Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 210159 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Eka Nuryulianti
"ABSTRAK
Publik eksternal dari Public Relations terutama komunitas lokal masih sering diabaikan keberadaannya dalam turut mendukung kesuksesan perusahaan. Hal ini tercermin dari masih sedikitnya sumbangan dari perusahaan-perusahaan kepada masyarakat sekitar. Memang banyak diantara penyebabnya adalah kekurangmampuan perusahaan dalam menyandang dana tetapi banyak pula perusahaan yang sudah maju tetapi tetap tidak peduli dengan lingkungan masyarakat sekitar. Berdasarkan anggapan di atas peneliti tertarik untuk mengkaji PT. BASF Indonesia yang disamping berhasil dalam bidang usahanya tetapi juga berhasil membina hubungan baik dengan masyarakat sekitar. Hal ini tidak terjadi begitu saja tetapi melalui sejumlah usaha. Usaha untuk dapat diterima oleh lingkungan masyarakat sekitar bukannya suatu hal yang terjadi begitu saja tetapi memerlukan pendekatan tersendiri karena setiap masyarakat memiliki ciri keunikan dan budaya sendiri. Dalam kaitan ini suatu strategi komunikasi mutlak diperlukan. Strategi komunikasi yang dilakukan di sini adalah dengan melakukan aktivitas community relations atau melakukan kegiatan kegiatan sosial bagi komunitas lokal yang berada di sekitar wilayah perusahaan. Penelitian ini merupakan penelitian kualititatif dengan tipe deskriptif dengan bentuk penelitian studi kasus. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui strategi komunikasi yang dilakukan oleh PT. BASF Indonesia hubungannya dengan usaha membina hubungan dengan penduduk sekitar sebagai upaya membangun, memelihara dan meningkatkan citra perusahaan serta untuk mengetahui rintangan yang ditemui dalam menjalin hubungan dengan penduduk sekitar tersebut. Populasi yang peneliti ambil adalah warga Kampung Duri Rw. 04 dan Rw. 06, Kelurahan Kosambi, Cengkareng. Penelitian ini mengambil tiga informan dari PT. BASF Indonesia yang dipilih secara purposif. Untuk menunjang data yang ada, peneliti juga mewawancarai penduduk sekitar sebanyak delapan orang, lima orang dari Rw. 04 dan tiga orang dari Rw. 06. Peneliti memperoleh kesimpulan bahwa strategi komunikasi yang dilakukan PT. BASF Indonesia, yaitu dengan melakukan serangkaian aktivitas community relations, telah mendapatkan tanggapan yang dari warga. Tanggapan yang baik ini dengan sendirinya akan meningkatkan citra positif yang berlaku di masyarakat."
2003
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1997
S9151
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Moh. Mansur
"Sebagai suatu badan usaha milik pemerintah yang ditunjuk oleh Menkes untuk memproduksl obat generik yang berharga murah, maka kewajiban PT. KIMIA FARMA akan semakin berat. Dimana didalam mengemban kewajiban tersebut, PT. KIMIA FARMA, sebagai agent of development, harus mampu memproduksi dan menyalurkan obat generik tepat pada waktunya keseluruh Indonesia, Sementara dilain pihak PT. KIMIA FARMA sebagai suatu persero milik pemerlntah harus menjadi salah satu sumber pendapatan negara dan oleh karena itu berkewajiban menjamin kesinambungan dan pengembangan usahanya dengan memupuk laba.
Hal ini menjadi suatu tantangan yang berat karena PT. KIMIA FARMA harus menjual obat generik yang berharga murah sedangkan biaya bahan baku obat, yang sebagian besar masih diimport menjadi semakin mahal dengan meningkatnya nilai tukar mata uang beberapa negara Eropa dan Jepang. Untuk mengatasi masalah tersebut, salah satu alternatif yang dapat dilakukan adalah dengan berusaha untuk mengalokasikan sumber daya yang ada secara efisien dan efektif.
Adalah menjadi tanggung jawab manajemen perusahaan untuk mengelola dan mengerahkan semua sumber daya yang ada agar dapat dipergunakan seefislen dan seefektif mungkin, sehingga tujuan perusahaan dapat dicapai. Tujuan perusahaan tadi agar dapat tercapai dijabarkan kedalam berbagai macam fungsi/departemen atau bagian yang masing-masing memlilki paparan tugas, wewenang dan tanggung jawab yang berbeda. Salah satu bagian yang sering dianggap sebagai fungsi yang paling penting dan berpengaruh diantara diantara berbagai unit operasi adalah fungsi pembelian, dimana dalam kebanyakan perusahaan fungsi pembelian rnerupakan titik awal dari proses usaha.
Salah satu alat yang dapat dipergunakan oleh top manajemen didalam mengevaluasi efektifitas dan efisiensi perusahaan secara keseluruhan ataupun hanya dalam salah satu fungsi organisasi adalah manajemen audit, yang memberikan peningatan secara dini yaitu dengan menilai efisien dan efektifitas kegiatan perusahaan dan mulal perencanaan, pelaksanaan, control. Peringatan dari manajemen audit berupa lnformasi, analisa, rekomendasi serta alternatip-alternatip untuk pengambilan keputusan manajemen.
Aktivitas pembelian didalam suatu perusahaan besar biasanya melibatkan pemakaian sejumlah dana yang cukup besar pula. Disamping itu, fungsi pembelian berkaitan dengan aktivitas Ïainnya seperti aktivitas penerimaan, penyimpanan serta pembukuan khususnya pembukuan perkiraan utang. Oleh karena itu terhadap aktivitas yang dljalankan oleh fungsi pembelian ini perlu diadakan management audit. Sehingga dengan dilakukannya management audit terhadap pelaksanaan aktivitas pembelian tersebut diharapkan dapat mengevaluasi apakah perusahaan telah menggunakan sumber keuangannya dengan efislen dan efektif dan apakah kebijaksanaan pembelian yang telah dllakukan telah tepat."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ibnu Chuldun
"Tujuan pemidanaan dalam Sistem Pemasyarakatan adalah mengembalikan narapidana ke tengah masyarakat agar menjadi warga negara yang baik, berguna dan bertanggung jawab. Tujuan pembinaan tersebut sejalan dengan kebijakan penghukuman yang disebut sebagai reintegrasi. Pembinaan yang dipilih sesuai dengan kebijakan penghukuman ini adalah community based corrections/treatment.
Community-based treatment adalah segala jenis program treatment (pembinaan) bagi narapidana di mana selagi mereka menjalani sisa pidananya, mereka telah diberi kesempatan untuk kembali ke tengah masyarakat dengan pengawasan atau supervisi tertentu. Community-based treatment mencakup banyak program, salah satunya adalah halfway house. Dalam penelitian ini, Lembaga Pemnasyarakatan (se]anjutnya disebut Lapas) Terbuka Jakarta diidentikkan dengan Halfway house. Lapas Terbuka adalah Lapas tempat membina narapidana yang telah menjalani 1/2 masa pidananya yaitu telah sampai pada tahap asimilasi. Struktur bangunannya terbuka dan tanpa dikelilingi oleh tembok. Struktur bangunan yang demikian menjadikan narapidana dapat lebih banyak dan leluasa berinteraksi dengan masyarakat, dan demikian juga sebaliknya, masyarakat dapat lebih berperan dalam proses pembinaannya.
Hal yang harus dipertimbangkan dalam perencanaan operasionalisasi halfway house/Lapas Terbuka adalah pemilihan peserta (target population selection), pemilihan lokasi (location and site selection), petugas dan pelatihannya (personnel and training), pelayanan treatment (treatment service), dan keamanan (security).
Berdasar temuan penelitian, dalam operasionalisasi Lapas Terbuka Jakarta, dari kelima aspek tersebut diatas, hanya aspek pemilihan peserta dan pemilihan lokasi khususnya dari bentuk fisik bangunannya yang telah menerapkan atau mencerminkah konsep community-based treatment. Aspek lainnya, yaitu dalam hal pelayanan pembinaan, petugas dan pelatihannya, dan keamanan belum sepenuhnya menerapkan konsep community-based treatment.
Belum ada peraturan yang secara spesifik berlaku di Lapas Terbuka Jakarta. Dalam operasionalisasinya, Lapas Terbuka Jakarta masih memakai peraturan yang sama, juga dengan fungsi, sasaran dan tujuan, jenis pembinaan dan struktur organisasi yang sama dengan yang diberlakukan di Lapas biasa/tertutup pada umumnya. Hal tersebut menjadi kendala atau faktor yang menghambat upaya reintegrasi dan penerapan konsep community-based treatment di Lapas Terbuka Jakarta.
Hal lain yang juga menjadi faktor penghambat adalah kurangnya sosialisasi program baik kepada narapidana di Lapas tertutup di wilayah Jabotabek maupun kepada pihak ketiga baik perorangan, lembaga swasta maupun pemerintah. Hal tersebut menjadikan keterlibatan masyarakat (community involvement) yang menjadi ciri utama community-based treatment belum begitu terlihat.

The goal of imprisonment in Sistem Pemasyarakatan is to return offenders (narapidana) to his/her community in order to become good citizen and have had good responsibility to the community. The goal of treatment which in line with that policy, is called as reintegration. The treatment according to that policy is community-based correction/treatment. Community-based treatment is the general term used to refer to various types of therapeutic, support and supervision for criminal offenders where whilst they experience the rest of his/her sentence period, they have been given opportunity to return to the community with certain supervision or observation. Community-based treatment includes many programs. One of them is called halfway house. In this research, Jakarta of Open Prison is compared with Halfway house. Open Prison is a place to treat offenders which have experienced 1/2 of his/her sentence period or called as assimilation phase.
The building structure of Jakarta of Open Prison is open and without encircled by wall. Such building structure have make offenders can be more free to interaction with community, and so do on the contrary, society can be more playing a part in its treatment process. Issues which must be considered in the planning and operating halfway house is target population selection, location and site selection, personnel and training, treatment services and security. Based on research finding, in Jakarta of Open Prison, from five of the aspect above, only location, site selection and target selection aspect, especially from its physical building form, which have applied or express the concept of community-based treatment. Other aspect, such as treatment service, personnel and training, and security not yet fully applied the concept of community-based treatment.
There is not yet regulation that specifically made to be applied in Jakarta of Open Prison. The regulation that used in Jakarta of Open Prison is still same with the regulation that used in Prison. Function, target and objective, treatment type and organization chart which is used in Lapas Terbuka Jakarta has also same as to which is used in ordinary Prison in general. Those problems mentioned above become factor or constraint pursuing effort of reintegration and applying the concept of community-based treatment in Jakarta of Open Prison.
"
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T15235
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
S9444
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bisma Astrea Putra
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2011
S8283
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Trubus
"Perkembangan jumlah kasus HIV/AIDS di Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang signifikan, sebagai akibat cara penularannya yang pada umumnya melalui hubungan seksual.
Sejak secara resmi dilaporkan dan ditemukan di Bali tahun 1987, penyakit ini telah mengundang perhatian para ahli dari sejumlah bidang ilmu terkait. Data jumlah kasus HIV/AIDS sampai sekarang, 31 Maret 2000, yang tercacat dan terlaporkan adalah 1190 kasus, yang terdiri dari 887 orang HIV positip dan 303 orang AIDS. Selama ini kajian penyakit ini lebih banyak dikaji dengan pendekatan medis, karena ada asumsi bahwa permasalahan penyakit HIV/AIDS seperti halnya penyakit-penyakit lain merupakan permasalahan medis belaka. Namun demikian dalam perkembangannya seorang penderita yang sering disebut dengan Odha ternyata tidak hanya mengadapi persoalan kesehatannya saja, tetapi dalam kehidupan sehari-harinya Odha juga menghadapi permasalahan sosial, yakni mendapat perlakuan yang diskriminatif baik dari keluarga maupun dari tenaga medis sendiri. Bahkan dalam banyak kasus, Odha dan keluarganya mendapat tuduhan yang bermacam-macam yang berkaitan dengan perilaku seksualnya.
Mengingat kehidupan sosial yang buruk, karena selalu mendapat tekanan baik dari tekanan internal maupun eksternalnya, menyebabkan Odha harus menggunakan cara-cara tersendiri dalam rangka mempertahankan kehidupannya. Oleh karena itu penulis mengadakan penelitian terhadap proses adaptasi Odha dalam mempertahankan hidup dengan studi kasus pada pengidap HIV/AIDS di Sanggar Kerja Yayasan "X". Seperti diketahui bahwa sanggar tersebut selain berfungsi sebagai tempat penampungan sementara dan sebagai salah satu model perawatan Odha di rumah, tetapi juga sebagai tempat Odha untuk beradaptasi dengan lingkungan sosialnya. Dalam penelitian ini penulis mengambil beberapa Odha untuk dijadikan informan, termasuk juga orang-orang yang terkait dengan Odha.
Walaupun dalam penelitian ini menggunakan analisis individual, tetapi dalam pelaksanaannya berhasil mengungkapkan bahwa pengetahuan dan reaksi Odha, terhadap penyakit HIV/AIDS, termasuk juga reaksi keluarga ataupun masyarakat, sangat berbeda-beda dan bergantung pada pengetahuan masingmasing. Reaksi masyarakat pada umumnya menghindari Odha, dan bahkan dalam beberapa kasus justru mengucilkan Odha, karena takut tertular penyakitnya. Sedangkan reaksi Odha sendiri secara terinci dapat dikemukakan, sebagai berikut: (1) ketakutan akan kehilangan pekerjaan; (2) masalah keungan dan biaya pengobatan; (3) takut ditolak oleh pasangan, kolega, dan keluarga; (4) mempunyai teman yang sakit atau meninggal karena AIDS; (5) takut terhadap diskriminasi; (6) cemas akan terjadi cacat dan kehilangan fungsi tubuh; (7) antisipasi terhadap isolasi sebelum kematian; (8) takut akan terjadi gangguan mental; dan (9) takut akan kematian.
Oleh karena kondisi yang tidak menguntungkan, maka dalam banyak kasus para Odha dengan menggunakan seperangkat pengetahuannya, kemudian secara aktif berhasil mengatasi berbagai kesulitan yang dihadapinya. Beberapa strategi Odha dalam mepertahankan hidupnya adalah dengan mengisolasi diri dari lingkungannya, membuka diri dengan memberitahukan penyakitnya kepada orang-orang yang dianggapnya dekat, bersikap hidup positif dan selalu berserah diri pada Tuhannya, dan membentuk jaringan sosial dengan sesama Odha dalam rangka berbagi perasaan, penderitaan, dan informasi."
2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salsabilla Dara Shaleha
"Skripsi ini bertujuan memahami peran ruang sirkulasi pada kampung kota sebagai tempat (place) aktivitas sosial dan ekonomi. Interaksi sosial dan aktivitas ekonomi pada ruang dan tempat dianalisis berdasarkan teori ‘plase as asemblage’ yang melihat place sebagai sebuah kesatuan yang muncul dari keterkaitan elemen-elemen di dalamnya. Studi kasus dilakukan di Kampung Susun Akuarium di mana bentuk ruang sirkulasi berbeda dari kampung kota landed. Hasil analisis dari observasi dan wawancara menunjukkan bahwa terjadi proses transformasi pada ruang sirkulasi Kampung Susun Akuarium yang bersifat temporer dan rutin, mengubahnya menjadi tempat (place) spesifik untuk melakukan aktivitas sosial dan aktivitas ekonomi. Transformasi tersebut tidak menghilangkan fungsi utama ruang sirkulasi.

This thesis aims to understand the role of circulation space in kampung kota as a place for social and economic activities. Social interactions and economic activities happening in a certain place are analyzed based on the theory of ‘place as assemblage’, which views place as an entity that emerges from the interactions of its elements. A case study was conducted in Kampung Susun Akuarium where the circulation space differs physically from landed kampung kota. Analysis done from observations and interviews indicate that a transformation process occurs in the circulation space of the Kampung Susun Akuarium, which is temporary and happens repeteadly, turning it into a specific place for social and economic activities. This transformation does not eliminate the main function of circulation space."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arintowati Hartono Handojo
"ABSTRAK
Homoseksualitas yang sudah ada sejak jaman peradaban manusia dan bersifat universal, merupakan salah satu realitas sosial yang sampai saat ini masih dianggap misterius karena begitu banyak aspek-aspek di dalamnya yang belum terkuak secara tuntas. Sebagai akibatnya, realitas sosial ini mengundang minat para pakar ilmu-ilmu sosial untuk diteliti lebih lanjut secara lebih mendalam. Sebagai suatu realitas social, Homoseksualitas muncul akibat adanya interaksi terus menerus antara manusia (baik sebagai individu ataupun sebagai kelompok) dengan masyarakatnya yang diungkapkan secara sosial melalui berbagai tindakan-tindakan sosial. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa homoseksualitas terbentuk dari pengalaman-pengalaman sosial individu, atau karena interaksinya dengan lingkungan.
Proses terbentuknya homoseksualitas sebagai suatu realitas sosial menjadi sangat menarik untuk dikaji, karena melibatkan aspek-aspek sosial yang berhubungan secara dialektis dalam interaksi sosial antara individu dengan masyarakat, sebagaimana yang dikemukakan oleh Berger dan Luckman. Di satu pihak individu dengan pradisposisi pribadi yang mempengaruhi pandangan, nilai, sikap dan perilakunya terhadap homoseksualitas, sedangkan di pihak lain masyarakat sebagai produk manusia akan ?memaksa? individu tunduk pada nilai-nilai dan norma-norma bersama. Pradisposisi pribadi sendiri merupakan hasil interaksi antara unsur-unsur simbolis yakni: mind, self dan society sebagaimana yang dikemukakan oleh Mead dan Blumer dalam teori interaksionisme simboliknya. Masalah terlihat semakin kompleks sekaligus makin lebih menarik lagi, ketika Adoni dan Mane memasukkan unsur media sebagai unsur yang sangat berperan dalam proses pembentukan realitas sosial.
Keseluruhan unsur dalam interaksi sosial yang demikian kompleks dalam mengonstruksikan realitas tersebut, telah demikian mengundang minat penulis untuk mengangkatnya sebagai permasalahan pokok dalam penelitian ini, yakni: pertama, bagaimana sebenamya proses terbentuknya realitas homoseksualitas pada kelompok ?gay? sebagai kelompok pelaku; kedua, faktor dominan apa saja yang mempengaruhi konstruksi realitas sosial homoseksualitas pada kelompok `gay' tersebut; ketiga, bagaimana peran dan apakah `kekuatan' media yang digunakan oleh kelompok `gay' dalam melakukan aktivitas komunikasi bisa mempengaruhi konstruksi realitas sosial tersebut.
Penelitian lapangan yang keseluruhannya dilaksanakan di Jakarta berhasil mengumpulkan 10 orang informan sebagai mitra peneliti dengan cara `bola salju' (snowballing). Kesepuluh mitra peneliti tersebut semuanya gay dan telah mewakili kelima kategori `gay' yang ada secara tidak proporsional dalam jumlah, yakni `gay' murni, tidak murni, transeksual, transvestit dan biseksual. Data yang dibutuhkan diperoleh melalui pengamatan terlibat dan wawancara mendalam, dengan menggunakan pedoman wawancara tidak berstruktur yang relatif hanya digunakan sebagai `treatment' untuk menggali data.
Paradigma Konstruktivisme telah ditetapkan sebagai paradigma landasan yang menurut peneliti paling tepat untuk menganalisis temuan-temuan tentang proses pembentukan realitas sosial. Sebagaimana diketahui, dasar keyakinan paradigma ini secara ontologi adalah relativisme, dimana realitas adalah sesuatu yang terdiri dari banyak bagian dan berada dalam pikiran-pikiran manusia. Relativisme adalah kunci untuk keterbukaan dan keberlangsungan konstruksi-konstruksi yang lebih canggih. Sedangkan secara epistemology, konstruktivisme mengambil sisi subyektivitas dalam arti peneliti dan yang diteliti dilebur ke dalam suatu entitas tunggal, sehingga penemuan secara keseluruhan merupakan ciptaan dari proses interaksi antara keduanya. Kemudian secara metodologi yakni heurmenetik/ dialektik, dimana konstruksi-konstruksi individual diperoleh dan disaring secara heurmenetik serta dibandingkan atau dibedakan secara dialektik, dengan tujuan untuk mengembangkan satu konstruksi dalam mana terdapat konsensus yang substansial.
Dengan menggunakan paradigma konstruktivisme sebagai paradigma landasan, maka analisis dalam disertasi ini bersifat kualitatif dan prosesual.
Unit analisanya adalah action yakni aktivitas komunikasi yang dilakukan oleh para `gay', sedangkan unit pengamatannya adalah kelompok `gay' itu sendiri dengan mitra peneliti kunci yang ditetapkan dan dilihat sebagai agenagen yang signifikan. Dengan demikian unit analisis dalam penelitian ini lebih didasarkan pada tindakan-tindakan dan keterwakilan individu-individu, yang dianggap memahami permasalahan penelitian. Oleh karena itulah maka dalam penelitian dengan perspektif semacam ini, otentisitas dan refleksivitas lebih diutamakan. Temuan-temuannya merupakan refleksi yang otentik dari realitas yang dihayati oleh pelaku.
Beberapa hasil penelitian yang cukup menarik dalam disertasi ini antara lain adalah:
1. Bahwa realitas mengenai homoseksualitas di kalangan kelompok `gay' bukanlah realitas yang statis, melainkan merupakan sesuatu yang dinamis dan dialektis. Interaksi di antara mereka menghasilkan proses intersubyektivitas yang kemudian menginterpretasikan kembali realitas obyektif yang sebetulnya telah diintemalisasi pada waktu mereka masih kecil atau remaja. Awalnya homoseksualitas dipahami sebagai aib dan terlarang sebagaimana tercermin dalam nilai-nilai agama, keluarga ataupun sekolah. Namun kemudian, interaksi telah membuat realitas tersebut disesuaikan secara timbal balik di dalam mana terjadi negosiasi, kerjasama atau bahkan konflik. Melalui interaksi dengan teman-teman sesama `gay', mereka dapat melakukan eksternalisasi dengan me-reinterpretasikan sebagian realitas obyektif yang tadinya kurang menguntungkan bagi mereka.
Jadi walaupun dalam proses pengonstruksiannya sama antara kelompok `gay' sebagai pelaku dengan masyarakat non `gay', yakni melalui interaksi sosial yang bersifat dialektis secara terus menerus, namun homoseksualitas telah dikonstruksikan dan dilihat secara berbeda, dalam arti apa yang dipahami sebagai homoseksualitas oleh kelompok `gay' tidak sama dengan apa yang dipahami oleh kelompok non `gay';
2. Bahwa lepas dari upaya resistensi kelompok `gay' terhadap labeling mereka sebagai menyimpang (devian), kelompok ini tetap terjebak dengan proses pendalaman diferensiasi antara `yang normal' dan `tidak normal'. Interaksi yang berlebihan di antara mereka, pandangan in dan out group yang semakin dalam, serta menguatnya identitas kelompok justru semakin mendorong kelompok `gay' menerima labeling yang diberikan oleh masyarakat di luar mereka. Dengan kata lain, eksternalisasi yang diiakukan oleh kelompok `gay' sesungguhnya memiliki pola yang sama dengan realitas obyektif yang dieksternalisasi masyarakat umum, yakni "normal' dan "tidak normal".
3. Bahwa media massa bukan faktor eksternal yang determinan dalam menentukan realitas obyektif di kelompok `gay'. Media massa cenderung menjadi bahan interpretasi atau bahkan titik tolak resistensi. Realitas media yang mereka anggap cenderung memojokkan mereka dipahami sebagai realitas yang ideologis, yang tidak melihat kelompok `gay' secara obyektif. Walaupun media massa diakui memiliki pengaruh yang besar, namun media-media tersebut dianggap tidak cukup mampu merefleksikan homoseksualitas secara utuh.
4. Bahwa kelompok `gay' cenderung memiliki kohesivitas yang tinggi, meski tidak dilandasi oleh struktur organisasi yang formal. Sekali lagi, posisi kelompok `gay' yang minor serta intensitas komunikasi interpersonal menjadi salah satu kondisi yang membangun kohesitas internal mereka.
5. Bahwa keberadaan penyakit HIV/AIDS ternyata tidak terlalu mempengaruhi persepsi mereka terhadap realitas sosial homoseksualitas. Keberadaan penyakit tersebut hanya mampu membuat kelompok `gay' lebih waspada dan lebih selektif dalam memilih pasangan, namun tidak membuat mereka berkeinginan untuk mengubah perilaku dan orientasi seksualnya.
6. Bahwa walaupun sebagai kelompok kesadaran total manusia mengenai realitas yang diperoleh indera memiliki basis yang sama, namun belum tentu ia akan memberikan tanggapan atau mempersepsikan hal yang sama pula terhadap homoseksualitas sebagai suatu realitas sosial. Perbedaan tersebut disebabkan karena adanya perbedaan kepentingan antara kelompok `gay' sebagai pelaku dengan kelompok non `gay' mencakup karakteristik, sikap, gaya hidup, selera dan perilaku seksualnya. Dalam proses interaksi sosial pada kelompok `gay', unsur self dalam hal ini sisi I nya terlihat paling mengemuka dibandingkan unsur `mind' dan `society';
Secara keseluruhan dari hasil studi yang oleh penulis dinilai telah cukup menjawab pertanyaan pokok penelitian, dapat dikemukakan bahwa ternyata konstruksi kelompok 'gay' sebagai pelaku, berbeda dengan konstruksi kelompok non `gay' berkenaan dengan realitas sosial homoseksualitas. Aktivitas komunikasi utamanya yang menggunakan media massa dalam interaksi mereka, ternyata tidak terlalu ikut mengembangkan perubahan cara berpikir maupun persepsi mereka terhadap homoseksualitas. Unsur kepentingan dan kedekatan mitra peneliti dengan realitas tersebut, telah membentuk hangman realitas yang berbeda."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
D499
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ikhsan
"Salah satu industri yang memiliki keunggulan komparatif di Indonesia adalah industri kerajinan rotan, di mana keunggulan dalam industri kerajinan rotan ini terletak pada berlimpahnya bahan mentah rotan di Indonesia. Namun faktor keunggulan komparatif tersebut tidak sepenuhnya dapat mendorong laju pertumbuhan ekspor, mengingat lingkungan persaingan yang kompetitif.
Dalam tulisan ini penulis ingin meneliti mengenai salah satu industri kerajinan rotan Indonesia yaitu CV.TIC. Permasalahan yang terjadi adalah kecenderungan untuk kurang memfokuskan diri kepada kompetensi yang dimiliki, aktor yang berperan, skenario yang akan dicapai, persoalan yang menjadi kendala dalam pencapaian tujuan, serta strategi dalam mencapai keunggulan bersaing yang menjadi tujuan utama.
Untuk dapat menjawab permasalahan yang ada dalam tujuannya mencapai keunggulan bersaing CV.TIC, analisis dilakukan dengan menggunakan Analytical Hierarchical Process (AHP). Responden penelitian terdiri dari 6 orang dari jajaran manajemen CV.TIC, dengan maksud mencapai kesepakatan melalui suatu konsensus dalam menjawab permasalahan yang ada dalam bentuk suatu hirarki keputusan.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa sistem pengendalian mutu merupakan kompetensi yang paling berpengaruh terhadap keunggulan bersaing CV.TIC dengan bobot nilai 40,73%. Pelaku yang paling berperan dalam meningkatkan daya saing CV.TIC adalah pemilik I pimpinan perusahaan CV.TIC (46,60%). Prioritas skenario yang akan dicapai oleh CV.TIC adalah peningkatan produksi (45,25°%). Persoalan yang paling berpengaruh adalah persoalan kualitas sumber daya manusia (57,71%). Persoalan kualitas sumberdaya manusia yang menjadi sorotan utama adalah kurang tersedianya tenaga-tenaga yang handal dan berkualitas dalam kegiatan pemasaran dan pengembangan desain. Alternatif strategi yang lebih diprioritaskan adalah mengadakan pelatihan pemasaran (46,09%).
Pilihan strategi ini didasari kepentingan untuk menutup kelemahan yang ada di CV.TIC, dimana untuk mendukung keunggulan CV.TIC dalam pengendalian mutu perlu ditunjang oleh kegiatan pemasaran yang handal.
Sedangkan rekomendasi yang diberikan kepada CV.TIC adalah melakukan pengembangan terhadap desain produknya melalui strategi aliansi dalam upaya membangun kompetensi dalam pengembangan desain."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T3218
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>