Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 104041 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Virlita Dwi Anggraeni
"Hubungan seksual yang diiakukan oleh wanita dewasa muda didorong oleh anggapan sebagai suatu cara untuk mengekspresikan rasa cinta pada pasangannya , sekaligus sebagai langkah menuju gerbang perkawinan. Namun hubungan seksual yang dilakukan biasanya tidak diikuti oieh usaha-usaha untuk menghindari konsekuensi yang sangat mungkin timbul, salah satunya adalah kehamilan. Terjadinya kehamilan yang sebenarnya tidak diinginkan ini adalah situasi yang sangat sulit bagi seorang wanita. Keputusan yang paling sering diambil adalah aborsi. Sementara masyarakat Indonesia kebanyakan masih bersikap negatif, yang umumnya didasarkan pada keyakinan bahwa janin adalah calon individu dan kelangsungan hidupnya harus dipertahankan semaksimal mungkin. Di Indonesia dibentuk Undang-Undang tentang aborsi yang kenyataannya sangat membatasi perilaku aborsi. Peraturan dalam agama pun melarang dilakukannya aborsi karena merupakan tindakan pembunuhan. Adanya hambatan dari Iingkungan yang kebanyakan melarang aborsi dan konsekuensi negatif lain dari aborsi ( infeksi,pendarahan, dsb), menyebabkan hubungan yang tak sesuai antara elemen-elemen kognitif (disonansi kognitif) pada diri seorang wanita dewasa muda. Hubungan yang tak sesuai ini menurut Festinger (1957), akan mendorong seseorang untuk menguranginya dengan cara merubah kognisi, tingkah laku atau menambah elemen kognitif baru.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran disonansi kognitif pada wanita dewasa muda pelaku aborsi akibat hubungan seksual sebelum menikah, meningkatkah pemahaman mengenai faktor-faktor yang mendorong mereka melakukan aborsi dan upaya untuk mengurangi masalah ini. Penelitian dilakukan dengan cara studi kasus, berupa wawancara mendalam terhadap 4 wanita dewasa muda yang telah melakukan aborsi akibat hubungan seksual sebelum menikah, berusia 21-25 tahun dan berdomisili di Jakarta dan sekitarnya.
Dari penelitian didapatkan bahwa pada umumnya penyebab disonansi kognitif sebagai akibat dan perilaku aborsi sebelum menikah adalah subyek menyadari adanya norma-norma masyarakat dan agama yang melarang seorang wanita melakukan aborsi, khususnya akibat hubungan seksual sebelum menikah (pada inkonsistensi Iogis, nilai-nilai budaya, pendapat umum) dan kesulitan- kesulitan fisik dan mental yang dihadapi subyek ketika dihadapkan pada aborsi (pada pengalaman masa Iaku). Hal ini juga terlihat pada perbedaan tingkat kepentingan elemen-elemen kognitif pada tiap subyek, yang mempengaruhi kadar disonansi kognitif (tinggi atau rendah). Usaha yang dilakukan subyek untuk mengurangi keadaan disonansi ini adalah dengan mengubah elemen kognitif (misalnya mangubah pendapat teman yang tak menyetujui aborsi), tingkah Iaku (misalnya dari yang mulanya berniat meneruskan kehamilan akhirnya melakukan aborsi dan menambah elemen kognitif baru (misalnya mencari dukungan teman-teman ketika akan melakukan aborsi), untuk kembali lagi pada keadaaan yang konsonan.
Sedangkan faktor-faktor penyebab dilakukannya aborsi adalah adanya keinginan untuk melanjutkan pendidikan tanpa adanya hambatan anak maupun perkawinan, ketidaksiapan secara mental dan materi untuk memasuki kehidupan perkawinan, ketakutan terhadap reaksi masyarakat terhadap kehamilannya, rasa takut pada pihak otoritas yaitu orang tua dan adanya paksaan dari orang tua. "
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1998
S2407
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rani Agias Fitri
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
S3125
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Melisa Mesra
"Agama merupakan faktor penting yang dapat membimbing manusia agar berperilaku sesuai dengan moral dan cara hidup yang diharapkan oleh ajaran agama yang bersangkutan. Sejumlah 88% (dari 210 juta penduduk pada tahun 2004) penduduk Indonesia memeluk agama Islam (http://ms.wikipedia.org/wiki/ Islam_Indonesia). Selain itu, Islam adalah salah satu agama yang melarang seks pra-nikah. Subjek penelitian ini khusus bagi yang beragama Islam. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami gambaran disonansi kognitif pada wanita dewasa muda yang melakukan hubungan seks pranikah. Festinger (dalam Wortman, 1999) mengemukakan bahwa disonansi kognitif adalah suatu keadaan yang tidak menyenangkan dimana terdapat ketegangan yang dihasilkan dari kesadaran akan adanya dua pemikiran yang tidak cocok atau sesuai. Festinger (Sarwono, 2002) mengatakan bahwa disonansi kognitif juga dilakukan untuk menghilangkan konflik antar elemen kognisi hingga tercapai kembali keadaan konsonansi kognitif.
Hasil penelitian kualitatif ini menunjukkan bahwa ketiga subjek mengalami disonansi kognitif setelah mereka melakukan hubungan seks pranikah. Ketiga subjek tersebut melakukan cara yang berbeda-beda untuk mengatasi disonansi kognitif agar tercapai kembali keadaan konsonansi kognitif. Cara yang digunakan ketiga subjek tersebut adalah dengan mengubah perilaku, menambah elemen dan juga mengubah elemen. Hasil penelitian lainnya berupa tingginya frekuensi seks pra-nikah (begitu pula sebaliknya) sebagai suatu hal yang memerlukan penelitian lebih jauh dan dalam.

Religion is an important factor that can guide humans to act morally and live accordingly by religious guidance. 88% of Indonesians (from a total of 210 million people in 2004) is a Moslem http://ms.wikipedia.org.wiki/Islam_ Indonesia). In addition, Islam is one of the religions that forbid pre-marital sex. Therefore, the subjects of this research are especially Moslems. This research is aimed to find and understands the cognitive dissonance of young women that have pre-marital sex. Festinger (Wortman, 1999) says that cognitive dissonance is a condition where there is tension created from two thoughts that are contradictive. Festinger (Sarwono, 2002) stated that cognitive dissonance is also done to eliminate a conflict between cognition elements so that the cognitive consonance can be withdrawn.
The result of this qualitative research shows that the three subjects from this research are having cognitive dissonance after having pre-marital sex. The three subjects have three different ways to cope with their cognitive dissonance so that they are back into a state of cognitive consonance. The way of the three subjects are by changing behavior, gaining elements, and also changing elements. The other result of the increase of pre-marital sex frequency (so for the reverse), as a topic, needs a further research.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2007
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Dini Susilowati
"ABSTRAK
Merokok merupakan salah satu dari kebiasaan atau gaya hidup yang
kurang baik karena memberikan resiko atau dampak yang tinggi terhadap
penurunan kesehatan atau bahkan menjadi penyebab kematian. Studi WHO
menunjukan kematian akibat merokok sekitar 30 juta orang setahun, 10 kali lebih
tinggi dari angka kematian akibat kecelakaan berlalulintas. Di Indonesia sendiri
perokok aktif mencapai 70 % dari total penduduk atau sebesar 141,44 juta orang.
Dan kecenderungan perokok di kalangan wanita dan remaja pada usia 15-18
tahun mengalami peningkatan (http://www.koalisi.org). Sedangkan penelitian di
Jakarta menunjukkan bahwa 64,8% pria dan 9,8% wanita dengan usia di atas 13
tahun adalah perokok (Tandra, 2003). Berbagai alasan yang melatarbelakangi
mulai maraknya kebiasaan merokok di kalangan wanita, salah satunya adalah
gaya hidup. Persepsi tersebut dipicu oleh gencarnya iklan yang ditayangkan media
massa, yang mencitrakan wanita modem dengan kebiasaan merokok. Realita ini
berbeda dengan kondisi puluhan tahun lalu dimana wanita perokok distereotipkan
sebagai wanita "nakal" alias tidak baik.
Komponen yang paling berbahaya dari merokok dengan membakar
tembakau adalah nikotin, carbon monoxide, yang dikenal sebagai carcinogens.
Efek jangka panjang dari merokok adalah kanker paru, emphysema, kanker larynx
dan esophagus dan sejumlah penyakit cardiovascular (Davison & Neale, 2001).
Pada wanita yang merokok terdapat dampak-dampak khusus yang ditimbulkan
oleh rokok antara lain masalah-masalah pada organ reproduksi wanita
(diantaranya menurunkan kesuburan), meningkatkan jumlah kehamilan ektopik,
aborsi spontan, kelahiran prematur, menopause dini, serta meningkatkan resiko
kanker leher rahim.
Informasi mengenai dampak buruk dari rokok terhadap kesehatan tersebut
di atas, menjadi salah satu alasan untuk berhenti merokok. Kaplan, Sallis dan
Patterson (1993) mengatakan bahwa perokok berhenti atau mencoba berhenti
merokok untuk berbagai alasan, antara lain: masalah kesehatan, masalah
penerimaan sosial, usia, serta alasan untuk menjadi contoh yang baik. 50% dari usaha untuk berhenti merokok adalah membuat keputusan untuk berhenti.
Terkadang sangat sulit bagi perokok untuk memutuskan berhenti merokok.
Berbagai pertimbangan dilakukan seorang perokok dalam memutuskan
berhenti merokok Karenanya penelitian ini bermaksud memperoleh gambaran
proses pengambilan keputusan yang terjadi pada seorang mantan perokok beserta
faktor-faktor yang mempengaruhi proses pengambilan keputusannya. Selain itu
diteliti pula strategi ketika memutuskan untuk berhenti merokok. Penelitian ini
mengacu pada teori pengambilan keputusan yang dikemukakan oleh Janis &
Mann (1977).
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Oleh
karena itu dalam pengumpulan data peneliti melakukan wawancara dan observasi.
Subyek penelitian berjumlah 4 orang dengan kriteria wanita usia dewasa muda
yang dulu pernah merokok tetapi telah berhenti minimal 6 bulan.
Hasil penelitian menujukkan hanya satu subyek yang terlihat melalui
kelima tahap. Subyek umumnya tidak melalui tahap kedua (mencari alternatif).
Faktor yang paling berpengaruh adalah faktor circumstances dan preferences. Hal
ini menunjukkan bahwa selain merupakan proses internal, pengambilan keputusan
untuk berhenti merokok juga sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosial.
Sedangkan strategi yang digunakan dalam situasi berhenti merokok ini adalah safe
strategy (memilih alternatif yang paling aman dan membawa keberhasilan) atau
escape strategy (memilih alternatif yang paling memungkinkan untuk menghindar
dari hasil yang buruk)."
2004
S3394
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rengganis Lenggogeni Biran
2003
S3189
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Patricia Sara
"Holmes & Rahe (1967) pemah membuat sebuah tabel yang mengurutkan hal-hal apa saja yang dapat membuat orang menjadi stres. Pada tabel tersebut, perceraian merupakan urutan kedua setelah kematian pasangan hidup. Oleh karena itu orang yang bercerai harus segera menyesuaikan dirinya, sehingga orang tersebut dapat segera mengatasi rasa sedih, dan marah, menerima dirinya sendiri, anak-anak dan mantan suaminya, kembali bekeija dan mengikuti kegiatan-kegiatan yang ada di lingkungan sekitar, dan Iain-lain masalah yang biasanya timbul setelah perceraian. Adapun masalah-masalah yang biasanya dialami oleh mereka yang bercerai adalah masalah secara psikologis/emosi, dalam mengasuh anak, pelaksanaan tugas-tugas rumah tangga, keuangan, sosial hingga seksual (Hurlock, 1980).
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui masalah-masalah apa saja yang dialami pada wanita dewasa muda yang berpisah/bercerai. Selain itu ingin dilihat pula gambaran dan dinamika penyesuaian diri mereka setelah berpisah/bercerai. Untuk menjawab tujuan penelitian di atas, maka dilakukan wawancara mendalam terhadap empat orang subyek. Hasil wawancara yang diperoleh akan dianalisis dan diinterpretasi dengan menggunakan teori-teori yang sudah ada. Penyesuaian diri tidak selalu dilakukan setelah terjadi perceraian, mengingat adapula orang yang telah melakukan penyesuaian diri jauh sebelumnya, yaitu pada saat mereka berpisah dengan suaminya (Lasswell & Lasswell, 1987). Oleh karena itu penelitian ini akan menggali penyesuaian diri subyek setelah bercerai, maupun pada subyek yang berpisah lalu bercerai. Adapun subyek penelitian ini adalah wanita yang berpisah/bercerai pada usia dewasa muda.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa masalah yang ditemukan pada keempat subyek penelitian adalah masalah secara psikologis/emosi, yaitu subyek merasa sedih dan kecewa karena rumah tangga mereka berakhir dengan perceraian. Selain itu mereka juga merasa kesepian dan kehilangan sejak berpisah bercerai dengan suami mereka. Masalah lain yang ditemukan pada subyek adalah masalah dalam mengasuh anak, masalah dalam hal keuangan, dan sosial. Subyek dalam penelitian ini tidak raengalami masalah dalam pelaksanaan tugas rumah tangga sehari-hari dan pemenuhan kebutuhan seks. Waktu yang diperlukan subyek untuk dapat menyesuaikan diri mereka setelah berpisah^e^cerai adalah bervariasi, antara satu/dua sampai lima tahun, bahkan hingga saat subyek diwawancara. Hal ini disebabkan faktor-faktor tertentu seperti apakah subyek masih mencintai suaminya atau tidak, lama dan kualitas perkawinan subyek, siapakah yang berinisiatif untuk bercerai, pandangan subyek terhadap perceraian, jumlah anak yang dimiliki, apakah subyek bekeija dan mempunyai penghasilan sendiri, dan lain.lain."
Depok: Universitas Indonesia, 1998
S2701
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
S3162
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nuniek Yuniati
2004
S3486
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nita Silvianti
"ABSTRAK
Perilaku seksual yang berkembang pada saat ini menimbulkan dampak negatif dalam berbagai aspek kehidupan, seperti kesehatan, sosial, ekonomi dan psikologis. Perilaku seksual yang menimbulkan dampak negatif namun tetap diteruskan dan bahkan menjadi suatu kebiasaan disebut dengan kecanduan seks. Menurut Cames (dalam Cames & Adams, 2002), seseorang dikatakan memiliki kecanduan seksual jika perilaku tersebut bersifat kompulsif, tidak dapat dikendalikan dan terus berlanjut walaupun menimbulkan dampak yang tidak menyenangkan. Faktor penting yang menjdai penyebab kecanduan seks adalah sejarah kegagalan mencapai intimacy dalam suatu hubungan. Hal ini merepresentasikan bahwa mereka memiliki kegagalan yang mendasar untuk mempercayai seseorang (Cames dalam Cames & Adams, 2002). Biasanya ditemui adanya intimacy dysfunction seperti kekerasan pada anak atau penolakan pada anak. Sebagai respon dari trauma tersebut, individu mengembangkan perasaan malu. Perasaan malu tersebut mengarah pada kepada rasa percaya diri yang rendah dan gangguan fungsi interpersonal yang memperkuat rasa kesepian pada diri individu. Untuk mengurangi rasa sakit psikologis tersebut, individu mencari agen perbaikan. Agen tersebut adalah perilaku seksual, namun agen tersebut hanya bersifat pembebas sementara, setelah itu rasa sakit psikologis tersebut kembali muncul. Sehingga perilaku seksual sebagai pembebasan tersebut kembali berulang. Penelitian ini lebih mengedepankan bagaimana pola perilaku kecanduan seksual terbentuk mulai dari masa anak-anak sampai dengan saat ini pada partisipan dewasa muda. Penelitian ini bertujuan untuk melihat penyebab munculnya kecanduan seksual, pola perilaku kecanduan seksual, gambaran perilaku seksual partisipan dan hubungan partisipan dengan keluarga, khususnya orangtua dan dengan pasangan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa partsipan memuaskan diri dengan berhubungan seks untuk mengatasi rasa sakit karena dikhianati dan ditinggalkan oleh pasangannya. Partisipan juga memiliki riwayat kekerasan dan penolakan pada masa kecil. Partisipan memiliki karakteristik kecanduan seksual dan perilaku seksual yang menyimpang. Partisipan memiliki hubungan yang tidak dekat dan intim dengan orangtuanya, begitu pula dengan pasangannya.

ABSTRACT
Sexual behaviour that expanding now, made a negative effect on several life sections, such as health, social, economy and psychology. When sexual behaviour is yet continues despite adverse consequences and even became a daily habit called by sexual addiction. Accorded to Cames (Cames & Adams, 2002), someone could be said had a sexual addiction if that behaviour became compulsive, loss of control and keep continues despite adverse consequences. Key factor that cause sexual addiction is there is a history of failure to sustain intimacy in relationship. This represents a fundamental failure to trust others enough to bond with them (Cames on Cames & Adams, 2002). Specifically, there is often a form of family intimacy dysfunction such as child abuse or neglect. In response to this trauma, the young person develops feelings of shame. These feelings are in part due to a belief that he/she was the cause of the abuse. Feelings of shame lead to low self-esteem and dysfunctional interpersonal functioning which intensify loneliness in the child. In order to alleviate this psychological pain, the child begins to search for a "fix" or some agent that has analgesic qualities. This agent is sexual behavior. While these agents provide temporary relief, the shame, low self-esteem, and loneliness retum. Consequently, there is a need to retum to the "fix," the behavior becomes repetitive. This research focused on how sexual addiction behaviour pattem built, since childhood until now on in young adult participants. This research had be done for found causes of sexual addiction, sexual addiction behaviour pattem, the figure of sexual behaviour from participants and the relationship between the participants and their family, especially with parents and partners. The result of this research show that participants satisfied theirself with sexual behavior to reducing the pain because of being betrayed ang left by their couple. Participants also had abused and neglected history in their childhood. Participants had less intimate relationship with their parents, also with their partners."
2009
S3604
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Femita Berliani P
"Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah terdapat hubungan yang signifikan antara body image dan intensi untuk melakukan bedah estetik pada wanita dewasa muda. Masalah ini dianggap penting untuk diteliti karena masih terdapat pro dan kontra mengenai faktor yang mendasari keinginan seseorang untuk melakukan bedah estetik. Ada penelitian yang menyatakan bahwa body image merupakan faktor yang mempengaruhi keinginan seseorang untuk melakukan bedah estetik, namun di sisi lain ada penelitian yang mengatakan bahwa body image tidak memiliki kaitan dengan keinginan seseorang untuk melakukan bedah estetik. Namun, berdasarkan studi literatur yang ada menunjukkan bahwa individu yang memiliki body image negatif dimana adanya ketidakpuasan terhadap tubuh cenderung untuk berpikir bagaimana menjadi ideal dan melakukan berbagai cara untuk mencapainya (Melliana, 2006) dan salah satunya adalah bedah estetik. Penelitian kuantitatif ini menggunakan alat ukur MBSRQ-Appearance Scales (MBSRQ-AS) dan alat ukur intensi yang disusun sendiri oleh peneliti untuk pengambilan data, dan pearson correlation dalam analisis data. Partisipan penelitian ini adalah 78 wanita dewasa muda dengan rentang usia 20 hingga 40 tahun. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara body image dan intensi bedah estetik.

This study aimed to see whether there is a significant correlation between body image and intention to perform aesthetic surgery in young adult women. This issue is considered important to study because there are pros and cons about factors that underlie the desire for someone to perform aesthetic surgery. There is research which States that body image is a factor influencing the desire for someone to perform aesthetic surgery, but on the other hand there is research which States that body image has no correlation with the desire for someone to perform aesthetic surgery. However, based on existing literature study showed that individuals who have negative body image, in which there is dissatisfaction of the body, tend to think how to be ideal and perform a variety of ways to achieve it (Melliana, 2006) and one of them is aesthetic surgery. This quantitative study using a measuring instrument MBSRQAppearance Scales (MBSRQ-AS) and Intention Scale which were prepared by researcher for collecting data, and using Pearson correlation in the data analysis. The research participants were 78 young adult women with age ranged from 20 to 40 years. The results of this study indicate that there is a significant correlation between body image and intention of aesthetic surgery."
Depok: Universitas Indonesia, 2010
S3661
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>