subyek, masalah kehidupan sehari-hari menyangkut makanan oleh satu subyek dan menyangkut pakaian oleh tiga subyek, masalah saat menghadapi waktu sulit oleh lima subyek, dan tidak ada subyek yang mengalami masalah menyangkut seksualitas. Selain itu empat subyek merasa berdosa telah melakukan perkawinan beda agama dan tiga orang tua subyek tidak menyetujui perkawinan subyek. Penyesuaian perkawinan yang dilakukan oleh setiap subyek berbeda-beda untuk setiap masalah, walaupun ada cara penyesuaian perkawinan yang lebih dominan digunakan oleh beberapa subyek. Satu subyek menggunakan cara pasif dan aktif akomodatif secara seimbang, dua subyek lebih banyak menggunakan cara pasif, dua subyek lebih sering menggunakan cara pasif walaupun menggunakan cara aktif akomodatif di masalah tertentu, dan dua subyek lainnya lebih sering menggunakan cara aktif akomodatif walaupun menggunakan cara pasif di masalah tertentu.
Untuk penelitian selanjutnya peneliti menyarankan agar dilakukan wawancara terhadap pihak lain yang dekat dengan kehidupan perkawinan, seperti anak subyek; dilakukan wawancara suami dan istri pada saat bersamaan; menggunakan jumlah subyek yang lebih banyak; dan menggunakan gabungan antara metode kualitatif dan kuantitatif. Bagi pasangan perkawinan beda agama hendaknya sejak awal menyadari bahwa perkawinan beda agama membawa masalah yang cukup banyak, membuat perjanjian sebelum perkawinan, mengembangkan sikap toleransi, dan lebih banyak melakukan penyesuaian secara aktif."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
S2855
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rezky Utari
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara jenis komitmen perkawinan dengan penyesuaian perkawinan pada individu yang menikah melalui proses ta?aruf. Komitmen perkawinan diduga memiliki hubungan dengan penyesuaian perkawinan (Dean & Spanier, 1974). Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif. Pengukuran komitmen perkawinan dilakukan dengan menggunakan alat ukur komitmen perkawinan Johnson, dkk. (1999) dan pengukuran penyesuaian perkawinan dilakukan dengan menggunakan alat ukur Marital Adjustment Test. Pada penelitian ini terdapat tiga jenis komitmen yaitu komitmen personal, komitmen moral dan komitmen struktural.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis komitmen personal dan moral memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan penyesuaian perkawinan. Namun pada komitmen struktural dengan penyesuaian perkawinan memiliki hubungan yang tidak terlalu signifikan. Komitmen personal dan komitmen moral merupakan faktor internal yang ternyata berhubungan dengan penyesuaian perkawinan sementara itu komitmen struktural tidak berhubungan dengan penyesuaian perkawinan yang merupakan faktor eksternal.

This study was conducted to determine the relationship between the types of commitment of marriage with marital adjustment in individuals who were married through ta'aruf process. Marital commitment suspected of having correlation with marital adjustment (Dean & Spanier, 1974). The study was conducted using a quantitative approach. Measurement of marital commitment made by using a measuring instrument commitment of marriage Johnson, et al. (1999) and marital adjustment measurements performed using a measuring instrument Marital Adjustment Test. In this study, there are three types of commitments that personal commitment, moral commitment and structural commitment.
The results showed that the type of personal commitment and moral have a positive and significant relationship with marital adjustment. But the structural commitment has a relationship that is not too significant with marital adjustment. Personal commitment and moral commitment are internal factors that were associated with marital adjustment while the commitment is not related to the structural adjustment of marriage which is an external factor.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2015
S60775
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sylvia Khori Imami
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara komitmen perkawinan dengan kualitas perkawinan. Komitmen perkawinan didasarkan pada teori menurut Johnson dkk. (1999), bahwa komitmen perkawinan terbagi atas tiga tipe yaitu personal, moral dan struktural. Peneliti mengajukan hipotesis bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara komitmen perkawinan dengan kualitas perkawinan.
Subyek penelitian adalah individu yang telah menikah dengan melalui proses ta'aruf. Alat ukur yang digunakan adalah kuesioner komitmen perkawinan yang diadaptasi dari Johnson dkk. (1999) dan juga Quality Marriage index (QMI) yang diadaptasi dari Norton (1983). Metode analisis yang digunakan untuk menguji hipotesis adalah uji korelasi Pearson Product Moment.
Hasil analisis menunjukan bahwa terdapat hubungan yang positif signifikan dari ketiga tipe komitmen dengan kualitas perkawinan, sehingga hipotesis yang diajukan diterima. Selain itu, ditemukan juga bahwa hasil uji korelasi antara ketiga tipe komitmen tersebut memiliki kekuatan korelasi yang berbeda, dimana kekuatan korelasi komitmen personal adalah kuat, komitmen moral adalah sedang dan komitmen struktural adalah lemah.

This study aims to determine whether there is a relationship between the marital commitment with marital quality in individuals who were married through ta'aruf process. The marital commitment is based on theory according to Johnson et al. (1999), that marital commitment is devided into three types, namely personal, moral and structural. Researcher hypothesized that there is a significant positive relationship between marital commitment with marital quality.
Research subject in this study were individual who had married through ta'aruf process. Instrument that used in this study was a questionnaire, adapted from marital commitment of Johnson et al. (1999) and also the Quality of marriage Index (QMI), which was adapted from Norton (1983). The analytical methods used to test the hypothesis using Pearson Product Moment Correlation test.
Result of the analysis showed that there was a significant positive correlation of the three types of commitment are correlated with the quality of the marriage, so the hypothesis is accepted. In addition, it was found also that the result of correlations between the three types of commitment have different correlation force, which the type of personal commitment is strong, moral commitment is moderate and structural commitment is weak.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2015
S60223
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Novita
"Penelitian ini bertujuan untuk memahami mengapa seorang individu bersedia berkorban dan bertahan dalam situasi perkawinan yang mengalami konflik berkepanjangan. Hal ini menarik untuk diketahui karena kasus ini merupakan hal yang unik ditengah tingginya angka perceraian di Indonesia pada tahun-tahun terakhir, sehingga penelitian ini diharapkan dapat memperkaya pengetahuan untuk konseling perkawinan.
Penelitian yang dilakukan terhadap dua orang partisipan ini menggunakan metode penelitian kualitatif (studi kasus). Data yang telah berhasil dikumpulkan melalui wawancara mendalam (Jn-depth interview) akan dianalisis dengan menggunakan berbagai teori tentang pengorbanan (khususnya dalam perkawinan), karakteristik orang dewasa dalam menghadapi masalah, perkawinan, dan konflik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesediaan untuk berkorban dan bertahan dalam perkawinan yang mengalami konflik berkepanjangan disebabkan oleh tingginya komitmen yang dimiliki kedua partisipan terhadap perkawinannya. Komitmen tersebut didasari oleh orientasi mereka yang bersifat komunal dan jangka panjang, yang merupakan manifestasi dari besamya dominansi superego dan kematangan kepribadian mereka sebagai orang dewasa.
Untuk dapat memperkaya penelitian selanjutnya, peneliti diharapkan menggunakan pendekatan teoretis lain/ sudut pandang yang berbeda untuk memahami kasus yang sama, sehingga pemahaman kita terhadap kasus tersebut menjadi lebih luas, Selain itu, akan lebih baik jika peneliti juga mewawancarai pasangan partisipan untuk mendapatkan data yang lebih kaya tentang konflik perkawinan yang dialami partisipan, memperhitungkan aspek-aspek budaya yang berperan dalam pembentukan nilai-nilai dalam diri partisipan sebagai pribadi, nilai-nilai yang dimiliki kedua partisipan tentang perceraian, cara kedua partisipan dan pasangarmya dibesarkan oleh kedua orang tuanya, bagaimana kehidupan perkawinan orang tua kedua partisipan dan pasangarmya, latar belakang pendidikan kedua partisipan dan pasangannya, serta pengaruh perbedaan usia dan suku antara kedua partisipan dan pasangannya. Semua hal ini mungkin mempengaruhi gaya konflik kedua partisipan dalam menghadapi konflik perkawinan dan keputusannya untuk mempertahankan perkawinan."
2002
S2810
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arindina Meisitta Widhikora
"Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan antara forgiveness dan psychological well-being pada individu yang menikah. Pengukuran forgiveness menggunakan alat ukur transgression-related interpersonal motivation 12-scale form (McCullough., et al, 1998) dan pengukuran psychological well-being menggunakan alat ukur Ryff’s psychological well-being scale (Ryff, 1995). Partisipan berjumlah 74 individu yang memiliki karakteristik sebagai seseorang yang terikat dalam hubungan pernikahan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara forgiveness dengan psychological well-being pada pasangan yang menikah (r = 0.318; p = 0.006, signifikan pada L.o.S. 0.01). Artinya, semakin tinggi skor forgiveness yang dimiliki seseorang, maka semakin tinggi ia menampilkan kesejahteraan secara psikologis. Berdasarkan hasil tersebut, perlu diadakan intervensi untuk meningkatkan forgiveness sebagai salah satu faktor dibalik bertambahnya psychological well-being.

This research was conducted to find the correlation between forgiveness and psychological well-being in married couples. Forgiveness was measured by using an instrument called transgression-related interpersonal motivation 12-scale form (McCullough, et al, 1998) and psychological well-being was measured by using an instrument called Ryff‟s psychological well-being scale (Ryff, 1995). The participants of this research were 74 individuals with a characteristic of currently being married.
The main result of this research showed that forgiveness is positively and significantly correlated with psychological well-being (r = 0.318; p = 0.006, significant at L.o.S. 0.01). That is, the higher the level of forgiveness in one‟s own nature, the higher that person shows psychological well-being inside oneself. Based on such results, there needs to be an intervention to increase forgiveness as one of the factors in increasing psychological well-being.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S45734
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tambunan, Desita
"Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara passion dan kepuasan perkawinan pada individu dalam tahap perkawinan yang memiliki anak remaja.
Sebanyak 157 partisipan yang memiliki anak remaja (usia 13-20 tahun) mengisi kuesioner passion (subskala passion dari Sternberg?s Triangular Love Scale) dan kepuasan perkawinan (ENRICH Marital Satisfaction Scale).
Hasil penelitian ini menunjukkan adanya hubungan yang signifikan positif (r=0.656,p<0.01). Hal tersebut menandakan bahwa passion dan kepuasan perkawinan partisipan tinggi. Berdasarkan analisis tambahan, ditemukan adanya hubungan signifikan lama berpacaran dengan kepuasan perkawinan pada partisipan (r=0.164, p<0.05).

This research is aimed to examine the relationship between passion according to Sternberg?s triangular theory of love and marital satisfaction in individuals at marital stage with teenagers.
A total of 157 participants complete the questionnaires on passion (Sternberg?s Triangular Love Scale) and marital satisfaction (Fowers and Olson?s ENRICH Marital Satisfaction Scale). This research shows that participants have high passion and marital satisfaction.
The result of this study indicates a positive and significant relationship between passion and marital satisfaction (r = 0.656, p<0.01). In addition, a significant correlation was found between courtship length and marital satisfaction (r = 0.164, p<0.05).
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S46005
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Harwati
"Perkawinan di Indonesia diatur oleh Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Berdasarkan Undang-Undang tersebut perkawinan di definisikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karenanya dalam Undang-Undang yang sama diatur bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu serta telah dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun bagaimana dengan perkawinan beda agama. Undang-Undang Perkawinan sendiri penafsiran resminya hanya mengakui perkawinan yang dilangsungkan berdasarkan agama dan kepercayaan yang sama dari dua orang yang berlainan jenis yang hendak melangsungkan perkawinan. Dalam masyarakat yang pluralistik seperti di Indonesia, sangat mungkin terjadi perkawinan diantara dua orang pemeluk agama yang berlainan. Permasalahan yang akan diteliti adalah Apakah alasan para pihak dalam mengajukan permohonan penetapan Pengadilan Negeri untuk mancatatkan perkawinan beda agama dikantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Bogor, Bagaimana Pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Bogor pemberian izin perkawinan beda agama antara Tuan X dan Nona Y, dan Bagaimanakah kedudukan hukum mengenai perkawinan beda agama setelah adanya penetapan No. 111/Pdt.P/2007/PN. BGR. Dalam hal ini peneliti menggunakan penelitian normatif, Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, Data sekunder yang akan di gunakan terdiri dari Bahan Hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat berupa peraturan perundangundangan, Bahan hukum sekunder, yakni Bahan hukum sekunder yang telah dikumpulkan berupa buku-buku dan artikel yang berkaitan dengan perkawinan beda agama yang di langsungkan di indonesia, Bahan hukum tersier yang dalam penelitian ini dianggap perlu juga dipakai, misalnya: kamus-kamus yang di gunakan jika terdapat kesukaran-kesukaran dalam menterjemahkan sesuatu kalimat dalam penulisan penelitian ini. kemudian dianalisa dengan menggunakan metode analitis data secara kualitatif sehingga hasil penelitiannya akan bersifat deskriptif analitis, yaitu memberikan gambaran umum mengenai akibat hukum mengenai perkawinan beda agama yang di langsungkan di indonesia. Maka perkawinan berbeda Negara dapat dilaksanakan, selama mendapat Penetapan dari Pengadilan Negeri. Dalam kasus ini dapatlah dilaksanakan perkawinan berbeda agama antara Tuan X yang memeluk agama Islam dengan Nona Y yang memeluk agama Katolik. Dengan melihat pasal 35 Undang-Undang nomor 23 tahun 2006. Karena mereka telah mendapatkan penetapan dari Pengadilan Negeri Bogor. Jadi dapat pula dikatakan bahwa keputusan hakim dapatlah dipertanggung jawabkan, dengan melihat dasar-dasar hukum yang dipakai oleh hakim. Dan keputusan hakim telah sesuai dengan dasar hukum yang ada saat ini. Sehingga perkawinan berbeda agama dapat dilaksanakan tetapi dengan tidak mengesampingkan ketentuan-ketentuan yang ada. Dan haruslah terlebih dahulu memohon penetapan ke Pengadilan Negeri.

Marriage in Indonesia is stipulated by Law No 1 Of 1974 of Marriage. The Law defines marriage as material and conjugal bond between a man and a woman as a married couple intended to form a happy and everlasting family or household based on the One Supreme God. Therefore, the Law stipulates that marriage is lawful if held according to the same religion and faith and recorded according to the applicable law and legislation. But what if the marriage is held between a man and a woman with different religions. Official interpretation of Law of Marriage only acknowledges that a marriage is held based on the same religion and faith of a man and a woman intending to marry. In a pluralistic community like in Indonesia, a marriage between a man and a woman with the different religions can possibly occur. The problems to study are the reasons(s) of the parties in the filling of petition for District Court?s adjudication to register the marriage with the different religions with the Municipal Office of Demography and Vital Statistics Bogor, the Consideration(s) of Judges of Bogor District Court to permit a marriage with the different religions after adjudication No. 111/Pdt.P/2007/PN.BGR. In this case, normative study and secondary data are used in this study. Secondary data used herein consists of binding Primary Legal Materials in the form of laws and legislation and collected Secondary Legal Materials in the form of books and articles relating to the marriage with the different religions held in Indonesia, tertiary Legal Materials considered necessary herein, for example: dictionaries in case of difficulties to translate a sentence in the writing of this study. They are further analyzed by using qualitative data analysis method to produce descriptive-analytic study results thereby giving a general description of legal consequences of marriage with the different religions held in Indonesia. A marriage with the different Nationality can be held if receiving Adjudication from District Court. In this case, a marriage between Mr. X embracing Islam and Ms. Y embracing Catholic with the different religions can be held by referring to article 35 of Law number 23 of 2006 because they have received adjudication from Bogor District Court. So, it can be said that the judge's decision can be accounted for by referring to legal bases used by the judge and the Judge's decision has complied with the current legal bases. Therefore, a marriage with the different religions can be held without waiving the existing provisions and by first petitioning for adjudication to District Court."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
T27459
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ratu Fitri Zainab
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
S3091
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>