Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 117842 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Catharina Dewi Murni Limansubroto
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1985
S2351
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Supangkat, Harya
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1999
T-7091
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Murti Andriastuti
"Tesis ini merupakan kajian kepustakaan yang bertujuan meneliti unsur nilai budaya dalam novel karya Ken Kesey One Flew Over the Cuckoo 's Nest. Penelitian ini mengkaji teori untuk menjelaskan keterkaitan alegoris antara semangat individualisme non-konformis dari pemeran protagonis dalam Cuckoo's Nest dengan perlawanan kaum muda terhadap nilai-nilai kemapanan teknokrasi pada akhir masa 1950-an dan permulaan tahun 1960-an.
Tahun 1950-an dan permulaan 1960-an merupakan suatu kurun masa yang mempunyai karakteristik tersendiri dalam sejarah Amerika. Masa itu adalah masa Affluence, di mana negara Amerika mengalami perkembangan dan kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, ekonomi, sosial dan stabilitas politik. Teknokrasi mengalami kemapanan. Namun di tengah kemapanan teknokrasi itu terdapat suatu gejala yang sangat kontroversial. Stabilitas dan kemajuan yang dicapai di segala bidang ternyata membawa perubahan nilai, yang ditentang oleh sebagian warganya, terutama golongan intelektual, mahasiswa dan kaum mudanya. Salah satu di antara mereka ialah Ken Kesey, yang mengarang One Flew Over the Cuckoo's Nest, yang terbit sukses pada tahun 1962. Novel ini menceriterakan keadaan di suatu rumah sakit jiwa, dimana pasien-pasiennya, dipimpin oleh Randle Patrick McMurphy, ingin mengusulkan pembaharuan sistem dan suasana di dalam rumah sakit tersebut.
Metode penelitian yang saya pakai ialah metode deskriptif analisis. Saya melakukan analisa terhadap nilai-nilai budaya masyarakat Amerika, khususnya nilai individualisme, kemandirian dan non-konformisme. Saya juga melakukan analisa terhadap bentuk, cerita dan tokoh-tokoh Cuckoo's Nest sebagai suatu karya alegori, di mana terdapat simbol-simbol dan perumpamaan metafora, guna memahami konflik dan perilaku tokoh serta peristiwa dalam novel tersebut.
Tesis ini memperlihatkan bahwa ceritera dalam Cuckoo's Nest menjadi simbol pandangan dan sikap kritis kaum muda, yang ingin mempertahankan nilai-nilai individualisme, kemandirian dan otonomi, terhadap konformisme dalam kemapanan teknokrasi.
Hasil analisis teori menunjukkan bahwa ada keterkaitan alegoris antara peranan tokoh protagonis dalam novel One Flew Over the Cuckoo's Nest dengan perilaku serta sikap kritis mahasiswa dan orang muda masa itu, yang didasari atas konflik nilai individualisme dengan konformisme, sebagai dampak kemakmuran dan kemajuan teknologi masyarakat otomatisasi (automatic society) Amerika pada masa permulaan 1960-an.

One Flew Over the Cuckoo 's Nest As a Social Critique Allegory On Technocracy Establishment : Individualism and NonconformityThis thesis is a library study which aims at examining theoretically the cultural values conveyed in Ken Kesey's novel, One Flew Over the Cuckoo 's Nest. It tries to explain the allegorical relation between the nonconforming individuality of the protagonist in the novel and the rebel of American youngsters against the established technocracy of the late 50's and the early `60s.
The turn of the `505 into the `60s comprises a remarkable period in American history. This was a time of affluence, during which America had made enormous progress in science, economic wealth, social life and political stability. Technocracy got firmly established. However, the established technocracy and the economic abundance of the country ironically led to a controversy.
Stability and progress in all fields resulted in shifts and changes of values, which were criticized by parts of the citizens--mostly intellectuals, university students and people of the younger generation--among whom was Ken Kesey. Kesey wrote One Flew Over the Cuckoo 's Nest, which, at its publication in 1962, immediately became a success.
The novel is about people in a mental hospital where its inmates, led by Randle Patrick McMurphy, strive to reform and bring innovation to its system.
This research is a qualitative research, which employs a descriptive analysis method. I examined American cultural values, particularly individualism, self-reliance and nonconformity, and I analyzed Cuckoo's Nest in terms of its form, its theme and its characters. Rich in metaphors, this story provides sets of analogies and symbols, which makes it easier for us to see through the events and the conflicts, and to explain the characters' attitudes.
The discussion in this thesis proves that Cuckoo 's Nest presents the assumptions and critical views of the youth, who tried to preserve individualism, self-reliance and automomy in complying with conformity within a wealthy society.
An analysis on the novel proves that, indeed, there is an allegorical relation between the protagonist's role in the novel and that of the students and the youth of the sixties, in terms of individualism and conformity, two conflicting cultural values which reflect the impact of the prosperity and the technological achievement of the automatic society of America in the late 1950s.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T11089
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Judithia A. Wirawan
"Dalam rangka menghadapi era pasar bebas dunia, Indonesia harus mempersiapkan sumber daya manusianya agar mampu bersaing dengan SDM dari negara lain. Salah satu kelemahan SDM kita adalah masih adanya kecenderungan untuk mendahulukan kepentingan kelompok yang Iebih dekat, walaupun dengan hasil yang tidak menguntungkan. Hai ini terutama menjadi masalah bila dilakukan oleh para profesional karena mereka mempunyai wewenang mengambil keputusan untuk perusahaannya. Ciri mendahulukan kepentingan kelompok yang Iebih dekat adalah ciri dari orang yang menganut kolektivisme, yang merupakan salah satu titik ekstrim dan dimensi individualisme-kolektivisme.
Dari teori yang diajukan oleh Kohlberg, peneliti mendapat gambaran bahwa ciri orang yang menganut kolektivisme Iebih dekat dengan ciri orang yang berada dalam tingkat perkembangan moral konvensional sedangkan ciri orang yang menganut individualsme Iebih dekat dengan ciri orang yang berada dalam tingkat perkembangan post-konvensional. Selain itu, nilai seseorang juga akan dipengaruhi oleh gendernya, karena anak dari jenis kelamin berbeda disosialisasikan secara berbeda sehingga menganut nilai-niiai yang berbeda pula, yaitu wanita Iebih mementingkan keluarga sedangkan pria Iebih mementingkan prestasi dan karirnya sendiri. Berdasarkan hal itu, peneliti ingin melihat apakah ada hubungan antara individualisme-kolektivisme dengan tahap perkembangan moral dan gender. Penelitian ini dilakukan pada 76 subyek dengan menggunakan incidental sampling. lnstrumen penelitian berupa kuesoner Indcol 1994 dan Dilema Moral Kohlberg.
Hasil utama penelitian menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara individualisme-kolektivisme dengan tahap perkembangan moral maupun dengan gender. Hasil yang tidak sesuai dengan tinjauan kepustakaan ini menurut peneliti terutama disebabkan oleh adanya restriction of range pada data yang diperoleh, yaitu data kurang bervariasi, skor hanya berkisar pada central tendency saja. Untuk penelitian Iebih lanjut. peneliti menyarankan untuk mengambil sampel dengan karakteristik berbeda untuk menghindari homogenitas sampel yang menyebabkan restriction of range. Selain itu, peneliti juga menyarankan dilakukan penyempurnaan dalam hal metodologi."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1996
S2363
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fahmi Ratna Juwita
"Penelitian ini akan fokus pada hubungan antara nilai individual kebajikan dan tingkah laku menolong dimediasi oleh komitmen organisasi afektif. Sampel penelitian adalah karyawan salah satu perusahaan BUMN di jakarta (N = 84). Tingkah laku menolong diukur oleh atasan karyawan dengan mengunakan alat ukur dari Van Dyne dan Lepine (1998). Nilai individual diukur mengunakan Schwartz Value Survey (Schwartz, 1992) dan diberikan kepada karyawan untuk mengukur dirinya sendiri. Begitupula komitmen organisasi afektif mengunakan alat ukur dari Meyer, Allen, dan Smith (1993). Hasil memperlihatkan bahwa nilai kebajikan signifikan berhubungan positif dengan tingkah laku menolong (p > .05, SE = .828 CI [-.2290 to 3.066]). Selain itu mediasi komitmen organisasi afektif dalam hubungan antara nilai individual kebajikan dan tingkah laku menolong tidak ditemukan signifikan (point estimates = 0.26, 95% percentile CI = -07 to.86). Hasil penelitian memperlihatkan bahwa nilai individual kebajikan secara langsung memprediksi tingkah laku menolong lebih baik daripada melalui mediasi komitmen organisasi afektif.

This study will focus on individual value benevolence as a predictor of helping behavior mediated by affective organizational commitment. Sample are employees of BUMN company in Jakarta (N = 84). Helping behavior measured by supervisor with instrument adapted from Van Dyne and Lepine (1998). Individual values obtained from self-report measured with Schwartz Value Survey (Schwartz, 1992). Likewise affective organizational commitment obtained from self-report with instrument adapted from Meyer, Allen, dan Smith (1993). Result shows that value benevolence is found as significant positive predictors of helping behavior (p > .05, SE = .803 CI [.0859 to 3.281]). Futhermore mediating effect of affective organizational commitment in the relationship between the individual values benevolence and helping behavior was not found significant (point estimates = 0.26, 95% percentile CI = -07 to .86).The results shows that individual values benevolence predict helping behavior directly better than through the mediation of affective organizational commitment."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T46412
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lumowa, Valentino
"Dalam dunia modern, manusia cenderung untuk menegaskan tuntutannya untuk bisa menentukan hidup dan keputusan sendiri, memilih keyakinan spiritual atau religius yang hendak dituruti, memutuskan bentuk kehidupan yang hendak dijalani serta mengekspresikan ide dan gagasan pribadi. Cukup jelas bahwa sumber dan fokus dari tuntutan-tuntutan ini adalah individu, karena itu diklasifikasikan sebagai "tuntutan individualisme". Sedemikian bakunya nilai-nilai dari tuntutan-tuntutan di atas, mereka kemudian dianggap sebagai hak yang melekat dalam diri setiap individu dan secara legal dijamin oleh sistem hukum."
Jakarta: Pusat Pengembangan Etika Unika Atma Jaya, 2016
300 RJES 21:1 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Yoakin Deke Kokomaking
"Lahirnya industrialisasi di Utara, revolusi transportasi dan revolusi pasar dalam paruh pertama abad kesembilan belas membawa banyak perubahan sosial dalam kehidupan masyarakat Amerika pada waktu itu. Selain ketiga fenomena tersebut di atas, pergerakan ke wilayah Barat (Westward movement) juga merupakan sebuah fenomena yang turut mengubah kondisi kehidupan sosial.
Industrialisasi di Utara mulai mengubah pola kehidupan masyarakat di kota-kota industri dari agraris menjadi industri. Terlepas dari faktor-faktor positif yang disebabkan oleh perubahan sosial ini, seperti pertumbuhan ekonomi yang semakin pesat, berbagai persoalan sosial muncul sebagai dampaknya.
Ideologi individualisme diterapkan secara kasar (rugged) oleh para industrialis menimbulkan praktek "perbudakan" terhadap para buruh pabrik. Demi efisiensi dan peningkatan keuntungan para industrialis bekerja sama dengan pemerintah untuk menetapkan jam kerja hingga dua belas jam perhari. Upah buruh sangat rendah sehingga tidak mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Kaum buruh secara hukum dilarang melakukan pemogokan. Tempat kerja jauh dari memadai sehingga tidak menjamin kesehatan bagi para buruh. Singkatnya, industrialisasi menciptakan kemakmuran bagi para industrialis dan, sebaliknya, membawa petaka bagi para buruh.
Kebijakan pemerintah Federal dalam menjual tanah di wilayah Barat dengan harga murah serta peluang kerja yang diciptakan oleh munculnya industri-industri di Utara mengundang banyak orang Eropa berimigrasi ke Amerika. Persaingan dalam lapangan kerjapun terjadi antara orang-orang Amerika dan kaum imigran asing. Persaingan ini akhirnya menimbulkan berbagai bentrokan fisik dan prasangka buruk. Ketidakteraturan sosialpun muncul.
Kehidupan para penghuni wilayah garis depan di Barat sangat diwarnai oleh semangat yang agresif, ekspansif, bebas, mandiri, kreatif, dan inovatif. Kesemuanya ini tidak akan bermasalah kalau dalam Batas wajar. Namun demikian, pergerakan ke arah Barat melahirkan berbagai masalah sosial. Kehidupan mereka cenderung mementingkan diri sendiri, tidak mentaati aturan-aturan atau hukum yang berlaku. Banyak dari mereka terlibat dalam tindakan-tindakan kekerasan fisik, minum mabuk, hiburan-hiburan yang tidak sehat seperti pelacuran, dan yang sejenisnya.
Semua gejolak sosial yang terjadi di kota-kota industri di Utara dan di kawasan garis depan niscaya menimbulkan ketidakteraturan sosial dalam masyarakat. Semua masalah sosial ini dapat direduksi menjadi satu persoalan dasar, yaitu degradasi kehidupan moral. Hal ini terjadi karena konsep individualisme yang diterapkan pada waktu itu rugged; setiap individu mementingkan dirinya dan mengabaikan kepentingan individu-individu yang lain.
Sebagai respon terhadap gejolak-gejolak sosial ini, Ralph Waldo Emerson meramu sebuah konsep individualisme dengan mengacu pada doktrin Transendentalisme. Konsep individualisme ini merupakan respon Emerson terhadap gejolak-gejolak sosial yang terjadi pada waktu itu, khususnya di era 1820an-1840an. Dalam konsep individualisme Emerson setiap individu tidak hanya mementingkan dirinya tapi juga memperhatikan kepentingan individu-individu lainnya. Jelas bahwa konsep individualisme Emerson berbeda dengan konsep individualisme yang diterapkan di era tersebut.
Tesis ini ditulis berdasarkan penelitian dari sumber kepustakaan dan menggunakan pendekatan kualitatif dan antar bidang. Selain itu, kajian dalam beberapa bidang, seperti sosiologis, historis, dan filosofis dirangkaikan untuk menciptakan suatu pemahaman yang koheren dan holistik."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T11071
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Article described capitalist social life of modern Japanese that was having individualistic characteristic. This high individualistic life affected the availability of disconnected family life called muenshakai. This phenomenon caused social and economic shifts in the Japanese family. This research used qualitative approach elaborated in descriptive analysis. The object of research or data corpus was the problem of a decline in Japan population in terms of the breakdown of the family. The research results indicated that muenshakai phenomenon has emerged in Japan caused by some sequential events, those are: the 2nd World War "legacy', the availability of baby boom, the abolition of shuushinkoyou, the decreasing of marital rate, the increasing of divorce rate, the decreasing of birth rate, and the lost of family relationship. It can be concluded that the urban individualistic life style is able to change the traditional thinking pattern into opportunistic one that becomes one of the causal factors of muenshakai phenomenon."
LINCUL 8:2 (2014)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Reandra Fasdityo Poerba
"Perbedaan budaya ditemukan memiliki pengaruh dalam perilaku kemalasan sosial. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa dibandingkan dengan individu dari budaya individualistis, individu dari budaya kolektivis lebih cenderung mengalami masalah sosial. Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji apakah kemalasan sosial terjadi ketika individu dari budaya kolektivis bekerja dengan individu dari budaya individualistis. Dengan menggunakan eksperimen dengan desain 3-tingkat antar kelompok, 36 mahasiswa Universitas Queensland (22 orang berasal dari Indonesia & 14 orang dari Australia) secara acak ditugaskan untuk bekerja secara individu (koaktif), dalam kelompok tiga orang Indonesia (orang Indonesia dianggap memiliki budaya kolektif), atau dalam kelompok yang terdiri dari satu orang Indonesia dan dua orang Australia (campuran kolektif). Secara total, dalam penelitian ini ada empat kelompok individu, empat kelompok kolektif Indonesia, dan empat kelompok kolektif campuran. Mereka diminta untuk menuliskan nama-nama negara sebanyak mungkin di selembar kertas, di mana skor mereka digunakan untuk mengukur kemalasan sosial (variabel dependen). Hasil pengujian teknik statistik dengan menggunakan independent sample t-test menemukan bahwa peserta dalam kondisi koaktif secara signifikan menuliskan lebih banyak negara dibandingkan dengan peserta dalam kondisi kolektif. Selain itu, ditemukan pula bahwa ada perbedaan yang tidak signifikan antara peserta dalam kondisi kolektif Indonesia dan peserta dalam kondisi kolektif campuran. Hal ini  menunjukan bahwa kemalasan sosial lebih banyak terjadi dalam kerja kelompok, dan bahwa nilai-nilai budaya tidak mempengaruhi kemalasan sosial. Untuk penelitian lebih lanjut, perbaikan dalam hal  metode penelitian harus dilakukan, misalnya dengan  menghindari menempatkan peserta yang akrab dalam kelompok yang sama, menguji peserta dari negara kolektivis yang berbeda, menganalisa kepribadian peserta yang berbeda-beda, dan membuat tugas agar tidak menarik.
Cultural differences have been found to have an influence in the behaviour of social loafing. Previous research indicates that compared to individuals from individualistic cultures, individuals from collectivist cultures are more likely to do social loafing. This study objective is to examine whether social loafing occurs when individuals from collectivist culture work with individuals from individualist culture. Using experimental with 3-level between groups design, 36 University of Queensland students (22 Indonesians & 14 Australians) were randomly assigned to either work individually (coactive), in groups of three Indonesians (collective Indonesians), or in groups of one Indonesian and two Australians (collective mixed). In total, there were four groups of individuals, four groups of collective Indonesian, and four groups of collective mixed. They were required to list as many countries as they could on a piece of paper, where their scores were used to measure social loafing (dependent variable). Independent-groups t-tests revealed that participants in the coactive condition listed significantly more countries compared to participants in the collective condition. It was also revealed that there was a non-significant difference between participants in the collective Indonesian condition and participants in the collective mixed condition. This means that social loafing occurred more in group work, and that cultural values did not influence social loafing. Improvements regarding methodological issues have been recommended. Future research should avoid putting familiar participants in the same group, test participants from several collectivist countries, analyse the different personalities within participants, and make the task uninteresting."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Lane, Robert E.
New York: The Free Press, 1972
323.4 Lan p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>