Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 144806 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Astri Syafitri Widianti
"ABSTRAK
Pada awalnya kompetisi atau persaingan merupakan bagian dari hidup
manusia. Pada awalnya persaingan yang terjadi antara saudara kandung bertujuan
untuk mendapatkan perhatian dan kasih sayang orang tua. Bagaimana seorang
anak mengembangkan tingkah laku kompetitif tergantung dari sikap orang tua
dan masyarakat dalam memandang kompetisi, apakah mendukung atau tidak
mendukung terjadinya suatu kompetisi (Medinnus & Johnson, 1969).
Menurut Scheinfeld (1973), sekolah merupakan salah satu media yang
memiliki pengaruh dalam menengahi perbedaan dan kompetisi di antara anak
kembar dengan memisahkan mereka ke dalam kelas yang berbeda. Oleh karena
itu peneliti tertarik untuk melihat gambaran kompetisi yang terjadi pada remaja
kembar identik ketika mereka berada pada satu kelas dan ketika berada pada pisah
kelas dan bagaimana pengaruh kompetisi terhadap kegiatan belajar dan prestasi
belajar mereka di sekolah, serta faktor apa saja yang mempengaruhi munculnya
kompetisi.
Subyek yang dipilih adalah remaja kembar identik yang pernah berada
pada satu kelas dan pisah kelas. Metode penelitian yang digunakan adalah studi
kasus dengan melakukan wawancara terhadap enam orang subyek (3 pasang
remaja kembar identik).
Berdasarkan hasil wawancara, dapat disimpulkan bahwa kompetisi yang
terjadi pada subyek adalah kompetisi dalam hal berprestasi di sekolah. Kompetisi ini terjadi karena adanya sikap membandingkan dari teman, guru atau orang tua
dalam masalah prestasi belajar. Perbandingan dalam masalah fisik atau masalah
lainnya tidak menimbulkan kompetisi pada subyek. Faktor utama yang
mendorong subyek untuk berkompetisi adalah keinginan untuk mendapatkan
prestasi yang lebih baik atau paling tidak sama baiknya dengan saudara
kembamya. Pada umumnya adanya perasaan kompetisi juga menjadikan subyek
menjadi lebih bersemangat dalam belajar, walaupun belum tentu meningkatkan
prestasi seperti yang dicapai saudara kembarnya. Subyek juga merasa
berkompetisi dengan saudara kembamya ketika mereka berada pada satu kelas
karena lebih sering diperbandingkan dan kondisi yang mereka hadapi sama."
1998
S2682
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Olivia Musdalifah
"Salah satu tugas perkembangan pada masa remaja adalah membangun dan membentuk konsep diri (Grinder, 1990). Bagi anak kembar, adanya kesamaan dan kekompakan yang merupakan hal paling menonjol terutama pada kembar identik, menyebabkan orangtua dan orang-orang di sekitar memperlakukan mereka dengan sama., seolah-olah mereka sebagai suatu unit bukan sebagai individu (Mulyadi, 1996). Selain itu, adanya kecenderungan pada anak kembar untuk mengambangkan hubungan yang terlalu dekat dan saling tergantung satu sama lain juga dapat menghambat mereka untuk berkembang menjadi diri sendiri serta menghambat perkembangan mental dan sosialnya (Scheinfeld, 1973) Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh gambaran konsep diri pada remaja kembar identik. Gambaran konsep diri ini mengacu pada 3 dimensi dari Hattie (1992), yaitu Academic Self Concept, Social Self Concept dan Self Regard atau Presentation of Self berdasarkan tes Human Figure Drawings, House Tree Person dan Sack’s Sentence Completion Test. Penelitian dilakukan melalui pendekatan kualitatif dengan mengumpulkan dokumentasi serta catatan arsip sebagai metode pengumpulan data yang diperoleh dari arsip-arsip kasus yang tersedia di klinik bimbingan anak Pakultas Psikologi UI pada tahun 2002. Namun karena keterbatasan data yang tersedia, maka hanya ditemukan satu kasus sepasang remaja kembar identik dengan jenis kelamin laki-Iaki yang dijadikan subyek dalam penelitian ini.
Berdasarkan hasil analisa dan mengacu pada 3 dimensi konsep diri dari Hattie (1992), terlihat bahwa ada beberapa konsep diri yang digambarkan sama namun juga beberapa di antaranya digambarkan berbeda. Pada dimensi academic self concept terdapat perbedaan konsep diri yang ditunjukkan oleh kedua subyek. Namun pada dimensi social self concept dan seff regard/presentation of self beberapa sub dimensi tersebut sebagian diantaranya digambarkan sama dan sebagian lainnya berbeda. Adanya persamaan sekaligus perbedaan ini menunjukkan bahwa proses pembentukan konsep diri yang dialami kedua subyek terlihat lebih kompleks dimana di satu sisi mereka harus dapat menunjukkan pribadi mereka masing-masing, namun di sisi lain keberadaan mereka sebagai anak kembar menyebabkan adanya berbagai kesamaan dalam hal-hal tertentu. Untuk penelitian selanjutnya disarankan agar jumlah sampel yang digunakan lebih banyak. Pengambilan sampel sebaiknya tidak hanya terpaku pada data yang tersedia di bagian arsip namun juga berusaha untuk mencari subyek di lapangan. Selain itu sebaiknya penelitian juga dilakukan pada remaja kembar identik perempuan
sehingga diharapkan dapat terlihat perbedaan dinamika konsep diri yang mungkin muncul dari perbedaan jenis kelamin ini. Lebih lanjut lagi, dapat juga dilakukan penelitian dengan membandingkan antara remaja kembar yang tergolong identik serta fratemal. Karena penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif maka diharapkan hasil penelitian ini juga dapat lebih dikembangkan untuk penelitian lebih lanjut mengenai masalah yang sama dengan menggunakan pendekatan kuantitatif serta instrumen penelitian lainnya yang lebih sesuai untuk menggambarkan konsep diri."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ciptanti Parsaulina
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran tes HTP pada anak kembar identik yang mengalami hambatan dalam membina relasi sosial. Seperti diketahui, masa kanak-kanak madya (usia 6-1 l tahun) sering disebut sebagai masa sekolah. Salah satu tuntutan yang harus dipenuhi oleh anak usia sekolah, adalah membina relasi dengan teman sebaya. Untuk dapat diterima oleh teman sebaya, anak diharapkan memahami respon-respon yang dianggap sesuai dengan norma kelompok. Penelitian juga menunjukkan bahwa anak yang dapat diterima oleh kelompok adalah yang dapat menghargai anak lain dan tidak agresif. Pada masa sekolah, tampaknya peran orangtua bagi anak sangat penting sebagai model untuk bertingkah laku. Terutama pada anak kembar identik, yaitu yang berasal dari satu telur biasanya mengembangkan hubungan yang saling tergantung dengan saudara kembamya atau dengan orang terdekat seperti ibu.
Hubungan sosial pada anak kembar dengan lingkungannya tampak menjadi sulit terbentuk karena ketergantungan tersebut. Hal ini mulai berbeda ketika anak beranjak besar. Klien anak kembar identik yang datang ke KBA Fakultas Psikologl UI, hampir seluruhnya memiliki keluhan akan kesulitan dalam berteman. Anak-anak ini menunjukkan perilaku yang tidak menyenangkan di sekolah seperti mengamuk, memukul, dan mengatai teman. Selain itu orangtua mengeluhkan sil-cap anak yang sulit untuk langsung bergaul dengan teman-temannya. Melalui metode proyeksi, dalam hal ini tes HTP, anak diharapkan dapat bercerita mengenai gambaran konflik, kebutuhan dan perasaan yang dirasakan oleh anak tentang dirinya, yang berhubungan dengan keberadaannya di lingkungan terdekat.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan data sekunder sebanyak 3 pasang klien anak kembar yang datang ke KBA Fakultas Psikologi U1 antara tahun 200-2001 (2 pasang laki-laki dan 1 pasang perempuan). Analisis kualitatif dari hasil tes HTF, interpretasi tes, dan anamnesa menunjukkan bahwa anak kembar identik memiliki konflik, kebutuhan dan perasaan yang berbeda pada tiap anak. Respon ngin dekat dengan ayah, ingin dilindungi oleh ayah, ingin dekat pada ibu dan ayah tarnpak muncul pada beberapa subyek. Hampir semua subyek memiliki perasan tidak aman dan merasa cemas pada diri sendiri, beberapa ada yang merasa ibu sebagai figur yang penuh aturan. Selain itu, karakteristik gambar tes HTP pada anak kembar identik yang mengalami hambatan dalam membina relasi sosial adalah letak gambar yang rata-rata berada di sebelah kiri dan bagian bawah kertas, detil gambar rumah dengan peniadaan pintu, jendela, dan jalan setapak serta bentuk stick figure dari orang, tanpa ciri wajah, dan letak gambar yang berada di dalam rumah. Hal di atas mengindikasikan adanya kesulitan untuk membuka diri dan menampilkan diri di hadapan orang lain. Selain hal tersebut, diperoleh pula gambar rumah yang cenderung besar dan letak gambar orang dengan gambar rumah menggambarkan figur ibu yang dominan dan adanya ketergantungan anak pada ibu."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T38504
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suilyana Octavia Sewucipto
"ABSTRAK
Anak usia sekolah dasar (middle childhood) diharapkan memiliki kontrol diri
yang lebih baik dibandingkan pada tahap sebelumnya (early childhood)
(Santrock,2004). Dengan demikian, anak usia sekoiah dasar diharapkan mampu duduk
lebih lama dan tidak banyak beljalan selama pelajaran berlangsung di dalam kelas.
Namun pada kenyataannya banyak murid kelas satu yang belum mampu mengontrol
dirinya untuk duduk dalam Iebih lama.
Program modiiikasi perilaku ini dilakukan o!eh peneliti di dalam kelas dan
dimaksudkan untuk mengurangi perilaku berjalan-jalan kctika pelajaran berlangsung
atau yang biasa disebut ou1»of seal. Caranya adalah dcngan meningkatkan perilaku in-
seal pada murid kelas satu sckolah dasar. Reirwrcement diberikan pada perilaku in-seal
atau dengan kata lain memberikan reirybrcement pada perilnku our-of sew dengan
Frekuensi kemunculan yang rendah. Dalam program modifikasi perilaku, leknik ini
disebut scbagai Dgfizrerztial Reirwrce/nent of Low Roles (DRL) (Kazdin, 1984).
Frekuensi pcrilaku out-of seat dicatat baseline nya, berdasarkan baseline ditcntukan
target penumnan frekuensinya yaitu maksimal 4 perilaku our-ofseat dalam I0 menit.
Bila target dapat tercapai maka subyck diberi reinforcemenr. Reinforcement
menggunakan token berupa stiker bintang yang ditukarkan dengan back-up
reinforcemenz berupa makanan kecil, minuman atau kcgiatan yang disukai subyck. Satu pertemuan program merupakan durasi satu mata pelajaran yaitu 40 menit yang dibagi
menjadi interval 10 menit dan dibagi lagi menjadi interval 2 menit untuk
mempermudah dan mempertajam obscrvasi.
Pada tahap baseline yang terdiri dari 5 kali pertemuan, rata-rata perilaku out-of
seat muncul sebanyak 20 kali. Sedangkan pada tahap treatment yang tcrdiri dari 9 kali
pertemuan, rata-rata perilaku out-ofseat muncul sebanyak 11.9 kali Dengan demikian,
penurunan perilaku out-of seat selama program bcrlangsung mencapai 40.5%. Namun
perubahan perilaku ini belum dapat dipertahankan karena response maintenance tidak
terjadi. Response maintenance yang dimaksud adalah memprogram natural reinforcer
berupa pujian guru tiap kali melihat subyek sedang duduk ketika pelajaran berlangsung.

"
2006
T34120
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suilyana Octavia Sewucipto
"ABSTRAK
Anak usia sekolah dasar (middle childhood) diharapkan memiliki kontrol diri yang lebih baik dibandingkan pada tahap sebelumnya (early childhood) (Santrock,2004). Dengan demikian, anak usia sekolah dasar diharapkan mampu duduk lebih lama dan tidak banyak berjalan selama pelajaran berlangsung di dalam kelas. Namun pada kenyataannya banyak murid kelas satu yang belum mampu mengontrol
dirinya untuk duduk dalam lebih lama.
Program modifikasi perilaku ini dilakukan oleh peneliti di dalam kelas dan dimaksudkan untuk mengurangi perilaku berjalan-jalan ketika pelajaran berlangsung atau yang biasa disebut out-of seat. Caranya adalah dengan meningkatkan perilaku inseat pada murid kelas satu sekolah dasar. Reinforcement diberikan pada perilaku in-seat atau dengan kata lain memberikan reinforcement pada perilaku out-of seat dengan frekuensi kemunculan yang rendah. Dalam program modifikasi perilaku, teknik ini disebut sebagai Differential Reinforcement of Low Rates (DRL) (Kazdin, 1984). Frekuensi perilaku out-of seat dicatat baseline nya, berdasarkan baseline ditentukan target penurunan frekuensinya yaitu maksimal 4 perilaku out-of seat dalam 10 menit. Bila target dapat tercapai maka subyek diberi reinforcement. Reinforcement menggunakan token berupa stiker bintang yang ditukarkan dengan back-upreinforcement berupa makanan kecil, minuman atau kegiatan yang disukai subyek. Satu pertemuan program merupakan durasi satu mata pelajaran yaitu 40 menit yang dibagi menjadi interval 10 menit dan dibagi lagi menjadi interval 2 menit untuk
mempermudah dan mempertajam observasi.
Pada tahap baseline yang terdiri dari 5 kali pertemuan, rata-rata perilaku out-of seat muncul sebanyak 20 kali. Sedangkan pada tahap treatmeni yang terdiri dari 9 kali pertemuan, rata-rata perilaku out-of seat muncul sebanyak 11.9 kali Dengan demikian,
penurunan perilaku out-of seat selama program berlangsung mencapai 40.5%. Namun
perubahan perilaku ini belum dapat dipertahankan karena response maintenance tidak terjadi. Response maintenance yang dimaksud adalah memprogram natural reinforcer berupa pujian guru tiap kali melihat subyek sedang duduk ketika pelajaran berlangsung."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T37621
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arlianti
"Masa remaja dimulai pada sekitar usia 12 atau 13 tahun sampai sekitar usia 20-an dan merupakan masa peralihan yang ditandai dengan perubahan-perubahan dalam diri individu, baik perubahan fisik maupun perubahan psikologis dari anakanak menuju dewasa. Masa peralihan tersebut menyebabkan remaja mudah terkena atau menimbulkan masalah. Salah satu hal yang dapat memicu timbulnya masalah pada remaja adalah emosi marah yang tidak dikendalikan dan diekspresikan secara tepat. Intensitas pengalaman emosi, termasuk emosi marah, menurut Frijda dipengaruhi oleh interaksi sejumlah faktor, yaitu : kepedulian kejadian, penilaian, action repertoire, regulasi dan mood. Penelitian ini ingin melihat gambaran penilaian konteks pada pengalaman emosi marah dengan intensitas tinggi dan rendah pada siswa/i kelas 1 SMUN 38, Jakarta. Penilaian konteks yang diteliti meliputi 24 dimensi, yaitu : valensi, kemudahan mencapai tujuan/ keterhambatan, kesejahteraan orang lain, keadilan, ketertarikan, kebaruan/sudah dikenal atau belum, ketiba-tibaan, harapan akan akhir, kejelasan tentang akhir, kemungkinan diubah atau finalitas, dapat/tidak dapat dihindarkan, tanggung jawab sendiri, tanggung jawab orang lain, keterkendalian, harga diri, penghargaan orang lain, kejelasan, antisipasi usaha, dapt diatasi/ ditangguung, dapat diharapkan, dapat diharapkan oleh orang lain, kepentingan, kesesuaian dengan norma menurut diri sendiri dan kesesuaian dengan norma menurut orang lain.
Untuk mendapatkan data yang diperlukan, dilakukan pengambilan data dengan menggunakan kuesioner emosi dan kuesioner penilaian Frijda & Markam (1992). Kuesioner diberikan kepada 45 siswa/i kelas 1 SMUN 38, Jakarta. Dari hasil perhitungan data, didapatkan bahwa dimensi penilaian yang paling menonjol pada pengalaman emosi marah dengan intensitas tinggi adalah dimensi valensi, kemudahan mencapai tujuan, ketiba-tibaan dan dapat diharapkan.Sedangkan pada pengalaman emosi marah dengan intensitas rendah dimensi penilaian yang paling menonjol adalah dimensi ketidak adilan, ketertarikan, keterkendalian dan dapat diharapkan. Selain itu juga didapatkan adanya perbedaan yang signifikan antara dimensi kesejahteraan orang lain , kebaruan, ketiba-tibaan, keterkendalian, antisipasi usaha, dapat diatasi/ditanggung dan kepentingan pada pengalaman emosi marah dengan intenistas tinggi dan pengalaman emosi marah dengan intensitas rendah yang dialami siswa-siswi kelas 1 SMUN 38 Jakarta.
Hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai data awal untuk lebih memahami pengalaman emosi marah yang dialami oleh remaja, terutama siswa-siswi kelas 1 SMU. Namun masih banyak kekurangan pada penelitian ini sehingga sebaiknya dilanjutkan dengan penelitian lain yang meneliti tentang anteseden, kesiapan aksi dan regulasi dari pengalaman emosi marah sehingga didapatkan data yang lebih kaya dan lengkap. Selain itu juga sebaiknya penelitian dilakukan dengan menggunakan metode pengambilan data berupa kuesioner ditambah dengan metode wawancara sehingga data yang didapat lebih lengkap dan mendalam."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2001
S3047
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Esti Budi Hapsari
"Pada umumya prestasi yang diperoleh siswa dalam satu kelas tertentu, akan sangat bervariasi dan tidak jarang terjadi perbedaan yang besar antara nilai yang tertinggi dan yang terendah. Keadaan tersebut dapat terjadi akibat kelas yang heterogen atau terdiri dari siswa yang pandai dan tidak pandai. Keadaan kelas yang demikian juga dapat menyulitkan guru dalam mengajar, karena harus mengulang instruksi apabila ada siswa yang belum paham pada materi yang diajarkan (Slavin, 1994).
Berdasarkan hal tersebut, maka ada beberapa sekolah yang menerapkan suatu kebiijasanaan untuk mengelompokan siswa berdasarkan kecerdasan/ ability grouping (Hobson, 1969 dalam Reschly & Kicklighter, 1988) ataupun prestasi belajar siswa/achievement grouping (Marshall, 1935 dalam Reschly & Kicklighter, 1988). Dengan pengelompokan ini akan ditemukan adanya kelas unggulan dan non unggulan. Pengelompokan siswa seperti ini umum dilakukan pada tingkat sekolah menengah (Slavin, 1994). Oleh karena itu penelitian ini mengambil sampel siswa SMP. Dari beberapa sekolah di Jakarta yang berhasil diketahui, sistem yang dipakai adalah achievement grouping.
Pengelompokan siswa ini bertujuan untuk mengurangi rentang nilai yang terlalu besar dalam suatu kelas serta meningkatkan efisiensi dan mutu pendidikan (Lindgren, 1962). Para gurupun dapat menyesuaikan metode pengajaran dengan keadaan siswanya, sehingga siswa diharapkan dapat mencapai prestasi yang optimal.
Meskipun demikian, pengelompokan tersebut dapat menimbulkan masalah, baik berupa efek sosial dari keadaan itu, atau akibat dari cara mengajar guru yang berbeda pada masing-masing kelas. Masalah tersebut antara lain, siswa kelas unggulan yang mempunyai keyakinan bahwa keberadaan bersama teman yang juga pandai akan menghalangi untuk menjadi yang terbaik di kelasnya. Meskipun demikian, menurut Beck dan Austin (1970 dalam Worell & Stiwell, 1981), orang yang prestasinya tinggi, biasanya mempunyai keyakinan bahwa usaha serta kemampuannyalah yang akan menentukan tinggi atau redahnya prestasi yang diperoleh. Pengatribusian tanggung jawab terhadap kesuksesan atau kegagalan pada faktor internal atan eksternal disebut locus of control. Sedangkan masalah lain yang dapat timbul adalah siswa non unggulan yang merasa rendah diri dan menilai dirinya negatif karena memperoleh prestasi yang rendah dan ditempatkan di kelas non unggulan tersebut. Penilaian serta perasaan yang timbul dari persepsi seseorang tentang harga dirinya disebut self esteem.
Jika didasarkan pada konsep di atas, maka pada siswa kelas unggulan dan non unggulan akan terdapat perbedaan locus of control dan self esteem, dimana locus of control siswa kelas unggulan lebih internal, dan self esteem siswa kelas unggulan akan lebih tinggi dari siswa kelas non unggulan.
Untuk mengetahui perbedaan antara dua variabel (locus of control dan self esteem) pada ke dua kelas tersebut, digunakan alat Intellectual Achievement Responsibility (JAR) untuk mengukur locus of control dan Culture Free Self Esteem lnventory for Children dari Battle untuk mengukur self esteem, dimana sebelumnya terlebih dahulu diberikan tes Standard Progressive Matrices (SPM) untuk mengontrol faktor kecerdasan. Data yang diperoleh diolah dengan teknik Analysis of Covariance (ANCOVA), dangan kecerdasan sebagai kovariabel.
Dari pengolahan data itu diperoleh hasil yang tidak signifikan untuk perbedaan locus of control dan self esteem pada siswa kelas unggulan dan non unggulan. Untuk keseluruhan subyek, locus of control cenderung ke arah internal dan self esteem cenderung tinggi. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa sistem achievement grouping ternyata cukup baik untuk diterapkan dan tidak menimbulkan masalah pada kedua variabel yang diteliti, meskipun mungkin tidak demikian adanya untuk variabel lain.
Berdasarkan hasil penelitian, saran terutama ditujukan pada alat yang digunakan, yaitu dalam teknik jawaban, yang sebaiknya menggunakan skala Likert, kemudian juga meminimalkan efek social desirability pada item serta dilakukannya uji coba sebelum penelitian, agar dapat mengganti item yang tidak baik."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1996
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Suryaningtyas Tri Hapsari
2003
S3265
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tarigan, Jeny Irene Br
"Kemampuan pemahaman bacaan adalah hal yang sangat krusial dalam perkembangan pendidikan. Membaca adalah dasar bagi proses belajar dalam hampir semua subjek di pendidikan. Survei yang dilakukan oleh IEA dan OECD bagi negara-negara di dunia menunjukkan bahwa performa anak-anak dalam membaca di Indonesia berada dalam kategori rendah. Perlu dilakukan monitoring secara intensif untuk melihat kemampuan pemahaman bacaan anak dari waktu ke waktu dan melakukan intervensi jika perlu. Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran kemampuan pemahaman bacaan siswa kelas 3 dan 4 SD di Indonesia. Hasilnya menunjukkan bahwa kemampuan pemahaman bacaan siswa kelas 3 dan 4 SD berada pada kategori sedang.

Reading comprehension skill is a crucial ability for the development of education. Reading is basic learning process in almost all subjects in education. Surveys about reading for countries in the world from IEA and OECD showed that kids in Indonesia has poor performance and was put in low category. From the condition, intensive monitoring for reading progress is needed to see children's reading comprehension ability and to do intervention when needed. The aim of the research is to see reading comprehension ability in grade 3rd and 4th students in Indonesia. The result shows that reading comprehension ability from grade 3rd and 4th students is in medium category.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>